Tag Archives: Vivek Thomas

Pandemic Encourages SaaS Business Growth

The pandemic has changed the habits and behavior of people, including the way we work. The Software-as-a-Service (SaaS) platform is among those who get a positive impact when many workers no longer have to work in the same office space.

DailySocial observes the challenges and strategies in SaaS companies during the pandemic. Not only for large corporate clients but also in terms of SaaS services help SME business activities.

Pandemic triggers growth

One of the “winners” in this pandemic is cloud computing-based solutions. Most companies are now moving from physical offices to virtual offices.

“During this pandemic, we have really accelerated into what is always called the ‘future of workplace’. This is related to remote working, online collaboration. Moreover, SaaS is the most appropriate solution for businesses and companies to keep running effectively,” Mekari’s CEO. Suwandi Soh said.

During the pandemic, Mekari claims to have positive growth.

“We see an opportunity on how our products can be one of the company’s solutions to be more productive and we also see that technology is becoming an urgency in how to support work in terms of cost and time,” Suwandi added.

Regardless of the negative impact, Verihubs’ CEO, Williem said the pandemic is positive momentum for startups that present SaaS technology, not only in Indonesia but globally.

“Before the pandemic, many offline transactions [dominated] in Indonesia because there were costs to educate people to be digital. However, during the pandemic, people were forced to adopt daily activities to run businesses digitally. Thus, opening up opportunities for various SaaS players,” Williem said.

As some people have adapted to the digital lifestyle, the need for reliable user authentication is increasing. Verihubs, a platform that provides biometric facial verification, is a service that is considered relevant to help businesses.

A similar statement told by Aisensum’s Managing Director, Vivek Thomas, that the pandemic has created a significant change in behavior with the growth of online sellers to meet the high supply and demand in the market.

“We see the increasing competition triggers demand for increased efficiency and this is where we as a company have seen a rapid increase: a 7 times increase in client acquisitions in the 6 months of the pandemic. We see the same momentum continuing without lag,” Vivek said.

Meanwhile, Lintasarta’s VP Cloud Product Management, Reski Rukmantio said during the pandemic the company saw an increase in the number of opportunities and prospects, even though most opportunities were considered below average market prices compared to conditions before the pandemic occurred.

“To date, we have supported our corporate customer’s cloud infrastructure planning for 2021. We think this is a positive sign that cloud services will continue to improve both during and after the pandemic as large companies are adapting to new ways of working and cloud services are one of those. ”

As a cloud service provider and data center, Lintasarta has several targets to be achieved. One way is to create infrastructure services that are relatively easy to use for inexperienced users, while continuously meeting the complex needs of experienced users.

Challenges ahead

Although most platforms are targeting SMEs, only a few of them are willing to subscribe. Even though the technology offered is advanced, the financing factor is still an important issue.

The pandemic is one of the factors why some SMEs have been forced to stop their subscription to SaaS-based services.

“From a long-term point of view, this pandemic has actually created a learning curve for many businesses due to social distancing policies that require them to do many important things in virtual which can create momentum for SaaS startups to start focusing on building their business,” Kevin Wijaya from CyberAgent Capital said.

As the Director of GK Plug and Play Aaron Nio said, this fact does not only occur among SMEs. There are quite a few large companies willing to subscribe.

“Historically, they are more comfortable with one-off payments and additional payments when they want to upgrade/change their service/software. However, we’ve seen some changes with people’s mindset as they become more accustomed to this model. Some have been presented by Spotify and Netflix for B2C and Tableau/JIRA for B2B,” Aaron said.

Another challenge SaaS players often encounter is the issue of competition with foreign products. Similar services offered by Google, Alicloud, and other Hyperscalers entering Indonesia make it quite difficult for companies to run a business.

“Now that they are physically present in Indonesia, we have to plan other strategies to deal with them in the market, especially for industries that require to comply with data location policies and rely on local cloud providers for their services,” Reski mentioned.

Mekari also experienced competition issues with foreign platforms.

“Particularly in Indonesia, we can see unique things regarding difficulty to access or replicate by SaaS [services] from abroad. For example, purchasing raw materials may have been done by other SaaS solutions abroad. We can see what these things are. Another unique example is the simple use of Indonesian which is more understandable to our target market or our unique sales channel,” Suwandi added.

Verihubs also experienced challenges to convince clients. As a B2B SaaS player in Indonesia, they still encounter several clients who have different requirements for specific use cases.

“If we do case studies of successful SaaS products in Indonesia, the best strategy is to have a reseller or partner to increase sales. Thus, we can reduce the amount of internal sales resources, but we can still increase sales,” Williem said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pandemi memicu pemahaman industri SaaS yang lebih baik, tetapi masih ada isu pembelajaran skema berlangganan

Pandemi Picu Pertumbuhan Bisnis Layanan SaaS

Pandemi telah mengubah kebiasaan dan rutinitas kita semua, termasuk cara bekerja. Platform Software-as-a- Service (SaaS) termasuk ke jajaran mereka yang mendapatkan sisi positif ketika banyak pekerja tidak lagi harus bekerja di ruang kantor yang sama.

DailySocial mencoba melihat seperti apa tantangan dan strategi SaaS semasa pandemi. Tak hanya untuk klien-klien perusahaan besar, tetapi juga bagaimana layanan SaaS membantu kegiatan bisnis UKM.

Pandemi pemicu pertumbuhan

Salah satu “pemenang” saat pandemi adalah solusi berbasis komputasi awan (cloud computing). Sebagian besar perusahaan kini beralih dari kantor fisik ke kantor virtual.

“Di masa pandemi ini, kita benar – benar diakselerasi masuk ke apa yang selalu disebut ‘future of workplace‘. Ini terkait remote working, online collaboration. Dan SaaS menjadi solusi paling tepat bagi bisnis dan perusahaan untuk tetap berjalan efektif,” kata CEO Mekari Suwandi Soh.

Selama pandemi, Mekari mengklaim memiliki pertumbuhan yang positif.

“Kami melihat peluang bagaimana produk-produk kami menjadi salah satu solusi perusahaan agar dapat lebih produktif dan kami juga melihat perlahan teknologi menjadi sebuah urgency bagaimana bisa mendukung pekerjaan dari segi biaya dan waktu,” kata Suwandi.

Terlepas dari sisi negatif yang dihadirkannya, menurut CEO Verihubs Williem, pandemi menjadi momentum positif bagi startup yang menghadirkan teknologi SaaS, tak hanya di Indonesia tetapi secara global.

“Sebelum pandemi, banyak transaksi offline [mendominasi] di Indonesia karena ada biaya untuk mengedukasi masyarakat agar menjadi digital. Namun, selama pandemi, masyarakat dipaksa mengadopsi kegiatan sehari-hari hingga menjalankan bisnis secara digital. Dengan demikian, membuka peluang bagi berbagai pemain SaaS,” kata Williem.

Karena sebagian masyarakat telah beradaptasi dengan gaya hidup digital, kebutuhan autentikasi pengguna yang andal makin meningkat. Verihubs, platform yang menyediakan verifikasi wajah biometrik, menjadi layanan yang dinilai relevan membantu bisnis.

Hal senada diungkapkan Managing Director Aisensum Vivek Thomas. Menurutnya pandemi telah menciptakan perubahan perilaku yang signifikan dengan pertumbuhan penjual online untuk memenuhi tingginya penyediaan dan permintaan di pasar.

“Kami melihat dengan meningkatnya persaingan, muncul kebutuhan untuk peningkatan efisiensi dan di sinilah kami sebagai perusahaan melihat peningkatan pesat: 7 kali lipat dalam akuisisi klien dalam 6 bulan selama pandemi. Kami melihat momentum yang sama berlanjut tanpa jeda,” kata Vivek.

Sementara VP Cloud Product Management Lintasarta Reski Rukmantio mengatakan, selama pandemi perusahaan melihat adanya peningkatan jumlah peluang dan prospek, meskipun sebagian besar peluang dianggap di bawah harga pasar rata-rata dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi terjadi.

“Hingga saat ini, kami telah mendukung perencanaan infrastruktur cloud pelanggan perusahaan kami untuk tahun 2021. Kami pikir ini adalah pertanda positif bahwa layanan cloud akan terus meningkat baik selama dan setelah pandemi karena perusahaan besar sedang beradaptasi dengan cara kerja baru dan layanan cloud adalah salah satunya.”

Sebagai penyedia layanan cloud dan data center, Lintasarta memiliki beberapa target yang ingin dicapai. Salah satunya menciptakan layanan infrastruktur yang relatif mudah digunakan untuk pengguna yang belum berpengalaman, dengan terus memenuhi kebutuhan kompleks pengguna yang berpengalaman.

Masih ada tantangan

Meskipun sebagian besar platform menyasar kepada pelaku UKM, namun hingga saat ini masih sedikit di antara mereka yang bersedia berlangganan. Meskipun teknologi yang ditawarkan sudah advance, faktor pembiayaan masih menjadi isu penting.

Pandemi menjadi salah satu faktor mengapa beberapa UKM terpaksa menghentikan program berlangganan mereka ke layanan berbasis SaaS.

“Dari sudut pandang jangka panjang, pandemi ini sebenarnya telah menciptakan kurva pembelajaran bagi banyak bisnis karena kebijakan jarak sosial yang mengharuskan mereka melakukan banyak hal penting secara virtual yang pada akhirnya dapat menciptakan momentum bagi startup SaaS untuk mulai fokus membangun bisnis mereka,” kata Kevin Wijaya dari CyberAgent Capital.

Menurut Director of GK Plug and Play Aaron Nio, fakta tersebut tak hanya terjadi di kalangan UKM. Perusahaan besar juga masih sedikit yang bersedia berlangganan.

“Secara historis, mereka merasa lebih nyaman dengan pembayaran satu kali saja dan pembayaran tambahan saat mereka ingin meningkatkan / mengubah layanan / perangkat lunak mereka. Namun, kami melihat mulai ada perubahan dalam pola pikir ini karena orang-orang semakin terbiasa dengan model ini. Seperti yang sudah dihadirkan Spotify dan Netflix untuk B2C dan Tableau / JIRA untuk B2B,” kata Aaron.

Tantangan lain yang masih kerap ditemui pemain SaaS adalah persoalan kompetisi dengan produk asing. Layanan serupa yang ditawarkan Google, Alicloud, dan Hyperscalers lain yang memasuki Indonesia cukup menyulitkan perusahaan untuk menjalankan bisnis.

“Karena mereka sekarang sudah hadir secara fisik di Indonesia, kami harus merencanakan strategi lain untuk menghadapi mereka di pasar, terutama untuk industri yang perlu mematuhi kebijakan lokasi data dan mengandalkan penyedia cloud lokal untuk layanannya,” kata Reski.

Persoalan persaingan dengan platform asing juga dialami Mekari.

“Khusus untuk Indonesia, kita juga bisa melihat hal-hal unik yang sulit diakses atau direplikasi oleh [layanan] SaaS dari luar negeri. Misalnya, pembelian bahan baku tadi mungkin ada solusi SaaS lain yang sudah sama di luar negeri. Kita bisa melihat apa hal unik lain misalnya sesederhana penggunaan Bahasa Indonesia yang lebih bisa dipahami target market kita atau channel penjualan kita yang unik,” kata Suwandi.

Tantangan untuk meyakinkan klien juga dialami Verihubs. Sebagai pemain B2B SaaS di Indonesia, mereka masih menemukan beberapa klien yang memiliki berbagai persyaratan berbeda untuk kasus penggunaan tertentu.

“Jika kami melakukan studi kasus dari produk SaaS yang sukses di Indonesia, strategi terbaik adalah memiliki reseller atau partner untuk meningkatkan penjualan. Dengan demikian, kami dapat mengurangi jumlah sumber daya penjualan internal, tetapi kami tetap dapat meningkatkan penjualan,” kata Williem.

Kiat beberapa startup saat menghadapi pandemi / Pixabay

Manajemen Tim dan Penyesuaian Fokus Bisnis Jadi Agenda Penting Startup di Tengah Pandemi

Meskipun di awal bulan sempat mengalami beberapa tantangan, namun saat ini ketika pandemi sudah memasuki bulan kelima banyak startup yang bisa menyesuaikan keadaan dalam situasi bekerja di rumah. Istilah new normal bukan lagi bersifat sementara, namun diprediksi menjadi kondisi yang berlanjut.

Dalam sesi webinar yang digelar oleh program akselerator GK-Plug and Play, beberapa penggiat startup yang terdiri dari CEO AI Sensum Vivek Thomas, CEO Verihubs Williem, dan Head of Product Tiket Rosabella Sarudin berbagi pengalaman dan update menarik tentang tempat mereka bekerja saat pandemi berlangsung.

Manajemen tim dan penggunaan tools yang tepat

Sebagai startup yang menghadirkan teknologi Software as a Service (SaaS), Williem melihat tidak menemui kendala yang berarti saat pandemi terkait dengan manajemen dan mengelola time management team. Dalam hal ini Verihubs yang didominasi oleh tenaga engineer, memberikan kebebasan kepada anggota tim untuk bekerja di rumah, selama tugas yang dibebankan bisa diselesaikan.

“Kami menggunakan tools yang relevan, seperti Airtable. Dengan demikian semua tugas yang diberikan kepada engineer bisa di-monitor. Selama ini kami juga telah memberikan kesempatan remote working kepada pegawai, sehingga mudahkan transisi working from home,” kata Williem.

Hal serupa juga diterapkan oleh Vivek dalam hal mengelola tim selama bekerja di rumah. Meskipun tidak meninggalkan KPI yang telah ditetapkan kepada masing-masing pegawai, namun Vivek melihat adanya peluang transisi jabatan kepada beberapa pegawai selama pandemi berlangsung.

“Fokus kami tentunya kepada tim sales dan business development, namun di saat yang sama kami juga melihat ada beberapa tugas yang kemudian dialihkan dan diberikan kepada pegawai lainnya,” kata Vivek.

Pandemi juga diklaim menambah produktivitas pegawai, tantangan seperti transportasi hingga pengeluaran yang biasanya banyakan dihabiskan oleh pegawai di kantor, kini bisa dipangkas saat kegiatan bekerja di rumah diberlakukan.

“Kita sendiri belum bisa memutuskan kapan waktu yang tepat untuk kembali ke kantor. Karena setelah dilihat selama 5 bulan terakhir, produktivitas para pegawai tetap positif bahkan cenderung meningkat produktivitasnya,” Vivek.

Saat pandemi juga menjadi waktu yang tepat untuk mencoba atau meluncurkan layanan atau produk yang baru. Ketika semua layanan hingga tools mulai shifting ke digital, semua produk yang terkait dengan teknologi hingga touchless dan contactless produk, diprediksi bakal menjadi masa depan saat pandemi bahkan ketika pandemi berakhir.

“Salah satu yang telah kami luncurkan dan mendapat respons positif adalah ketika bulan Mei lalu kami meluncurkan Passwordku. Produk yang memudahkan pengguna untuk mengelola password mereka untuk semua. Saat pandemi peluncuran tersebut memvalidasi model bisnis kami saat ini dan ke depannya,” kata Williem.

Mengubah fokus dan target

Sebagai layanan OTA yang selama ini sudah meraih kesuksesan, Tiket mengakui selama pandemi berlangsung mengalami penurunan dari sisi penjualan. Ditutupnya penerbangan, penginapan hingga tempat hiburan, telah membatasi bisnis mereka untuk tumbuh selama 5 bulan terakhir.

Untuk mengakali tantangan tersebut, Tiket kemudian mulai memfokuskan kepada experience. Mulai dari menggelar acara musik live hingga sesi tanya jawab dengan artis idola, diklaim bisa membantu perusahaan untuk terus tumbuh selama pandemi.

Saat ini ketika aturan PSBB sudah mulai dilonggarkan di beberapa tempat wisata hingga destinasi favorit seperti Bali, Tiket juga berupaya untuk menggenjot jumlah penjualan tiket penerbangan, penginapan dan atraksi. Salah satunya adalah dengan cara melancarkan kampanye Tiket Clean. Yaitu kampanye yang berisikan himbauan dan aksi positif oleh Tiket kepada perhotelan yang tetap menjaga kebersihan dan mematuhi protokol kesehatan selama pandemi.

“Pada akhirnya hotel membutuhkan uang tunai, dengan memberikan promo berupa diskon hingga penawaran menarik yang bisa dimanfaatkan oleh pelanggan yang tertarik untuk melakukan pemesanan hotel saat ini atau tahun depan,” kata Rosabella.

Meskipun sarat dengan tantangan, namun dengan strategi ini diharapkan bisa memancing kembali minat masyarakat untuk kembali melakukan pemesanan dan menginap di hotel yang sudah terjamin kebersihannya.

AiSensum

Platform AiSensum Mungkinkan Perusahaan dan Startup Lakukan Monetisasi Data

AiSensum, perusahaan yang bergerak di bidang artificial intelligence dan big data analysis mulai fokus di Indonesia. Startup yang kini memiliki kantor di Singapura, Jakarta, dan Bangalore ini menawarkan solusi bagi perusahaan dan startup yang ingin memonetisasi data mereka.

Solusi utama yang dikembangkan AiSensum adalah OctoPi. Sebuah platform berbasis machine learning yang dapat menghasilkan pendapatan tambahan bagi perusahaan dan startup melalui monetisasi data.

OctoPi bekerja menggunakan algoritma AI NLG (Aritificial Inetelligence Natural Language Generation) yang menghasilkan insight dari aset data yang ada dan memberikan analisis bisnis bagi perusahaan-perusahaan di sektor telekomunikasi, ritel, farmasi, dan keuangan.

Selanjutnya analisis akan ditampilkan melalui sebuah dashboard interaktif yang memberikan beberapa insight seperti pangsa pasar, analisis tren, elastisitas harga, efektivitas promosi, segmentasi pelanggan, white space discovery dan beberapa parameter kunci lainnya.

Dari data internal AiSensum disebutkan bahwa Octopi Telco (hasil kemitraan AiSensum dengan Sepulsa) telah berhasil memberikan mereka akses database transaksi sebanyak 36,5 juta yang mencakup penjualan Rp1,5 triliun.

AiSensum juga menjalin kerja sama dengan HapyFresh untuk dasbor analisis OctoPi Retail,  di dalamnya mencakup data transaksi pelanggan untuk 1500 merek.

“Hingga saat ini kami sudah melakukan kemitraan monetisasi data dengan Sepulsa dan HappyFresh dengan model kemitraan bagi hasil. Melalui kemitraan monetisasi data ini, kami menjual dashboard secara berlangganan kepada klien-klien di sektor ritel, FMCG, farmasi, telekomunikasi, dan keuangan,” terang Global Managing Director AiSensum Vivek Thomas.

AiSensum juga memiliki solusi Software RPA (Robotic Process Automation). Sebuah solusi bisnis modular lintas sektor melalui kerangka SaaS (Software as a Service) atau PaaS (Platform as a Service). Modul AI dari AiSensum tersebut diklaim dapat diimplementasikan dalam sistem yang sudah ada dan mampu meningkatkan kinerja sistem dari waktu ke waktu.

“Ini merupakan solusi dengan biaya rendah, yang cocok untuk perusahaan yang tidak mau atau tidak mampu berinvestasi pada platform AI dengan otomatisasi lengkap,” terang Chief Analytics Officer AiSensum Nitin Sharma.

Amankan Pendanaan dari 500 Startups

Didirikan oleh Vivek Thomas dan Rajiv Lamba, AiSensum berusaha untuk mulai agresif di pasar Indonesia. Dengan pendanaan awal yang diterima dari 500 Startup, pihak AiSensum berupaya untuk bisa bekerja sama dengan lebih banyak perusahaan dan startup.

“Pendanaan awal dari 500 Startups telah memampukan kami untuk bermitra dengan Sepulsa dan HappyFresh di Indonesia. Saat ini kami sedang berupaya untuk melakukan kemitraan di sektor industri lain, seperti farmasi, perbankan dan keuangan di Indonesia,” terang Vivek.

Menanggapi pendanaan ini Managing Partner 500 Startups Khaolee Ng menyebutkan, bahwa di era perang data seperti saat ini aliran data eksklusif merupakan hal yang paling berharga dan penggunaan data secara cerdas akan mampu menentukan bisnis mana yang bertahan atau berkembang.

“Kami bersyukur memiliki kesempatan untuk mendukung perusahaan yang besar dan penting di ruang data yang besar,” terang Khailee Ng.

Di tahun 2019 AiSensum berencana untuk fokus membangun AiSensum sebagai go-to-company untuk semua startup dan perusahaan di Indonesia dan Asia yang ingin memonetisasi data mereka.

“Di tahun 2019 ini kami berencana untuk memperluas operasi kami dan mencari kemitraan monetisasi data yang serupa di Asia dan Australia,” jelas Vivek.