Perusahaan pengembang properti berbasis di Singapura, OUE Limited mengakuisisi 17,2% saham milik PT Multipolar Tbk (MLPL) dengan nilai Rp1 triliun (sekitar $70 juta). Aksi korporasi ini dilakukan untuk mendorong bisnis digitalnya di Indonesia.
Transaksi ini disepakati melalui perjanjian jual-beli atau sale and purchase agreement (SPA). Dalam proses pengajuan di bursa Singapura, OUE akan mencaplok sebanyak 2,5 miliar saham Multipolar di harga Rp400 per lembar saham. Harga ini terbilang premium di kisaran 11,1% dibandingkan harga penutupan per 17 Desember 2021.
“Transaksi ini akan memberikan kesempatan bagi OUE untuk berpartisipasi dalam pertumbuhan ekonomi digital yang tengah berkembang pesat di Indonesia, yang mana seluruh portofolio bisnisnya berada di intersection dari sektor teknologi dan consumer,” ungkap OUE Corporate Secretary Kelvin Chua seperti dikutip dari DealStreetAsia.
Untuk mengakuisisi Multipolar, OUE akan membeli saham PT Inti Anugerah Pratama (IAP), perusahaan investasi yang dimiliki Stephen Riady dan James Riady. IAP akan memegang sebesar 8,97 miliar saham Multipolar, mewakili 55,1% dari total saham perusahaan.
Sebagai informasi, Stephen merupakan pengendali saham di OUE Limited, yang merupakan pemilik, pengembang properti dan pengelola real-estate di kawasan Asia. Stephen Riady juga menggenggam 40% saham di IAP, serta menduduki posisi sebagai Executive Chairman dan Group Chief Executive Officer.
Sementara, Multipolar merupakan anak perusahaan konglomerasi raksasa Lippo Group. Sebelumnya, CEO Lippo Karawaci John Riady sempat mengungkap minatnya untuk menempatkan Multipolar di barisan depan untuk mendongkrak bisnis di sektor teknologi dan investasi di grup.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal III 2021, Multipolar berhasil meraup keuntungan sebesar Rp88 miliar, dari kerugian besar Rp675 miliar di periode sama tahun lalu. Namun, perusahaan mencatat penurunan pendapatan dari Rp7,4 triliun dari sebelumnya Rp7,6 triliun.
Rebranding Multipolar
Aksi korporasi di atas mengindikasikan upaya Lippo Group untuk menempa bisnis teknologi dan investasi lebih agresif di tahun depan. Ditambah, kelanjutan dari kemitraan strategis Multipolar usai GoTo mengakuisisi perusahaan jaringan ritel modern PT Matahari Putra Prima (IDX: MPPA) pada Oktober lalu.
Baru-baru ini, Multipolar juga mengumumkan wajah barunya dengan nama “MPC“. Rebranding ini dilakukan sekaligus untuk mempertajam strategi dan fokus perusahaan di sektor ekonomi digital. Group CEO MPC Adrian Suherman mengungkapkan akan menggenjot investasi baru di area futuristik yang berfokus pada empat sektor utama, yaitu ritel, teknologi, kesehatan, dan bank digital di 2022.
Multipolar telah menanamkan investasi strategis di sejumlah startup melalui kendaraan investasi milik Lippo Group, Venturra Capital. Beberapa di antaranya adalah OVO, Sociolla, dan Ruangguru. Hingga saat ini, MPC telah berinvestasi di lebih dari 50 perusahaan teknologi di Indonesia.
Mengacu laporan e-Conomy SEA 2021 yang disusun oleh Google, Temasek, dan Bain & Co, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi akan mencapai $70 miliar di 2021.
PT Multipolar Tbk (MLPL), perusahaan yang memiliki fokus investasi pada sektor teknologi, ritel, finansial, serta digital milik Grup Lippo mengumumkan identitas barunya “MPC” serta transformasi strategi perusahaan untuk pertajam fokus ke ekonomi digital. Proses transformasi ini juga merupakan bentuk peningkatan komitmen perusahaan dalam mendukung dan mempercepat pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia.
Menurut laporan “e-Conomy SEA 2021” yang disusun oleh Google, Temasek, dan Bain & Co, nilai ekonomi digital Indonesia diprediksi akan mencapai $70 miliar di tahun 2021. Laporan yang sama juga memprediksi ekonomi digital Indonesia akan terus tumbuh hingga mencapai nilai $330 milar pada tahun 2030, menjadikan Indonesia salah satu pusat ekonomi digital terbesar di dunia.
Adrian Suherman selaku Group CEO MPC mengungkapkan bahwa transformasi ke sektor teknologi sebenarnya telah dimulai perusahaan sejak tahun 2015 melalui investasi strategis di berbagai startup teknologi seperti OVO, Sociolla, dan Ruangguru melalui berbagai tahap pendanaan, baik secara langsung maupun melalui Venturra, salah satu perusahaan portofolio MPC.
Selama beberapa tahun terakhir Multipolar telah berinvestasi dan menjalankan portofolio bisnis digital di Indonesia dan Asia Tenggara melalui Venturra Capital. Salah satu portfolio mereka adalah Carro, marketplace mobil bekas yang pada tahun ini resmi mendapatkan status unicorn — Venturra memimpin pendanaan Seri A mereka. Hingga saat ini, MPC telah berinvestasi pada lebih dari 50 perusahaan teknologi di Indonesia.
“Transformasi MPC juga semakin mempertegas kepercayaan dan komitmen perusahaan untuk dapat merangkul lebih banyak startup lokal maupun regional yang memiliki kapasitas untuk memberdayakan dan membawa manfaat nyata bagi lebih banyak masyarakat Indonesia,” tambah Adrian.
Strategi dan target investasi
Dalam konferensi yang diadakan secara virtual, Adrian turut menjabarkan empat pilar utama yang digunakan perusahaan untuk mewujudkan visi perusahaan dalam memberdayakan lebih banyak perusahaan teknologi masa depan.
Pertama, perusahaan akan tetap fokus pada pendanaan startup tahap awal serta tahap lanjut. Dalam beberapa tahun ke depan, pasar modal Indonesia diprediksi akan didominasi oleh perusahaan teknologi. “Kami juga akan berpartisipasi dalam pra-IPO dan IPO market oleh perusahaan teknologi Indonesia,” tambahnya.
Selain itu, perusahaan juga berada di jalur yang tepat untuk membantu digitalisasi perusahaan-perusahaan portfolio, serta meningkatkan peran sebagai mitra lokal pilihan bagi perusahaan teknologi berskala global. Dalam kesempatan ini, MPC turut mengumumkan dua joint venture dengan dua perusahaan global ternama.
Bersama Ping An, menghadirkan layanan p2p lendingRingan yang menyediakan pinjaman dana cepat (cash loan). Lalu bersama Luno memperkenalkan platform transaksi aset kripto bagi masyarakat Indonesia.
Memasuki penghujung tahun 2021, MPC turut membagikan rencana investasi perusahaan ke depannya. Perseroan seperti diketahui tengah menggenjot investasi baru di area futuristik. Dengan berbagai macam sektor yang berpotensi besar untuk tumbuh di tahun 2022, perusahaan mengarahkan fokus pada empat sektor utama, yaitu retail, teknologi, kesehatan dan digital bank.
Dalam mengevaluasi, membangun, mengembangkan, dan mendanai berbagai perusahaan yang bergerak di bidang teknologi, MPC juga ditopang oleh dewan direksi berpengalaman luas. Selain Adrian Suherman, turut berperan beberapa nama yang tidak asing di dunia investasi seperti Rudy Ramawy, Fendi Santoso, Jerry Goei, dan Agus Arismunandar yang sebelumnya menjabat berbagai posisi kepemimpinan di perusahaan seperti Google Indonesia, Northstar Group, A.T. Kearney, OVO, dan Accenture.
Sebagai entitas yang juga telah terdaftar di bursa IDX, Multipolar dikenal memiliki lima kategori bisnis. Pertama, ritel konsumen yang terdiri dari PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), PT Matahari Department Store Tbk (LPPF), Timezone, Books & Beyond. Kedua, telekomunikasi terdiri dari PT Link Net Tbk (LINK), PT First Media Tbk (KBLV), PT Graha Teknologi Nusantara (GTN).
Ketiga, jasa keuangan terdiri dari PT Bank Nationalnobu Tbk (NOBU), Ciptadana, dan Sharestar Indonesia. Keempat, media, digital, dan teknologi terdiri dari PT Multipolar Technology Tbk (MLPT), VisioNet, Berita Satu Media Holdings, MBiz, Venturra, dDV, dan OVO. Kelima, industri terdiri dari Champion, PT Walsin Lippo Industries, dan NPI Mall Management.
The expansion success story is one of the benchmarks for business growth; It’s no wonder that many founders openly conveyed this ambition on various occasions. Starting from national, regional, then global expansion. In the Indonesian startup ecosystem, several players have enough courage to expand overseas. The level is still regional, trying to work on the market in Southeast Asian countries.
Judging from the existing trend, expansion is generally carried out for two purposes. First is strengthening business operations, Singapore and India are by far the most favorite. Startups create operational offices or R&D centers. Second, the expansion opens up new market shares, increases users, and business traction. For this purpose, Vietnam looks more promising and becomes a priority.
Currently, there are several local startups that are also offering their services in Vietnam. Call it Gojek, Ruangguru, Traveloka, and PasarPolis. In a virtual discussion opportunity held by the Indonesian Embassy in Hanoi on August 12, 2020, Traveloka representatives said that before the pandemic their business had seen good growth and after the pandemic, various plans had been made including collaboration with various parties.
The Indonesian Ambassador to Vietnam, Ibnu Hadi, in the discussion entitled “Digital Economy Opportunities in Indonesia and Vietnam” said the government would help “open the door” for Indonesian startups to open markets to Hanoi. Efforts have been made, including to intensively starting collaborations with players in the startup ecosystem there.
Several venture capitalists from Indonesia have also provided funding for Vietnamese startups. In the early stages, there are Venturra, East Ventures, and Alpha JWC Ventures; while at the next stage there are Openspace, Northstar, EV Growth.
About Vietnam market
East Ventures’ partner, Melisa Irene told DailySocial on the promising Vietnam’s internet market. Compared to Indonesia, she said the ecosystem development is 3-4 years behind Indonesia. East Ventures has also invested in two startups there, CirCo (coworking space operator) and Kim An Group (fintech lending for SMEs).
“Vietnam is potential because its second largest population after Indonesia, the majority age is very young, and Vietnam has recently opened its economy to the global market. This will accelerate the growth of the digital economy in Vietnam in the next few years,” Irene added.
Kim An Group’s Series A funding was successfully closed last week. Apart from East Ventures, Patamar Capital is also involved in the round. Patamar Capital is also a fairly active venture capitalist in the Indonesian ecosystem. They operate in several countries in Southeast Asia and have representatives (partners) in each region.
We had the opportunity to interview Patamar Capital’s partners, Dondi Hananto (Indonesia) and Shuyin Tang (Vietnam).
Working daily with the ecosystem, Shuyin admits that Vietnam are still several years behind Indonesia. However, if you look at the continued development, he feels optimistic about the future of the digital startup. The infrastructure development and solid talent underlie this argument.
Regarding fintech, the most developed business landscape in the region, Shuyin said that in Vietnam, the sector tends to be more controlled compared to other countries. The State Bank of Vietnam released a very limited number of licenses for fintech, both for payment platforms, loans, and other business models.
“Alyhough, digital payments is a fairly active space in Vietnam. Momo recently announced that it has reached 20 million users since it was launched 10 years ago. Other well-known players are Moca (partnered with Grab) and ZaloPay. Gojek also announced to have taken a majority stake in WePay, which means we will finally be able to enjoy GoPay,” Shuyin explained.
The business climate is also different compared to Indonesia. As of August 2020, there are 158 p2p lending startups registered with the OJK in Indonesia. Meanwhile in Vietnam, Shuyin observed the conditions are the opposite, it can be said that fintech lending is more complicated. Related startups must collaborate with existing financial institutions, both from banking and non-banks. There is no “multi-finance enterprise” model in Vietnam, nor is there a specific legal framework for p2p lending.
“I have to say that it is more difficult for lending-focused companies to debut in Vietnam. These companies operate in the ‘gray zone’ or have to partner with banks. And once you reach a certain scale, operating in that zone is not an option, it has to be. find a way to get a license fast. Usually, this process will be long and expensive,” she added.
Aside from fintech, in Patamar Capital’s thesis, there are also several startup landscapes that are prioritized in the Vietnamese market, such as healthtech, edutech, logistics, and SME empowerment services.
Vietnam’s market characteristic
Venturra is one of the venture capitalists from Indonesia who has set foot and a dedicated team in that country. Venturra Partner Raditya Pramana reveals his analysis to DailySocial on why Vietnam has become attractive to founders planning expansion.
He said, when talking about market share, once an Indonesian startup wants to expand regionally, they will be presented with two options: the Philippines and Vietnam.
“After Indonesia, a country with a large population are the Philippines and Vietnam. If we compare the two options, the complexity is decisive. The Philippines is an archipelago, separated; while Vietnam is only divided into two large regions, one Hanoi in the north and the other in Ho Chi Minh City. in the South. It’ll become an entry point that makes it easier for companies to build their presence,” Raditya said.
An interesting fact, Raditya also highlighted the talents. Whereas in Indonesia, startups tend to find business talent easier and find it difficult to get technical talent, Vietnam is quite the opposite with less business talent, while technical talent is easier and more affordable. This can also be a consideration for digital startups who want to build a base in the country.
“In terms of market size, it is not as big as in Indonesia, but the development can be very fast. As is known, they also get momentum due to the trade war between the United States and China. There are many manufacturing companies there. The political reforms that have taken place in recent years have provided many opportunities for growth. economy, including making it easier for foreign companies to be there,” Raditya continued.
Venturra’s solid vision has been shown by placing a team in Vietnam since March 2020 to be directly involved in its ecosystem. In Q1 of this year, they have invested in two Vietnamese startups, while the target is to reach 5-7 startups. The pandemic requires Raditya and the team to make many adjustments to their investment plans.
“Our main focus is clearly in Indonesia because we are a local company and understand this market better. However, when talking about foreign markets, we have two targets, Vietnam, then Singapore [because it is a regional business hub],” he said.
As a country with the potential for market expansion, Shuyin gave his view. Vietnam is a naturally growing market that needs to be considered for regional expansion. Interestingly, from his observations in Vietnam, after Covid-19, interest in investing in the country shot up. Including because of Vietnam’s successful strategy in stemming the impact of the pandemic.
“In my opinion, at the top level, yes, Indonesia and Vietnam have similar characteristics. A young population, increasing income, maturing technology ecosystem, etc. However, one thing that the team has seen time and time again is that there are many local nuances and this difference becomes important,” Shuyin said.
Another Patamar Capital partner, Dondi Hananto, added that he agreed with the many similarities. “When you are in Jakarta or Ho Chi Minh City, or in Hanoi or Surabaya, you will find traffic everywhere, and millions of motorbikes. But a closer look, local nuances will be very important in understanding customer behavior.”
“For example, on my trip to Vietnam, I never set foot in a mall. Yes, we have meetings in cafes or restaurants, but not in shopping centers. It’s different from every day in Jakarta, usually before the pandemic I often held meetings at malls, even our offices are in the coworking space inside the mall. While this may seem trivial, I believe things like this affect the way customers behave and may shape how businesses approach the market, “added Dondi.
Tips for startups
With these conditions, there are some tips for startups planning to open a market in Vietnam. First, as Irene said, understanding local business conditions needs to be a strong foundation for each founder. From East Ventures’ analysis, there are three challenges that must be considered, the limited talent at the mid-management level and above, changing regulations, and business practices based on relationships. All three are business executors that is very good at local dynamics.
If you look at the steps of Indonesian startups that are already present in Vietnam, it seems that this is appropriate. For example, what Gojek did by appointing local Phung Tuan Duc as CEO to localize the company’s business strategy there. Ruangguru has done something similar by developing a special brand and platform that is unique to local elements, Kien Guru.
Radit also mentioned that the managerial style must be adjusted for Indonesian startups to expand there. He sees that a community-driven strategy can be relevant, given the existing digital trends. Such as the growth of the social commerce business model, the popularity of Facebook, and others. “What is clear is that the Indonesian playbook cannot be fully replicated there. Customer behavior is different from Indonesia, you must have a strong leader there.”
As Dondi said, based on some of the similarities, founders also need to really understand the similarities in market share between these countries, find out what differences need to be adjusted. “In my opinion, expansion from Java to other islands in Indonesia is already very complicated due to differences in population density, infrastructure, behavior, recruitment, etc. Expanding to other countries is 100 times more complicated because you have to think hard about legal and operational barriers. , including language. ”
And what was also emphasized was the selection of the right local team and partners. The realizations vary, for example through acquisition or acquihire as was done by Traveloka or Gojek, but it does require a high cost.
Why expand to Vietnam?
In Venturra’s portfolio, one startup has arrived in Vietnam, Ruangguru. However, Raditya did not really encourage his startup to quickly expand outside. He will recommend Vietnam as a destination, provided that the startup is really ready and feels that it has reached the best point in running its business on a national scale.
Meanwhile, according to Dondi, it is natural that Indonesian companies must have the will to expand regionally. Businesses must be prepared for these consequences, otherwise, it will be a waste of valuable resources and time. For some businesses, Indonesia’s domestic market is large enough, so that they can increase the maximum scale without expanding to other countries.
“We do have several business portfolios that have grown and are planning to expand to Vietnam, but we want to ensure that this is done carefully,” Dondi said.
Keberhasilan melakukan ekspansi adalah salah satu tolok ukur pertumbuhan bisnis; tak heran banyak founder terang-terangkan menyampaikan ambisi tersebut di berbagai kesempatan. Dimulai dari ekspansi nasional, regional, kemudian global. Di ekosistem startup Indonesia, beberapa pemain telah unjuk gigi melakukan perluasan ke luar negeri. Levelnya masih regional, mencoba menggarap pasar di negara-negara Asia Tenggara.
Melihat dari tren yang sudah ada, umumnya ekspansi dilakukan untuk dua kepentingan. Pertama adalah penguatan operasional bisnis, Singapura dan India sejauh yang paling favorit. Para startup membuat kantor operasional atau pusat R&D. Kedua, ekspansi membuka pangsa pasar baru, meningkatkan pengguna, dan traksi bisnisnya. Untuk kepentingan ini, Vietnam tampak lebih menjanjikan dan menjadi prioritas.
Saat ini, sudah ada beberapa startup lokal yang turut jajakan layanannya di Vietnam. Sebut saja Gojek, Ruangguru, Traveloka, dan PasarPolis. Dalam sebuah kesempatan diskusi virtual yang digelar KBRI Hanoi pada 12 Agustus 2020 lalu, perwakilan Traveloka menyampaikan, sebelum pandemi bisnis mereka mendapati pertumbuhan baik dan setelah pandemi pun berbagai rencana sudah dicanangkan termasuk kolaborasi dengan berbagai pihak.
Dubes RI untuk Vietnam, Ibnu Hadi, dalam diskusi bertajuk “Digital Economy Opportunities in Indonesia and Vietnam” tersebut mengatakan, pemerintah akan membantu “membuka pintu” bagi startup Indonesia yang ingin membuka pasar ke Hanoi. Upaya yang sudah dilakukan termasuk secara intensif memulai kolaborasi dengan pemain di ekosistem startup di sana.
Beberapa pemodal ventura dari Indonesia juga sudah lakukan pendanaan untuk startup Vietnam. Di tahap awal ada Venturra, East Ventures, dan Alpha JWC Ventures; sementara di tahap lanjutan ada Openspace, Northstar, EV Growth.
Tentang pasar Vietnam
Kepada DailySocial, Partner East Ventures Melisa Irene mengatakan, potensi pasar internet Vietnam saat ini menjanjikan. Jika dibandingkan dengan Indonesia, menurutnya perkembangan ekosistem di sana berada 3-4 tahun di belakang Indonesia. East Ventures sendiri sudah berinvestasi di dua startup di sana, yakni CirCo (operator coworking space) dan Kim An Group (fintech lending untuk UKM).
“Vietnam potensial karena populasinya kedua terbesar setelah Indonesia, mayoritas penduduk sangat muda, dan Vietnam baru beberapa tahun terakhir membuka perekonomian ke pasar global. Hal tersebut yang akan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi digital di Vietnam dalam beberapa tahun ke depan,” imbuh Irene.
Pendanaan Seri A Kim An Group sebenarnya juga baru berhasil ditutup pekan lalu. Selain East Ventures, Patamar Capital turut terlibat dalam putaran tersebut. Patamar Capital sendiri juga menjadi pemodal ventura yang cukup aktif di ekosistem Indonesia. Mereka beroperasi di beberapa negara di Asia Tenggara dan memiliki perwakilan (partner) di masing-masing wilayah.
Kami berkesempatan untuk mewawancara Partner Patamar Capital, yakni Dondi Hananto (Indonesia) dan Shuyin Tang (Vietnam).
Bekerja sehari-hari dengan ekosistem di sana, Shuyin mengakui bahwa kondisi di Vietnam masih tertinggal beberapa tahun dari Indonesia. Tapi jika melihat lanjut perkembangannya, ia merasa optimis tentang masa depan startup digitalnya. Perkembangan infrastruktur dan talenta yang solid melandasi argumen tersebut.
Terkait fintech, lanskap bisnis yang paling berkembang di regional, Shuyin berpendapat di Vietnam sektor tersebut cenderung lebih terkontrol dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Bank Negara Vietnam merilis lisensi untuk fintech dengan jumlah yang sangat terbatas, baik untuk platform pembayaran, pinjaman, dan model bisnis lainnya.
“Meski begitu, pembayaran digital adalah ruang yang cukup aktif di Vietnam, ada Momo baru-baru ini mengumumkan telah mencapai 20 juta pengguna sejak diluncurkan 10 tahun lalu. Pemain lain yang cukup ternama adalah Moca (telah bermitra dengan Grab) dan ZaloPay. Gojek juga mengumumkan telah mengambil saham mayoritas di WePay, yang berarti kami akhirnya akan bisa menikmati GoPay,” terang Shuyin.
Iklim bisnisnya juga berbeda jika dibandingkan di Indonesia. Per Agustus 2020, di Indonesia ada 158 startup p2p lending yang terdaftar di OJK. Sementara di Vietnam, dari pantauan Shuyin kondisinya sebaliknya, bisa dikatakan fintech lending lebih rumit. Startup terkait harus bekerja sama dengan institusi keuangan yang sudah ada sebelumnya, baik dari perbankan maupun nonbank. Tidak ada model “perusahaan multifinansial” di Vietnam, juga belum ada kerangka hukum khusus untuk p2p lending.
“Jadi saya harus mengatakan bahwa lebih sulit bagi perusahaan yang fokus pada pinjaman untuk memulai di Vietnam. Perusahaan ini beroperasi di ‘zona abu-abu’ atau harus bermitra dengan bank. Dan begitu Anda mencapai skala tertentu, beroperasi di zona tersebut bukan pilihan, harus menemukan cara untuk mendapatkan lisensi yang cepat. Biasanya proses ini akan panjang dan mahal,” imbuhnya.
Selain fintech, dalam tesis Patamar Capital juga ada beberapa lanskap startup yang diprioritaskan di pasar Vietnam, yakni healthtech, editech, logistik, dan layanan pemberdayaan UKM.
Karakteristik pasar Vietnam
Venturra menjadi salah satu pemodal ventura asal Indonesia yang sudah injakkan kaki di sana dan memiliki tim yang didedikasikan di negara tersebut. Kepada DailySocial, Partner Venturra Raditya Pramana memberikan analisisnya soal mengapa Vietnam menjadi menarik bagi founder yang merencanakan ekspansi.
Ia berkata, saat berbicara tentang pangsa pasar, setelah suatu startup Indonesia ingin berekspansi secara regional, mereka akan disuguhkan dengan dua pilihan: Filipina dan Vietnam.
“Setelah Indonesia, negara yang memiliki populasi besar Filipina dan Vietnam. Kalau kita membandingkan dua pilihan tersebut, kompleksitasnya menentukan. Filipina berbentuk kepulauan, terpisah-pisah; sementara Vietnam cuma terbagi di dua wilayah besar, satu Hanoi di Utara dan satunya Ho Chi Minh City di Selatan. Jadi itu menjadi entry point yang lebih memudahkan untuk perusahaan membangun kehadirannya,” ujar Raditya.
Hal menarik yang juga disorot Raditya adalah seputar talenta. Jika di Indonesia startup cenderung lebih mudah mendapatkan talenta bisnis dan sulit mendapatkan talenta teknis, Vietnam kebalikannya talenta bisnis yang lebih sulit ditemui di sana, sementara talenta teknis lebih mudah dan terjangkau. Ini bisa menjadi pertimbangan juga bagi startup digital yang ingin membangun basis di negara tersebut.
“Dari segi besaran pasar memang belum sebesar di Indonesia, tapi perkembangannya bisa sangat cepat. Seperti diketahui, mereka juga dapat momentum akibat trade war antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Banyak perusahaan manufaktur di sana. Reformasi politik yang terjadi beberapa tahun terakhir memberikan banyak peluang pertumbuhan perekonomian, termasuk memudahkan perusahaan luar untuk hadir di sana,” lanjut Raditya.
Keseriusan Venturra telah ditunjukkan dengan menempatkan tim di Vietnam sejak Maret 2020 untuk terlibat secara langsung dalam ekosistemnya. Di Q1 tahun inimereka sudah berinvestasi di dua startup Vietnam, sementara targetnya mencapai 5-7 startup. Pandemi mengharuskan Raditya dan tim melakukan banyak penyesuaian rencana investasi mereka.
“Fokus utama kami jelas di Indonesia, karena kami perusahaan di Indonesia dan lebih mengerti baik pasar ini. Tapi kalau berbicara tentang pasar luar negeri, maka target kami ada dua, yakni Vietnam, lalu Singapura [karena merupakan hub bisnis di regional],” kata Raditya.
Sebagai negara berpotensi untuk ekspansi pasar, Shuyin memberikan pandangannya. Vietnam adalah pasar yang tumbuh secara alami yang perlu dipertimbangkan dalam ekspansi regional. Menariknya, dari pengamatannya di Vietnam, setelah Covid-19, minat terhadap investasi di negara tersebut melesat. Termasuk karena strategi keberhasilan Vietnam dalam membendung dampak pandemi.
“Menurut saya di level atas, ya, tentunya Indonesia dan Vietnam memiliki karakteristik mirip. Populasi muda, pendapatan terus meningkat, ekosistem teknologi makin matang, dan sebagainya. Tapi satu hal yang tim kali lihat berkali-kali ada banyak nuansa lokal, dan perbedaan ini penting,” ungkap Shuyin.
Partner Patamar Capital lainnya Dondi Hananto menambahkan, ia setuju tentang adanya banyak kesamaan. “Saat Anda berada di Jakarta atau Ho Chi Minh City, atau berada di Hanoi atau Surabaya, Anda akan menemukan kemacetan di mana-mana, dan jutaan sepeda motor. Namun jika diliat lebih dekat, nuansa lokal akan sangat penting dalam memahami perilaku pelanggan.”
“Misalnya dalam perjalanan saya ke Vietnam, saya tidak pernah menginjakkan kaki di satu mall pun. Ya, kami pernah rapat di kafe atau restoran, tapi tidak di pusat perbelanjaan. Beda dengan sehari-hari di Jakarta, biasanya sebelum pandemi saya sering melakukan meeting di mall, bahkan kantor kami ada di coworking space di dalam mall. Meskipun ini mungkin tampak sepele, saya yakin hal-hal seperti ini mempengaruhi cara pelanggan berperilaku dan mungkin membentuk bagaimana bisnis mendekati pasar,” imbuh Dondi.
Tips untuk startup
Dengan kondisi tersebut, ada beberapa tips yang disampaikan untuk startup yang merencanakan untuk membuka pasar di Vietnam. Pertama, menurut Irene, pemahaman kondisi bisnis lokal perlu menjadi landasan kuat bagi tiap founder. Dari analisis East Ventures, ada tiga tantangan yang harus diperhatikan, yakni terkait terbatasnya telenta di level mid-management ke atas, peraturan yang masih berubah-ubah, dan praktik bisnis berdasarkan relasi. Ketiganya membutuhkan eksekutor bisnis yang sangat menguasai dinamika lokal.
Jika melihat langkah startup Indonesia yang sudah hadir di Vietnam, sepertinya hal tersebut sudah sesuai. Misalnya yang dilakukan Gojek dengan menunjuk orang lokal Phung Tuan Duc sebagai CEO untuk melokalisasi strategi bisnis perusahaan di sana. Hal serupa dilakukan Ruangguru dengan mengembangkan brand dan platform khusus yang khas dengan unsur lokal, Kien Guru.
Radit menambahkan, gaya manajerial memang harus disesuaikan untuk startup Indonesia yang ingin ekspansi ke sana. Ia melihat, strategi community-driven bisa saja relevan, melihat dari tren digital yang ada. Seperti bertumbuhnya model bisnis social commerce, popularitas Facebook, dan lain-lain. “Yang jelas, playbook Indonesia tidak bisa direplikasi sepenuhnya di sana. Customer behaviornya beda dengan Indonesia, harus punya strong leader di sana.”
Menurut Dondi, atas dasar beberapa kemiripan tadi, founder juga perlu benar-benar memahami persamaan pangsa pasar antarnegara tersebut, mencari tahu perbedaan apa yang perlu penyesuaian. “Menurut saya, ekspansi dari Jawa ke pulau lain di Indonesia saja sudah sangat rumit karena perbedaan kepadatan penduduk, infrastruktur, perilaku, rekrutmen, dan lain-lain. Memperluas ke negara lain 100 kali lebih rumit karena Anda harus berpikir keras tentang hukum dan hambatan operasional, termasuk bahasa.”
Dan hal yang juga ditekankan adalah terkait pemilihan tim dan mitra lokal yang tepat. Realisasinya bermacam-macam, misalnya melalui acquisition atau acquihire seperti yang dilakukan Traveloka atau Gojek, tapi memang membutuhkan biaya yang mahal.
Dorongan untuk ekspansi ke Vietnam
Di portofolio Venturra, satu startup sudah hadir ke Vietnam, yakni Ruangguru. Namun Raditya tidak terlalu mendorong startupnya untuk cepat-cepat ekspansi ke luar. Ia akan merekomendasikan Vietnam sebagai tujuan, dengan catatan startup tersebut benar-benar siap dan dirasa sudah sampai titik terbaik dalam menjalankan bisnisnya di skala nasional.
Sementara menurut Dondi, wajar jika perusahaan Indonesia harus punya kemauan melakukan ekspansi regional. Bisnis harus siap menghadapi konsekuensi tersebut, jika tidak maka akan membuang-buang sumber daya dan waktu berharga. Untuk beberapa bisnis, pasar domestik Indonesia sudah cukup besar, sehingga mereka dapat meningkatkan skala maksimal tanpa ekspansi ke negara lain.
“Kami memang punya beberapa portofolio bisnis yang telah berkembang dan berencana untuk melakukan perluasan ke Vietnam, tapi kami ingin memastikan bahwa itu dilakukan dengan hati-hati,” terang Dondi.
In June 2010, UberCab has launched in San Fransisco for easier access to book a cab. Soon, the platform was getting popular in the area, although the fare was higher. Users are willing to pay more for efficiency.
Five months later, the company received seed funding worth $1.25 million from several investors. The brand changed into Uber following its decision to include other transportation besides taxi. In early February next year, Uber announced Series A funding of $11 million.
Settled with $60 million valuations, they finally had its grand launching in New York. The public expressed their enthusiasm with the new innovation, the big apple later become the early biggest market share in the US. Some taxi provider companies have issued an intervention, asking for the business legal.
In late 2011, Uber secured $32 million Series B funding, including Jeff Bezos. The international expansion begins, aimed at Paris. User’s feedback, on the fare and availability, has encouraged the company to release some variant products, including UberX for more affordable service.
Halfway to 2014, Uber made expansions to India and Africa. Along with the Series C investment worth of $258 million. Valuation exceeds $3.76 billion and the company is officially a unicorn. Next, they secured another investment worth of $1.2 billion in July 2016 and took the company to a decacorn valuation at $17 billion.
In brief, with the current business dynamics, including expansion, downsizing business, and follow on funding, they finally had an IPO in May 2019 in NYSE with a market capitalization reached $75.5 billion.
Based on the business journey, there are some points to be highlighted: (1) a rapid growth business, (2) disrupted business, (3) business with fantastic valuation growth.
“Disruption” term as a barrier
Uber business model is getting replicated by others, including Gojek with the local wisdom – in this case, ojek (two-wheeler) transportation. After running a business in a semi-conventional way since 2011, they finally launched the first app on the Android and iOS platforms on January 7th, 2015. It used to provide only transportation, instant courier and groceries.
Similar to Uber, the offered services are in high demand. Traction rise up now and then, as well as financial support from investors. It applies to the rejection issue, both the motorcycle taxi drivers and transportation companies had a hard time. Sometimes, the “pressure” comes from regulation, due to no legal umbrella to accommodate the business model, at that time.
It’s from the ride-hailing sector, the truth is new platforms (e-commerce, digital wallet, SaaS, online learning and so on) are created as a way to replace traditional businesses and it’s getting the hype as the increasing number of smartphone users in Indonesia. Suddenly the term “disruption” became the main topic in various news, public discussions, to scientific publications.
Some companies have passed the term and feel encouraged to follow the existing trends, in order to not be eliminated. In the end, the jargon “digital transformation” turned into a campaign. Businessmen massively go-digital, trying to adopt the latest technology to accelerate the business model. From the simplest as creating a social media account for marketing and applying the concept of data science to business.
Technology holds an important role in the disruption era. Moreover, it has the right medium to connect a service to its user, the computing devices – including smartphones. If not through the mobile apps, maybe the growth of Uber, Gojek, Tokopedia, Moka, Bridestory and other startups won’t be that fast.
Strategic partnership through investment
Some of the large companies with high demand in market share were made flustered by digital startups. As the few shopping centers said to be empty of visitors – and some reduce the number of outlets – after the booming e-commerce services in Indonesia. “Natural law” in business seems to start showing results: adapting or slowly dying.
Some retailers are trying to change their approach, for example, Matahari Department Store which finally released an e-commerce portal. Other shopping centers are starting to optimize application-based services, such as the GetPlus loyalty platform at Grand Indonesia. Its vision is to improve the customer experience. So far, the consumer sector is where the disruption impacted the most.
There are two options, to develop independently or collaborate with existing startups. Each option comes with implications. First, if you choose to build a digital foundation independently, you must invest in a variety of resources including infrastructure and experts. As for the second option, a strategic partnership can be one solution and most likely to be effective.
Digital transformation should be fast. Even technology is dynamically evolving. While corporate executives stay focused on improving the core business, they don’t think there’s enough time to create digital solution experiments. Digital products require some process in order to reach market-fit – research, market validation, and others.
Corporates can adjust the synergies with business vision of both. As for the companies in the financial sector, they can collaborate with fintech startups which appropriate to support business development. Companies in the insurance field can start cooperating with insurtech startups to increase the presence and easy access to public services.
After finding a suitable startup and they have proven product-market-fit, further cooperation is required for a more exclusive stage. One way is by giving investments – acquiring a few percent of ownership shares – to related startups. Furthermore, if this soon become a concern to the corporation, they can create a new venture capital sub-company.
Indonesian corporate venture capital
Corporate venture capital (CVC) usually takes form as a separate business unit (subsidiary) that is focused on channeling company investment funds to startups. It involves a strong team to do analysis and screening, in order to find startups that fit the company’s requirements.
CVC is getting popular in Indonesia, along with its achievements – both in terms of strategic partnerships to increase business or exit (IPO or acquired with a higher valuation value) as a mechanism for investors to get financial returns.
The investment focus is simple, each company explores the sectors with the highest potential to strengthen corporate lines. As an example, Central Capital Ventura from BCA, it’s targeting startups which provides access to financial convenience for consumers and businesses. The derivatives are quite diverse, ranging from credit platforms, financial technology supporting businesses, to insurance. Apparently, Astra International follows the rule, the company focuses on startups that empower automotive products, around transportation and logistics.
A bigger chance for growth-stage startups
After previously debuting with up to 3.5 trillion Rupiah managed funds. Recently, BRI has re-injected additional capital worth 500 billion Rupiah for BRI Ventures. In addition to increasing the portion of share ownership to 99.97%, it is expected to accelerate the subsidiary. Quite a fantastic number for a business kick-off in the new venture capital business.
Another CVC, Mandiri Capital Indonesia (MCI) has invested in 13 startups by the end of 2019. The CEO, Eddi Danusaputro said to have 50 billion Rupiah ready to be invested in other fintech startups. Their latest lead is the investment to the Halofina financial planning platform in the pre-series A.
The large value poured by corporations into the CVC is not random. From the existing trends, they are usually investing in startups at the growth stage. In this phase, startups are usually have proven the traction of the targeted market. As with Telkomsel Mitra Innovation (TMI), which was recently formed halfway to the end of last year, they made a debut investment to Kredivo’s series C.
A deeper approach was taken by the Telkom Group by establishing the Indigo Creative Nation’s integrated incubation and acceleration program. MDI Ventures is involved to invest in the startups graduated from the program.
More CVC to come
Although it’s not explicit, several companies reportedly participated as Limited Partners (LP) in venture capital. Acting as an LP means that they entrust the designated party to channel funds to the right startup, instead of forming their own team or subsidiary in processing investments from top to bottom.
Digital startups with the success story in demonstrating competitive value in the market and support for the current industry, are believed to attract more corporates involved in the ecosystem, specifically forming CVC. Aside from local case studies, overseas even world-class companies have also intervened in the ecosystem.
The latest news is that several other state-owned companies are also interested in forming a subsidiary in the field of venture capital. BNI and Pegadaian are said to be finalizing an investment strategy to strengthen the company’s business line.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Pada bulan Juni 2010, aplikasi UberCab diluncurkan di San Francisco untuk memudahkan masyarakat memesan taksi. Tak butuh waktu lama, platform tersebut populer di seluruh kawasan setempat, kendati tarif layanan yang dikenakan jadi lebih mahal. Pengguna mau membayar lebih untuk efisiensi yang didapat.
Lima bulan kemudian perusahaan mendapatkan pendanaan awal $1,25 juta dari sejumlah investor. Merek pun diubah menjadi Uber karena mengakomodasi jasa transportasi yang merangkul pengemudi di luar taksi. Februari awal tahun berikutnya, Uber umumkan pendanaan seri A $11 juta.
Mantap dengan valuasi $60 juta, mereka resmikan kehadiran di New York. Masyarakat antusias dengan layanan baru tersebut, bahkan di fase awal wilayah ini jadi pangsa pasar terbesar Uber. Beberapa perusahaan taksi mulai menyerukan penolakan keras, mempertanyakan legalitas bisnis.
Akhir tahun 2011, Uber amankan pendanaan seri B senilai $32 juta, termasuk dari Jeff Bezos. Ekspansi internasional pun dimulai, Paris jadi sasaran utama. Umpan balik dari konsumen, soal harga dan ketersediaan, membuat perusahaan merilis berbagai varian produk, termasuk UberX untuk opsi layanan terjangkau.
Pertengahan tahun 2013, Uber ekspansi ke India dan Afrika. Dibarengi dengan pendanaan seri C senilai $258 juta. Valuasi perusahaan tembus $3,76 miliar, resmi dapatkan gelar unicorn. Lalu Juli 2016 mereka dapatkan pendanaan baru lagi $1,2 miliar dan membawa perusahaan pada valuasi decacron $17 miliar.
Singkat cerita, dengan dinamika bisnis yang ada termasuk ekspansi, perampingan bisnis dan pendanaan lanjutan, pada Mei 2019 mereka melakukan IPO di NYSE dengan kapitalisasi pasar menyentuh $75,5 miliar.
Dari perjalanan bisnis tersebut, ada beberapa hal yang bisa digaris bawahi: (1) bisnis yang berkembang cepat, (2) bisnis yang mengganggu, (3) bisnis dengan pertumbuhan nilai fantastis.
Terminologi “disrupsi” jadi momok
Model bisnis Uber lalu banyak direplikasi, termasuk oleh Gojek dengan menyertakan kearifan lokal – dalam hal ini moda transportasi ojek. Setelah jalankan bisnis dengan cara semi-konvensional sejak tahun 2011, pada 7 Januari 2015 mereka perkenalkan aplikasi perdana di platform Android dan iOS. Waktu itu menyajikan layanan transportasi, kurir instan dan belanja.
Sama dengan Uber, layanan yang disajikan banyak diminati. Traksi melonjak tinggi dari waktu ke waktu, juga dukungan finansial dari investor. Pun demikian soal isu penolakan, baik oleh kalangan pengemudi ojek dan perusahaan transportasi, mereka juga sempat merasakannya. Bahkan beberapa kali mendapatkan “tekanan” regulasi, karena belum adanya payung hukum yang mengakomodasi model bisnis tersebut, waktu itu.
Itu baru dari ride-hailing, nyatanya masih terus bermunculan berbagai platform baru (e-commerce, digital wallet, SaaS, online learning dan lain sebagainya) yang coba menggantikan proses bisnis tradisional, juga mendapatkan sambutan luar biasa di tengah makin tingginya jumlah pengguna ponsel pintar di Indonesia. Sontak istilah “disrupsi” menjadi bahasan utama di berbagai pemberitaan, diskusi publik, hingga publikasi ilmiah.
Banyak perusahaan yang sudah melenggang sebelumnya merasa perlu untuk mengikuti tren yang ada, agar tidak tersingkir. Pada akhirnya jargon “transformasi digital” pun jadi ramai dikampanyekan. Pebisnis berbondong-bondong go-digital, mencoba mengadopsi teknologi terkini untuk mengakselerasi model bisnis. Dari yang paling sederhana seperti membuat akun media sosial untuk pemasaran, hingga menerapkan konsep ilmu data ke dalam bisnis.
Teknologi memiliki peran penting dalam disrupsi. Terlebih ia telah memiliki medium yang tepat untuk menghubungkan suatu layanan kepada penggunaanya, yakni perangkat komputasi – termasuk ponsel pintar. Jika tidak melalui aplikasi mobile, mungkin pertumbuhan Uber, Gojek, Tokopedia, Moka, Bridestory dan startup lainnya tidak secepat itu.
Kemitraan strategis melalui investasi
Banyak perusahaan besar yang sebelumnya moncer di pangsa pasar dibikin kalang kabut oleh startup digital. Sebut saja beberapa pusat perbelanjaan yang mengaku sepi pengunjung –dan sebagian mengurangi jumlah gerai—pasca booming layanan e-commerce di Indonesia. “Hukum alam” dalam bisnis tampaknya mulai tampakkan hasil: turut beradaptasi atau pelan-pelan mati.
Beberapa peritel mencoba mengubah pendekatan, misalnya Matahari Departement Store yang akhirnya merilis portal e-commerce. Pusat perbelanjaan lain mulai mengoptimalkan layanan berbasis aplikasi, seperti platform loyalty GetPlus di Grand Indonesia. Visinya pada peningkatan pengalaman pelanggan. Sejauh ini sektor consumer memang yang terlihat paling merasakan dampak disrupsi.
Pilihan memang ada dua, mengembangkan secara mandiri atau berkolaborasi dengan startup yang ada. Masing-masing punya implikasi. Pertama, jika memilih membangun pondasi digital secara mandiri, maka harus berinvestasi pada berbagai sumber daya termasuk infrastruktur dan pakar. Sementara untuk opsi kedua, jalinan kemitraan strategis dapat menjadi solusi, dan tampaknya jadi yang paling efektif untuk diadopsi.
Perubahan menuju ranah digital harus dilakukan secara cepat. Pasalnya teknologi itu sendiri berkembang sangat dinamis. Sementara eksekutif di korporasi harus tetap fokus pada peningkatan komoditas bisnis utamanya, merasa tidak punya waktu lebih untuk melakukan percobaan membuat solusi digital. Produk digital yang mencapai market-fit membutuhkan proses yang tidak sederhana – harus melakukan riset, validasi pasar, dan lain-lain.
Korporasi dapat menyesuaikan sinergi yang akan dibangun dengan visi bisnis yang dijalankan. Sebut saja untuk perusahaan di bidang finansial, mereka dapat merangkul startup fintech yang sesuai untuk mendukung pengembangan bisnis. Perusahaan di bidang asuransi, dapat mulai menggandeng startup insurtech untuk meningkatkan kehadiran dan kemudahan akses layanan ke publik.
Setelah menemukan startup yang sesuai dan mereka telah membuktikan product market-fit, selanjutnya dibutuhkan kerja sama untuk tahapan yang lebih eksklusif. Salah satunya dengan memberikan investasi –mengakuisisi beberapa persen kepemilikan saham—kepada startup terkait. Lantas jika inisiatif pengembangan kerja sama strategis ini menjadi perhatian khusus korporasi, pembentukan sub-perusahaan modal ventura dapat dilakukan.
Modal ventura korporasi di Indonesia
Modal ventura korpoarasi atau lebih dikenal dengan istilah corporate venture capital (CVC) umumnya berbentuk unit usaha terpisah (anak perusahaan) yang difokuskan untuk menyalurkan dana investasi perusahaan ke startup. Di dalamnya terdapat tim yang kuat untuk melakukan analisis dan penyaringan, guna menemukan startup yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.
Praktik pembentukan CVC mulai populer di Indonesia, seiring dengan kesuksesan yang berhasil ditorehkan – baik dalam bentuk kemitraan strategis dalam rangka peningkatan bisnis ataupun exit (IPO atau diakuisisi dengan nilai valuasi yang lebih tinggi) sebagai mekanisme investor dapatkan keuntungan finansial.
Fokus investasinya pun mudah dibaca, masing-masing mendalami sektor yang berpotensi untuk memperkuat lini korporasi. Ambil contoh Central Capital Ventura besutan BCA, portofolio yang disasar startup yang memberikan akses kemudahan finansial bagi konsumen maupun bisnis. Turunannya cukup beragam, mulai platform kredit, teknologi pendukung bisnis finansial, hingga asuransi. Pun demikian Astra Internasional yang fokus pada startup yang memberdayakan produk otomotif, seputar transportasi dan logistik.
Porsi lebih untuk startup tahap berkembang
Setelah sebelumnya debut dengan dana kelolaan hingga 3,5 triliun Rupiah. Beberapa waktu terakhir BRI kembali menyuntik modal tambahan senilai 500 miliar Rupiah untuk BRI Ventures. Selain untuk meningkatkan porsi kepemilikan saham menjadi 99,97%, diharapkan mampu mengakselerasi anak perusahaannya tersebut. Angka yang fantastis untuk kick-off bisnis modal ventura baru.
CVC lain, Mandiri Capital Indonesia (MCI) telah berinvestasi ke 13 startup hingga akhir tahun 2019. CEO Eddi Danusaputro menyebutkan di tahun ini mereka masih punya amunisi 50 miliar Rupiah untuk diinvestasikan ke startup fintech lainnya. Terbaru mereka pimpin pendanaan pengembang platform perencanaan keuangan Halofina dalam putaran pra-seri A.
Nilai besar yang dikucurkan oleh korporasi ke CVC bukan tanpa alasan. Dari tren pendanaan yang ada, rata-rata mereka berinvestasi untuk startup di tahap berkembang (growth stage). Di fase ini startup biasanya sudah mampu membuktikan traksi dari ceruk pasar yang disasar. Seperti halnya Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) yang baru dibentuk pertengahan tahun lalu, debut investasi pada putaran seri C Kredivo.
Pendekatan yang lebih mendalam dilakukan Telkom Group dengan membentuk program inkubasi dan akselerasi terpadu Indigo Creative Nation. MDI Ventures dilibatkan untuk mendanai startup yang dinyatakan lulus dari program tersebut.
Diproyeksikan akan makin banyak CVC
Meskipun tidak secara eksplisit mengumumkan keterlibatannya berinvestasi ke startup, beberapa perusahaan dikabarkan turut menjadi Limited Partner (LP) di venture capital. Bertindak sebagai LP artinya mereka mempercayakan kepada pihak yang ditunjuk untuk menyalurkan dana ke startup yang tepat, alih-alih membentuk tim atau anak perusahaan sendiri dalam memproses investasi dari hulu ke hilir.
Startup digital yang berhasil tunjukkan nilai kompetitif di pasar dan dukungannya terhadap industri yang sudah berjalan, diyakini akan menarik perhatian lebih banyak korporasi untuk terlibat ke dalam ekosistem, khususnya membentuk CVC. Selain studi kasus dari dalam negeri, sebenarnya di luar negeri pun perusahaan kelas dunia juga sudah turun tangan ke dalam ekosistem.
Kabar terkini beberapa perusahaan milik negara lain juga tertarik untuk membentuk anak usaha di bidang modal ventura. Bank BNI dan Pegadaian disebut-sebut tengah matangkan strategi investasi untuk perkuat lini binsis perusahaan.
Di tengah persaingan layanan platform perekrutan, inovasi tetap menjadi kunci untuk memenangkan pasar. Setidaknya hal tersebut diyakini Ekrut, platform lokal yang menghubungkan talenta potensial dengan kebutuhan bisnis. Sepanjang tahun 2018, startup yang didirikan Anthony Kusuma dan Steven Suliawan tersebut telah merilis beberapa fitur baru, di antaranya talent marketplace dan marketplace curation algorithm (MCA).
Marketing Manager Ekrut Aldo Imanuel menjelaskan, konsep talent marketplace yang diusung ialah berbasis data science, diklaim menjadi yang pertama di Indonesia. Sementara MCA merupakan data engine yang menjadi “otak” utama dari proses pencocokan antara talenta dengan kebutuhan perusahaan.
“Layanan lain kebanyakan masih menggunakan konsep job portal, perusahaan mengunggah lowongan, dengan harapan mendapatkan talenta yang sesuai. Sedangkan di Ekrut kami menggunakan konsep sebaliknya, talenta mendaftar dan perusahaan yang akan mencari kandidat sesuai preferensi,” jelas Aldo.
Dengan konsep tersebut, Ekrut menilai akan mempermudah dan mempercepat proses perekrutan, dari yang biasanya butuh waktu 2-4 minggu, kini hanya dalam hitungan menit. Ekrut dari awal berfokus pada pemenuhan talenta di bidang teknologi informasi.
“Semua teknologi yang dibangun berpusat pada bagaimana kami bisa menghubungkan ribuan perusahaan ini dengan talenta yang mereka butuhkan dengan cepat dan relevan,” lanjut Aldo.
Didukung mantan engineer Tesla untuk pengembangan produk
Sekitar bulan Desember 2018, Ekrut dikabarkan mendapatkan pendanaan seri A dari Venturra Capital dan Prasetia Dwidharma. Di sesi wawancara kami mencoba mengkonfirmasi hal ini, namun pihak Ekrut belum bisa menginfokan lebih lanjut. Sebelumnya Ekrut memperoleh pendanaan awal dari East Ventures.
Banyak agenda yang akan dilaksanakan Ekrut di tahun 2019. Menurut pemaparan Aldo, salah satu yang menjadi fokus padalah pengembangan produk. Misinya masih tetap sama, berusaha menghasilkan teknologi dan layanan paling efisien untuk proses perekrutan, baik dari sisi HR di perusahaan maupun pelamar.
“Product roadmap kami sangat padat di tahun ini terlebih sejak kedatangan mantan senior engineer Tesla yang menjadi Chief of Product kami pada awal Q4 kemarin,” terang Aldo.
Sejak konsep talent marketplace diluncurkan di awal tahun 2018, total pencari kerja yang tergabung melonjak, dari berjumlah ratusan kini mendekati seratus ribu orang. Pun demikian statistik lowongan, proses wawancara, dan perekrutan, meningkat pesat di banding tahun sebelumnya.
Menurut Aldo, hal ini didorong karena penggunaan data science dan algoritma yang membuat perusahaan-perusahaan di Ekrut mendapatkan rekomendasi terbaik untuk memenuhi kebutuhannya.
Venture investor (VC) under Lippo Group, Venturra Capital, officially launched an investment arm called Venturra Discovery to focus on early-stage startups to Pre-Series A funding in Southeast Asia.
John Riady, Lippo Group’s Director, said in the launching that Venturra Discovery has opened up opportunities for companies to be more active on early-stage startups funding in Indonesia.
“We’re very lucky to contribute for Indonesia’s development because of the potential we see is not only for Series A and Series B but also seed funding. We can’t wait to see the results in the near future,” he added.
Another reason behind Venturra Discovery creation is the wide gap between seed funding to series A and up. Based on the data cited by Venturra Capital, VCs which focused on seed funding in 2014 are capable to pour $50-500,000 ticket size per company. However, the gap is widen in Series A and up.
In 2018, it’s the contrary, where VCs focused on series A can pour $1-3 million per investment. The gap is there for the active VCs on early-stage startups to pre-series A funding.
“Tech ecosystem wasn’t ready then, but tech industry has grown rapidly the past year. There will be some issues to solve, hence we work with more founders,” Rudy Ramawy, Venturra Capital’s Managing Partner, said.
Therefore, Venturra Discovery focused on early-stage startups to pra-series A funding in Southeast Asia. The company aims for 30-40 portfolios for the investment amount ranging from $200,000 to $500,000. Total investment raised is $15 million (around IDR 223 billion), only from Lippo Group.
“We want to invest on an agnostic sector. Currently, there are 5 (deals), including 1 healthcare company, 2 consumers, one enterprise solution, and 1 incubator. This is the perfect moment for acceleration, and we want to fill the gap with this VC launching,” Raditya Pramana, Venturra Discovery’s Partner added.
Venturra Capital was founded in 2015 with the seed funding of $150 million. Recently, Venturra has distributed investment for funding worth of $600 million, and first investment growth up to 3.1 times.
The independent VC has made investments in Southeast Asia, including Indonesia, Malaysia, Philippines, Singapore, and Vietnam. There are 22 companies have received funding from Venturra, including Ruang Guru, Fabelio, and Medigo.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Pemodal ventura (VC) naungan Lippo Group, Venturra Capital, resmi meluncurkan anak usaha Venturra Discovery yang akan fokus pada pendanaan startup tahap awal (seed funding) hingga pra-seri A di Asia Tenggara.
Ditemui saat peluncurannya, Direktur Lippo Group John Riady mengungkapkan bahwa peluncuran Venturra Discovery membuka lebih banyak kesempatan bagi perusahaan untuk lebih aktif pada pendanaan startup tahap awal di Indonesia.
“Kami sangat beruntung bisa berkontribusi terhadap perkembangan Indonesia karena kami lihat potensi untuk lebih aktif tak hanya pada pendanaan Seri A dan B saja, tetapi di tahap awal. Kami tak sabar melihat hasilnya dalam beberapa tahun ke depan,” ungkap John.
Alasan lain Venturra Discovery diluncurkan adalah adanya gap pendanaan yang jauh antara VC di tahap awal dan tahap seri A ke atas. Berdasarkan data yang dikutip Venturra Capital, kondisi VC yang fokus pada pendanaan tahap awal di 2014, mampu menyuntik $50 ribu-500 ribu per satu perusahaan. Namun, gap besar lebih terasa pada VC di tahap seri A dan seterusnya.
Kondisi ini berbalik di 2018 di mana saat ini VC yang fokus di seri A bisa mengucurkan $1-3 juta per investasi. Gap besar justru dialami oleh VC yang aktif pada pendanaan tahap awal hingga pra-seri A.
“Tech ecosystem dulu belum siap, tetapi industri teknologi dalam tahun terakhir ini bertumbuh pesat. Tentu akan ada banyak masalah yang ingin diatas, makanya kami bekerja sama dengan lebih banyak founder,“ jelas Managing Partner Venturra Capital, Rudy Ramawy.
Untuk itu Venturra Discovery fokus terhadap pendanaan startup tahap awal hingga pra-seri A di Asia Tenggara. Perusahaan membidik target sebanyak 30-40 portfolio dengan besaran per investasi berkisar $200 ribu-500 ribu. Total investasi yang disiapkan adalah sebesar $15 juta (sekitar 223 miliar Rupiah), murni dari kantong Lippo Group.
“Kami ingin investasi ke sektor agnostik. Saat ini sudah lima (deal), yakni 1 perusahaan healthcare, 2 consumer, 1 enterprise solution, dan 1 inkubator. Ini momen tepat untuk akselerasi, dan kami ingin fill the gap dengan peluncuran VC ini,” tambah Partner Venturra Discovery Raditya Pramana.
Venturra Capital pertama kali berdiri pada 2015 dengan investasi awal $150 juta. Hingga saat ini tercatat, Venturra telah menyalurkan investasi untuk pendanaan sebesar $600 juta dengan pertumbuhan sejak investasi pertamanya sebesar 3,1 kali.
VC independen ini telah menyuntik investasi ke berbagai perusahaan di Asia Tenggara, antara lain Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Vietnam. Tercatat sudah ada 22 perusahaan yang telah menerima pendanaan Venturra, termasuk Ruang Guru, Fabelio, dan Medigo.
Bertempat di Shanghai bulan September 2018 mendatang, gelaran Demo Day Asia yang diinisiasi oleh Google, telah memilih 10 startup dari seluruh Asia Pacific untuk bisa memberikan presentasi dan pitching di hadapan investor secara global.
Di antara 10 startup terpilih, DycodeX yang merupakan anak perusahaan pengembang software asal Bandung DyCode, menjadi satu-satunya wakil Indonesia di gelaran tersebut.
Dycode X, yang kini fokus ke produk SmarTernak, solusi manajemen ternak berbasis Internet of Things (IoT), akan bersaing dengan 9 startup lainnya.
Mereka adalah FreightExchange (Australia), GITAI (Jepang), Marham (Pakistan), Miotech (Tiongkok), Origami Labs (Hong Kong), SigTuple (India), SkyMagic (Singapore), Swingvy (Korea)
Terpilihnya DycodeX dalam gelaran Demo Day Asia, setelah Open Call dilakukan Google dan pendaftaran yang masuk diklaim mencapai hingga ribuan dari startup di Asia Pacific. Google kemudian melakukan penyaringan hingga 305 startup yang masih dalam tahap kualifikasi, dan 10 startup terpilih yang kemudian berhasil masuk ke babak final, berhak tampil dalam panggung Demo Day Asia.
Startup yang berhasil menarik perhatian para investor di babak final, akan mendapatkan kesempatan mengantongi pendanaan dari investor senilai $100,000 dalam bentuk Google Cloud Platform credits. Venture capital yang akan memberikan penilaian dan hadir di acara Demo Day tersebut di antaranya adalah Sequoia Capital Tiongkok, Venturra Capital, dan para pimpinan yang tergabung dalam Google for Entrepreneurs.
Kembangkan IoT untuk peternakan
Didukung Kementerian Pertanian, DycodeX mulai mengembangkan SmarTernak yang merupakan perangkat precision livestock farming (PLF). Fitur-fitur yang ditawarkan mencakup fitur pelacakan hewan ternak, mendeteksi aktivitas hewan ternak, estimasi kesehatan hewan ternak, hingga membaca kondisi lingkungan hewan ternak. Data-data tersebut dipancarkan secara real time dan bisa dibantu melalui aplikasi yang ada di perangkat mobile.
Dalam pengembangannya, DycodeX berperan penuh dalam pengembangan sistem dan alat-alat yang digunakan, sementara pemerintah mendukung dalam penyediaan lahan untuk uji coba.
Solusi DycodeX menjadi salah satu solusi berbasis teknologi yang bermanfaat untuk mengoptimalkan peternakan dan menggali lebih jauh potensi dan masalah yang ada di peternakan.