Unity Technologies, perusahaan pembuat game engine Unity, mengumumkan bahwa mereka sedang dalam proses mengakuisisi Weta Digital dengan mahar sebesar $1,625 miliar.
Weta Digital, buat yang tidak tahu, adalah studio visual effect (VFX) asal Selandia Baru yang diprakarsai oleh Sir Peter Jackson. Kalau Anda gemar menonton film, Anda semestinya sudah sangat familier dengan berbagai karya Weta di judul-judul seperti Avatar, Black Widow, Planet of the Apes, The Suicide Squad, dan tentu saja, trilogi Lord of the Rings beserta Hobbit.
Apa saja yang bakal didapat oleh Unity dari akuisisi ini? Yang paling utama adalah lebih dari selusin proprietary software milik Weta, mulai dari yang dapat menyimulasikan rambut dan bulu pada objek 3D, sampai teknologi facial capture dan beragam tool esensial lain untuk kreasi VFX. Sebanyak 275 engineer Weta yang bertanggung jawab atas pengembangan software-software tersebut juga akan bergabung dengan Unity.
Deretan software ini nantinya bakal diintegrasikan ke engine Unity secara perlahan. Unity bahkan sudah punya rencana untuk membawa semua itu ke infrastruktur cloud dengan model bisnis subscription. Kapan pastinya itu bakal terealisasi masih belum diketahui, namun yang pasti tujuan akhirnya adalah membawa teknologi-teknologi canggih yang Weta gunakan selama ini ke tangan jutaan kreator pengguna engine Unity.
Selain itu, Weta juga akan mewariskan asset library-nya ke Unity. Menariknya, asset library ini ke depannya akan terus diperbarui seiring Weta melanjutkan kiprahnya di bidang VFX di bawah nama baru, WetaFX.
Apakah ini berarti game yang dibuat menggunakan Unity bakal langsung memiliki grafik sekelas film-film Hollywood? Mungkin tidak sesimpel itu implikasinya, apalagi mengingat proses pembuatan VFX di film dan game memang cukup berbeda.
Alasan utama di balik akuisisi ini sebenarnya adalah untuk bersiap menyambut tren metaverse. Unity percaya bahwa kalangan kreator bakal punya peran besar dalam perkembangan metaverse, dan akuisisi ini akan membantu mereka mengakselerasi misi tersebut.
Battle of the Bastards boleh dibilang merupakan klimaks yang betul-betul memuaskan sebelum musim keenam Game of Thrones ditutup oleh twist canggih di episode The Winds of Winter. Begitu epiknya season ini, Game of Thrones mendominasi Emmy ke-68 dengan 23 nominasi dan memenangkan 12 penghargaan, termasuk Outstanding Drama Series dua tahun berturut-turut.
Cemerlangnya Game of Thrones adalah kerja keras dari seluruh aktor dan tim produksi. Dan sebagai salah satu serial TV modern terbesar sepanjang sejarah, penggunaan special effect dan animasi sudah pasti menjadi elemen penting. Dan dalam tiga episode terakhir, HBO menunjuk studio visual Rodeo FX untuk menanganinya. Dan dalam acara yang dilangsungkan Autodesk minggu ini, saya berkesempatan berbincang-bincang langsung dengan VP development & technology Rodeo FX, Jordan Soles.
Sebelum masuk lebih jauh ke sana, saya rasa Anda perlu mengenal Rodeo FX lebih dekat. Mereka adalah sebuah studio penyedia visual effect berbasis tiga kota – Montreal, Quebec dan Los Angeles – berkiprah selama kurang lebih satu dekade. Dahulu hanya beranggotakan 30 orang, kini Rodeo FX terdiri atas lebih dari 350 profesional, termasuk seniman, programmer dan manager. Mereka berjasa dalam terciptanya lebih dari 100 film, di antaranya Deadpool, Warcraft, Pacific Rim, sampai Star Trek: Beyond.
Alasan Autodesk mengundang perwakilan Rodeo FX tak lain ialah karena penggunaan sejumlah software milik perusahaan multinational Amerika itu. Dari penuturan Jordan Soles, setidaknya ada empat software yang mereka pakai dalam menggarap Game of Thrones season keenam, “Autodesk Maya untuk membangun segalanya, Arnold buat rendering, Flame untuk proses penyusunan, dan Arnold buat mengelola seluruh season.”
Soles menjelaskan mengapa mereka memilih software-software tersebut. Menurutnya, Redeo FX selalu menggunakan program-program terbaik buat berkarya. Maya tidak diragukan lagi merupakan pemimpin di ranah kreasi dan animasi, lalu Arnold juga dianggap sebagai software render nomor satu. Flame sendiri menawarkan kemampuan compositing unik, mampu mencakup adegan-adegan besar serta memberikan feedback dengan cepat. Lalu Shotgun memudahkan pengelolaan kru berisi 350 orang lebih untuk mengerjakan 10 sampai 12 proyek sekaligus.
Di industri ini, tantangan terbesar bagi Rodeo FX adalah mereka harus selalu up-to-date dan tidak gentar beralih ke software baru ketika diperlukan. Namun bagaimana mereka melakukannya serta memastikan tim bisa beradaptasi dengan cepat? Memang tidak mudah, tapi Rodeo FX menemukan solusinya. Pertama-tama mereka mencoba menemukan proyek kecil dan mulai menggunakan software baru buat merampungkannya sembari belajar.
Sudah pasti Rodeo FX harus terus membuka mata terhadap segala macam update dan mencoba hal-hal baru. Berpikir simpel tampaknya merupakan prinsip sang studio. Soles bilang, mereka tidak suka menghabiskan terlalu banyak waktu buat berpikir.
“Kami lebih memilih mengambil, membeli, serta mencoba sesuatu, dan berhadapan langsung dengan kegagalan. Tim kami merangkul budaya ‘gagal cepat’,” tutur Soles dengan jenaka. “Karena jika tidak begitu, kita tidak akan tahu apakah jalan tersebut ialah ide bagus atau tidak. Anda menghabiskan berminggu-minggu untuk melakukan analisis, tapi realitanya, khususnya di industri ini, cuma ada sedikit waktu buat mencoba-coba.”
Menjawab pertanyaan seorang jurnalis, bagi Soles, adegan yang paling sulit dibuat adalah momen ketika naga menyerang perahu-perahu – yang sedang mengepung kota Meereen. Untuk apinya saja, Rodeo FX telah melangsungkan riset sejak bulan Agustus tahun lalu, dan adegan tersebut baru rampung bulan April, dikerjakan oleh seluruh tim. Tentu adegan lain tidak kalah sulit, saat perang contohnya. Dalam Battle of the Bastards, ada dua sampai lima proses shooting dilakukan secara bersamaan di lokasi berbeda.
Keajaiban hasil karya Rodeo FX adalah banyak hal di dalam film yang Anda lihat ternyata tidak nyata: ratusan pasukan berkuda Dothraki, naga, api yang membakar tiang dan layar kapal, bahkan sampai piramid raksasa di kota Meereen. Semuanya berawal dari sketsa 2D para concept artist, selanjutnya gambar-gambar tersebut diberikan pada tim produksi. Mereka semua akan berdiskusi mengenai seperti apa penampilan naga dan kuda zombi, lalu bagaimana mereka bergerak, apakah harus berpedoman pada hukum fisika atau tidak.
“Saat bermain-main sebagai Tuhan, Anda harus mencari tahu cara melakukannya secara tepat,” kata Soles. “Rodeo FX adalah tim yang cukup muda di bidang creature work. Maka dari itu, kami mengambil pendekatan yang kami pahami karena hal tersebut efisien. Dari pada mengeluarkan banyak uang membangun makhluk 3D, lebih baik kami fokus pada menciptakannya secara 2D.”
Tapi ternyata bukan Siege of Meereen atau Battle of the Bastards yang jadi adegan favorit Soles. Baginya, momen paling berkesan adalah episode pertama di season keempat, Two Swords, saat pertama kali Rodeo FX bertanggung jawab mengerjakan visual effect Game of Thrones. Episode ini menandai dimulainya kiprah Rodeo FX di tingkatan lebih tinggi, menantang seluruh tim serta teknologi yang mereka miliki.
“Kami sangat beruntung bisa memperoleh kesempatan seperti itu,” ucap Soles. “Game of Thrones merupakan pekerjaan tersulit yang kami dapatkan. Apalagi ekspektasi terus meningkat tiap episode. Tapi hasilnya sungguh memuaskan, buktinya season enam sukses menghebohkan seisi internet.”
Menanti season tujuh? Kabarnya ia berisi tujuh episode, akan tayang pertengahan tahun depan. Detail tiap adegan Game of Thrones yang turut digarap Rodeo FX bisa Anda lihat di sini.