Nama Respawn mulai terdengar akrab di telinga khalayak berkat tengah naik daunnya Apex Legends, dan banyak gamer sudah mengenalnya ketika studio yang dibentuk oleh dua mantan pendiri Infinity Ward itu meluncurkan Titanfall. Sejak saat itu, Respawn terlibat banyak pengembangan permainan berskala besar, di antaranya Star Wars Jedi: Fallen Order serta game eksklusif Oculus Rift.
Di bulan Oktober 2017, Respawn Entertainment mengumumkan proyek kolaboratifnya bersama tim Oculus Studios. Waktu itu, tim belum menjelaskan apa yang tengah mereka kerjakan, hanya mengutarakan bagaimana teknologi virtual reality dapat memberikan pemain kesempatan buat merasakan kengerian dan kacaunya medan tempur. Dan di perhelatan Oculus Connect 6 kemarin, Oculus akhirnya mengabarkan bahwa game VR tersebut memiliki judul Medal of Honor: Above and Beyond.
Ada banyak hal menarik dari pengumuman ini. Sebagai awalnya, Above and Beyond akan menjadi permainan Medal of Honor pertama yang Electronic Arts lepas dalam waktu delapan tahun. Seri game bertema perang ini absen dari peredaran setelah sang publisher merilis Warfighter di tahun 2012. Dan dalam mengembangkannya, Respawn dan Oculus Studios mencoba mengembalikan seri Medal of Honor ke tema akarnya.
Dalam Medal of Honor: Above and Beyond, Anda bermain sebagai seorang agen Sekutu yang berkerja untuk Office of Strategic Services (OSS) di era Perang Dunia kedua. Tugas Anda ialah menginfiltrasi, membungkam dan mengalahkan mesin perang Nazi. Game akan membawa Anda mengunjungi lokasi-lokasi tempur bersejarah di Eropa, membantu gerakan pemberontakan di Perancis, hingga menyabotase operasi militer Nazi.
Aspek unik kedua dari Above and Beyond adalah partisipasi Peter Hirschmann. Ia merupakan produser Dreamworks Interactive, tim yang mengerjakan permainan Medal of Honor pertama dua dekade silam atas permitaan Steven Spielberg. Hirschmann kini bertanggung jawab sebagai game director. Yang menarik lagi ialah, CEO Respawn Vince Zampella juga pernah terlibat dalam pembuatan Medal of Honor: Allied Assault (kisah lengkapnya bisa Anda baca di sini).
Medal of Honor: Above and Beyond siap menghidangkan mode campaign single-player berisi 50 misi dan aksi multiplayer, serta mode penyampaian cerita unik di mana ‘Anda dapat duduk bersama’ veteran Perang Dunia kedua, mendengarkan kisah mereka sembari menyaksikan kejadian tersebut secara virtual. Tiap-tiap misi single-player kabarnya bisa diselesaikan dengan pendekatan berbeda.
Above and Beyond rencananya akan meluncur di tahun 2020 nanti (namun tanggal pastinya belum diketahui), tersedia secara eksklusif untuk platform Oculus Rift.
Apex Legends adalah game terbesar Respawn saat ini, meski setelah dilangsungkannya Star Wars Celebration Chicago kemarin, perhatiaan khalayak mulai tertuju pada Jedi: Fallen Order. Selain dua judul itu, fans juga tengah menanti kabar terbaru terkait sekuel kedua Titanfall yang sempat disinggung oleh CEO Vince Zampella sembari mengungkap Agenda pengembangan Apex Legends di bulan Februari kemarin.
Tapi jangan terlalu berharap banyak Anda akan mendengar lebih banyak soal proyek Titanfall baru dalam waktu dekat – atau di E3 2019 nanti. Lewat blog resmi, executive producer Drew McCoy menyampaikan bahwa Respawn mengerahkan dua tim untuk fokus pada Apex Legends dan Star Wars Jedi: Fallen Order. Dan dengan berat hati, mereka memutuskan menunda rencana yang sebelumnya ditetapkan buat franchise Titanfall.
Agar maksimal, kedua tim betul-betul dikhususkan pada judul yang telah ditentukan. Tim pengembang Apex Legends tidak bisa meminjam aset atau sumber daya tim Jedi: Fallen Order, dan begitu pula sebaliknya. Langkah ini sepertinya diambil sebagai bentuk persiapan peluncuran Apex Legends Season 2, kemungkinan jatuh di akhir Juni atau awal Juli, serta pelepasan Jedi: Fallen Order pada tanggal 15 November 2019 nanti.
Tons of things planned for @PlayApex in the future. We are also committed to listening to player feedback.
We are also working on more Titanfall for later in the year (yes, I said the T word). We love being able to experiment in this crazy universe!
Meski sedikit mengecewakan, pergeseran agenda Respawn ini memang bisa dipahami. Untuk sebuah game yang dirilis secara tiba-tiba, Apex Legends merupakan kejutan menggembirakan bahkan bagi pihak developer sendiri. Mereka tidak menyangka sebuah IP baru yang digarap oleh tim kecil mampu menghimpun 50 juta pemain hanya dalam waktu satu bulan.
Developer juga mengaku minimnya pengalaman dalam meramu permainan free-to-play menyebabkan munculnya sejumlah masalah: keliru menghidangkan update, tidak memberikan pemain gambaran jelas mengenai penambahan konten di masa depan, serta belum menetapkan rencana dukungan secara konkret. Respawn bilang, mereka berkomitmen sepenuhnya buat pengembangan jangka panjang.
Ada tujuh aspek yang menjadi perhatian Respawn:
Peningkatan performa kecepatan server. Banyak pemain merasakan lambatnya loading di awal pertandingan.
Perang melawan cheater terus berlanjut. Respawn menerapkan strategi rahasia, namun berjanji akan mengungkap hasilnya minggu depan.
Perbaikan kendala audio.
Perbaikan masalah hit registration. Terkadang, peluru yang mengenai lawan tidak terbaca dengan benar oleh game. Sebagai solusinya, developer menyiapkan fitur baru di engine untuk melacak hit registration secara akurat dan melakukan koreksi jika diperlukan.
Update ke depan – semisal berisi perbaikan bug, modifikasi pada gameplay, serta penambahan fitur baru – akan disertai oleh informasi yang lebih transparan.
Penyempurnaan pada aspek komunikasi.
Peluncuran season selanjutnya akan dilakukan secara besar-besaran, ditunjang oleh Battle Pass baru, update pada meta, serta dimeriahkan oleh karakter anyar. Detail mengenai Season 2 akan diungkap di acara EA Play di bulan Juni besok.
Anda bisa menyimak opini soal mengapa kami bersemangat menyambut Star Wars Jedi: Fallen Order lewat tautan ini. Jika Anda sangat menikmati Apex Legends, saya sangat menyarankan Anda untuk juga mencicipi Titanfall 2. Ia merupakan salah satu shooter terbaik yang dilepas dalam kurun waktu satu dekade, dan belakangan populasi pemainnya kembali meningkat berkat kepopuleran Apex.
Sesuai rencana, detail baru mengenai Star Wars Jedi Fallen Order diungkap di acara Star Wars Celebration Chicago 2019 minggu kemarin, tak lama selepas penayangan trailer perdana The Rise of Skywalker. Dan di sana, tersibak banyak informasi menarik mengenai permainan baru racikan Respawn Entertainment itu – studio yang turut bertanggung jawab dalam pengembangan seri Titanfall dan Apex Legends.
Setelah beberapa game Star Wars Electronic Arts yang mengecewakan, publik melihat Jedi: Fallen Order dengan sinis sekaligus penuh harap. Reboot dua game Battlefront oleh EA DICE terbilang minim konten dan dinodai masalah microtransaction, tapi di sisi lain, karya-karya Respawn terkenal akan tingginya kualitas konten. Lihat saja mode campaign Titanfall 2 yang menurut beberapa gamer veteran menyerupai petualangan di Half-Life 2 – dan saya bahkan belum membahas betapa adiktif aspek multiplayer-nya.
Hal paling mengejutkan dari penyingkapan lebih jauh Jedi: Fallen Orders adalah Respawn mengembangkannya sebagai permainan single-player murni yang difokuskan pada aspek narasi dan cerita. Game tidak mempunyai mode multiplayer, lalu CEO Vince Zampella menjamin absennya microtransaction. Langkah ini sangat tidak biasa. Respawn telah jadi bagian dari EA sejak akhir 2017, namun apa yang mereka lakukan itu tampak bertolak belakang dengan strategi publisher dalam menyajikan ‘game sebagai layanan’.
Konsep pengembangan secara ‘lebih tradisional’ ini memang membuat Jedi: Fallen Order terlihat unik, tetapi ada sederatan lagi aspek yang menjadikannya sangat menarik. Satu contoh kecilnya: Jedi: Fallen Order dibangun menggunakan Unreal Engine 4 (milik Epic Games) ketika game-game EA lain mengusung engine Frostbite – yang secara teknis kurang populer di kalangan developer karena kerumitan pemakaiannya.
Esensi single-player
Ada deretan panjang permainan LucasArts yang menemani saya tumbuh dewasa, dan sebagian besar dari mereka adalah Star Wars. Dan berdasarkan pengalaman saya, game-game Star Wars terbaik ialah judul-judul yang difokuskan pada single-player, di antaranya seri Dark Forces, Jedi Knight, TIE Fighter dan X-Wing, Rogue Squadron, Star Wars Episode I: Racer, hingga Knights of the Old Republic.
Sejak pertengahan 1990-an sampai 2000-an, sejumlah developer di bawah pengawasan LucasArts memang mulai mencantumkan mode multiplayer, bahkan menggarap beberapa game secara khusus agar bisa dinikmati bersama-sama, misalnya X-Wing versus TIE Fighter atau Battlefront. Namun sekali lagi, studio-studio ini sama sekali tidak melupakan esensialnya single-player. Sebagai buktinya, Anda tetap bisa bermain seorang diri di kedua judul itu.
Hanya ada sejumput game eksklusif multiplayer Star Wars yang berumur panjang, walaupun tak jarang developer harus mengubah model bisnis serta struktur permainan demi mempertahankan ekosistem pemain. The Old Republic masih mempunyai pemain setia hingga hari ini, tetapi jika Anda ingat, server Star Wars Galaxies sudah ditutup delapan tahun silam.
Kuantitas game Star Wars merosot cukup jauh semenjak Disney membeli Lucasfilm di tahun 2012 dan memberikan hak eksklusif pengembangan permainan pada EA. Salah satu alasannya saya duga adalah retcon yang dilakukan Disney terhadap Expanded Universe (mengubahnya jadi ‘Legends’) demi memberikan ruang ekspansi pada film-film berikutnya. Tak seperti dulu, kini sang pemegang franchise menjaga canon cerita secara lebih ketat. Tidak cuma game, bahkan penulisan novel Star Wars harus menunggu keputusan dari Disney.
Di E3 2018, Zampella menyampaikan bahwa tokoh utama Jedi: Fallen Order ialah seorang Padawan (ksatria Jedi yang masih dalam pelatihan) dan permainan akan menyuguhkan pertarungan berbasis lightsaber. Premis ini membuat saya berharap agar Jedi: Fallen Order menyajikan pertempuran jarak dekat seru sekelas seri Jedi Knight. Ada banyak game Star Wars lebih anyar yang juga menghidangkan aksi lightsaber (Revenge of the Sith, The Force Unleashed), namun kompleksitas dan kualitasnya belum mampu menyamai Jedi Knight.
Alasannya sederhana: tak seperti di game lain, lightsaber di seri Jedi Knight bersifat aktif. Ia mampu memotong objek serta meninggalkan bekas di tembok tanpa perlu Anda ayunkan, dan akan selalu berbahaya ketika dinyalakan. Dipadu sistem pertarungan tiga dimensi penuh manuver-manuver lincah, setiap duel terasa menegangkan dan sulit diprediksi. Via standalone expansion pack Jedi Academy, developer Raven Software mengekspansi pertarungan lightsaber dengan gaya dua pedang (Jar’Kai) serta opsi saberstaff ala Darth Maul.
Belum ada info apapun dari Respawn soal sistem tempur di Jedi: Fallen Order. Namun melihat video teaser motion capture, saya membayangkan betapa luar biasanya jika game memanfaatkan lagi sistem ini.
Talenta di belakang Fallen Order
Faktor lain yang membuat Jedi: Fallen Order jadi sangat menjanjikan adalah individu-individu di belakang pengerjaannya. Di 2014, mantan staf senior SCE Santa Monica Studio Stig Asmussen bergabung bersama Respawn, dan dua tahun kemudian, ia membenarkan sudah diberi kepercayaan untuk jadi game director permainan action-adventure third-person Star Wars baru. Asmussen ialah sosok yang berjasa dalam pembuatan seri God of War, berpengalaman menjadi lead environment artist sampai art director.
Tentu saja Asmussen bukan satu-satunya andalan sosok Respawn. Pembuatan ceritanya saja dilakukan secara kolaboratif oleh enam penulis sekaligus: ada Chris Avellone yang punya begitu banyak pengalaman menulis cerita video game (termasuk Knights of the Old Republic 2: The Sith Lords) dan writer Mafia III, Aaron Contreras. Dalam diskusi panel di SWCC 2019, Asmussen sempat menyampaikan bahwa penulis serial Rebels dan Clone Wars turut ambil bagian pada peracikan narasi Jedi: Fallen Order.
Jedi: Fallen Order memperkenalkan karakter protagonis bernama Cal Kestis. Game menantang kita untuk memandunya bertahan hidup di masa-masa gelap, tak lama setelah Kaisar Palpatine mengeksekusi Order 66 demi menghabisi seluruh Jedi, dengan latar belakang antara Episode III dan IV. Respawn memilih aktor Cameron Monaghan buat memerankan Kestis, baik di sisi pengisian suara ataupun motion capture. Sebelumnya, aktor berusia 25 tahun ini bermain di serial Gotham (sebagai Joker) dan Shameless. Jedi: Fallen Order merupakan proyek video game pertamanya.
Untuk memastikan game terasa menyegarkan walaupun di-setting di jagat Star Wars, Respawn berkolaobrasi langsung bersama Lucasfilm buat menciptakan karakter-karakter serta lokasi-lokasi baru. Di petualangannya, Kestis bukan hanya harus bersembunyi dari kejaran Stormtrooper, tapi ia juga dipaksa berhadapan dengan para Sith Inquisitor yang mematikan. Trailer-nya sendiri belum benar-benar menunjukkan adegan pertarungan lightsaber – sepertinya Respawn menyiapkan bagian ini sebagai kejutan.
Langkah Anti-EA oleh studio milik EA?
Seperti yang saya bilang tadi, absennya microtransaction dan mode multiplayer merupakan hal terunik dari Jedi: Fallen Order. Dengan mengedepankan konsep games as a service, Electronic Arts tentu saja ingin menyodorkan penawaran-penawaran in-app sebanyak mungkin sesudah game dirilis. Dan cara ini paling efektif diaplikasikan pada judul-judul multiplayer (walaupun Ubisoft cukup sukses melakukannya via penjualan item-item kosmetik di Assassin’s Creed Origins dan Odyssey).
Penyuguhan Jedi: Fallen Order sebagai permainan eksklusif single-player terasa seperti antitesis dari apa yang selama ini EA lakukan. Boleh jadi, alasan mengapa penyajian Jedi: Fallen Order tidak seperti permainan EA lain adalah, Respawn menuntut kebebasan pengembangan game saat mendiskusikan syarat dan ketentuan akuisisi bersama sang publisher. Kita tahu, pengerjaan game dimulai jauh sebelum kesepakatan tersebut, kemungkinan besar tak lama sesudah proyek Titanfall pertama rampung.
Semua ini terdengar sebagai kabar gembira bagi kita yang merindukan permainan-permainan single-player bermutu. Dan jika Jedi: Fallen Order laris terjual dan memperoleh pujian dari media, ada kemungkinan EA punya satu IP lagi yang dapat disandingkan dengan franchise-franchise raksasa lain di genre action. Dan siapa tahu, kesuksesan game nantinya mendorong EA untuk mengubah strategi bisnisnya sehingga lebih bersahabat bagi konsumen.
–
Di Star Wars Celebration Chicago 2019, Respawn mengonfirmasi bahwa Jedi: Fallen Orders akan tersedia di platform Windows (via EA Origin), PlayStation 4 dan Xbox One. Game dijadwalkan buat dilepas tepat sebulan sebelum penayangan perdana film Star Wars: The Rise of Skywalker, yaitu pada tanggal 15 November 2019. Saat ini, status gerbang pre-order juga telah dibuka.
Saya baru saja menyelesaikan sekuel novel Thrawn karya Timothy Zahn (singkat kata: sangat brilian), dan saya cukup percaya diri untuk bilang bahwa tahun ini terasa sangat menjanjikan bagi para penggemar Star Wars…
Satu fakta tak terbantahkan: battle royale merombak jalannya industri gaming. Demam yang dicetus oleh PUBG itu diteruskan Fornite. Dalam waktu singkat, para publisher dan developer ternama segera mengadopsi formula populer ini ke seri shooter kebanggaan mereka, misalnya Call of Duty dan Battlefield. Langkah serupa juga diambil oleh Respawn Entertainment melalui Apex Legends.
Apex Legends adalah game terbaru dari studio pimpinan Vince Zampella yang digarap untuk memuaskan dahaga akan battle royale. Menariknya, game sengaja diracik sebagai ekstensi franchise andalan Respawn. Pada dasarnya, Apex Legends mengambil latar belakang dunia yang sama dengan Titanfall. Kabar gembira bagi Respawn, game FPS tersebut sukses besar, berhasil menghimpun 25 juta pemain hanya dalam waktu seminggu.
Media dan gamer memuji banyak aspek di Apex Legends, dari mulai betapa mudah diaksesnya permainan (bahkan buat orang yang tadinya kurang menggemari battle royale) hingga sistem ping revolusioner yang memungkinkan kita berkomunikasi tanpa perlu bicara langsung. Banyak orang juga terkejut pada kualitasnya. Dengan begitu kayanya konten serta nilai produksi tinggi, sebetulnya dapat dimaklumi jika Apex Legends disuguhkan sebagai produk berbayar. Nyatanya, ia adalah game free-to-play.
Keberhasilan Apex Legends menyegarkan kembali ranah battle royale yang mulai terasa jenuh adalah buah dari pengalaman sang studio dalam menggarap game. Bagi khalayak umum, Respawn Entertainment terkenal karena dua game Titanfall. Namun sebetulnya, kemahiran tim meramu shooter datang dari reputasi sang nahkoda, Vince Zampella yang telah berkiprah di industri sejak lebih dari 15 tahun silam. Nama Zampella sendiri sulit dipisahkan dari rekan seperjuangannya, Jason West.
Untuk mengetahui besarnya jasa Jason West dan Vince Zampella, kita harus mundur mengarungi lorong waktu lebih dari dua dekade ke belakang. Siapkan secangkir kopi jika perlu, karena ini akan jadi satu cerita yang panjang.
Awal mula
Saat itu tahun 1997. Sutradara Steven Spielberg baru saja merampungkan pengerjaan film Saving Private Ryan. Di rumah, ia melihat putranya sibuk menikmati GoldenEye 007 di Nintendo 64. Tema Perang Dunia kedua masih membekas di benaknya. Dan hal tersebut memberi sang sutradara ide: bagaimana jika latar belakang PD2 dituangkan dalam permainan video? Inilah momen lahirnya seri Medal of Honor.
Dalam melakukannya, didirikanlah sebuah studio bernama DreamWorks Interactive yang merupakan joint venture antara DreamWorks and Microsoft. Pengembangan Medal of Honor dilakukan selama kurang lebih dua tahun bersama produser Peter Hirschmann dan dibantu oleh Dale Dye sebagai penasehat militer. Di tahun 1999, Medal of Honor pertama dilepas untuk PlayStation, dipublikasikan oleh Electronic Arts.
Medal of Honor ternyata berahasil memukau gamer dan media. Penjualannya pun terbilang tinggi, sehingga memberi kepercayaan diri serta modal bagi DreamWorks Interactive untuk mengerjakan sekuelnya. Melihat adanya potensi besar menunggu di balik IP ini, EA membeli DreamWorks Interactive beberapa bulan sebelum permainan kedua di seri ini – Medal of Honor: Undergrounds – dilepas.
Untuk game ketiganya, Electronic Arts punya ambisi yang lebih besar. Mereka ingin meluncurkannya di lebih banyak sistem. Dalam penggarapannya, sang publisher menunjuk studio asal Amerika, 2015, Inc., mengandalkan Steven Spielberg buat menulis cerita dan mempercayakan dua orang developer sebagai ujung tombak proyek ini. Kedua talenta itu adalah para pahlawan kita, Vince Zampella dan Jason West.
Medal of Honor: Allied Assault merupakan game dengan skor tertinggi di franchise ini, mencetak angka 91 di situs agregat Metacritic, 91,05 persen di Game Rangkings, dan memenangkan beberapa penghargaan Game of the Year 2002. Dalam enam bulan selepas pendaratannya, permainan terjual lebih dari 900 ribu kopi dan menghasilkan pemasukan senilai US$ 34.2 juta. Jumlah yang tergolong banyak waktu itu.
Allied Assault ialah salah satu permainan shooter yang paling berkesan buat saya. Selain menyajikan perlengkapan dan kendaraan perang paling autentik di masanya, di sebuah level, untuk pertama kalinya sebuah game mampu mensimulasikan kacau dan mengerikannya pendaratan pasukan infantri Amerika di sektor Omaha, pantai Normandia, Perancis. Pengalamannya mirip seperti adegan pembuka di film Saving Private Ryan.
‘Panggilan tugas’ baru
Tapi cuma sampai di sana saja perjalanan Vince Zampella dan Jason West bersama Electronic Arts (setidaknya buat sementara waktu). Di tahun perilisan Medal of Honor: Allied Assult, kedua sahabat ini memutuskan untuk mendirikan studio baru bernama Infinity Ward. Di awal kelahirannya, Infinity Ward hanya diisi oleh 21 orang developer. Meski jumlah talentanya tidak banyak, mayoritas dari mereka ialah project lead Allied Assault.
Semangat PD2 masih bergelora di hati West dan Zampella. Mereka berambisi buat menggarap game shooter bertema perang dengan skala yang lebih besar serta lebih dramatis. Dibantu oleh Activision di sisi pendanaan, terperciklah konsep pembuatan Call of Duty. Game ini dirancang untuk membawa pemain merasakan versi virtual di sejumlah medan tempur di kawasan Atlantik dan melihat konflik dari perspektif berbeda lewat tiga opsi campaign; yaitu Amerika, Inggris dan Soviet.
Call of Duty dibangun menggunakan engine id Tech 3 yang menjadi basis Quake III: Arena. Tentu saja Infinity Ward juga manfaatkan beragam teknologi baru agar game lebih realistis, misalnya lewat sistem animasi skeletal ‘Ares’ agar gerakan tokoh-tokoh game terlihat nyata, serta melalui penerapan AI paling revolusioner saat itu. Kecerdasan buatan di sana mampu beradaptasi dengan lingkungan disekitarnya serta dibekali oleh teknologi pathfinding mutakhir.
Kombinasi dari semua itu memungkinkan para NPC yang jadi rekan Anda beraksi layaknya prajurit sejati. Mereka bisa membantu pemain dengan tembakan perlindungan, melompat melewati jendela, menyingkirkan penghalang, menyelinap mendekati lawan, hingga menghindari granat. Semuanya diintegrasikan dalam mode single-player. Ketika mayoritas shooter saat itu masih bersandar pada momen-momen ‘scripted‘, Call of Duty dapat memberikan pengalaman berbeda ketika Anda mengulang sebuah level.
Berbekal terobosan canggih ini, Call of Duty sukses menyabet berbagai penghargaan, termasuk memenangkan sejumlah gelar Game of the Year di 2003. Tapi, inovasi teknologi hanyalah satu dari banyak aspek yang diapresiasi gamer. Banyak pula di antara kritikus yang memuji komposisi musik serta desain suaranya.
Sehari setelah Call of Duty dirilis, Activision membeli seluruh aset Infinity Ward.
Bersama Activision
Activision melihat potensi besar bersembunyi di balik Call of Duty. Bermaksud memperluas konten game ini, sang publisher memerintahkan studio Gray Matter Interactive (waktu itu juga baru diakuisisi) buat mengerjakan expansion pack United Offensive. Di saat yang hampir bersamaan, mulai bermunculan rumor yang menyatakan bahwa Infinity Ward tengah menggarap sekuelnya.
Barulah pada bulan April 2005, Infinity Ward resmi mengumumkan Call of Duty 2. Zampella menjadi produser, lalu rekannya West diberi tanggung jawab sebagai sutradara. Di game kedua itu, mereka ingin perang terasa lebih autentik lagi, caranya ialah dengan mempertahankan elemen-elemen terbaik di Call of Duty serta memoles hal-hal yang dikeluhkan pemain. Tim bahkan menghabiskan sebagian besar waktunya mengunjungi lokasi pertempuran bersejarah untuk mendapatkan bayangan langsung mengenai konflik yang pernah terjadi di sana.
Detail merupakan aspek yang jadi perhatian utama Infinity Ward, mendorong studio untuk mengusung teknologi-teknologi paling mutakhir – baik dari sisi engine, visual maupun suara. Developer mengandalkan engine IW 2.0 buatan sendiri agar permainan mampu menampilkan efek partikel detail dan cuaca (badai pasir serta salju), lalu memberikan dukungan audio 5.1. Selanjutnya, tim mengembangkan efek post-war, sehingga meski kontak senjata telah berakhir, kita masih bisa melihat dampaknya pada medan tempur – seperti puing-puing yang berserakan hingga asap yang terus mengepul.
Gameplay-nya pun mendapat upgrade besar-besaran. Peta permainan dirancang lebih luas, dan pemain diperkenankan untuk mengerjakan misi dengan urutan yang mereka inginkan. AI juga bertambah canggih. Musuh dirancang agar aktif mengejar Anda, dan mampu bereaksi terhadap kehadiran karakter pemain secara berbeda saat letupan senjata pertama kali terdengar. Lawan yang berada jauh akan mencoba mengecek keadaan, sedangkan musuh yang mengetahui keberadaan Anda segera mencari perlindungan.
Bukan cuma lawan, tapi rekan-rekan Anda juga didesain agar beraksi secara cerdas. Setiap prajurit NPC yang bertempur di sisi Anda mampu memberi tahu di mana posisi lawan, dan akan berteriak panik jika mereka mengetahui ada musuh yang mencoba mengendap-endap ke tempat perlindungan Anda. Walaupun sedang menikmati mode single-player, Call of Duty 2 tidak membiarkan kita bermain ‘sendirian’.
Oh, sedikit trivia: Call of Duty 2 ialah salah satu game yang mempopulerkan pemakaian sistem regenerasi health, sehingga pemain tak perlu mengandalkan health pack untuk bertahan hidup.
Medan tempur modern
Kesuksesan Medal of Honor: Allied Assault dan Call of Duty mencetus kehadiran rentetan game berlatar Perang Dunia kedua. Activision sendiri tak mau buru-buru mengucapkan selamat tinggal pada konflik yang berlangsung antara tahun 1939 sampai 1945 itu, dan menugaskan Treyarch (studio yang mereka akuisisi di 2001) buat meracik Call of Duty 3. Berbeda dari dua game sebelumnya, Call of Duty 3 cuma disediakan untuk console.
Namun Infinity Ward menyadari, orang sudah mulai penat dengan PD2. Karena itulah, Jason West dan kawan-kawan tergelitik untuk membawa para pemain ke era baru: medan tempur modern. Dibantu tim berformasi seratus orang, dimulailah pengerjaan Call of Duty 4: Modern Warfare di tahun 2005, berlangsung sampai 2007.
Dalam prosesnya, developer bekerja sama dengan pihak Marinis AS untuk memberikan nasehat serta bantuan motion capture. Infinity Ward bahkan menghadiri sesi latihan Marinir di 29 Palms, buat membantu mereka memahami seperti apa rasanya berada di dekat tank M1 Abrams ketika sedang menembakkan peluru sabot. Tapi walaupun developer mengeker tingkat realisme tinggi, mereka tak mau narasi permainan punya kaitan dengan konflik di dunia nyata. Berbeda dari Call of Duty sebelumnya, Modern Warfare menyuguhkan kisah fiktif.
Selain single-player yang mengesankan, Modern Warfare turut dipuji karena mode multiplayer super-adiktif. Entah bagaimana caranya, Infinity Ward menemukan titik keseimbangan agar game bersahabat dengan para pemula tapi juga tetap sanggup memuaskan para veteran. Di sana, developer meminimalkan hal yang mengurangi keasikan ber-multiplayer, misalnya lewat menyajikan pilihan beragam senjata dari awal, sehingga waktu gamer tak terbuang hanya untuk mencari tipe pistol atau senapan tertentu.
Demi mendorong pemain buat meningkatkan kemampuannya, Modern Warfare memperkenalkan sistem kill streak: semakin banyak lawan yang Anda tumbangkan (tanpa gugur, tentu saja), maka kian tinggi pula penghargaan untuk Anda.
Lagi-lagi, karya Infinity Ward yang begitu inovatif ini memperoleh respons sangat positif dari khalayak. Kesuksesannya melahiran dua sekuel Modern Warfare serta menyulut demam ‘game perang modern’. Sejumlah publisher besar lain bahkan turut terbawa arus. Misalnya EA yang termotivasi untuk meramu spin-off Battlefield: Bad Company serta me-reboot franchise Medal of Honor di tahun 2010 – kali ini menyeret pemain ke perang Afganistan.
Tiga game Call of Duty: Modern Warfare boleh dikatakan sebagai trilogi game shooter tersukses sepanjang masa. Berdasarkan perhitungan kasar yang saya lakukan, jumlah penjualan ketiga permainan itu (per tahun 2013) minimal mencapai 64,9 juta kopi.
(Sebelum melanjutkan, saya berikan Anda kesempatan untuk membuat secangkir kopi lagi karena petualangan West dan Zampella masih cukup panjang.)
Perseteruan dengan Activision dan kelahiran Respawn Entertainment
Sayangnya, bahkan sebelum Modern Warfare 3 dirilis, semua orang sudah mengetahui gejolak di tubuh Infinity Ward. Di bulan Maret 2010, Activision melaporkan pemecatan dua developer seniornya, Vince Zampella dan Jason West, dengan alasan ‘pelanggaran kontrak dan pembangkangan perintah’. Agar Modern Warfare 3 bisa selesai tepat waktu, sang publisher menurunkan Sledgehammer Games dan Raven Software untuk membantu pengembangannya.
Sejak saat itu, dimulailah periode perseteruan yang berkepanjangan. Atas pemutusan hubungan kerja sepihak, Zampella dan West menggugat Activision, meminta mereka membayarkan uang senilai US$ 36 juta sebagai ganti rugi bonus yang tak pernah cair. Pihak Activision pun menuntut balik keduanya atas alasan percobaan ‘pembajakan’ tim Infinity Ward. Tidak jelas siapa yang akhirnya memenangkan perkara tersebut, atau apakah masalah ini benar-benar selesai, tapi kejadian itu menandai sebuah era baru bagi kedua pihak.
Tak lama setelah pemecatan itu, Zampella dan West segera mendirikan studio baru: Respawn Entertainment. Karena terbatasnya dana, keduanya mencoba menghimpun modal lewat program EA Partners. Kesepakatannya ialah sebagai berikut: Respawn berhak memegang franchise game yang mereka ciptakan di waktu ke depan, dengan syarat permainan dirilis di platform pilihan Electronic Arts.
Di pertengahan tahun 2010, 38 dari 46 mantan staf Infinity Ward memilih untuk bergabung ke Respawn.
Titanfall
Eksistensi Titanfall sempat di-tease oleh presiden EA Games Label Frank Gibeau di tahun 2011. Waktu itu, ia bilang bahwa Respawn sedang mengerjakan permainan shooter bertema fiksi ilmiah yang memungkinkan studio berkompetisi dengan seri Gears of War dan Halo. Namun baru di E3 2013 Titanfall resmi diumumkan. Dan di sana, gamer menjadi saksi bagaimana Respawn mencoba menggabungkan gameplay ala Call of Duty dengan pertempuran berbasis robot raksasa.
Hingga kini, hampir tidak ada yang bisa menandingi keunikan Titanfall. Game menghidangkan aksi tembak menembak bertempo cepat, dipadu parkour dan kejar-kejaran seru, serta partisipasi mecha ala MechWarrior. Hal paling brilian dari Titanfall adalah, para ‘pilot’ tidak pernah tak berdaya ketika berhadapan dengan robot raksasa. Berbekal manuver lincah, kerja sama, serta taktik yang tepat, sangat mungkin bagi pilot tanpa Titan menundukkan mecha lawan.
Sayang sekali, minimnya modal memang memengaruhi konten. Respawn pada akhirnya tak pernah berkesempatan untuk membubuhkan mode single-player. Sebagai jalan keluarnya, mereka mengintegrasikan campaign di multiplayer. Narasi disajikan lewat sesi intro sebelum pertandingan dimulai, serta melalui cutscene via jendela kecil saat match masih berlangsung. Tentu saja metode ini tidak optimal buat menyampaikan cerita, dan tak semua orang menyukainya. Saya baru benar-benar paham soal apa yang terjadi setelah menamatkannya sebanyak enam kali.
Walaupun gamer mengapresiasi keputusan Respawn untuk tidak menyertakan microtransaction, developer salah langkah dalam menyajikan add-on serta season pass. Akibat dari sulitnya membeli DLC dan hanya sejumput orang yang memiliki Deluxe Edition, komunitas jadi terbagi dua. Masalah ini menggerus populasi pemain, dan Respawn akhirnya tergerak buat menggratiskan seluruh konten tambahan yang pernah mereka rilis. Sebuah langkah yang dipuji gamer, tapi juga mengesalkan para pemilik Deluxe Edition. Kata mereka, “Buat apa kami beli versi deluxe mahal-mahal?”
Terlepas dari sejumlah kekurangannya, mayoritas media dan gamer tetap mengakui bahwa Titanfall merupakan sebuah terobosan di segmen first-person shooter. Fitur seperti wall-running (kemampuan pilot untuk berlari di tembok) bahkan diadopsi oleh Treyarch di Call of Duty: Black Ops III serta studio lama Zampella dan West, Infinity Ward di Call of Duty: Infinite Warfare. Berdasarkan data IGN, Respawn berhasil menjual 10 juta kopi permainan di bulan Oktober 2015 – meski informasinya tak pernah dikonfirmasi oleh pihak EA.
Respawn banyak belajar dari pengalaman itu, dan mereka terlihat bersemangat untuk terus mengekspansi franchise Titanfall ke lebih banyak platform hiburan. Setelah mengonfirmasi pengembangan sekuelnya, developer juga mengabarkan kolaborasi bersama Nexon buat menciptakan sejumlah spin-off, di antaranya permainan card battle mobile bertajuk Titanfall: Frontline dan Titanfall Online yang disajikan secara gratis khusus di wilayah Asia.
Namun karena alasan berubahnya iklim industri game online, pengerjaan dua spin-off itu dibatalkan. Berita baiknya, waktu yang dihabiskan Respawn bermitra dengan studio dan publisher lain tidak sepenuhnya terbuang sia-sia. Developer sempat meluncurkan permainan real-time strategy Titanfall: Assault di Android serta iOS.
Kepergian Jason West
Setiap cerita pasti ada akhirnya, dan begitu pula kolaborasi dua developer shooter legendaris ini. Pada bulan Maret 2013 – di bulan yang sama Titanfall meluncur – Zampella membenarkan pengunduran diri rekan seperjuangannya itu. Menurut keterangannya, Jason West pensiun dari ranah pengembangan permainan video karena ingin mengurus keluarga. Mereka berpisah tanpa masalah, meski ada desas-desus yang menyatakan sebaliknya.
Terkait hal ini, saya memilih untuk membayangkan kedua sahabat itu mengucapkan selamat tinggal sambil melambaikan tangan, dengan Zampella menyaksikan West berjalan ke arah matahari terbenam.
Titanfall 2 dan berakhirnya status ‘indie’ Respawn
Belajar banyak dari pengalaman sebelumnya, Respawn bersungguh-sungguh untuk menambal segala kekurangan di Titanfall dan menyuguhkan game keduanya sesempurna mungkin. Titanfall yang cukup sukses secara finansial memberikan studio modal serta kemampuan untuk menyewa tenaga kerja lebih banyak. Vince Zampella menyerahkan pucuk kepemimpinan proyek pada sutradara Steve Fukuda. Ia bertanggung jawab atas tim berisi 90 orang.
Pengerjaan Titanfall 2 dimulai tahun 2014. Dengan menargetkan jendela rilis antara 2016 sampai 2017, Respawn bertekad menghidangkannya sebagai ‘game kelas blockbuster tulen’ yang dilengkapi campaign single-player dan mode multiplayer terpisah. Fukuda membebaskan tim untuk bereksperimen serta menciptakan beberapa purwarupa sebelum masuk pada tahap pembuatan cerita. Penyusunan ceritanya sendiri terinspirasi dari film-film bertema buddy cop seperti Lethal Weapon dan Beverly Hills Cop, serta anime Gargantia on the Verdurous Planet.
Hampir semua orang memuji campaign Titanfall 2. Walaupun durasinya tidak terlalu lama, petualangan di sana terasa beragam dan tak membosankan. Permainan menyuguhkan aksi baku tembak, pertempuran robot, puzzle, dan momen-momen hening yang esensial untuk penyampaian cerita secara seimbang. Variasi dan pengalaman berbeda di sana membuat para gamer veteran membanding-bandingkannya dengan Half-Life. Level favorit saya pribadi bernama Effect and Cause, melibatkan aksi di dua garis waktu berbeda.
Lagi-lagi waktunya trivia! Huruf BT di nama robot BT-7274, yang jadi rekan seperjuangan pilot Jack Cooper merupakan singkatan dari ‘Buddy Titan’. Nama ini dicemooh oleh tim, tapi Steve Fukuda bersikeras untuk mempertahankannya.
Untuk multiplayer, studio telah mengidentifikasi dua masalah besar di Titanfall pertama: game terasa terlalu kacau, kemudian kontennya belum cukup banyak untuk memuaskan pemain. Sebagai jalan keluar kendala pertama, Respawn memperlambat tempo permainan demi memberikan waktu lebih banyak pada gamer dalam membuat keputusan sehingga mereka tak hanya sekadar mengandalkan refleks. Solusi problem kedua ialah dengan melepas seluruh konten pasca rilis secara gratis.
Saat meluncur, Titanfall 2 mendapatkan apresiasi dari berbagai pihak – baik gamer, sesama developer serta media. Ia masuk dalam sejumlah daftar nominasi Game of the Year, serta membawa pulang banyak sekali penghargaan ‘game shooter terbaik’ di 2016. Tetapi Dewi Fortuna ternyata belum berpihak pada Zampella, Fukuda dan rekan-rekan. Karena waktu perilisannya diapit oleh Battlefield 1 dan Call of Duty: Infinite Warfare, penjualan Titanfall 2 tidak sebaik yang Respawn harapkan.
Walaupun sama sekali belum bisa dibuktikan, banyak orang menduga langkah ini merupakan kesengajaan dari pihak EA selaku publisher. Para fans menuduh Electronic Arts ‘menyabotase’ peluncuran Titanfall 2 untuk melemahkan Respawn dari sisi keuangan, sehingga dapat lebih mudah diambil alih. Dan yang ditakutkan akhirnya terjadi. Di bulan November 2017, EA mengakuisisi Respawn senilai US$ 400 juta.
Berbicara kepada VentureBeat, Zampella menjelaskan alasan mereka setuju untuk jadi bagian dari EA: karena studio membutuhkan sumber daya lebih banyak demi menciptakan permainan yang lebih besar.
Respawn masa kini dan masa depan
Ada keheningan panjang yang cukup mengkhawatirkan sesudah pengambil-alihan oleh EA. Sejak momen itu, tim berhenti memberikan update buat Titanfall 2, menyebabkan populasi pemainnya menyusut. Lalu status proyek lain yang tengah mereka kerjakan – contohnya game shooter VR untuk Oculus Rift serta permainan petualangan di jagat Star Wars – juga lama tak terdengar. Baru di E3 2018, ketika Zampella duduk di tengah kerumunan penonton, sang CEO mengungkap judul game Star Wars anyar tersebut, Jedi: Fallen Order.
Kira-kira tujuh bulan selepas pengumuman Star Wars Jedi: Fallen Order, Respawn Entertainment kembali menyingkap kejutan. Setelah menjaga ketat status pengembangannya, developer secara tiba-tiba mengumumkan dan meluncurkan Apex Legends. Respawn mengakui, ide penggarapannya disulut oleh PUBG yang sukses mengangkat ketenaran genre battle royale. Sejak saat itu, tim mulai berdiskusi serta melakukan pengujian buat menggabungkan konsep Titanfall dan struktur last man standing.
Respawn menyadari, gagasan ini ternyata sangat menarik, tetapi tentu saja developer tidak bisa menyertakan Titan di sana karena akan sangat merugikan pemain yang tak memilikinya. Selain itu, studio ingin agar permainan tersebut dalam waktu singkat mampu merangkul gamer sebanyak-banyaknya dan memanfaatkan sistem monetisasi yang menguntungkan developer di waktu ke depan tanpa merusak keseimbangan. Akhirnya, dipilihlah penyajian free-to-play dengan in-app purchase yang menawarkan item-item kosmetik.
Apex Legends merupakan spin-off sekaligus ekspansi dunia Titanfall. Game di-setting 30 tahun setelah kejadian di Titanfall 2 usai. Kata Apex diambil dari nama faksi tentara bayaran di game keduanya, Apex Predators. Dan jika Anda teliti, sesi intro permainan dinarasikan oleh Blisk, tokoh antagonis pemimpin Apex Predators asal Afrika Selatan yang berhasil melarikan diri di akhir Titanfall 2.
Lalu bagaimana dengan Titanfall 3? Inilah pertanyaan yang banyak diajukan para penggemarnya. Mereka cemas kesuksesan Apex Legends akan menunda atau malah menghentikan pengerjaan permainan ketiga seri shooter tersebut. Tak usah galau. Via tweet di tanggal 5 Februari kemarin, Vince Zampella menyampaikan bahwa timnya sedang menggodok proyek lain terkait jagat Titanfall, akan disingkap di tahun ini juga.
Tons of things planned for @PlayApex in the future. We are also committed to listening to player feedback.
We are also working on more Titanfall for later in the year (yes, I said the T word). We love being able to experiment in this crazy universe!
Mari kita berdoa sesuai kepercayaan masing-masing agar proyek itu adalah Titanfall 3…
–
Catatan: Gambar-gambar diambil dari material promo dan sumber resmi lain, di antaranya situs official game, Steam dan EA Origin. Foto Vince Zampella dan Jason West berasal dari artikel Eurogamer.
Keberhasilan Apex Legends merangkul begitu banyak pemain seolah-olah melunasi kurang memuaskannya penjualan Titanfall 2. Game baru Respawn Entertainment itu memberi banyak solusi atas keluhan pemain terhadap battle royale (misalnya lewat sistem ping) serta bisa berperan sebagai gerbang masuk mereka yang tadinya kurang familer dengan genre last man standing.
Sejauh ini, perjalanan Apex Legends terlihat begitu mulus. Hanya dalam tiga hari setelah perilisan, game FPS battle royale ini sukses mengumpulkan 10 juta pemain. Hari ini, Apex Legends menginjak usia tujuh hari, dan lagi-lagi ia mencetak rekor baru. CEO Respawn Vince Zampella mengabarkan bahwa kreasi timnya itu dimainkan oleh lebih dari 25 juta gamer, dengan total concurrent player (artinya game diakses berbarengan) mencapai 2 juta jiwa.
Selama seminggu ini, developer terus mendengar masukan, saran serta ide-ide baru pemain. Demi memastikan Apex Legends berumur panjang, mereka berniat untuk membangun konten game bersama komunitas. Meski demikian, Respawn tidak bisa mengungkap seluruh rencana mereka, namun developer sudah menyiapkan sejumlah agenda yang akan mereka eksekusi dalam waktu dekat.
Seperti Fortnite, Respawn akan menerapkan update musiman pada Apex Legends. Update ‘musim pertama’ akan meluncur di bulan Maret besok, bersamaan dengan pengenalan Battle Pass, serta sejumlah Legends (karakter), senjata, dan item baru. Selain itu, Respawn juga sudah siap merayakan Valentine bersama para gamer Apex Legends melalui loot serta pernak-pernik bertema Hari Kasih Sayang.
Di hari ini, tanggal 12 Februari, developer akan melangsungkan Rivals Apex Legends Challenge yang disponsori oleh Twitch. Rivals Apex Legends Challenge adalah turnamen ‘kecil-kecilan’ yang diikuti oleh 48 streamer paling terkenal. Pertandingan tentu saja dapat Anda saksikan langsung di situs live streaming game populer itu, via channel resmi Apex Legends. Babak selanjutnya akan dilangsungkan minggu depan, tanggal 19 Februari.
“Mewakilkan setiap orang yang bekerja di Respawn, saya ucapkan terima kasih,” Kata Zampella. “Semangat dan kegembiraan komunitas terhadap Apex Legends sangat memukau, dan kami di studio merasakannya dengan jelas. Kami tidak bisa mencapai semua itu tanpa dukungan Anda, dan saya berharap Anda akan terus bersama kami dalam perjalanan ini.”
Apex Legends ialah game selingan jika saya mulai merasa penat dengan Resident Evil 2 dan Red Dead Online. Belakangan, Apex juga mendorong saya untuk kembali menikmati mode multiplayer Titanfall 2, serta membuat saya menyadari kontribusi besar Respawn pada genre shooter.
Sejak E3 2018 berlangsung, studio pencipta Titanfall tak malu-malu lagi mengungkap apa yang tengah mereka kerjakan. Sang CEO Vince Zampella telah mengonfirmasi eksistensi dari Star Wars Jedi: Fallen Order. Kemudian di bulan Desember kemarin, mereka membuka lowongan pekerjaan di posisi Senior Technical Animator untuk proyek yang berkaitan dengan franchise Titanfall.
Ketika itu, saya sempat mempertanyakan apakah dalam menggarap sekuelnya, Respawn akan mempertahankan tradisi game shooter tersebut atau mereka malah bereksperiman dengan mode multiplayer populer – misalnya battle royale. Jawabannya ternyata adalah iya dan tidak. Di akhir minggu kemarin, mulai beredar rumor di Twitter mengenai permainan anyar Respawn yang akan tersedia sebelum Titanfall 3 tiba. Tak lama, Zampella dan Geoff Keighley (host sekaligus produser acara The Game Awards) mengumumkan judulnya: Apex Legends.
Berdasarkan info dari bocoran-bocoran itu, Apex Legends merupakan game battle royale free-to-play yang menyajikan arena tempur untuk 60 pemain. Aspek unik dari Apex Legends adalah, kemungkinan game akan mengusung latar belakang dunia Titanfall tanpa menyertai robot-robot mecha Titan. Langkah tersebut tampaknya ialah realisasi dari keinginan Respawn buat memperluas jagat Titanfall (meski kita belum mendengar soal kelanjutan pengembangan serial TV-nya).
Kepada Kotaku, seorang informan menyampaikan bahwa gameplay Apex Legends bisa diibaratkan seperti perpaduan antara Titanfall, Overwatch dan mode Blackout di Call of Duty: Black Ops 4. Pemain disodorkan pilihan karakter berbeda, masing-masing memiliki kemampuan ‘super. Anda dapat berpartisipasi di medan tempur seorang diri, atau dalam tim berisi tiga pemain.
Looks like everything is unlocked now? Fun.
So, if you like Respawn, our games or even me, you should tune in tomorrow. Our stream starts at 8am pt and we’ll tell you everything about Apex Legends. Everything. https://t.co/P0Svi1h5VS
Developer berencana untuk melepas Apex Legends di tiga platform, yaitu PC, Xbox One dan PlayStation. Segala detail mengenainya akan disingkap dalam acara live stream via channelPlay Apex di Twitch setelah Super Bowl berakhir, tepatnya pada tanggal 4 Februari jam 8:00 pagi waktu Pasifik, atau pukul 23:00 malam WIB. Channel Play Apex sendiri baru Respawn luncurkan, dan walaupun saat artikel ini ditulis statusnya masih offline, belasan ribu gamer sudah mulai mengawasinya.
Tingginya minat terhadap Apex Legends terbilang menarik. Titanfall 2 memang berhasil memenangkan sejumlah penghargaan di 2016 berkat kombinasi aspek multiplayer adiktif dan single-player unik, tapi karena waktu perilisannya diapit oleh Battlefield 1 dan Call of Duty: Infinite Warfare, penjualannya tidak setinggi harapan Respawn. Update buat permainan berakhir pada Desember 2017, sebulan sesudah developer diketahui diakuisisi oleh Electronic Arts.
Kolaborasi antara Electronic Arts dengan Respawn Entertainment sudah dimulai sejak Vince Zampella dan Jason West mendirikan studio itu tujuh tahun lalu. Waktu itu, sang publisher setuju membantu pendanaannya lewat program EA Partners, memungkinkan Respawn tetap memiliki hak atas kekayaan-kekayaan intelektual yang developer ciptakan. Namun hal itu baru saja berubah.
Kepada VentureBeat, EA mengungkap rencana untuk mengakuisisi studio pencipta Titanfall tersebut. Jumlah uang yang mereka keluarkan juga tidak sedikit, kabarnya melampaui US$ 400 juta. Dengan merangkul Repawn, EA menambah lagi satu lagi franchise permainan blockbuster di bawah kendalinya, setelah sebelumnya mengamankan Battlefield melalui pembelian studio DICE (tahun 2006) dan memperoleh izin publikasi game-game Star Wars dari Disney.
US$ 400 juta merupakan angka yang sangat besar, terdiri atas uang tunai US$ 151 juta, saham jangka panjang sebesar US$ 164 juta, ditambah lagi peluang bonus US$ 140 juta jika Respawn berhasil mencapai target insentif (disebut earnout). Itu berarti seandainya bisnis kedua perusahaan berjalan lancar, Respawn Entertainment dapat mengantongi pemasukan senilai kurang lebih US$ 455 juta.
Langkah akuisisi ini juga menyadarkan kita pertaruhan besar yang dilakukan oleh publisher dan developer di industri senilai US$ 108 miliar itu. Banyak orang tadinya berpikir, Respawn bisa tetap berkiprah di ranah ini sebagai studio independen.
Dalam interview bersama GamesBeat, CEO Respawn Vince Zampella menyampaikan, “Kami sudah bekerja bersama cukup lama, dimulai dari dibentuknya studio ini. Akuisisi sering terjadi. Pertanyaannya ialah, dalam kiprah di industri ini, apa yang bisa kami lakukan untuk menciptakan game yang lebih besar dan lebih baik. Dan kami melihat kebutuhan akan dukungan sumber daya buat memenuhi target itu.”
Patrick Soderlund selaku executive vice president EA juga mengutarakan pendapat senada, “Kami ingin mengembangkan permainan-permainan terbaik, dan sejauh ini, perusahaan juga telah menjalin hubungan saling menguntungkan. Kami tetap memberikan developer kebebasan serta integritas dalam berkreasi, baik untuk DICE, BioWare, dan studio-studio lainnya. Itulah alasannya mereka terus menghasilkan game-game berkualitas.”
Bersamaan dengan kabar ini, EA dan Respawn juga resmi mengumumkan bahwa mereka sedang mengembangkan game Titanfall baru. Saat ini, Respawn tengah mengerjakan proyek Star Wars dan permainan VR bersama Oculus.
Pengumuman ini tidak seluruhnya mendapatkan respons positif dari gamer. Alasannya: EA telah menutup banyak studio yang mereka miliki, dari mulai Westwood sampai Maxis – dan terakhir adalah Visceral Games, developer pencipta Dead Space.
Tak banyak orang menyadari, sentuhan tangan Vince Zampella dan Jason West-lah yang membuat sejumlah game shooter memperoleh status legendaris. Kedua individu ini berjasa mendesain Medal of Honor: Allied Assault serta melambungkan kepopularitasan Call of Duty. Perseteruan keduanya dengan Activision berujung pada pengunduran diri dan terciptanya Respawn Entertainment.
Jason West akhirnya pensiun dari industri game pada tahun 2013, tapi semangatnya tetap diteruskan oleh sang rekan. Kreasi terbaru Respawn menjadi salah satu permainan action terbaik tahun lalu, dan kesuksesan tersebut membuat studio ini diberi kepercayaan untuk menggarap game Star Wars. Namun ternyata proyek mereka tak cuma itu saja, Respawn juga digandeng Oculus Studios untuk mengerjakan sebuah permainan ‘super rahasia’.
Hal tersebut disampaikan oleh game director Peter Hirschmann di blog resmi Respawn, dibarengi penyingkapan video berisi visi serta penjelasan mengapa mereka memutuskan untuk masuk ke ranah virtual reality. Developer turut mengabarkan bahwa proyek itu betul-betul baru, tak berhubungan dengan franchise Titanfall ataupun Star Wars.
Di video, Vince Zampella menjelaskan bahwa kreasi anyar tersebut merupakan ekspansi dari pengalaman yang developer suguhkan dalam Titanfall. Di gameshooter ini, pemain tak hanya harus berpikir bagaimana caranya mengapit posisi lawan secara horisontal, tapi juga mendorong gamer untuk mengawasi area atas dan bawah mereka. Elemen inilah yang diangkat oleh Respawn di permaian VR itu nantinya.
Meskipun Respawn belum mengonfirmasikan judul serta seperti apa konten game baru tersebut, di video, Zampella banyak membahas pengalaman pertempuran dalam sudut pandang orang pertama, dan upaya studio menerjemahkan apa yang dirasakan para prajurit di medan perang serta menciptakannya serealistis mungkin melalui virtual reality – contohnya faktor ketegangan, rasa takut, paranoia, dan amarah. Developer mengakui ambisi mereka untuk menggarap game yang bisa memberikan dampak besar bagi industri.
Menurut Respawn, virtual reality dapat membantu developer menyampaikan emosi ke pemain, karena layaknya simulasi, sistem ini seolah-olah membawa kita ke dunianya. Konten yang sudah ratusan kali Anda lihat di depan monitor akan jadi berbeda saat dinikmati dari headset VR, apalagi sensasi ‘immersion‘ itu disempurnakan oleh aktivitas seperti berjalan atau mengarahkan senjata secara alami – tak lagi menggunakan mouse.
Penasaran? Sayang sekali tampaknya kita harus menunggu cukup lama hingga game diumumkan secara resmi. Pengerjaannya baru saja dimulai, dan kemungkinan baru akan diluncurkan pada tahun 2019.
Sebagai dua judul besar dari publisher ternama, banyak orang mengomparasi Call of Duty: Infinite Warfare dengan Battlefield 1. Tapi melihat penyajiannya, kompetitor utama Infinite Warfare sebetulnya bukanlah game berlatar belakang Perang Dunia 1 itu, melainkan sekuel permainan bertema futuristis garapan Respawn yang menyuguhkan pertempuran robot raksasa: Titanfall 2.
Minggu lalu, Respawn Entertainment menyingkap sejumlah informasi penting terkait mode singleplayerTitanfall 2, dan kita juga sudah mengetahui agenda developer untuk melangsungkan tahap uji coba multiplayer. Sayang ada kabar buruk bagi mereka yang berencana menikmati sesi beta di PC. Lewat blog resmi, CEO Vince Zampella menyampaikan bahwa multiplayer beta hanya bisa dinikmati oleh gamer console Xbox One dan PlayStation 4 saja.
Respawn mengerti kabar ini menyebabkan banyak gamer kecewa, namun mereka punya alasan kuat mengapa mengambil keputusan tersebut. Bagi developer, tes beta ditujukan untuk kebutuhan teknis: mengetahui seberapa kuat server mereka dan membuktikan kapasitasnya dapat ditingkatkan. Meski melangsungkan uji coba di semua sistem memberi developer ketenangan, backend server Titanfall 2 disiapkan per platform. Artinya, Respawn sebetulnya cukup menguji game di satu platform saja.
Tapi mengapa developer memilih console ketimbang PC? Zampella menjelaskan, ada dua kendala besar di PC, dilihat dari perspektif pengembang: keberagaman susunan komponen dan adanya batas spesifikasi minimal. Saat ini Respawn masih memoles dan menerapkan bermacam-macam perubahan, pada permainan serta grafis, dan mereka belum menjalankan tes kompatibilitas hardware – contohnya kartu grafis, CPU, dan lain-lain. Respawn juga belum menentukan standar spesifikasi hardware minimal.
Developer mengakui, Titanfall 2 PC belum sesiap versi console-nya, disebabkan oleh banyaknya variabel serta konfigurasi lain yang perlu mereka dukung. Argumen tersebut masuk akal. Mayoritas pengembang game multi-platform biasanya meluncurkan versi PC paling terakhir karena butuh waktu buat memoles permainan.
Respawn juga cemas pada kebocoran informasi mengenai mode singleplayer di tangan para ‘data miner‘, “Singleplayer menyimpan rahasia yang ingin kami jaga hingga hari perilisan Titanfall 2 nanti.”
“Kami sadar hal ini membuat para fans di PC kecewa, namun kami rasa cara ini memberikan tim kesempatan untuk berkonsentrasi ke tujuan utama tes teknis dan fokus pada skalabilitas dan kapasitas server,” tutur Vince Zampella. “Jangan cemas, kami percaya diri mampu menyajikan pengalaman bermain yang istimewa di platform PC.”
Dari tweet sang CEO, ada indikasi masa multiplayerbeta Titanfall 2 akan dimulai sebentar lagi.