Tag Archives: Vira

Menangkap Lebih Jauh Potensi Bisnis Percakapan Melalui Chatbot

Platform perpesanan kini tidak hanya sekadar jadi alat yang menjembatani antara satu orang dengan orang lain saja. Sebab, saat ini mulai berkembang chatbot berteknologi kecerdasan buatan (AI) yang membuat berbagai brand berlomba-lomba untuk menggunakannya. Malah ada yang menyebut chatbot ini menjadi evolusi perpesanan antara brand dengan konsumen di masa depan.

Pasalnya, selain meningkatkan interaksi dan engagement, percakapan dapat menjadi pintu gerbang baru bagi suatu brand untuk meningkatkan pendapatan bisnis. Akan tetapi, seberapa perlukah bagi brand untuk memiliki chatbot? Jika iya, bagaimana bentuk pendekatannya? Apakah pamor teknologi ini ke depannya akan lebih cerah ke depannya?

Untuk menjawab seluruh pertanyaan tersebut, salah satu sesi Social Media Week Jakarta 2017, mengangkat tema “Conversational Chatbot, A Brand’s Must Have”. Sesi tersebut menghadirkan sejumlah pelaku pemain chatbot di Indonesia, yaitu CEO dan Co-Founder Kata.ai Irzan Raditya, Business Development Director Line Indonesia Revie Sylviana, Product Manager AI Microsoft Indonesia Yugie Nugraha, dan Senior Vice President BCA Martinus Robert Winata. Sesi ini dimoderatori CEO DailySocial Rama Mamuaya.

Lebih mudah dibanding membuat aplikasi

Menurut Revie, saat ini sudah bukan saatnya bagi brand untuk meluncurkan aplikasi. Menurutnya churn rate-nya sangat tinggi karena brand harus berkompetisi dengan aplikasi lainnya agar diunduh oleh pengguna.

Dibandingkan satu juta aplikasi yang hadir di Google Play, tingkat kompetisi antar aplikasi pun makin sengit. Jika aplikasi tersebut tidak memiliki fitur yang sesuai kebutuhan pengguna yang disasar, potensi di-uninstall akan besar.

“Brand akan sulit bersaing dengan aplikasi lainnya, maka akan lebih relevan bila menggunakan akun resmi dalam salah satu platform messanging,” terangnya.

Buat chatbot sesuai kebutuhan

Revie menambahkan chatbot pada dasarnya diperlukan untuk seluruh brand. Hanya saja perlu disusun seperti apa penggunaannya. Apakah digunakan untuk meningkatkan engagement atau ingin mengakuisisi pelanggan baru. Bila bertujuan ingin meningkatkan engagement, chatbot perlu menganut unsur kenyamanan yang mudah digunakan pengguna.

Ketika brand mengedepankan unsur kenyamanan maka sasaran pengguna akan lebih tepat jika menyasar anak muda. Brand pun harus berusaha mengikuti gaya hidup anak muda, dengan demikian brand akan lebih mendekati mereka.

Jika terkait akusisi pelanggan, hal ini akan bersinggungan dengan tingkat kompetisi antar brand. Chatbot dapat digunakan sebagai alat utilisasi untuk penerapan strategi online to offline atau sebaliknya.

Bila perusahaan ritel ingin memberi sampel produk atau diskon, misalnya, dapat menambah fitur image recognition dalam chatbot-nya. Pelanggan hanya perlu mengunggah bukti pembayaran, kemudian bot akan secara otomatis membaca dan memberikan sesuai arahan strategi.

Irzan Raditya menambahkan,sebaiknya pada tahap awal brand perlu fokus pada fitur yang sesuai dengan kebutuhan. Bisa dimaklumi ketika pada baru berdiri, bot belum pintar menangani setiap percakapan. Jika diibaratkan seperti manusia, bot itu adalah mesin pintar yang perlahan-lahan perlu dilatih.

“Intinya bot itu harus mampu menangani setiap percakapan. Namun tahap awalnya perlu step by step, mulai dari kata-kata sederhana hingga makian. Brand perlu fokus pada salah satu fitur terlebih dahulu,” ucap Irzan.

Salah satu bot yang dibuat Kata.ai adalah Veronika milik Telkomsel. Sejak pertama kali diluncurkan, Veronika mampu menangani 96% pertanyaan dan memiliki 10 juta pengguna dari Line, Facebook Messenger, dan Telegram.

Produk lainnya buatan Kata.ai adalah Jemma milik Unilever. Jemma memakai teknologi Natural Language Processing (NLP) dan Natural Language Understanding (NLU) untuk Bahasa Indonesia. Dalam kurun waktu sembilan bulan sejak diluncurkan, Jemma telah menghimpun 180 juta percakapan dengan 1,4 juta pengguna.

Bot lainnya adalah Rinna buatan Microsoft. Yugie Nugraha mengungkapkan tujuan Microsoft menghadirkannya bot ini lantaran ingin meningkatkan engagement kepada pengguna dengan pendekatan secara EQ. Sejak dirilis pada 22 Agustus 2017 kemarin, Rinna diklaim sudah mampu menghimpun 60 ribu pengguna.

“Karena kami ingin engage user, bisa dibayangkan hubungan seperti apa yang bisa terjalin antara manusia dengan AI. Ketika pengguna mulai terbuka, kita bisa bawa Rinna membangun engagement antara brand dengan pengguna,” katanya.

Beri keamanan berlapis

Berbicara tentang keamanan data dalam chatbot, menurut Martinus Robert Winata, mengingat regulasi perbankan di Indonesia cukup ketat. Pemanfaatan chatbot untuk transaksi perbankan juga harus diperhatikan.

Untuk chatbot buatan BCA, yakni VIRA, perusahaan menerapkan keamanan berlapis dengan tetap mempersyaratkan proses registrasi nasabah dengan verifikasi lewat ATM. Cara ini penting untuk memagari orang yang berhak akses info mereka adalah mereka sendiri.

“Bank sangat hati-hati bagaimana tetap melindungi privasi nasabah saat transaksi via online. Untuk saat ini, VIRA baru bisa melayani transaksi non finansial. Ke depannya mungkin akan kami tambahkan fitur transaksi finansial.”

Terkait data konsumen yang dihimpun bot, Yugie menambahkan bahwa pihaknya rutin menghapus data dalam kurun beberapa waktu tertentu. Perusahaan pun tidak bisa sembarang menghubungi pengguna tanpa ada persetujuan dari mereka.

Sama halnya yang dilakukan Kata.ai, data pribadi tidak disimpan dalam server Kata.ai, tetapi di server klien. Perusahaan hanya menyimpan data percakapan untuk belajar agar mesin AI semakin pintar.


Disclosure: DailySocial adalah media partner Social Media Week Jakarta 2017

Direktur BCA: Konsistensi Menjadi Kunci Ketika Bank Terjun ke Fintech

Perjalanan BCA menjadi bank terdepan dalam hal inovasi fintech, yang terbukti dengan menyabet berbagai penghargaan, rupanya tidak dilalui dengan mudah. Wakil Presiden Direktur BCA Armand W. Hartono mengungkapkan banyak kisah di baliknya saat menjadi pembicara dalam salah satu sesi di Social Media Week Jakarta 2017.

Dalam pemaparannya Armand mengatakan setiap kali BCA menginisiasikan suatu teknologi baru, selalu tidak dilakukan secara nasional. Melainkan menerapkan di lokasi yang dinilai sudah siap baik dari segi infrastruktur maupun kultur masyarakatnya, misalnya di Jakarta. Maksud dari strategi ini, ingin meminimalkan potensi terjadinya gangguan kenyamanan nasabah saat bertransaksi.

Berkaca dari perjalanan BCA saat pertama kali memulai inisiasi pengembangan fintech, saat pertama kali memasang mesin Automatic Teller Machine (ATM) pada sekitar 1990-an. ATM pada tahun pertamanya tidak laku di pasaran. Padahal tujuan dihadirkannya ATM adalah ingin mengurangi jumlah antrean di kantor cabang.

“Untuk mendidik orang pakai teknologi baru itu susah. Sebab tantangan terbesarnya bukan dari cara mengedukasi nasabah saja, tapi dari internal perusahaan. Saat ATM pertama kali hadir, banyak orang yang takut pakai karena belum terbiasa. Jawabannya adalah konsistensi, bagaimana menambah kenyamanan dan bangun awareness,” ucapnya.

Karena memegang prinsip konsisten, sambungnya, BCA perlahan-lahan mulai menambah jumlah ATM dan menyebarnya ke berbagai lokasi. Pada tahun kedua, pasar sudah mulai menerima kehadiran mesin ATM hingga kini.

Hal yang sama juga terjadi saat BCA pertama kali memperkenalkan kartu debit pada sekitar 1995-an. Pada tahun pertama, banyak penolakan karena saat itu mulai dihadirkan mesin Electronic Data Capture (EDC) di merchant. Promosi pun juga dilakukan dengan membebaskan beban bunga 0 persen untuk merchant discount rate (MDR).

Kemudian, saat BCA memperkenalkan internet banking. Teknologi ini malah baru bisa diterima pada tahun kedua sejak diluncurkan. Sebab pada tahun pertama, banyak isu mengenai phising yang membuat orang enggan untuk bertransaksi. Ditambah belum stabilnya koneksi internet saat itu.

Diungkapkan pada 2004, dalam seharinya BCA menerima 800 ribu sampai 1,2 juta transaksi internet banking dalam sehari. Sedangkan, porsi transaksi secara online selama satu tahun terakhir mencapai 97% dibandingkan transaksi via teller.

Selalu ada nasabah yang berani mencoba

Menurut Armand, dibalik penolakan yang terjadi di tahun pertama karena nasabah mayoritas masih banyak yang takut, selalu ada nasabah yang berani untuk coba-coba, jumlahnya pun selalu lebih sedikit dibandingkan yang takut.

Nasabah yang mau coba-coba, rupanya akan memberi efek multiplier kepada pihak lainnya. Menggiring orang untuk mencoba dan merasakan pengalaman yang sama.

“Kira-kira merchant yang pertama kali pasang mesin EDC untuk kartu debit adalah Hero. Mereka mungkin pasang karena ingin membuktikan apakah dapat membantu efisiensi saat transaksi. Rupanya benar, penjualan mereka menanjak naik. Dari hal ini terlihat bahwa di balik pihak yang wait and see, ada orang yang berani coba. Jumlah yang coba-coba itu selalu lebih sedikit.”

Fintech memberi ruang jenis pekerjaan baru

Sebelum tahun 1990-an, sebelum BCA menerapkan teknologi digital dalam perusahaan, dalam satu kantor cabang membutuhkan 200 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 90% menempati posisi sebagai pembukuan dan checker.

Akan tetapi, setelah menerapkan sistem online justru tidak mengurangi jumlah pekerja. Sebab dari pekerjaan semula yang menghilang, beralih ke fungsi lainnya misalnya menjadi front desk, relationship officer, dan lainnya.

Kehadiran teknologi online, justru membantu pemrosesan transaksi di BCA jadi lebih cepat. Tenaga manusia tidak akan sanggup melayani nasabah setiap harinya, makanya perlu kerja sama dengan teknologi robotika maupun virtual.

“Jadi jangan takut, meski sudah online, pekerjaan akan selalu ada dan akan selalu demikian. Ini dikarenakan teknologi itu memiliki keterbatasan yang menjadi masalah. Online itu akan tetap ada karena pada dasarnya manusia itu malas. Masalah yang bisa dipecahkan manusia, akan menciptakan revolusi baru lainnya.”

Hadirkan solusi dari setiap masalah yang muncul

Virtual chat assistant (Vira)

Ambil contoh, tenaga call center Halo BCA dulunya hanya berjumlah 70 orang. Mereka tidak sanggup karena jumlah telepon yang masuk mencapai 5 ribu – 6 ribu sehari, nasabah pun tiap hari terus bertambah.

Solusi menambah tenaga kerja CS menjadi 1700 orang, akhirnya tidak bisa menampung telepon yang masuk membludak hingga 50 ribu – 60 ribu dalam sehari.

Untuk itu solusi yang dihadirkan dari masalah ini adalah menghadirkan fasilitas web chat. Jumlah telepon yang masuk ke Halo BCA pun dapat ditekan menjadi sekitar 50 ribu sehari. Rupanya solusi ini dirasa belum cukup. Menambah tenaga kerja pun akhirnya bukan solusi yang tepat, maka dari itu butuh teknologi lainnya.

BCA pun akhirnya menelusuri jenis pertanyaan apa saja yang biasa ditanyakan kepada call center. Ternyata, jenis pertanyaannya bersifat umum, seperti bagaimana cek saldo, bagaimana kurs hari ini, lokasi cabang terdekat di mana, dan sebagainya.

“Kami coba klasifikasi lagi dari telepon yang masuk, ternyata 90% menanyakan informasi yang bersifat umum. Dari situ kami lihat, kenapa harus manusia yang menjawab bila bisa dijawab oleh mesin. Di situlah kami mulai terpikir untuk belajar teknologi baru.”

Solusi ini akhirnya dijawab dengan menghadirkan Virtual Chat Assistant (Vira) berbasis artificial intelligence (AI) pada awal tahun ini. Vira dapat menjawab pertanyaan nasabah seputar pertanyaan umum, promosi, cek saldo, membuat kartu kredit, dan lainnya.

“Vira itu sendiri sebenarnya sudah terbenak di ide kita, namun belum dapat mock up yang bagus. Baru dapat pas acara Finhacks tahun lalu, tim kami pun jadi lebih percaya.”

Armand menuturkan saat ini Vira masih terus “belajar” dan BCA pun makin menyempurnakan sistem back end dan infrastrukturnya agar terjaga baik. Pasalnya, hal tersulit yang terjadi saat menyerahkan teknologi untuk melayani nasabah adalah memberikan wewenang keputusan.

“Harus dipastikan apakah wewenang yang kita berikan kepada mesin apakah keamanan sudah terjaga baik dan benar-benar sesuai kebutuhan nasabah. Beda halnya bila offline, wewenang masih dipegang oleh manusia. Untuk memastikan keamanan kami buat machine learning untuk Vira agar terus belajar,” tutup dia.

Vira dapat diakses melalui platform chat messanging Line, Kaskus Chat, dan Facebook Messenger, dengan add akun Bank BCA tanpa harus mengunduh aplikasi baru. Kini Vira sudah digunakan oleh 523 ribu nasabah BCA.


Disclosure: DailySocial merupakan media partner Social Media Week Jakarta 2017. Dapatkan diskon 30% untuk pembelian tiket melalui laman Deals DailySocial.

LINE Prioritaskan Inovasi “Chatbot” untuk Memberdayakan Pengembang Lokal

LINE adalah salah satu layanan mobile messaging terpopuler saat ini di tanah air dan merupakan platform yang paling diminati untuk pengembangan chatbot. Dari statistik yang dipaparkan, LINE juga sudah hampir menembus 90 juta pengguna di Indonesia. Dan kini LINE ingin membuka pintu selebar-lebarnya bagi para developer lokal yang ingin membangun chatbot berkualitas melalui platformnya.

Menurut Marketing Manager Line Indonesia, Yunita Agata, ”Saat ini hampir seluruh pengguna smartphone di Indonesia yang berjumlah 74,9 juta orang dengan menggunakan aplikasi pesan singkat.”

Tentu hal ini bisa dimanfaatkan LINE untuk melihat besarnya peluang bisnis yang diciptakan tren ini, sehingga dapat dengan mudah mendorong para developer lokal mengembangkan chatbot dalam untuk berbagai kepentingan.

Salah satu upaya yang dilakukan LINE untuk menyosialisasikan kesempatan ini ialah dengan melakukan banyak roadshow. Bertemu langsung pemilik usaha untuk mengetahui kebutuhannya terhadap solusi bisnis berbasis chatbot.

LINE sendiri sedang mengadakan kompetisi pembuatan chatbot dalam rangkaian ajang LINE Creativate.

”Ke depannya, mereka akan mengunduh lebih sedikit aplikasi baru. Namun, akan tetap secara intensif menggunakan aplikasi messaging. Oleh sebab itu, pemilik bisnis dapat menciptakan chatbot dalam platform LINE sebagai solusi praktis untuk berinteraksi dengan pelanggannya,” tambah Yuanita.

Saat ini, LINE telah memfasilitasi beberapa chatbot di bisnis Indonesia, seperti Vira untuk bank BCA untuk melayani mobile banking. Bang Joni, chatbot yang membantu kegiatan sehari-hari, seperti booking tiket pesawat maupun kereta, memesan layanan transportasi online, dan lain-lain.

Soraya, chatbot yang menyediakan informasi konten, dan membantu pengguna belanja di SaleStock. Terakhir ada Rinna sebuah chatbot yang dikembangkan di LINE dengan mengandalkan kecerdasan buatan yang diprogram untuk memahami emosi, layaknya manusia.

Peluang chatbot untuk pengembang

Perkembangan teknologi digital yang sangat impresif saat ini tengah bergeser untuk memasuki era baru, kecanggihan kecerdasan buatan atau AI semakin diandalkan sebagai aspek kehidupan. Tren chatbot dapat menjadi peluang yang sangat menguntungkan bagi pengembang, karena arahnya berbagai layanan akan di konversi ke sana.

Chatbot juga menjadi prioritas pengembangan inovasi terkini dalam bisnis digital. Kemampuan untuk mengotomatisasi beberapa bidang layanan dianggap efektif dalam pelayanan konsumen.