Tag Archives: vulcan capital

Pendanaan Seri B Esensi Solusi Buana

Esensi Solusi Buana Raih Pendanaan Seri B 420 Miliar Rupiah; Masuk ke Jajaran Centaur [UPDATED]

*Update 29/8 pukul 19.30: kami menambahkan informasi kisaran valuasi ESB

Startup SaaS bisnis kuliner Esensi Solusi Buana (ESB) meraih pendanaan seri B sebesar $29 juta atau sekitar 420 miliar Rupiah. Investasi ini dipimpin oleh Northstar Group dan Alpha JWC Ventures serta partisipasi dari BEENEXT, Vulcan Capital, dan AC Ventures.

Sebelumnya, ESB telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $10,6 juta dari sejumlah investor antara lain Alpha JWC, Vulcan Capital, BEENEXT, AC Ventures, Skystar Capital, dan Selera Kapital.

Dari pendanaan yang ada, menurut sumber yang kami dapat, saat ini valuasi ESB telah mencapai lebih dari $100 juta dan menjadikannya sebagai salah satu startup Centaur dari kategori SaaS.

ESB merupakan pengembang platform SaaS yang mengelola bisnis kuliner secara all-in-one. Startup ini didirikan oleh Gunawan Woen, Eka Prasetya, Setiadi Prawiryo Moeljadi, dan Dwi Prawira pada 2018. Berbekal pengalaman puluhan tahun di F&B dan rantai pasokan, para pendiri ESB memiliki misi membantu pemilik bisnis meningkatkan profitabilitas, penjualan, dan efisiensi operasional melalui solusi berbasis cloud.

Sejumlah solusi yang ditawarkan mencakup aplikasi pengambilan pesanan front-end, Point of Sales (POS), solusi operasi dapur, dan sistem Perencanaan Sumber Daya Perusahaan (ERP) F&B back-end. Selain itu, pemilik bisnis akan mendapatkan akses ke ekosistem penyedia pihak ketiga, seperti pasokan bahan, pengiriman makanan, dan pembayaran digital.

Melalui ESB, pengusaha F&B juga mendapatkan akses ke ekosistem penyedia ESB telah melayani lebih dari 2.000 merek F&B dan mengelola lebih dari 100 juta pesanan per tahun.

Managing Director Northstar Group Carlson Lau mengungkap, ESB telah menunjukkan kinerja yang baik dan bahkan mampu melawan pesaing global yang punya kapitalisasi lebih besar dalam memenangkan F&B internasional di Indonesia. “Kami senang melihat produk dan pengembangan strategi go-to-market yang matang,” tuturnya.

Sementara, Founder & Managing Partner AC Ventures Adrian Li menambahkan, “Platform ESB menghadirkan solusi berbasis cloud secara end-to-end bagi pemilik restoran agar dapat mengurangi biaya, mengelola operasional, dan meningkatkan pengiriman online. ESB siap merevolusi pasar multi-miliar dine-in dan takeaway di Indonesia,” tutur Li.

Ekspansi dan pengembangan produk

Adapun, pendanaan ini akan dimanfaatkan untuk memperluas jangkauannya di pasar UMKM  dan meluncurkan produk baru. Proposisi nilai yang ditawarkan mencakup: (1) fitur pembayaran dan pinjaman yang sederhana, (2) fasilitas modal kerja, (3) pengembangan fitur untuk mendorong produktivitas UKM, (4) solusi manajemen pemesanan dan pengiriman, (5) kemampuan fitur akuntansi, dan (6) kemampuan sistem informasi SDM.

Co-Founder & CEO ESB Gunawan Woen mengatakan, pandemi telah mengakselerasi adopsi digital pada ekosistem yang terlibat di value chain F&B, mulai dari pelanggan hingga pemasok bahan. Dengan akselerasi ini, pemilik F&B terdorong untuk menjalankan operasional yang lebih ringkas dan mengeksplorasi kanal penjualan baru. Solusi ini juga diharapkan mendorong pertumbuhan bisnis di tengah pemulihan ekonomi.

Selain itu, kenaikan biaya akibat inflasi harga komoditas di awal 2022 memaksa pelaku usaha F&B untuk lebih mengoptimalkan struktur biayanya. Hal ini mendorong mereka untuk mengadopsi tools yang memungkinkan mereka untuk meningkatkan produktivitas melalui layanan mandiri konsumen, otomatisasi alur kerja internal, dan pengurangan limbah makanan. ESB siap untuk memanfaatkan tren ini.

“Kami memandang mitra F&B kami setara, baik pelaku UMKM hingga bisnis skala besar. Kami berkomitmen untuk membantu pedagang kami menghasilkan penjualan lebih banyak dan meningkatkan efisiensi mereka. Dengan mencapai itu, kami dapat memastikan keberlanjutan, bankability, dan pertumbuhan mereka. Ketika mitra kami tumbuh, ESB ikut tumbuh,” ujar Gunawan.

Beberapa platform digital di Indonesia yang memiliki komitmen untuk mendukung pelaku F&B terutama skala UKM ada DigiResto yang dikembangkan MCAS. DigiResto sempat mendapat investasi dari SiCepat. Ada pula Runchise yang punya model pengelolaan bisnis waralaba (franchise) dan kuliner.

Pendanaan Seri A Nalagenetics

Nalagenetics Umumkan Pendanaan Seri A 181 Miliar Rupiah

Startup pengembang produk dan layanan pengujian genetik Nalagenetics mengumumkan telah menutup putaran pendanaan seri A senilai $12,6 juta atau setara 181 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Intudo Ventures dan Vulcan Capital, didukung sejumlah investor termasuk Diagnostics Development Hub (DxD Hub) melalui Agency for Science, Technology and Research’s (A*STAR) A*ccelerate Technologies Pte Ltd, Dexa International, Diagnos Laboratories, East Ventures, AC Ventures, dan sejumlah angel investor — termasuk salah satu eksekutif platform e-commerce lokal.

Sebelumnya mereka telah membukukan pendanaan tahap awal pada November 2018 lalu senilai $1 juta. Berbekal dana investasi tersebut, Nalagenetics secara agresif mengembangkan solusi pengujian genetika menyeluruh, yang memungkinkan pencegahan penyakit. Melalui perangkat lunak dan solusi genetiknya, mereka memberdayakan profesional di bidang kesehatan untuk menerapkan pengujian prediktif dan pra-gejala guna pencegahan atas kondisi kronis.

Solusi awal yang dihadirkan Nalagenetics adalah kit genotipe yang terjangkau dan solusi bioinformatika untuk interpretasi data genetik. Seiring perkembangannya, kini mereka turut menawarkan ragam solusi mencakup pembuatan, penerapan, dan integrasi informasi genetika dalam sistem perawatan kesehatan. Dengan salah satu platform berjuluk “Clinical Decision Support” untuk lab-lab kesehatan.

Di luar perangkat lunak, layanan Nalagenetics mencakup protokol lab basah, algoritma bioinformatika, rekomendasi klinis, dan koneksi API, untuk memberdayakan rumah sakit dan laboratorium agar menjalankan layanan pengujian genetik yang efektif.

Selain itu, Nalagenetics telah mendukung pemerintah dan sektor swasta selama pandemi Covid-19, meningkatkan pengujian untuk pasien di seluruh penjuru Indonesia.

Lanjutkan ekspansi regional

Saat ini Nalagenetics melayani pasar utamanya di Indonesia dan Singapura. Selanjutnya melalui dana segar yang didapat, perusahaan akan melanjutkan ekspansi ke Malaysia dan sejumlah negara lain tahun ini. Perusahaan juga telah bermitra strategis dengan lebih dari 40 rumah sakit dan klinik kesehatan. Selain ekspansi, pengembangan produk juga akan menjadi fokus utama.

Nalagenetics telah mengembangkan modul klinis untuk farmakogenomik, nutrigenomik, dan prediksi risiko kanker payudara. Kemudian berencana untuk mengembangkan modul baru seputar skor risiko poligenik untuk mengatasi kondisi kompleks dan pembunuh terbesar di Asia Tenggara, yang mencakup penyakit kardiometabolik, kanker, dan kondisi neurodegeneratif.

“Kami bersemangat untuk terus mengadvokasi pengembangan skrining genetik hemat biaya untuk personalisasi resep dan skrining untuk kardiovaskular, neurodegeneratif, dan kanker sebagai pembunuh terbesar di Asia Tenggara. Karena momentum untuk pengujian genetik dan adopsi perawatan berbasis nilai semakin meningkat, kami melihat banyak minat dari rumah sakit dan penyedia layanan yang sebelumnya tidak ada,” kata Co-Founder & CEO Nalagenetics Levana Sani.

Pertumbuhan pasar yang signifikan

Menurut data yang disampaikan, Asia menjadi pasar pengujian genetika dengan pertumbuhan tercepat. Namun, masih ada ruang yang signifikan untuk pertumbuhan, karena saat ini hingga 80% dari semua penemuan genetik terus ditemukan terutama pada populasi Kaukasia.

Founding Partner Intudo Ventures Patrick Yip mengatakan, “Populasi lokal membutuhkan solusi lokal dalam mengatasi masalah terkait genetika. Indonesia, dan lebih luas lagi di Asia Tenggara, telah lama menjadi pasar yang kurang terlayani untuk pengujian genetika. Dengan solusi yang disesuaikan dengan konteks lokal, Nalagenetics mengintegrasikan produk dan layanan yang ditargetkan ke dalam sistem perawatan kesehatan lokal untuk menawarkan layanan pengujian genetika dan analitik untuk pasien yang tidak memiliki akses ke layanan tersebut.”

Kendati demikian, di Indonesia memang belum banyak startup yang bermain di ranah ini. Kebanyakan kebutuhan akan pengujian genetika atau biomedis lainnya baru di tangani lab-lab konvensional – yang biasanya membutuhkan biaya lebih besar untuk penggunaan layanannya. Startup biotech lain yang telah hadir dan juga mendapatkan pendanaan dari pemodal ventura adalah Nusantics. Selama pandemi salah satu inovasi yang mereka gencarkan ialah menghadirkan alat pengujian Covid-19 yang ramah di kantong.

SaladStop! Indonesia

SaladStop! Dapat Pendanaan Seri B dari Temasek, East Ventures, dan Lainnya; Memvalidasi Ketangguhan “Cloud Kitchen”

Startup pengembang food chain yang fokus pada makanan sehat, SaladStop! Group, mengumumkan penutupan pendanaan seri B senilai SGD12 juta atau setara 125,7 miliar Rupiah. Putaran tersebut dipimpin Temasek, dengan keterlibatan East Ventures, Vulcan Capital, K3 Ventures, dan DSG Consumer Partners.

Saat ini layanannya sudah digunakan 3,5 juta orang per tahun oleh pengguna di Indonesia, Singapura, Jepang, Korea Selatan, Hong Kong, dan beberapa negara lainnya. Di Indonesia sendiri, layanan SaladStop! baru bisa dinikmati oleh pengguna di Jakarta dan Surabaya. Mereka juga telah mengoperasikan beberapa merek, termasuk Heybo, Wooshi, dan GoodFoodPeople dengan 69 gerai di seluruh negara basis operasionalnya.

Sesuai namanya, menu yang disuguhkan berupa salad, memadukan bahan segar nabati dan hewani. Selain itu ada beberapa menu lain juga seperti Wraps, Protein Bowl, dan makanan Korea. Menariknya, melalui situs yang disuguhkan untuk pemesanan, kita bisa menyusun makanan kita sendiri dengan memilih bahan dasar, sayuran, topping, sampai dressing-nya.  Setiap makanan yang dipesan akan dihitung kandungan nutrisinya.

“Misi kami untuk membentuk masa depan makanan di Asia dan memastikan bahwa makanan sehat itu nyaman dan dapat diakses oleh semua orang. Pandemi menunjukkan ketahanan bisnis kami di semua pasar dan mempercepat penetrasi online. Dipicu oleh teknologi inovatif, jaringan cloud kitchen, dan generasi baru merek makanan sehat  kami sangat senang dapat bermitra dengan investor strategis untuk meningkatkan skala bisnis,” ujar Co-Founder & CEO SaladStop! Adrien Desbaillets.

Manfaatkan cloud kitchen

Dalam menjajakan produknya, SaladStop! memanfaatkan konsep cloud kitchen. Ini dipilih agar dapat mendorong pertumbuhan yang lebih tinggi, terlebih didukung dengan teknologi yang mereka kembangkan. Di proses distribusi, mereka juga memanfaatkan ekosistem food delivery di masing-masing negara tujuannya. Seperti di Indonesia, mereka bermitra dengan GoFood dan Grab Food untuk pemesanan dan pengantaran makanan.

Selain itu, di Indonesia SaladStop! turut menggandeng operator cloud kitchen untuk membantu mereka memproduksi makanan untuk pelanggan. KitaKitchen menjadi platform yang mereka gandeng saat ini. Sebenarnya banyak opsi yang bisa digunakan juga, DailySocial.id mencatat setidaknya ada 15 operator yang kini terus memantapkan bisnis.

No Nama Operator Tahun berdiri Lokasi Minimum kontrak Ukuran dapur Harga sewa (mulai dari) Mitra brand
1 GrabKitchen 2018 45 outlet 1 tahun 10-20 m2 Bagi hasil Geprek Bensu, Reddog, The Good Habit Express
2 Dapur Bersama GoFood 2019 27 outlet 1 tahun 14-25 m2 Bagi hasil FamilyMart, Banzai, I am Geprek Bensu
3 Everplate 2019 9 outlet 1 tahun 6-17 m2 Biaya tetap, 6 juta/bln 2080 Burger, The Moo, Bakso Gembul
4 Yummy Kitchen 2019 40 outlet 6 bulan 5-10 m2 Bagi hasil, 7 juta/bln Dailybox, KyoChon, Se’i Sapi Lamalera
5 Kita Kitchen 2020 3 outlet 6 bulan 6-17 m2 Biaya tetap, 5 juta/bln Burgreens, Thai Alley, Yoshinoya, SaladStop
6 Telepot 2020 1 outlet 6 bulan 7-19 m2 Bagi hasil, 6 juta/bln Yuks Bowl, Kaka Bakes, CWIMS
7 Hangry 2020 40 outlet N/A N/A N/A Own brand
8 Popitsnack N/A 1 outlet N/A N/A N/A Segara Market, Tehna
9 Tabula 2020 53 outlet N/A N/A N/A Mujigae, Palava, Fondre
10 Eden Kitchen 2020 1 outlet N/A N/A Biaya tetap, 5 juta/bln Oppa Corn Dog, Unicorn Burger
11 Foodstory 2021 2 outlet N/A N/A N/A Ayam Sunda Empire, Nasi Goreng TikTok, Chick Pok!
12 Lookalkitchen 2021 50 outlet N/A N/A N/A Dapoer Bang Jali by Denny Cagur
13 DishServe 2021 100 outlet N/A N/A Komisi Phago, Daipan
14 Eatsii 2021 N/A N/A N/A N/A Nasi Goreng Endoy, Simply Fry
15 Boga Kitchen 2020 16 outlet N/A N/A N/A Own brand

Dengan mereduksi beban di sisi operasional, brand pengembang produk makanan memang cenderung bisa lebih gesit dalam melakukan inovasi produk dan ekspansi. Sebaran penyelenggara cloud kitchen yang terus meluas juga menjadi kesempatan tersendiri bagi pemain untuk memperluas pangsa pasarnya di tengah pergeseran kebiasaan pelanggan pascapandemi. Ini terbukti, sepanjang pandemi, lebih dari 50% penjualan SaladStop! dihasilkan secara online.

“Untuk mencapai strategi pertumbuhan ambisius kami berencana untuk memperdalam akar kami di pasar yang ada, sementara juga memperluas jejak di negara-negara baru yang dipilih. Kami telah membangun infrastruktur yang luas di seluruh wilayah selama beberapa tahun terakhir dan akan terus memanfaatkan kemampuan teknologi dan model operasi cloud kitchen eksklusif kami untuk mempercepat pertumbuhan kami di pasar negara berkembang,” imbuh Chief Growth Officer of SaladStop! Frantz Braha.

Konsep bisnis serupa di Indonesia

Hangry, Foodstory, Legit Group, dan beberapa pemain lokal lain sebenarnya juga telah mengadopsi model bisnis yang serupa, yakni “multi-brand cloud kitchen”. Melalui gerai-gerai mini yang tersebar di berbagai kota, bahkan sebagian tidak menyediakan opsi dine-in, mereka menghadirkan beberapa brand makanan sekaligus ke dalam satu opsi pemesanan. Contohnya Hangry!, dalam kedainya mereka memberikan beberapa opsi makanan mulai dari Moon Chicken, San Gyu, Kopi Dari Pada, dan Ayam Koplo.

Dari sisi pengguna model multi-brand ini juga menghadirkan keuntungan tersendiri. Dalam satu kali pemesanan, mereka bisa memperoleh varian item makanan dari merek yang berbeda — termasuk menghemat ongkos kirim.

Penerimaan pasar yang apik ternyata turut membuka mata pemodal ventura untuk turut menggarap lini industri ini. East Ventures berinvestasi ke Legit Group, sementara Alpha JWC Ventures juga turut mendukung Hangry! sejak debut awalnya.

Model bisnis yang dijalankan saat ini seperti bisa menjadi “template” untuk pengusaha kuliner generasi selanjutnya. Selain memungkinkan mereka bisa bergerak lincah untuk memperluas area bisnis, penerimaan pasar juga menjadi aspek penting yang kini mulai terbentuk. Di sisi lain infrastruktur yang mengakomodasi bisnis tersebut juga terus diperdalam. Sebut saja, untuk layanan pemesanan kini tidak hanya terpaku ke duo Grab-Gojek, platform lain seperti Shopee dan Traveloka mulai meningkatkan kualitas layanan food delivery mereka.

Tantangannya justru bagaimana ini pengusaha makanan menciptakan brand yang relevan dengan pangsa pasar di Indonesia – demi menghadirkan produk makanan berkualitas dengan biaya terjangkau. Toh di sisi operasional banyak biaya yang seharusnya bisa ditekan untuk diprioritaskan ke produk.

Qapita Closes 213 Billion Rupiah Funding, Focusing on Expansion to Indonesia

Singapore-based legaltech startup Qapita announced $15 million (over 213 billion Rupiah) series A funding led by East Ventures through Growth Fund and Vulcan Capital. Participated also in this round NYCA and previous investors, including MassMutual Ventures, Endiya Partners, and several angel investors, including Alto Partners, partners from Northstar Group and K3 Ventures.

Previously, Qapita raised $5 million in the Pre-Series A round and $2.25 million in the seed round, respectively in April 2021 and September 2020. The company has raised a total of $22.25 billion in funding since it was founded.

Qapita is a legaltech company that helps private companies such as startups to manage company’s record of share ownership structures (known as capital tabulations/cap tables) and employee share ownership plans (ESOPs). The startup was founded in September 2019 by CEO Ravi Ravulaparthi, COO Lakshman Gupta, and CTO Vamsee Mohan.

The three of them saw an opportunity to digitize and make the private capital market more efficient. The founders come from diverse professional backgrounds with more than 20 years of experience working as bankers, investors and technologists in South and Southeast Asia.

Qapita’s Co-founder & CEO, Ravi Ravulaparthi explained that the fresh funds will be used to expand its operations in Indonesia, including to strengthen its client base in Singapore and India. He said, Indonesia is one of the fastest growing private markets in the world. It is now a good time to build operating systems and transaction rails for private enterprise ownership in the region.

“It is related to the use of technology to increase transparency, access, efficiency, and liquidity in the private market. This platform will also empower Indonesian startup employees in terms of company ownership. The Qapita team is very grateful to our shareholders and partners in Indonesia who have supported this effort,” Ravulaparthi said in an official statement, Wednesday (6/10).

The Qapita team has grown from 7 people, twelve months ago to around 65 people, today in Singapore and India. Qapita’s operational scope is now spread across three countries, India, Indonesia and Singapore.

The reason is said that these three areas have companies identify opportunities to use technology as it gathers three main trends. It includes the rapid growth in various startups, the expansion of several venture capital, and the financial digitalization.

Qapita predicts the private securities value in the region will exceed $1 trillion-$1.5 trillion (with 200-250 unicorns) in the next few years and scalable digital solutions will be critical for the ecosystem to thrive. Qapita equity management software solves problems related to HR (ESOP), finance and fundraising issues for private companies, investors, shareholders and employees.

Qapita’s marketplace enables secondary transactions for stakeholders. Qapita estimates that more than USD 150 billion of equity will require various liquidity solutions.

Ravulaparthi continued, the company plans to add more products to its platform with this funding round, not only to provide solutions for private companies and startups, but also investors, shareholders and employees.

“Qapita also plans to facilitate liquidity solutions through digital marketplaces that enable transactions for companies between their investors and employee stakeholders.”

East Ventures’ Co-founder & Managing Partner, Willson Cuaca stated his enthusiasm to invest more in Qapita to build an operating system for the private market in the region. “Qapita can be a liaison network between private companies, their employees, shareholders and investors in all matters relating to equities. The startup ecosystem in Indonesia and other regions is growing rapidly,” he said.

ESOP trend in Indonesia

Casting for skilled talent is an important task for startups, but retaining talented staff is another big challenge. High salaries and benefits are the traditional way to retain talent. However, this strategy does not always work, especially when the startup faces competition from other, bigger and more established startups.

In the ESOP, the employer allocates a varying number of company shares to each qualified employee, depending on the salary scale or other aspects. ESOPs usually come with a vesting period, during which employees are prohibited from selling shares.

Each employee’s stock is held in the company’s ESOP trust until the employee retires, leaves the company, or is allowed to sell their shares. Once fully entitled, the company can “buy back” shares from employees, either in its entirety or periodically through liquidity or buybacks.

The plan was created to increase employees dedication to achieve positive results for the startup, as the value of their shares will increase along with the value of the company. By owning shares in the company, employees are less likely to leave, thus potentially reducing employee turnover rates for startups.

The ESOP is becoming a method that is being used gradually in Southeast Asia for small startups to attract and retain talent. In Indonesia, on Ravulaparthi’s observation, this concept is just getting popular. While in India, it has been implemented since the last three years.

A joint survey conducted by Monk’s Hill Ventures and recruitment platform Glints found that in Southeast Asia, equality is a common compensation for C-level staff and other executive-level employees, yet not limited to junior or mid-level employees. The survey stated that less than 32% of participants were compensated in the form of equity. The preference for cash payments is the main reason for the low proportion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Qapita Ekspansi ke Indonesia

Qapita Tutup Pendanaan Seri A 213 Miliar Rupiah, Difokuskan untuk Ekspansi ke Indonesia

Startup legaltech asal Singapura Qapita mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $15 juta (lebih dari 213 miliar Rupiah) yang dipimpin East Ventures melalui Growth Fund dan Vulcan Capital. NYCA dan para investor terdahulu, meliputi MassMutual Ventures, Endiya Partners, dan beberapa angel investor, termasuk Alto Partners, para mitra dari Northstar Group dan K3 Ventures, turut berpartisipasi dalam putaran ini.

Sebelumnya, Qapita mengumpulkan dana sebesar $5 juta di babak Pra-Seri A dan $2,25 juta di tahap awal, masing-masing pada April 2021 dan September 2020. Perusahaan telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $22,25 miliar sejak pertama kali berdiri.

Qapita adalah perusahaan legaltech yang membantu perusahaan tertutup seperti startup untuk mengelola pencatatan struktur kepemilikan saham perusahaan (dikenal sebagai tabulasi permodalan/cap table) dan rencana kepemilikan saham karyawan (ESOP). Startup ini didirikan pada September 2019 oleh CEO Ravi Ravulaparthi, COO Lakshman Gupta, dan CTO Vamsee Mohan.

Mereka bertiga melihat peluang untuk melakukan digitalisasi dan membuat pasar modal privat lebih efisien. Para pendiri berasal dari latar belakang profesi yang beragam dengan pengalaman lebih dari 20 tahun bekerja sebagai bankir, investor, dan ahli teknologi di Asia Selatan dan Asia Tenggara.

Co-founder & CEO Qapita Ravi Ravulaparthi menjelaskan, perusahaannya akan menggunakan dana segar ini untuk perluasan operasionalnya di Indonesia, termasuk memperkuat basis kliennya di Singapura dan India. Menurutnya, Indonesia adalah salah pasar swasta dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Sekarang merupakan waktu yang tepat untuk membangun sistem operasi dan rel transaksi untuk kepemilikan perusahaan swasta di wilayah ini.

“Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan transparansi, akses, efisiensi, dan likuiditas di pasar swasta. Platform ini juga akan memberdayakan karyawan startup Indonesia dalam hal kepemilikan perusahaan mereka. Tim Qapita sangat berterima kasih kepada para pemegang saham dan mitra kami di Indonesia yang telah mendukung dalam upaya ini,” ucap Ravulaparthi dalam keterangan resmi, Rabu (6/10).

Tim Qapita telah berkembang dari 7 orang, dua belas bulan yang lalu menjadi sekitar 65 orang, pada hari ini di Singapura dan India. Cakupan operasional Qapita kini tersebar di tiga negara, yakni India, Indonesia, dan Singapura.

Dia beralasan di tiga wilayah ini perusahaan mengidentifikasi peluang untuk menggunakan teknologi karena terjadi pertemuan tiga tren utama. Yakni, pertumbuhan pesat dalam jumlah startup, ekspansi jumlah modal ventura, dan digitalisasi keuangan.

Qapita memperkirakan nilai sekuritas swasta di wilayah ini akan melebihi $1 triliun-$1,5 triliun (dengan 200-250 unicorn) dalam beberapa tahun ke depan dan solusi digital yang terukur akan sangat penting bagi ekosistem tersebut untuk berkembang. Perangkat lunak manajemen ekuitas Qapita memecahkan masalah yang berkaitan dengan SDM (ESOP), masalah keuangan dan penggalangan dana untuk perusahaan swasta, investor, pemegang saham, dan karyawan.

Marketplace dari Qapita memungkinkan transaksi sekunder bagi para pemangku kepentingan. Qapita memperkirakan bahwa lebih dari USD 150 miliar ekuitas akan membutuhkan berbagai solusi likuiditas.

Ravulaparthi melanjutkan, dari putaran pendanaan ini, perusahaan berencana untuk menambah lebih banyak produk ke platform-nya yang tidak hanya memberikan solusi bagi para perusahaan swasta dan startup, tetapi juga kepada para investor, pemegang saham, dan karyawannya.

“Qapita juga berencana untuk memfasilitasi solusi likuiditas melalui pasar digital yang memungkinkan transaksi bagi perusahaan antara investor mereka dan para pemangku kepentingan karyawan.”

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menuturkan antusiasmenya dapat kembali berinvestasi di Qapita untuk membangun sistem operasi bagi pasar swasta di wilayah ini. “Qapita dapat menjadi jaringan penghubung antara perusahaan swasta, karyawan mereka, pemegang saham, dan investor dalam semua hal berkaitan dengan ekuitas. Ekosistem startup di Indonesia dan region lain tumbuh dengan pesat,” kata dia.

Tren ESOP di Indonesia

Perburuan talenta terampil adalah tugas penting bagi startup, namun mempertahankan staf berbakat adalah tantangan besar lainnya. Gaji dan tunjangan yang tinggi adalah cara tradisional untuk mempertahankan talenta. Namun strategi ini tidak selalu berhasil, terutama ketika startup menghadapi saingan dari startup lain yang lebih besar dan lebih mapan.

Dalam ESOP, pemberi kerja mengalokasikan sejumlah saham perusahaan yang bervariasi kepada setiap karyawan yang memenuhi syarat, tergantung pada skala gaji atau aspek lainnya. ESOP biasanya datang dengan periode vesting, di mana karyawan dilarang menjual saham.

Setiap saham karyawan disimpan dalam kepercayaan ESOP perusahaan sampai karyawan tersebut pensiun, keluar dari perusahaan, atau diizinkan untuk menjual saham mereka. Setelah sepenuhnya menjadi hak, perusahaan dapat “membeli kembali” saham dari karyawan, baik secara keseluruhan atau secara berkala melalui likuiditas atau pembelian kembali.

Rencana tersebut dibuat untuk meningkatkan dedikasi karyawan untuk mencapai hasil positif bagi startup, karena nilai saham mereka akan meningkat seiring dengan nilai perusahaan. Dengan memiliki saham di perusahaan, kemungkinan karyawan untuk keluar akan lebih kecil, sehingga berpotensi mengurangi tingkat turnover karyawan untuk startup.

Tren ESOP menjadi metode yang perlahan-lahan digunakan di Asia Tenggara bagi startup kecil untuk menarik dan mempertahankan talentanya. Di Indonesia sendiri, menurut Ravulaparthi, konsep ini baru mulai populer. Sementara di India sudah lebih dahulu menerapkannya sejak tiga tahun terakhir.

Sebuah survei bersama yang dilakukan oleh Monk’s Hill Ventures dan platform rekrutmen Glints menemukan bahwa di Asia Tenggara, kesetaraan adalah kompensasi umum untuk staf tingkat C dan karyawan tingkat eksekutif lainnya, tetapi tidak terbatas pada karyawan junior atau menengah. Survei tersebut menyatakan bahwa kurang dari 32% peserta diberi kompensasi dalam bentuk ekuitas. Preferensi untuk pembayaran tunai adalah alasan utama proporsi yang rendah.

Gist Dapat Suntikan Dana dan Siapkan Open Beta

Melalui email yang dikirim kepada semua beta-testernya (termasuk saya), Gist mengumumkan telah menerima dana investasi sebesar US$ 6.75 juta di investasi seri A. Investasi ini dipimpin oleh Foundry Group, dan ikut serta didalamnya adalah Vulcan Capital yang merupakan founding Investor dari Gist. Selain itu, Managing Director Foundry Group, Brad Feld juga bergabung di Board of Director Gist Inc,.

Dengan adanya kucuran dana dari investor ini, Gist berharap mampu mempercepat proses pengembangan agar bisa membuka sistemnya, masuk ke versi Open Beta. Selama ini Gist masih dalam tahap closed beta dimana pengguna hanya bisa di-invite oleh Gist (waiting list) dan tidak dapat menginvite orang lain.

Gist adalah sebuah platform email (messaging) yang dikolaborasikan secara cantik dengan interface web, dan fitur super lengkap, terutama fitur filter yang sangat berguna. Gist juga mengumumkan dalam waktu dekat akan masuk ke Open Beta, jadi untuk yang penasaran silahkan sering-sering mampir saja ke situs Gist untuk mencobanya secara langsung.