Tag Archives: VR

Vinera Aruvana

Aruvana Paparkan Pemanfaatan Teknologi Imersif untuk Pemulihan Penyakit

Startup pengembang teknologi imersif Aruvana baru saja merilis perangkat VR bernama “Vinera” untuk mendukung pemulihan penyakit stroke. Perangkat ini dikembangkan bersama dua mitra strategisnya, yakni PT Media Brain Sejahtera dan dr. Hendry Gunawan, Sp.N (medical advisor).

Dihubungi terpisah oleh DailySocial.id, Co-Founder dan CEO Aruvana Indra Haryadi memaparkan lebih dalam soal pengembangan teknologi imersif miliknya. Dari riset yang dilakukan, ia menyebut bahwa teknologi tersebut dapat berkontribusi untuk mengatasi permasalahan di sektor kesehatan.

Pada aspek klinis, teknologi imersif dapat dimanfaatkan untuk pemulihan penyakit. Tahap awal, Aruvana menggarap produk Vinera untuk membantu proses terapi pasien stroke. Pasien dapat fokus melakukan pemulihan dari rumah dengan pengawasan dari tenaga kesehatan (nakes).

“Dokter saraf dan fisioterapi kebanyakan bekerja di RS atau klinik. Banyak pasien yang terkendala akses menuju ke sana. Teknologi imersif dapat membantu proses terapi tanpa mengurangi pengawasan dari nakes, data dapat terus dipantau,” tutur Indra.

Vinera dilengkapi dengan sistem gamifikasi, memungkinkan pasien untuk melakukan latihan terapi secara mandiri dan lebih menyenangkan. Adapun modul pelatihan dirancang secara komprehensif yang terdiri dari tugas dan permainan untuk meningkatkan fungsi motorik pasien, dan akan dipantau oleh para terapis dari jarak jauh.

Stroke tercatat sebagai penyebab kematian dan kecacatan nomor 1 di Indonesia sejak 2013, dan menjadi penyakit terbanyak dengan jumlah penderita mencapai sekitar 2,9 juta pasien di Indonesia, dengan tingkat prevalensi sekitar 10,9%.

“Kami sudah riset mendalam bagaimana VR dapat memberikan pengaruh terhadap pemulihan stroke. Sudah ada banyak temuan dari jurnal bahwa pemulihan stroke dengan dukungan perangkat VR dapat berpengaruh positif, terutama untuk bagian tubuh atas,” tambahnya.

Vinera adalah satu dari sepuluh peserta terpilih terkait inovasi pada program Health Innovation Sprint Accelerator 2023, hasil kerja sama Kemenkes dan East Ventures.

Untuk tahap awal, Aruvana baru bermitra dengan dua faskes untuk riset dan pengembangan Vinera. Targetnya di 2024, Vinera dapat digunakan di 100 faskes untuk mengkover 20.000 pasien penderita stroke yang ingin melakukan terapi.

Pada aspek nonklinis, produk dengan teknologi imersif juga dapat dimanfaatkan untuk mendukung proses pembelajaran. Misalnya, praktik ilmu forensik. Indra mengakui bahwa pengembangan produk imersif di Indonesia masih sangat awal karena teknologinya masih baru dan use case bersifat eksploratif. Namun, kebutuhan dan potensinya sangat besar.

Pengembangan teknologi imersif

Aruvana mengembangkan produk imersif untuk tiga sektor utama, yakni healthcare, safety, dan education. Ketiga sektor ini diyakini dapat memberikan dampak besar terhadap masyarakat di Indonesia. Pihaknya bekerja erat dengan pemangku kepentingan di ketiga sektor ini untuk lebih memahami permasalahan yang dihadapi.

Di segmen safety, produknya digunakan untuk mendukung simulasi pada situasi darurat. Sementara di segmen pendidikan, Aruvana bekerja sama dengan UGM untuk memanfaatkan produk imersif pada proses pembelajaran/praktik mahasiswa Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK).

Ditanya soal aspek biaya, Indra berujar bahwa harga perangkat VR yang dipasarkan untuk ritel/individu justru kini 10 kali lipat semakin terjangkau dibandingkan tahun 2019–bahkan lebih murah daripada iPhone.

Namun, ia menilai bahwa biaya pengembangan teknologi maupun perangkatnya dapat terbilang relatif tergantung dari pemanfaatannya. Ia mencontohkan, metode pembelajaran prosedur laparoskopi dengan perangkat imersif bisa memangkas biaya 10% dibandingkan prosedur yang dilakukan secara konvensional.

“Biaya teknologi dan produk bisa lebih terjangkau karena mengejar hasil yang sama tanpa perlu mengeluarkan biaya yang sama pula. Namun, kita dapat mengurangi risiko atau proses yang repetitif. Kalau simulasi [tanpa produk imersif], harus mencari pasien, ada effort dan biaya yang dikeluarkan. Begitu melihat perspektif yang tepat, harga alat dan teknologi dapat menjadi sangat murah.”

Startup pengembang teknologi imersif Aruvana mengumumkan Teguh Kurniawan Harmanda (Tokocrypto) dan Stanislaus MC Tandelin (Modal Rakyat) sebagai co-founder Aruvana

Eks Petinggi Tokocrypto dan Modal Rakyat Bergabung ke Startup Teknologi Imersif Aruvana [UPDATED]

*Update 17 Feb 2023: Pihak perusahaan memberikan koreksi atas informasi yang diberikan, bahwa Teguh Harmanda bergabung sebagai advisor, bukan co-founder

Startup pengembang teknologi imersif asal Yogyakarta, Aruvana, mengumumkan bergabungnya Teguh Kurniawan Harmanda (eks. Tokocrypto) sebagai Komisaris & Advisor dan Stanislaus MC Tandelin (Modal Rakyat) sebagai co-founder per Februari 2023. Kehadiran dua sosok ini diharapkan dapat memberikan nilai tambah bagi perusahaan dalam menggali potensi pengembangan industri teknologi imersif di Indonesia.

“Kami sangat senang menyambut Manda dan Stanis. Keduanya adalah sosok yang luar biasa dengan pengalaman yang luas. Keterampilan dan pemahaman mendalam yang mereka miliki terkait teknologi web3, blockchain, dan metaverse akan membantu mengembangkan strategi, mencapai target, memperluas relasi, dan memperkuat kehadiran Aruvana sebagai perusahaan teknologi imersif di taraf nasional bahkan internasional,” ucap Co-Founder & CEO Aruvana Indra Haryadi dalam keterangan pers, Kamis (16/2).

Teguh Harmanda atau lebih akrab disapa Manda memulai kariernya di bidang teknologi dan keuangan sejak 2010. Terakhir ia menduduki posisi COO Tokocrypto dan dipercaya sebagai Ketua Umum Asosiasi Pedagang Aset Kripto Indonesia (ASPAKRINDO) sejak 2020.

Menurut Manda, Indonesia sangat responsif melihat peluang pengembangan metaverse, terbukti dengan meningkatnya adopsi teknologi baru dari berbagai kalangan. Untuk itu sebagai pelaku industri, perlu mengembangkan use case berbasis teknologi imersif yang multi-dimensional, sehingga nantinya berpengaruh terhadap banyak bidang dan masyarakat luas. Lebih lanjut, hal ini juga berpotensi meningkatkan transaksi digital ekonomi di Indonesia.

Aruvana akan mengambil peran untuk mendukung ekosistem industri teknologi imersif yang semakin baik di Indonesia. Lalu, siap membantu pemerintah merumuskan pengembangan teknologi metaverse dengan aturan yang sifatnya definitif, yang diharapkan dapat membantu menghasilkan roadmap atau blueprint pengembangan metaverse di Indonesia.

“Kami sangat antusias untuk mengedukasi pasar dan menjadi penggerak yang dapat mempercepat proses spesifik yang berkaitan dengan metaverse atau web3. Sebagai pelaku industri, kami akan mengembangkan use cases bagi banyak bidang sehingga dapat membantu membangun, mengembangkan dan mengokohkan industri metaverse secara global,” tambah Manda.

Sama seperti Manda, Stanis juga memiliki pengalaman yang mendalam di bidang keuangan, strategi bisnis, dan pengembangan startup digital. Posisinya terakhir adalah Co-founder dan CEO Modal Rakyat, kini sedang melanjutkan pendidikan master di sebuah universitas di Amerika Serikat.

Stanis menuturkan, berdasarkan penelitian, enterprise use cases terkait metaverse yang terbukti berjalan di Amerika Serikat selaras dengan pengembangan teknologi metaverse yang difokuskan oleh Aruvana selama ini. Di antaranya sektor gaming, corporate training, education, dan healthcare. Pendekatan penelitian ini, lebih lanjut akan membantu memaksimalkan langkah strategi bisnis Aruvana ke depannya.

“Saya sangat antusias untuk mengambil tantangan dan tanggung jawab baru ini di Aruvana. Kami memiliki tim yang telah berpengalaman sebelumnya di bidang Virtual Reality (VR) dan akan terus menghasilkan produk inovatif dengan cara baru, beragam, dan memperluas pertumbuhan metaverse dan manfaatnya di masa depan. Saya yakin dengan segala upaya yang kami kerahkan akan dapat membawa Aruvana ke ke level selanjutnya,” tutur Stanis.

Aruvana

Startup yang dirintis oleh Indra pada tahun lalu ini, berfokus pada penciptaan dan pengembangan produk kustomisasi berbasis Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR), dan Mixed Reality (MR) untuk semua industri, terutama di bidang kesehatan, keinsinyuran dan alat berat, pendidikan, e-commerce, dan hiburan. Indra sebelumnya juga mendirikan startup dengan fokus yang persis sama bernama Arutala.

Pada 5 Desember 2022, perusahaan mengumumkan kerja sama dengan PT Medika Brain Sejahtera untuk pengembangan produk terapi pasca-stroke dinamai VINERA (Virtual Neuro Engineering and Restoration). Kehadiran VINERA diharapkan dapat mempercepat perluasan solusi terapi pasca-stroke dengan teknologi VR.

VINERA dilengkapi dengan sistem gamifikasi sehingga pasien dapat melakukan latihan terapi secara mandiri tanpa bantuan profesional dan berulang dengan cara yang lebih menyenangkan. Pasien akan menjalankan serangkaian skenario latihan dengan berorientasi tugas yang dibalut dengan pendekatan game. Selanjutnya hasil latihan akan dipantau oleh terapis melalui jarak jauh secara teratur. Menggunakan teknologi VR, terapi pasien bisa berjalan lebih intens dan efektif dibanding terapi konvensional.

Mengutip data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, penyakit stroke merupakan penyebab kematian kedua tertinggi di dunia dan menjadi penyebab kematian nomor satu dengan pembiayaan kesehatan yang paling mahal di Indonesia. Pada 2018, prevalensi stroke di Indonesia secara nasional sudah mencapai 10,9 per mil.

Perawatan khusus bagi pasien pasca-stroke dapat menjadi kendala bagi pasien kala akan berkunjung ke rumah sakit, ditambah tidak adanya pendamping profesional yang dapat menyebabkan terlewatinya proses terapi mandiri di rumah. Hadirnya VINERA dapat membantu pemulihan pasien stroke tanpa terbatas waktu dan tempat dengan pendekatan yang berbeda untuk mempercepat proses terapi mandiri tersebut.

Di tahap awal, VINERA dirancang untuk membantu pemulihan pasien stroke yang memiliki disabilitas pada tangan. Ke depannya, VINERA juga akan dikembangkan untuk berbagai macam jenis penanganan pasien pasca-stroke dari level ringan sampai berat yang disesuaikan berdasarkan assesement dari pendamping pasien atau terapis.

Sebelumnya Aruvana juga telah mengimplementasikan VR pada aplikasi telekonsultasi kesehatan, hasil kolaborasi dengan RS. Bhayangkara H.S Samsoeri Mertojoso Surabaya yang ditujukan untuk memberikan perlindungan bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

Penggunaan ruang virtual dalam konsultasi diharapkan akan memudahkan mekanisme penanganan kasus kekerasan dan seksual pada perempuan dan anak dengan mengedepankan perspektif korban. Pelapor atau korban dapat berkonsultasi dan melaporkan kejadian yang mereka alami dalam keadaan yang nyaman dan kondusif secara anonim, tanpa perlu khawatir privasinya terganggu. Telekonsultasi VR ini juga digunakan oleh tim kedokteran kepolisian Polda Jatim untuk melakukan proses pemeriksaan kejiwaan pelaku perempuan video asusila.

WIR Group IPO

Resmi IPO di BEI, WIR Group Perluas Pengembangan Metaverse

WIR Group, kelompok usaha dengan basis teknologi Augmented Reality (AR), Virtual Reality (VR). dan Artificial Intelligence (AI), secara resmi mencatatkan saham di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham “WIRG”.

Melalui Penawaran Umum Saham Perdana (Initial Public Offering/IPO), perusahaan melepas 2,33 miliar saham baru atau 20% dari modal ditempatkan dan disetor penuh setelah IPO serta 233,7 juta saham tambahan karena terjadi kelebihan pemesanan pada penjatahan terpusat. Harga saham perdana ditetapkan Rp168 per saham sehingga total dana yang diperoleh mencapai Rp431,9 miliar.

Kepada DailySocial.id, Direktur Utama PT WIR Asia Tbk. Michel Budi Wirjatmo mengungkapkan, cikal bakal perusahaan sudah diinisiasi sejak 2009. Pada awalnya kegiatan usaha tersebut meliputi jasa pengembangan teknologi digital reality, termasuk di dalamnya Augmented Reality (AR), Virtual reality (VR), dan Artificial Intelligence (AI) melalui unit teknologi AR&Co.

Perseroan dan Perusahaan Anak (selanjutnya disebut sebagai “WIR Group”) kemudian menyelesaikan berbagai proyek di bidang edukasi, penerbitan, dan game. Tahun 2015 mereka memperluas kegiatan usahanya untuk memberikan jasa layanan media/iklan, melalui unit teknologi DAV dan perdagangan ritel melalui Mind Stores yang berada.

Dana IPO digunakan untuk penguatan modal

Secara rinci, sekitar 80,59% dana dari IPO akan digunakan oleh perusahaan anak, yaitu PT ARE Teknologi Kreasi (ATK), PT Tiga Akar Mimpi (TAM), dan PT Vatar Media Raya (VMR) untuk belanja modal (7,40%) dan modal kerja (6,72%). Sementara sisanya akan digunakan untuk pengembangan usaha dan/atau ekspansi melalui kemitraan strategis.

Perseroan juga mengadakan Program Alokasi Saham Pegawai (Employee Stock Allocation), dengan jumlah sebanyak 1,02% dari saham yang ditawarkan dalam Penawaran Umum atau sebanyak 23.771.900 saham.

“Seluruh dana dari IPO dan hasil pelaksanaan waran akan digunakan untuk belanja modal, modal kerja, serta pengembangan usaha Perseroan dan/atau perusahaan anak, khususnya dalam mengembangkan teknologi yang berbasis pada AR, VR, dan AI,” kata Michael.

Tahun ini masih ada sejumlah target yang ingin dicapai oleh perusahaan, di antaranya adalah terus melakukan berbagai inovasi dan kreativitas dalam pengembangan teknologi. “Kami optimis dengan prospek bisnis yang baik mengingat keunggulan-keungulan kompetitif yang dimiliki antara lain posisi sebagai salah satu pengembang teknologi AR terdepan di Indonesia dan Asia Tenggara,” imbuhnya.

“Selain inovasi, tahun ini kami juga akan lebih fokus dalam pengembangan platform Metaverse Indonesia yang saat ini tengah disiapkan dan akan ditampilkan saat presidensi G20,” kata Michael.

Perluas kolaborasi kembangkan metaverse

Imbas dari pandemi yang berlangsung sejak tahun 2020 telah mendorong masyarakat untuk beradaptasi dalam menggunakan media teknologi untuk melakukan aktivitas. Secara tidak langsung, WIR Group melihat banyak kesempatan yang terbuka dari berbagai sektor untuk mulai memikirkan penggunaan berbagai macam teknologi sebagai solusi alternatif.

Hal ini menjadi dasar bagi perusahaan untuk pengembangan teknologi dan solusi melalui produk IseeAR oleh AR&Co, animasi AR yang dapat langsung digunakan presenter melalui platform video conference menjadi jalan keluar untuk mengkomunikasikan berbagai hal secara lebih interaktif dan efektif untuk menarik respons masyarakat.

Teknologi VR/AR sebenarnya merupakan hal yang baru, namun banyak pelaku industri telah menggunakannya untuk kontribusi yang positif, contohnya untuk mempercepat proses pengembangan produk dengan membantu proses desain, pengujian, dan evaluasi.

“Sebagai contoh, salah satu industri yang terbantu adalah industri otomotif yang menggunakan virtual reality untuk mempersingkat proses desain dan modelling dari rentan waktu mingguan menjadi harian. Dengan kontribusi positif tersebut penggunaan VR/AR juga dapat mengurangi biaya operasional yang signifikan,” kata Michael.

Pertumbuhan teknologi AR/VR saat ini mengalami pertumbuhan yang pesat seiring dengan penetrasi internet di Indonesia juga semakin meningkat. Dengan demikian Indonesia memiliki potensi pasar yang besar untuk pengembangan teknologi realitas digital, banyak aplikasi dari teknologi AR/VR khususnya melalui aplikasi mobile telah mencakup berbagai sektor, termasuk pemasaran dan periklanan, perdagangan, dan gaming.

Demikian pula dukungan pemerintah Indonesia dalam pengembangan platform Metaverse Indonesia akan memberi kontribusi yang signifikan pada perkembangan teknologi AR/VR di Indonesia.

Bulan Maret 2022 lalu, Bank Mandiri menandatangani nota kesepahaman bersama dengan WIR Group untuk mengembangkan layanan perbankan berbasiskan teknologi virtual di dunia metaverse. Selain dengan bank Mandiri kerja sama strategis juga telah dilakukan dengan perusahaan inkubator bisnis PT Lumina Kaya Indonesia (Kaya.id), mengembangkan UMKM Indonesia di dunia metaverse dan pengembangan bisnis Triniti Land dalam platform metaverse yang dikembangkan WIR Group.

Awal bulan ini Universitas Multimedia Nusantara (UMN) juga telah mengumumkan kolaborasi mereka dengan WIR Group, mengembangkan platform teknologi metaverse dan membangun sumber daya manusia di bidang teknologi unggul dan kompetitif.

“Dengan keahlian dan pengalaman WIR Group memberikan solusi bagi klien-klien di dalam maupun di luar negeri, kami optimistis bisa terus memberikan nilai tambah bagi pemegang saham dan berkontribusi dalam pengembangan ekonomi digital di Indonesia,” kata Michael.

***
Ikuti kuis dan challenge #NgabubureaDS di Instagram @dailysocial.id selama bulan Ramadan, yang akan bagi-bagi hadiah setiap minggunya berupa takjil, hampers hingga langganan konten premium DailySocial.id secara GRATIS. Simak info selengkapnya di sini dan pantau kuis mingguan kami di sini.

Startup pengembang teknologi imersif Arutala memproduksi aplikasi berbasis teknologi Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), Mix Reality (MR), PC Simulator, hingga 360° Video untuk berbagai sektor bisnis

Komitmen Arutala Percepat Implementasi Teknologi Imersif untuk Bidang Edukasi

Sebelum istilah metaverse ramai dibicarakan, banyak pihak yang skeptis dengan pemanfaatan teknologi imersif di kehidupan sehari-hari. Selain karena butuh riset yang lama, dulu industri ini butuh perangkat yang harganya tidak murah. Faktor-faktor tersebut menyebabkan minimnya use case di lapangan.

Meskipun begitu, pesona di balik cabang teknologi yang fokusnya mendekatkan manusia dengan benda digital ini, berhasil menangkap perhatian Indra Haryadi dan Ambar Setyawan untuk merintis Arutala pada 2019 di Yogyakarta. Sebagai catatan, teknologi ini memungkinkan manusia untuk beraktivitas dan bereaksi di dalam dunia digital. Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), Mix Reality (MR), PC Simulator, hingga 360° Video adalah bagian dari teknologi imersif ini.

“Saya bertemu Ambar saat testing produk Oculus Quest yang saya dapat saat mengunjungi F8 di 2019. Ia punya background yang cukup kuat di dunia imersif. Singkat cerita, akhirnya kami sepakat untuk mendirikan PT Arutala Digital Inovasi. Kami banyak traction dan use case hingga sekarang,” terang Co-Founder & CEO Arutala Indra Haryadi saat dihubungi DailySocial.id.

Salah satu nilai yang ingin dikembangkan Arutala adalah teknologi imersif ini dapat memberikan solusi di berbagai lini kehidupan, salah satunya pelatihan yang bersifat high risk dan high cost. Setelah melakukan riset dan mengamati pola kebutuhan klien, disimpulkan bahwa pelatihan yang paling relevan dengan tantangan tersebut adalah bidang medis dan engineering base.

“Dengan menciptakan ruang baru melalui teknologi VR dan AR, kita dapat menekan angka risiko dan biaya di pelatihan pada kedua sektor tersebut untuk mencapai hasil yang optimal. Sektor kesehatan sendiri berisiko tinggi bagi pelatihan tenaga kesehatan sejak pandemi Covid-19.”

Implementasi teknologi imersif

Meski fokus pada pelatihan, perusahaan tetap membuka peluang untuk mengembangkan di sektor lainnya. Beberapa teknologi pengembangan tersebut, di antaranya adalah drone passenger VR untuk Frogs Indonesia, virtual store VR untuk Ecodoe, automotive virtual web, Gamelan VR, hingga Artda, yakni lagu dan tarian nasional anak-anak dalam bentuk AR hasil kolaborasi dengan Lab Sarisworo yang didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Saat ini, Arutala bermitra dengan tujuh institusi pendidikan dari tingkat SMK hingga perguruan tinggi dan lebih dari 25 pengembangan produk. Salah satu pengguna B2B Arutala adalah Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FK-KMK). Dalam praktikum memandikan pasien untuk perawat, itu memerlukan SOP yang panjang.

Saat mengembangkan kebutuhan tersebut di tahun lalu, Arutala mendesainnya menyerupai konsep metaverse yang diusung Facebook. Yang mana, ruangan praktikum dibuat persis sama dengan realita dan para peserta dapat berinteraksi satu sama lain di dunia digital, melalui perangkat Oculus.

Sebagai catatan, Arutala resmi bergabung dalam program Oculus Independent Software Vendor (ISV) pada 2020. Oculus merupakan anak perusahaan dari Meta yang membuat dan mengembangkan produk alat VR seperti Oculus Quest, Oculus Rift, dan Oculus Go. Melalui kerja sama ini, Arutala memiliki peluang untuk berkolaborasi langsung dengan tim dari Oculus dan membantu adopsi VR di Indonesia maupun kawasan Asia Pasifik.

“Tahun lalu para perawat sudah menggunakannya untuk pengajaran dan terus kami lakukan pengembangan. Kami cukup senang dengan ini karena kami ingin menciptakan dampak dari apa yang kami lakukan.”

Selain UGM, klien Arutala lainnya adalah perusahaan prinsipal alat berat dari Myanmar, startup yang ingin terjun ke pengembangan produk berbasis AR, dan lainnya. Ia pun optimis bahwa ke depannya akan semakin banyak perusahaan yang berani untuk terjun ke dunia imersif, didukung oleh pandemi yang mengakselerasi penggunaan teknologi digital.

Dalam monetisasinya, di tengah era early adopter, yang mana membuat industrinya masih dalam tahap eksplorasi, maka salah satu model bisnis di Arutala adalah custom development. Jadi, baik Arutala maupun klien B2B, sama-sama mencari tahu solusi yang efektif dari masalah yang dihadapi klien. Begitu industri sudah lebih siap dan banyak use case yang bisa diteliti, maka akan membuka lebih besar kemungkinan bagi Arutala untuk menggali lebih banyak strategi monetisasi lainnya.

Ke depannya, untuk memasarkan lebih banyak use case dengan menggunakan teknologi imersif, Indra akan terus mengedepankan aspek riset sebagai bagian utama dari Arutala, perbanyak use case di berbagai industri, dan edukasi pasar. “Kita akan meneruskan riset dari sebelumnya orang belum kenal metaverse, tapi kita sudah buat. Berani investasi lebih banyak untuk riset adalah kunci untuk bersaing dengan negara lain. Dengan semangat itu, kami ingin Indonesia tidak ketinggalan,” tutupnya.

Dengan semangat riset, Indra pun membuka kesempatan bagi pihak-pihak yang berani dan tertarik dengan teknologi imersif pada masa depan. Arutala merupakan salah satu portofolio dari venture builder UMG Idealab sejak 2020. Mereka menyuntik dana tahap awal untuk Arutala dengan nominal dirahasiakan.

Sony Resmi Umumkan PlayStation VR2, Headset Virtual Reality Generasi Baru untuk PS5

Lama tidak terdengar kabarnya, PlayStation VR kembali menjadi topik pembicaraan setelah Sony memberikan pengumuman mengenainya di CES 2022. Belum, wujud headset PS VR generasi baru yang ditujukan untuk mendampingi PS5 itu masih belum disingkap, tapi setidaknya ia sudah punya nama resmi: PlayStation VR2.

Kedengarannya tidak kreatif sama sekali? Biarlah, sebab yang lebih penting adalah bagaimana PS VR2 bisa menyajikan pengalaman virtual reality yang lebih baik dari pendahulunya, dan cara termudah untuk mewujudkannya adalah dengan menyuguhkan visual yang lebih memanjakan mata.

Sony bilang bahwa PS VR2 bakal dilengkapi panel display OLED dengan resolusi 2000 x 2040 per mata, bidang pandang seluas 110°, refresh rate 90/120 Hz, beserta dukungan HDR. Apakah itu tidak terlalu berat untuk hardware PS5? Tidak, sebab Sony turut membekali PS VR2 dengan teknologi foveated rendering, yang berarti perangkat mampu me-render grafik secara dinamis berdasarkan arah pandangan penggunanya.

Foto produknya belum ada sama sekali, jadi cukup logo branding-nya dulu kali ini / Sony

Namun upgrade visual baru sebagian dari cerita utuhnya, sebab PS VR2 juga dilengkapi sejumlah penyempurnaan lain yang ditujukan untuk menambah sensasi immersive. Terkait aspek tracking misalnya, headset PS VR2 menawarkan inside-out tracking dengan empat buah kamera terintegrasi dan sistem pendeteksi gerakan 6-poros. Itu berarti pergerakan pengguna dapat langsung dipantau tanpa bantuan sensor/kamera eksternal.

Dari segi audio, PS VR2 bakal mengawinkan teknologi Tempest 3D AudioTech milik PS5 dengan teknologi headset feedback. Sony percaya ini dapat mengamplifikasi sensasi yang dirasakan pengguna selama bermain. Pasalnya, selain mendengar suara dari semua sisi, pengguna juga bakal merasakan getarannya, kurang lebih mirip seperti fitur unggulan yang ditawarkan headset Razer Kaira Pro.

PS VR2 juga bakal hadir membawa teknologi eye tracking. Menggunakan kamera infra-merah, perangkat mampu mendeteksi pergerakan mata pengguna secara real-time, dan ini rupanya bisa diterjemahkan menjadi input ekstra. Alhasil, interaksi di dalam game bisa terkesan lebih intuitif.

Controller PlayStation VR2 Sense / Sony

Bicara soal input, PS VR2 akan didampingi oleh controller PS VR2 Sense. Detail sekaligus wujud dari controller baru ini sebenarnya sudah diungkap sejak Maret tahun lalu. Singkat cerita, PS VR2 Sense bakal mewarisi fitur-fitur andalan controller DualSense, spesifiknya adaptive trigger dan haptic feedback.

PS VR2 Sense menyambung via Bluetooth 5.1, sementara headset PS VR2 itu sendiri hanya memerlukan satu kabel USB-C saja untuk bisa berkomunikasi langsung dengan PS5. Jauh lebih praktis daripada generasi pertamanya yang membutuhkan unit perantara, belum lagi kamera tracking eksternal.

Berhubung gambar produknya belum ada (kecuali controller-nya), Sony pun juga belum bicara apa-apa soal harga maupun jadwal rilisnya. Tebakan saya, akhir tahun ini, bertepatan dengan musim liburan, tapi tentu saja ini masih murni berupa spekulasi.

Dalam kesempatan yang sama, Sony juga sempat menyinggung mengenai seperti apa konten yang bakal PS VR2 sajikan. Salah satu judul unggulan yang sudah dipersiapkan adalah Horizon Call of the Mountain, sebuah game baru yang secara spesifik dikembangkan untuk PS VR2, dengan lore dan dunia yang sama seperti franchise Horizon.

Detail tentang game ini memang belum banyak (video teaser-nya cuma berlangsung beberapa detik saja mulai 1:16) tapi yang pasti pemain bakal menjalankan protagonis baru, dan dalam perjalanannya mereka juga akan berjumpa dengan Aloy, lakon utama Horizon Zero Dawn sekaligus sekuelnya, Horizon Forbidden West, yang akan hadir pada 18 Februari 2022 mendatang.

Horizon Call of the Mountain merupakan hasil kolaborasi Guerilla Games dengan Firesprite. Firesprite sendiri sudah cukup berpengalaman mengembangkan game VR, dan studio asal Inggris tersebut telah resmi bergabung dengan keluarga PlayStation Studios sejak September 2021 kemarin.

Sumber: PlayStation Blog.

A Simple Way to Interpret Metaverse and Its Context

The metaverse term is gaining popularity since Facebook changed its label to Meta, shifting from social media to metaverse development. Furthermore, more literature arises in local languages to make it easier for people to understand the context of the metaverse. It happens in Indonesia.

In a brief discussion on the metaverse definition and its context, #SelasaStartup invites Shinta VR’s Co-founder & Managing Director, Andes Rizky. He shared tons of insights related to the metaverse and how it is implemented in Indonesia. The excerpt is below:

Metaverse and online realm

On a general note, Andes said that many people has actually experienced the metaverse concept through online games that are semi-metaverse, for example in Mobile Legends, PUBG, Free Fire, and so on which involve virtual teams (multiple players) to play.

However, the experience offered in this game is not immersive as it requires a VR device. “In a quasi (meta) world, we all feel like we are there (the game), emotionally immersed, even though we don’t use VR (a connecting device to the metaverse),” he said.

The right keyword, he continued, the most striking difference between the metaverse and the online realm is emotional involvement. In fact, all the emotional acts and behavior of a person in the metaverse nearly match someone’s behavior in the real world.

For example, he mentioned about Shinta VR’s current development of VR for education and human development. These two segments involve a human learning process that focuses more on the emotional than the logical element.

“For example, you don’t like math, if you don’t have an emotional connection, it won’t work perfectly. Shinta VR helps personalized learning processes that involve emotional elements.”

Andes’ opinion is in line with Kraken’s Co-founder and CEO, Jesse Powell statement. He said people who play popular online games are attracted to the metaverse with the idea of moving virtual items, virtual tokens, virtual outfits, or whatever it is, between different platforms. That’s where NFT and cryptocurrencies will play a big role.

Implementation and target

Moreover, because it involves an emotional element, the metaverse application in the future is to expand to many verticals of life. It includes making it a “tool” to detect a person’s behavior in certain scenarios, a medium to defeat phobias, meditation, analyzing shopping behavior as a target for digital advertising in the future.

Andes said, it is very possible that these potentials will be more accurate than assessments in the online realm. Take a real example, the majority of Indonesians are less objective when it comes to rating the goods they order on marketplace. Even though the stuff is not that great, it will get 4/5 stars. It also happens,when shopping for clothes on online platforms, the sizes are often not the right size.

“As a unified universe, all difficult activities to do in the real world is possible in the metaverse. Therefore, metaverse has many functions, depending on how we want to use it, because everyone is the target of metaverse users.”

In other words, it’s only a matter of time before the metaverse becomes mainstream, which begins with the NFT hype earlier this year. Industrially, the devices that support metaverse presence are getting friendly in terms of price and size. It’s no longer like it used to be, where a VR set must be connected to a PC which costs around IDR 36 million.

It also applies in terms of connection, the 4G network is getting widely and evenly distributed in Indonesia and the quality is increasing from time to time. Andes said this network quality will be able to present social interactions in the metaverse world.

“However, the metaverse is more complex, for a more immersive experience involving video, it requires 5G. However, for social interaction, 4G is enough. The only challenge is how to import VR as it is still challenging, both in Indonesia and Southeast Asia, there is no official Oculus distributor yet,” he said.

Andes also mentioned, “Another thing is, because the metaverse is quite new, it requires further literacy from content creators. This is no longer about digital literacy, but a more complex metaverse literacy. Relevant stakeholders are expected to be involved.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memahami Metaverse dan Seluk-Beluknya dengan Cara Sederhana

Istilah metaverse makin santer terdengar semenjak pengumuman Facebook yang mengubah namanya menjadi Meta, pergeseran dari media sosial menuju pengembangan metaverse. Semenjak itu, semakin banyak literatur berbahasa lokal agar semakin mudah dimengerti oleh banyak orang terkait seluk beluk metaverse. Hal itu juga terjadi di Indonesia.

Untuk membahas secara sederhana apa itu metaverse dan seluk beluk di dalamnya, #SelasaStartup kali ini mengundang Co-founder & Managing Director Shinta VR Andes Rizky. Andes akan berbagi banyak hal terkait metaverse dan seperti apa implementasinya di Indonesia. Berikut rangkumannya:

Beda metaverse dengan dunia online

Andes menjelaskan secara umum saat ini konsep metaverse sudah dinikmati oleh secara umum oleh banyak orang melalui online game yang sifatnya semi-metaverse, contohnya dalam permainan Mobile Legends, PUBG, Free Fire, dan sebagainya yang melibatkan tim virtual (multiple player) untuk bermain di sebuah game.

Hanya saja, dalam game tersebut pengalaman yang ditawarkan tidak immersive karena memerlukan perangkat VR untuk itu. “Di dunia yang semu (meta) kita semua merasa ada di situ (game), ikut tenggelam secara emosional, meski tidak pakai VR (perangkat penghubung ke metaverse),” ujarnya.

Kata kunci yang tepat, lanjut dia, pembeda yang paling mencolok antara metaverse dengan dunia online saat ini adalah keterlibatan sisi emosional. Sebab, segala tingkah laku dan perilaku emosional seseorang di metaverse bisa dikatakan hampir mendekati perilaku seseorang di dunia nyata.

Ia mencontohkan dengan apa yang dilakukan Shinta VR saat ini mengembangkan VR untuk edukasi dan pengembangan manusia. Yang mana, kedua segmen ini melibatkan proses belajar manusia yang lebih menitikberatkan pada unsur emosional daripada logis.

“Misal enggak suka matematika, kalau memang sudah enggak ada emotional connection, ya enggak bakal bekerja secara sempurna. Shinta VR bantu personalized proses belajar yang melibatkan unsur emosional.”

Pendapat Ander senada dengan apa yang dikemukakan Co-founder dan CEO Kraken Jesse Powell. Dia bilang orang-orang yang memainkan deretan game online populer tertarik dengan metaverse karena ide akan kemudahan memindah-mindahkan barang virtual, token virtual, pakaian virtual, apa pun itu, di antara platform yang berbeda-beda. Di situlah NFT dan mata uang kripto jadi bakal banyak berperan.

Implementasi dan target metaverse

Lagi-lagi karena melibatkan unsur emosional, maka penerapan metaverse ke depannya akan lebih luas ke banyak vertikal kehidupan. Termasuk menjadikannya sebagai “alat” untuk mendeteksi perilaku seseorang ketika ditempatkan di skenario tertentu, media untuk penghilang phobia, meditasi, hingga mendeteksi perilaku berbelanja sebagai target iklan digital ke depannya.

Menurut Andes, potensi-potensi tersebut sangat dimungkinkan bahkan dinilai akan lebih akurat daripada penilaian di dunia online. Ambil contoh nyata, mayoritas orang Indonesia kurang objektif ketika memberikan rating untuk barang yang mereka pesan di platform marketplace. Bahkan untuk barang yang tidak bagus, sering kali mendapat bintang 4/5. Begitpula saat belanja baju di platform online, sering kali ukurannya kurang pas.

“Sebagai universe yang satu kesatuan, semua kegiatan yang sulit dilakukan di dunia nyata bisa dilakukan di metaverse. Oleh karenanya, banyak banget kegunaan metaverse, tergantung bagaimana kita mau pakainya bagaimana sebab semua orang itu jadi target pengguna metaverse.”

Dengan kata lain, tinggal tunggu waktu saja sampai metaverse menjadi sesuatu yang mainstream, yang diawali terlebih dahulu oleh hype NFT yang dimulai sejak awal tahun ini. Sebab secara industri, perangkat pendukung hadirnya metaverse semakin ramah dari sisi harga dan ukuran. Tak lagi seperti dulu, yang mana satu set VR harus terhubung dengan PC memakan harga sekitar Rp36 juta.

Pun dari segi koneksi sendiri, persebaran jaringan 4G di Indonesia sendiri mulai merata dan kualitasnya juga semakin meningkat dari waktu ke waktu. Menurut Andes, dengan kualitas jaringan ini, mampu untuk menghadirkan interaksi sosial di dalam dunia metaverse.

“Hanya saja kalau metaverse yang lebih kompleks seperti melibatkan video untuk pengalaman lebih immersive, harus pakai 5G. Tapi kalau social interaction, 4G saja sudah cukup. Tantangannya tinggal cara impor VR karena masih challenging baik itu di Indonesia maupun Asia Tenggara belum ada distributor resmi Oculus,” tutupnya.

Andes menutup, “Hal lainnya yang perlu diperhatikan karena metaverse masih baru, sehingga perlu literasi lebih lanjut dari para konten kreator. Ini tidak lagi berbicara soal literasi digital, tapi literasi metaverse yang lebih kompleks lagi. Pemangku kepentingan terkait juga perlu dilibatkan.”

Final Fantasy XIV Pecahkan Rekor Jumlah Peak Gamers, Farming Simulator 22 Ciptakan Rekor Penjualan Baru

Minggu lalu, Final Fantasy XIV berhasil memecahkan rekor jumlah peak gamers. Sementara itu, Farming Simulator 22 juga berhasil mencetak rekor baru, yaitu dalam hal penjualan. Niantic baru saja mengakuisisi platform social gaming Lowkey dan Sony dikabarkan akan mengubah layanan yang ditawarkan pada PlayStation Plus di tahun depan.

Final Fantasy XIV Pecahkan Rekor Jumlah Peak Gamers

Walau telah berumur hampir 10 tahun, Final Fantasy XIV tetap populer. Faktanya, game itu baru saja memecahkan rekor baru untuk jumlah pemain aktif di Steam. Setelah expansion Endwalker diluncurkan, jumlah pemain aktif FFXIV mencapai lebih dari 95 ribu orang. Menurut laporan Kotaku, sebelum ini, rekor jumlah pemain terbanyak FFXIV adalah 67 ribu orang. Angka itu dicapai pada Juli 2021. Selain memecahkan rekor jumlah pemain, FFXIV juga berhasil menggandakan jumlah pemain aktif mereka di Steam, seperti yang disebutkan oleh PCGamesN. Pada Juni 2021, jumlah pemain aktif dari game MMO itu hanyalah sekitar 41 ribu orang.

Grafik pemain Final Fantasy XIV. | SteamDB

Peluncuran expansion baru memang jadi salah satu alasan mengapa FFXIV menjadi semakin populer. Namun, beberapa tahun belakangan, jumlah pemain game MMO itu memang terus bertambah. Faktor lain yang membuat jumlah pemain game tersebut meningkat adalah kasus yang menimpa Activision Blizzard. Karena skandal budaya pelecehan seksual di perusahaan itu, banyak gamers dan streamers yang memutuskan untuk berhenti memainkan World of Warcraft dalam beberapa bulan belakangan.

Niantic Akuisisi Lowkey, Platform Social Gaming

Niantic telah mengakuisisi Lowkey, platform social gaming. Dengan akuisisi ini, sebagian besar tim Lowkey akan menjadi bagian dari Niantic. Sementara Lowkey adalah situs media sosial untuk mengedit dan membagikan video, khususnya video gameplay.

“Lowkey merupakan pemimpin di bidang social gaming. Dengan bantuan mereka, kami akan bisa menerapkan berbagai fitur sosial di game-game buatan Niantic,” kata Head of Product, Niantic, Ivan Zhou, dikutip dari GamesIndustry. “Niantic dan Lowkey punya visi yang sama, yaitu untuk membangun komunitas berdasarkan pengalaman bermain bersama. Kami juga ingin menyediakan cara baru bagi pemain untuk saling terhubung dengan satu sama lain.”

Terjual 1,5 Juta Unit Dalam Seminggu, Farming Simulator 22 Pecahkan Rekor

Farming Simulator 22 diluncurkan untuk PC, Mac, konsol, dan Stadia pada 22 November 2021. Dalam satu minggu sejak dirilis, game itu telah terjual sebanyak 1,5 juta unit. Angka ini menjadi rekor penjualan terbanyak untuk seri Farming Simulator. Menurut SteamDB, game tersebut bahkan sempat mengalahkan Battlefield 2042 di Steam dalam hal jumlah pemain. Jumlah peak players dari Farming Sim 22 sempat mencapai 93,8 ribu orang, sementara Battlefield 2042 hanya 53 ribu orang.

Keberadaan Farming Simulator 22 sukses memperluas audiens dari franchise tersebut. Tak hanya itu, keberadaan fitur cross-platform multiplayer juga memungkinkan pemain PC, konsol current-gen dan last-gen untuk bermain bersama. Satu hal menarik lain tentang Farming Sim 22 adalah game itu merupakan game pertama yang Giants Software rilis sendiri, menurut laporan GamesIndustry.

Sony Dikabarkan akan Merombak Layanan PlayStation Plus

Di tahun depan, Sony berencana untuk mengubah penawaran dari PlayStation Plus, menurut laporan dari Bloomberg. Disebutkan, Sony akan tetap menggunakan merek PlayStation Plus. Namun, mereka akan menggabungkan layanan dari PlayStation Plus dengan PlayStation Now. Melalui layanan itu, Sony akan menyediakan katalog game dari semua platform yang pernah mereka buat, kecuali Vita, menurut laporan GamesIndustry.

Dikabarkan, PlayStation Plus yang baru akan memiliki tiga tier. Tier paling dasar dengan biaya paling murah hanya akan menawarkan segala sesuatu yang sudah tersedia di Plus sekarang. Jadi, gamers akan bisa memainkan game secara online dan mendapatkan akses ke game-game tertentu setiap bulannya. Tier kedua akan menawarkan sejumlah game PS4 dan PS5 yang bisa diunduh. Sementara tier yang paling tinggi dengan harga yang paling mahal akan memberikan akses ke on-demand streaming  dan berbagai game dan dari tiga generasi PS pertama serta PSP.

Versi VR dari Cities: Skylines Bakal Dirilis Pada 2022

Minggu lalu, Fast Travel Games mengumumkan keberadaan Cities: VR, versi virtual reality dari game Cities: Skylines. Cities: VR akan diluncurkan pada musim semi 2022 untuk Meta Quest 2 alias Oculus Quest 2. Cities: Skylines sendiri dirilis untuk PC pada 2015. Game itu sukses meraih popularitas di kalangan fans SimCity, yang kecewa dengan versi terbaru dari franchise tersebut. Setelah itu, Cities: Skylines diluncurkan untuk PlayStation 4, Xbox One, dan Nintendo Switch.

Genre city-building punya potensi besar di pasar VR. Dan kami tidak sabar untuk mengembangkan IP ini,” kata Creative Director, Fast Travel Games, Erik Odeldahl, lapor VentureBeat. “Kami menghabiskan banyak waktu, riset, dan energi untuk membawa Cities: Skylines ke VR dan memastikan bahwa game itu tetap menarik bagi pemain baru dan menawarkan tantangan baru bagi pemain lama.”

Exclusive Interview: Industri VR Indonesia dari Kacamata Developer Game

Berdasarkan data terbaru dari GlobalData, industri Virtual Reality (VR) bernilai US$5 miliar pada 2020. Angka itu diperkirakan akan naik menjadi US$51 miliar pada 2030. Associate Project Manager, GlobalData, Rupantar Guha mengatakan,  sampai saat ini, teknologi VR belum diadopsi secara massal. Padahal, teknologi VR telah dikembangkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu.

“Dalam beberapa tahun belakangan, baik hardware maupun software untuk VR telah berevolusi. Meskipun begitu, masalah seperti latensi, harga hardware yang mahal, masalah privasi, dan ketiadaan konten membuat VR tetap menjadi industri niche,” kata Guha pada GamesIndustry. “Memang, teknologi seperti 5G, cloud, dan motion tracking bisa digunakan untuk mengatasi masalah latensi. Namun, kunci untuk menumbuhan industri VR adalah jaminan privasi untuk para pengguna dan ketersediaan konten yang memadai.”

Bagaimana Keadaan Industri VR di Indonesia?

Lee Marvin, VP of Gamification at Agate International memperkirakan, teknologi VR mulai masuk ke Indonesia ketika Facebook mengakuisisi Oculus pada 2014. Ketika itu, telah ada beberapa perusahaan yang menyediakan headset VR, seperti Oculus, HTC, dan Samsung. Dia bercerita, orang-orang mulai tertarik mencoba VR karena framerate lensa di headset VR sudah mencapai 60 fps sehingga konten bisa tampil dengan mulus. Orang-orang yang masuk dalam kategori early adopters tersebut adalah pelaku industri kreatif dan brand agency. Mereka tertarik dengan VR karena teknologi itu bisa menjadi cara baru bagi brand untuk berkomunikasi dengan konsumen.

“Kendalanya adalah karena kurang kreator konten,” ujar Marvin dalam wawancara dengan Hybrid. “Ketika akses ke teknologi VR terbuka, developer juga masih coba-coba; bagaimana membuat konten/game yang bagus, bagaimana cara memastikan pengguna tidak bingung dengan controller-nya.”

Lebih lanjut, Marvin menjelaskan, di Indonesia, hype akan teknologi VR memuncak pada 2016. Memang, ketika itu, Sony baru saja meluncurkan PlayStation VR. Jika dibandingkan dengan HTC Vive — yang harganya bisa mencapai belasan atau puluhan juta — harga PSVR relatif terjangkau, hanya berkisar Rp5-7 juta. Sayangnya, hype akan VR di Indonesia tetap turun pada 2018.

Hype teknologi VR di Indonesia mulai hilang, karena aksesnya sangat terbatas,” jelas Marvin. “Untuk beli headset-nya sendiri saja masih impor. Tidak ada official store yang menyediakan hardware-nya, khususnya Oculus. Sementara HTC ada toko resmi, tapi harganya mahal.”

Tantangan di Industri VR

Marvin menyebutkan, salah satu masalah utama yang menghambat pertumbuhan industri VR adalah harga hardware yang mahal. Dia lalu membandingkan harga headset VR — yang bisa mencapai puluhan juta — dengan harga smartphone. Sekitar tahun 2018, Anda sudah bisa membeli smartphone dengan harga Rp1-2 juta, jauh lebih murah dari headset VR.

Padahal, kata Marvin, untuk bisa bermain game VR, Anda tidak hanya memerlukan headset, tapi juga komputer yang cukup powerful. Karena entry barrier yang cukup tinggi itu, maka jumlah orang yang bisa mengakses teknologi VR pun menjadi sangat terbatas. “Biasanya, pihak yang punya dana untuk beli PC/laptop gaming dan headset VR memang perusahaan,” jelas Marvin. Dan ketika itu, laptop gaming juga baru hype. Jadi memang, pasarnya sangat terbatas.”

Senada dengan Marvn, Nico Alyus, CEO OmniVR, juga mengatakan bahwa harga hardware yang mahal jadi salah satu penghalang utama bagi industri VR di Indonesia untuk tumbuh. “UMR di Indonesia itu hanya Rp3,5-4 juta, sedangkan satu paket alat VR yang complete itu seharga Rp40 juta,” kata Nico pada CNBC Indonesia. “Artinya, orang harus nggak makan selama 10 bulan, baru dia bisa beli alat VR.” Berdasarkan data internal dari OmniVR, selama 3 tahun — sejak 2016 sampai 2019 — total alat VR yang terjual di Indonesia hanya mencapai 228 unit.

HTC Vive bisa dihargai belasan sampai puluhan juta.

Ketika ditanya tentang masa depan industri VR, Marvin mengatakan, selama harga hardware VR masih cukup mahal, maka teknologi VR akan sulit untuk menjadi mainstream. “Hardware seharga Rp7 juta itu, orang-orang yang tidak tinggal di kota besar, seperti nelayan atau petani, mereka tidak bisa afford hardware itu. Bagi mereka, smartphone seharga Rp1-2 juta saja sudah terbilang mahal. Harga Rp7 juta hanya bisa di-afford oleh orang-orang level menengah atas,” ujarnya.

Masalah lainnya adalah konten. Marvin berkata, “Popularitas VR tergantung konten. Apakah konten yang bisa diakses melalui VR mempengaruhi produktivitas atau tidak. Kalau hanya sebatas entertainment, hardware VR ya akan diperlakukan sama seperti konsol.”

Kabar baiknya, selama pandemi, minat masyarakat Indonesia akan VR naik. Menurut Marvin, hal ini terjadi karena orang-orang yang sudah lama terkurang di rumah tengah mencari metode hiburan baru. Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri VR adalah keberadaan Oculus Quest 2. Keberadaan hardware itu membantu karena Anda bisa menggunakan Quest 2 tanpa harus menghubungkannya ke komputer. Dan Anda bisa melakukan setup dengan smartphone.

Siapa Target Pasar VR di Indonesia?

Meski pasar VR tidak sebesar yang diperkirakan beberapa tahun lalu, Indonesia tetap punya pasar VR. Marvin menjelaskan, bisnis VR milik Agate menargetkan perusahaan sebagai klien, berbeda dengan game yang Agate buat, yang ditujukan untuk konsumen.

Marvin menjelaskan, biasanya, perusahaan menggunakan teknologi VR untuk membuat simulasi latihan dari tugas yang punya risiko tinggi. Contohnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. “Dengan VR, biaya latihan bisa menjadi lebih terjangkau. Selain itu, keamanan pegawai pun menjadi lebih terjamin,” ujarnya. Selain perusahaan kontruksi, perusahaan lain yang biasanya menjadi klien Agate adalah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif dan pertambangan

“Perusahaan pertambangan adalah yang paling banyak. Karena, mereka menggunakan alat berat yang besar-besar semua,” jelas Marvin. “Untuk melatih pegawai, daripada menggunakan truk seukuran 10 meter, bisa bahaya kalau terguling, lebih baik menggunakan VR.” Dia menambahkan, pihak lain yang sering menggunakan VR adalah militer. Memang, salah satu proyek VR pertama — yang dikembangkan pada tahun 1960-an — dibuat untuk keperluan militer Amerika Serikat.

Marvin merasa, di masa depan, VR akan terus digunakan sebagai alat latihan perusahaan. Pasalnya, pelatihan menggunakan VR terbukti efektif. Dia memberikan contoh pelatihan menembak.

“Ada yang namanya imaginary training, untuk latihan menembak. Jadi, ada orang yang memang latihan manual, ada yang latihan dengan simulasi menggunakan VR, dan ada yang tidak latihan sama sekali,” ungkap Marvin. “Hasilnya, tingkat akurasi dari orang yang berlatih menggunakan VR hampir sama dengan orang yang latihan secara manual. Sementara orang yang tidak berlatih sama sekali menunjukkan tingkat akurasi paling rendah.”

Mengingat simulasi VR biasanya digunakan untuk latihan dalam sebuah perusahaan, proses pembuatannya pun berbeda dengan proses pengembangan game. Marvin menyebutkan, sebelum membuat simulasi VR untuk sebuah perusahaan, Agate biasanya akan bertemu dengan perwakilan perusahaan untuk membahas tentang requirement yang mereka butuhkan. “Karena kebutuhan perusahaan adalah untuk latihan, simulasi harus disesuaikan dengan skillset yang diperlukan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) perusahaan,” kata Marvin.

“Jika perusahaan sudah tahu requirement apa saja yang mereka butuhkan, biasanya mereka akan mengeluarkan request for proposal, yaitu undangan bagi para vendor untuk mengajukan proposal mereka,” ujar Marvin. Menariknya, perusahaan-perusahaan yang berkutat di dunia VR biasanya adalah developer game atau penyedia solusi VR. Marvin menjelaskan, hal ini terjadi karena perusahaan yang bisa membuat simulasi VR hanyalah mereka yang memang mengerti teknologi VR. Apalagi karena proses pembuatan aplikasi VR akan tergantung pada jenis headset yang digunakan perusahaan.

Selain untuk latihan, perusahaan biasanya menggunakan teknologi VR untuk menyebarkan informasi produk atau melakukan edukasi produk ke konsumen. Meskipun begitu, Marvin menekankan, ketika Agate membuat aplikasi VR, interaksi yang terjadi di simulasi itu tetaplah layaknya game.

Shinta VR Pendanaan Pra-Seri A

Shinta VR dan Penerapan Metaverse dalam Segmen B2B

Sejak didirikan pada tahun 2016 lalu, bisnis Shinta VR diklaim mengalami peningkatan yang positif. Bukan hanya dari sisi inovasi, namun juga target pasar dan mitra strategis yang makin banyak. Masih fokus menyasar kepada segmen B2B, kini Shinta VR tengah mempersiapkan diri untuk menghadirkan inovasi yang lebih besar kepada virtual reality enthusiast di Indonesia.

“Saya melihat tahun 2022 mendatang akan lebih banyak lagi permintaan perangkat VR di Indonesia. Membuktikan bahwa teknologi VR sudah semakin dikenal dan digunakan oleh semua kalangan,” kata Managing Director Shinta VR Andes Rizky kepada DailySocial.id.

Secara khusus saat ini Shinta VR memiliki tiga produk unggulan, yaitu  produk edukasi untuk sekolah, layanan human development untuk pelatihan pegawai perusahaan, serta platform entertainment/new media. Shinta VR juga telah membantu ribuan sekolah di 34 provinsi di Indonesia menggunakan teknologi 3D dan VR dalam pembelajaran melalui unit bisnisnya, yaitu Millealab.

Dengan strategi ‘community based content’ Millealab berhasil menciptakan dampak luas bagi dunia pendidikan Indonesia dengan mencetak 5200 guru terlatih dan 130 guru ambasador VR sejak 2019, dan sudah digunakan oleh ratusan sekolah di seluruh Indonesia.

“Masing-masing produk memiliki kekuatan tersendiri yang nantinya jika diintegrasikan, bisa memberikan impact yang luas dan relevan. Untuk mempercepat pertumbuhan, perusahaan juga berencana untuk memperluas target pasar,” kata Andes.

Disinggung apakah ke depannya Shinta VR juga akan menggarap gaming, Andes menegaskan tren game memanfaatkan teknologi VR ke depannya adalah lebih kepada multiplayer. Meskipun memiliki potensi untuk bisa dikembangkan namun mereka masih merasa enggan untuk masuk ke sana. Ada dua alasan, pertama dibutuhkan sumber daya besar untuk menciptakan inovasi tersebut. Kedua, pangsa pasar di segmen B2B masih luas dan cenderung lebih mudah dimonetisasi.

Kantongi pendanaan pra-seri A

Tim Shinta VR dengan TigaLapan Investama Group

Akhir Oktober 2021 lalu, Shinta VR mengumumkan telah mengantongi pendanaan pra-seri A yang dipimpin oleh TigaLapan Investama Group dan Investa Syailendra Nuswantara (INSAN) sebagai business/investment aggregator. Pendanaan ini melengkapi perolehan sebelumnya oleh Telkomsel Innovation Centre (TINC), Rentracks, dan beberapa angel investor.

Tahun 2022 mendatang Shinta VR juga memiliki rencana untuk melanjutkan pendanaan ke tahapan seri A.

Rencananya dana segar tersebut bakal digunakan oleh perusahaan untuk merekrut lebih banyak tim engineer dan melakukan riset produk secara internal untuk mendukung misi perusahaan melebarkan bisnis. Dengan investasi ini, Shinta VR berfokus untuk menjadi perusahaan metaverse paling berdampak di Indonesia.

“Perkembangan Shinta VR sejak tahun 2016 hingga saat ini sudah mengalami pertumbuhan yang positif. Setelah menjalankan bisnis secara bootstrap kini kami mampu bermitra dengan investor yang memiliki koneksi strategis untuk membantu bisnis Shinta VR,” kata Andes.

Fokus mereka yang menyasar segmen B2B dengan menghadirkan produk edukasi dan human development dinilai sangat relevan saat ini. Selama ini perusahaan mengklaim telah berhasil mendapatkan revenue dari produk yang mereka hadirkan.

Selain Shinta VR, perusahaan yang mengembangkan teknologi VR/AR di Indonesia adalah Festivo, DCIMAJI, Magnate, ARnCO, Octagon Studio, Primetech, Avergo, Omni VR, Invoya, INVR, DAV, Varcode. Semua perusahaan tersebut saat ini tergabung dalam Indonesian VR/AR Association (INVRA).

Penerapan metaverse di Indonesia

Di Indonesia sendiri saat ini teknologi VR sudah makin dikenal. Dilihat dari makin banyaknya marketplace yang menjual perangkat VR, menjadikan teknologi ini sudah semakin familiar dikalangan masyarakat. Dukungan dari pemerintah diklaim makin besar, dengan semakin banyaknya perusahaan lokal yang bermain di industri VR saat ini.

Apakah saat ini Indonesia sudah siap menerapkan konsep metaverse? Menurut Andes secara umum saat ini metaverse sudah banyak dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Melalui online games yang sifatnya semi-metaverse, secara langsung masyarakat Indonesia sudah terbiasa berinteraksi walaupun tidak langsung masuk ke metaverse yang sebenarnya. Teknologi yang digunakan juga tidak harus 5G, dengan 4G pun bisa didapatkan hasil yang bagus.

Metaverse menurut saya lebih melibatkan koneksi emosional. Jika bermain game seperti Among Us misalnya sudah bisa dikategorikan kepada metaverse, namun belum masuk dalam definisi metaverse yang sebenarnya. Saat ini pun perangkat untuk VR sudah semakin terjangkau harganya dan banyak dijual di berbagai marketplace. Artinya kita sudah siap, tinggal ditambahkan immersive, connection, dan emotional connection,” kata Andes.

Meskipun sangat luas definisi tentang metaverse, namun menurut Andes ada planet-planet kecil yang masih bisa dimanfaatkan untuk mendukung bisnis. Salah satunya adalah fokus kepada edukasi dan human development. Dengan integrasi data dan lainnya, nantinya juga bisa terhubung dengan metaverse lainnya seperti meta-commerce, blockchain, hingga NFT. Ditambahkan olehnya jika bicara soal metaverse hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana caranya bisa melakukan koneksi yang tepat,

“Misalnya untuk edukasi di sekolah bisa mendapatkan data insight untuk mengukur behavior siswa belajar di dunia virtual, demikian juga dengan human development dengan mendapatkan data yang lebih kompleks. Kemudian untuk virtual character system bisa didapatkan juga data koneksi emosional berinteraksi secara virtual,” kata Andes.