Tag Archives: warner

Bagaimana Caranya Untuk Membawa Penjualan Musik Digital di Indonesia?

Industri musik di Indonesia saat ini sangat bergantung pada layanan ringback tone (RBT), sebuah layanan yang menggantikan suara yang Anda dengar ketika Anda membuat panggilan telepon ke nomor ponsel. Ketika penjualan album fisik memburuk selama dekade terakhir, ringback tone menjadi sangat populer sejak diperkenalkan pada pertengahan 2000-an. Layanan RBT ini bisa berbentuk potongan lagu, kutipan, nyanyian atau suara lainnya.

Ringback tone adalah layanan premium yang disediakan oleh content provider (CP) yang menawarkan potongan audio melalui penggunaan layanan SMS premium. Pelanggan mobile dapat meminta untuk mengubah nada panggilan mereka ke salah satu dari banyak pilihan yang disediakan oleh jaringan operator.

Meskipun ada banyak potongan suara yang tersedia, yang paling populer di layanan RBT adalah lagu. Ini berarti penyedia konten harus bekerja sama dengan label musik untuk membuat lagu yang tersedia sebagai nada singkat selama 30 detik.

Continue reading Bagaimana Caranya Untuk Membawa Penjualan Musik Digital di Indonesia?

How Would You Bring Digital Music Sales to Indonesia?

20111216-181914.jpgIndonesia’s music industry at the moment is beholden to ringback tones, the audio replacements that you hear when you make a phone call to a mobile number. While sales of physical albums have deteriorated over the last decade, ringback tones have become highly popular since its introduction in the mid 2000s. These can come in the form of song snippets, quotes, chants, or just about any sound.

Ringback tone is a premium service made possible through content providers who offer these audio snippets through the use of premium SMS service. Mobile subscribers can request to change their tones to one of many selections from their respective network operators.

Continue reading How Would You Bring Digital Music Sales to Indonesia?

Kasus YouTube : Internet & Masalah Lisensi

Ah, lagi-lagi lisensi, copyright, hak paten menjadi alasan untuk sebuah masalah korporat yang ujung-ujungnya malah menyusahkan end-user. Perang urat syaraf antara Google dan PRS yang baru-baru ini mencuat di Inggris akhirnya berujung pada pemblokiran beberapa video musik di YouTube untuk pengguna di Inggris. PRS For Music sebuah aliansi musisi, komposer, dan seniman yang dibentuk tahun 1997 mengklaim bahwa YouTube tidakĀ  berhak menampilkan video musik tanpa membayar royalti dan Google sebagai induk dari YouTube harus membayar royalti untuk tiap video yang dimainkan di YouTube. Dan tentu saja solusi yang ditawarkan oleh pihak PRS adalah dengan membayar royalti untuk 50.000 video di YouTube yang dilanggar hak ciptanya. Google pun merespon dengan menutup video – video musik tersebut khusus untuk pengunjung dari Inggris daripada membayar sejumlah uang yang dianggap sebagai “jumlah yang tidak masuk akal“.

gambar : theequitykicker.com
gambar : theequitykicker.com

Kasus yang sama juga dulu menimpa MP3.com yang dituntut oleh Warner Music dan BMG mengenai masalah yang sama. Namun pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kata sepakat dan MP3.com tetap dapat menampilkan musik mereka di situsnya. Dalam hal ini Warner dan BMG seperti “menyerah” dengan fakta bahwa situs-situs online sebenarnya justru bisa membantu mendongkrak popularitas musisi, namun tentu saja dengan batasan-batasan tertentu. Nah, batasan-batasan inilah yang belum disepakati oleh Google dan PRS.

Ada apa sebenarnya dengan masalah copyright ini? Apakah iya melulu mengenai uang? Padahal kalau dipikir-pikir banyak musisi papan atas yang sudah mengendorse video-videonya di situs-situs video sharing seperti YouTube, Vimeo, atau di situs Music sharing seperti Last.FM, blip.fm, dll.