Tag Archives: waste4change

Climate Impact Innovations Challenge 2023

Waste4Change Dapat Pendanaan Tambahan dari Rumah Group Setelah Memenangkan CIIC 2023

East Ventures dan Temasek Foundation baru saja mengumumkan juara dari pagelaran Climate Impact Innovations Challenge (CIIC) 2023. Seperti diketahui sebelumnya, ini merupakan program kompetisi yang ditujukan untuk startup dengan solusi teknologi iklim di Indonesia. Pengumuman ini disampaikan dalam sideline event ASEAN Business and Investment Summit 2023 yang berlangsung 2 September 2023 di Ritz-Carlton Jakarta.

Kompetisi ini mengambil 4 pemenang dengan trek yang berbeda. Berikut daftar pemenangnya: AferOil dari trek Energi Terbarukan; Qarbotech dari trek Pangan & Pertanian; BANIQL dari trek Mobilitas; dan Waste4Change dari trek Kelautan. Para pemenang mendapatkan total hadiah Rp10 miliar.

Waste4Change juga turut mendapatkan investasi senilai $70 ribu atau Rp1 miliar dari Rumah Group. Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) juga berkomitmen untuk memberikan investasi dengan nilai yang sama kepada salah satu finalis CIIC 2023. Namun demikian sampai saat ini masih di tahapan internal review — akan diumumkan segera.

Sejak diluncurkan pada awal Maret 2023 lalu, CIIC berhasil menerima 330 pendaftar. Lalu terpilih 12 finalis untuk maju ke babak final mewakili 4 trek yang dilombakan.

“Di tengah tantangan yang dihadapi dunia, CIIC 2023 menjadi sebuah harapan yang menampilkan aksi nyata dalam mendorong perkembangan solusi iklim yang positif menuju masa depan yang berkelanjutan […] Menjelang akhir dari program ini, kami yakin masih banyak yang dapat kami lakukan untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, kami tetap berkomitmen untuk terus mendukung inovator iklim di Indonesia dan kawasan,” kata Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Sementara itu Head Programmes Temasek Foundation Lim Hock Chuan mengatakan, “Keempat pemenang masing-masing menawarkan cara yang menjanjikan untuk mengatasi masalah iklim yang mendesak dengan potensi untuk berdampak luas jika ditingkatkan. Kami antusias dengan prospek keberlanjutan baterai mobilitas ramah lingkungan melalui penggunaan bijih limbah nikel; energi terbarukan melalui produksi gas sintetis dari limbah biomassa; meningkatkan hasil panen dan nutrisi melalui peningkatan fotosintesis dengan larutan semprot; dan model bisnis sirkular dalam mendaur ulang sampah plastik.”

East Ventures –sebagai inisiator CICC 2023—beberapa tahun terakhir memang santer menyerukan tentang investasi berdampak. Keseriusan mereka turut dibarengi dengan dibentuknya tim impact investment di dalam firmanya. Sejumlah startup yang fokus ke energi hijau dan perubahan iklim juga telah mendapatkan investasi seperti Xurya, Waste4Change, Rekosistem, Aria, Kabina, dan beberapa lainnya.

Mereka juga telah mengembangkan Kerangka Kerja Investasi Berkelanjutan (Sustainable Investment Network) untuk mengukur, melacak, dan meningkatkan dampak portofolionya terhadap lingkungan, ekonomi, dan masyarakat.

Laporan investasi berdampak East Ventures / East Ventures
Waste4Change bekerja sama dengan tujuh perusahaan, di antaranya SinarMas Land, dan Indocement, untuk proyek pengelolaan sampah dengan estimasi nilai kerja sama Rp250 miliar

Waste4Change Teken Proyek Pengelolaan Sampah Senilai Rp250 miliar

Startup waste management Waste4Change menggencarkan kerja sama investasi dengan berbagai pihak untuk mendorong proyek pengelolaan sampah berbasis teknologi. Maka itu, Waste4Change mengumumkan kerja sama pengelolaan sampah dengan tujuh perusahaan dengan estimasi nilai proyek sebesar Rp250 miliar.

Kerja sama ini diteken melalui penandatangan MoU dengan PT Samudera Indonesia Tbk, PT Alam Bersih Indonesia, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk, Sinar Mas Land, Basra Corporation, rePurpose Global, dan Freepoint Commodities.

“Dana ini akan berguna untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas pengelolaan sampah di berbagai area. Harapan saya, Waste4Change bisa terus bertumbuh dan menjadi partner yang tepat untuk mengembangkan investasi hijau di bidang persampahan,” ujar Founder dan CEO Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano dalam peresmian RPM Waste4Change Bekasi 2.0, Rabu (8/3).

Sano, sapaan akrab dari Junerosano, menuturkan penanganan masalah sampah perlu kolaborasi dan kontribusi dari semua pihak. Stakeholder yang hadir di sini adalah bagian dari solusi untuk bekerja sama menangani sampah dari hulu ke hilir. Oleh karenanya, perlu membuka diri sebesar-besarnya untuk investasi yang lebih hijau demi mereformasi bidang persampahan di Indonesia.

Ia menuturkan, perusahaan telah membuat rencana sepuluh tahun untuk mengeksplorasi opsi potensial lainnya di masa depan. Di usia yang ke-8 ini, Waste4Change akan memantau gelombang baru e-waste, yang bersumber dari limbah kendaraan elektrik, seperti baterai yang adopsinya sudah mulai terasa.

“Tiap sepuluh tahun, kami membuat diferensiasi opsi. Selain e-waste, kami lihat pengelolaan sampah yang spesifik, misalnya furnitur yang sebenarnya ada aturannya. Pengelolaan limbah biodiesel mulai kami riset bersama SinarMas. Sekarang kami masih matangkan sampah rumah tangga di tahun ke-8 ini.”

Seremonial Peresmian RPM Waste4Change Bekasi oleh Perwakilan AC Ventures, Pemerintahan kota Bekasi, dan Deputi Kementerian Investasi / Waste4Change

Tak mengumumkan MoU, dalam kesempatan yang sama, Waste4Change juga meresmikan Rumah Pemulihan Material (RPM) Waste4Change 2.0 yang sudah disertai dengan teknologi terbaru: mesin pemilahan sampah dan pengintegrasian teknologi digital untuk memantau dan merekam aliran pengolahan sampah. Saat ini Waste4Change memiliki lima RPM yang tersebar di Bogor, Bekasi, Sidoarjo, Bali, dan Bandung.

Inovasi ini merupakan salah satu realisasi usai merampungkan pendanaan Seri A dari AC Ventures, PT Barito Mitra Investama, dan sederet investor lainnya pada akhir tahun lalu. Dengan inovasi baru, di lokasi RPM ini diklaim mampu mengurangi residu sampah dari 65% menjadi 10%. Kapasitas pengelolaan sampah pun juga naik dari 18 ton menjadi 22 ton per harinya.

Berikut daftar mesin pemilahan sampah otomatis milik Waste4Change:

  1. Conveyor untuk memindahkan material agar lebih mudah dipilah (anorganik dan residu benda keras dan berserat)
  2. Gibrig untuk memisahkan material plastik daunan dan bubur organik (untuk bsf)
  3. Centris untuk plastik daunan dari gibrig masuk ke centris. Fungsinya sebagai pengering (output kering dan organik yang masih menempel)
  4. Blower untuk menyedot material plastik output dari sentris ke stage
  5. Mesin cacah plastik dari stage menjadi fluff

“Kami akan terus tambah lokasi dan kerja sama dengan berbagai titik, di antaranya ke Cilegon, Tangerang, dan perluas Sidoarjo. Walau kecil-kecil titiknya ini sesuai dengan target kami Waste4Change untuk mengolah 5% sampah di Indonesia, atau 10 ribu ton per hari. Angka itu sama saja dengan total sampah di lima kota besar.”

Investasi hijau

Pengelolaan sampah termasuk ke dalam daftar prioritas investasi hijau yang ditetapkan Kementerian Keuangan, dengan target penerapan blended finance menyasar pembangunan infrastruktur sektor-sektor dengan angka multiplier effect terbesar. Diharapkan target ini mampu meningkatkan kualitas hidup dan adopsi teknologi hijau.

Sayangnya, sebesar 40%-50% pembangunan TPST dan TPS3R tidak terawat dan sanitary landfill kembali menjadi tempat pembuangan sampah akibat skema pembiayaan yang tidak berkelanjutan. Oleh karenanya, dibutuhkan reformasi dalam retribusi persampahan yang memungkinkan penanaman modal secara berkelanjutan dan juga regulasi yang memastikan investasi di infrastruktur pengelolaan sampah menjadi lebih optimal.

Direktur Perencanaan Infrastruktur, Kedeputian Bidang Perencanaan Penanaman Modal Moris Nuaimi menuturkan Kementerian investasi masih menyempurnakan regulasi mengenai investasi persampahan dan ini butuh pertimbangan yang matang. Di satu sisi kesempatan investasi hijau dan kesiapan pihak penerima menjalankan kepercayaan tersebut sudah terbentuk dengan baik. Inisiasi mandiri dan upaya dari pihak swasta, salah satunya Waste4Change, dapat menguatkan sumber pendanaan dari banyak aliran.

“Terlebih, jika kita ketahui, pemerintah daerah dan investor sudah bersedia memfasilitasi. Ini adalah contoh yang bisa ditiru oleh pihak pemerintah daerah lain dan penyedia layanan pengelolaan sampah lainnya untuk bergerak lebih gesit dalam menggali lebih banyak investasi hijau untuk dapat mewujudkan lingkungan Indonesia yang lebih berkelanjutan,” katanya.

Investasi hijau untuk sektor persampahan dapat dilakukan untuk membantu penanganan sampah. Caranya, melalui peningkatan infrastruktur atau fasilitas dan peralihan sumber daya serta mewujudkan penyelenggaraan ekonomi melingkar yang difokuskan untuk mengurangi timbulan sampah sedari awal.

Survei Global Sustainable Investment Alliance (GSIA) pada 2021 menyebut, aset investasi hijau di negara berkembang memiliki potensi pertumbuhan hingga $30,7 triliun. Dibutuhkan total investasi sebesar $18 miliar di bidang teknologi, dan $22 miliar di bidang jasa pada rentang tahun 2017 hingga 2040 untuk mengatasi tantangan dalam mengubah praktik business-as-usual menuju Skenario Perubahan Sistem pada pengelolaan sampah dan daur ulang yang efektif berdasarkan laporan NPAP.

Angka tersebut memungkinkan harapan untuk dapat menangani masalah sampah yang ada. Peran aktif investor dan pemilik modal sangat penting dalam mengarahkan pelaku bisnis untuk lebih tanggap dalam melihat peluang bisnis hijau yang selaras dengan alam, salah satunya persampahan.

Tur RPM 2.0 bersama bersama perwakilan Kementerian Investasi / Waste4Change

Faktanya, menurut data Systemiq & Delterra di tahun 2022, 97% pendanaan sampah di Indonesia masih mengandalkan iuran sampah dari rumah ke rumah (door-to-door fee collection). Sedangkan negara yang lebih maju sudah meninggalkan metode tersebut dan beralih pada iuran sampah sebagai pajak dan iuran sampah yang termasuk pada biaya langganan utilitas.

Beberapa hal terkait dukungan pengelolaan sampah tentu perlu ditingkatkan, baik dari segi teknis maupun pembiayaan. Mengurangi aktivitas membakar dan mengubur sampah, menjalankan TPS 3R dan fasilitas pengelolaan sampah lainnya secara cermat dan berkelanjutan, serta meningkatkan kesadaran akan pentingnya retribusi sampah, adalah hal yang bisa mulai ditingkatkan. Dalam hal ini pemerataan fasilitas bukan lagi masalah utama, tapi bagaimana memastikan fasilitas pengelolaan sampah berjalan optimal.

“Iuran sampah di area perumahan itu baru bisa comply di harga Rp60 ribu per bulan, tapi karena regulasinya enggak ketemu, biasanya ditawar hingga Rp25 ribu. Perumahan elit di Jakarta Selatan dengan harga Rp3 miliar saya rasa sanggup bayar iuran segitu. Tapi ini tidak masuk karena jadi sulit bagi kami untuk menyejahterakan para pekerja informal.”

Untuk mengimbangkan dari sisi sosial dengan bisnis, Waste4Change kini mengimplementasikan strategi inovative waste credit dan blended financing. Waste credit adalah upaya mendukuung usaha produsen dalam mendaur lebih banyak sampah di Indonesia. Konsepnya persis sama dengan carbon credit, yang mana karbon dioksida yang dihasilkan dari suatu kegiatan harus dibayar dengan menyerap kembali karbon tersebut.

Untuk sampah, bisa diproses menjadi RDF yang berguna sebagai energi pada pabrik pembuatan semen. Salah satu material sampah yang diolah adalah multilayer plastic (MPL) packaging atau sering disebut saset.

Adapun untuk blended finance merupakan penggunaan strategis keuangan pembangunan untuk mobilisasi keuangan tambahan terhadap pembangunan berkelanjutan di negara-negara berkembang. Blended finance menarik modal komersial ke arah proyek-proyek yang berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan, sambil memberikan pengembalian hasil kepada investor.

Founder dan CEO Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano bersama Founder NAMA Beauty Luna Maya / Waste4Change

Luna Maya Bergabung di Jajaran Investor Waste4Change

Startup pengelolaan sampah Waste4Change meresmikan kerja sama strategis berbentuk investasi dengan aktris sekaligus pengusaha, Luna Maya, dalam rangka mewujudkan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab di Indonesia. Bergabungnya Luna dalam jajaran investor diharapkan bisa mendorong sinergi kedua belah pihak untuk pengelolaan sampah yang lebih optimal.

Sebelumnya, Waste4Change dan brand kosmetik NAMA Beauty milik Luna telah memperoleh suntikan dana dari AC Ventures. Sinergi antar keduanya diharapkan bisa mendorong pertumbuhan layanan Waste4Change di beberapa sektor, termasuk pengembang properti, kawasan komersial, dan pariwisata.

Sebelum bergabung ke dalam jajaran investor, Luna diketahui telah lebih dulu menjadi klien dalam layanan Personal Waste Management Waste4Change. Layanan ini merupakan jasa angkut sampah langsung dari rumah untuk memastikan sampah milik klien diangkut secara aman, terpilah, dan diproses agar daur ulangnya optimal dan mengurangi jumlah sampah yang berakhir ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir).

Sejak didirikan pada 2014, Waste4Change fokus menawarkan solusi pengelolaan sampah secara holistik untuk rumah tangga dan perusahaan. Didukung oleh teknologi dan kemitraan, perusahaan aktif menawarkan 4 solusi, yaitu Consult, Campaign, Collect, dan Create.

Rencananya, perusahaan ingin mendorong dan mengaktifkan kembali layanan B2C, sehingga tidak hanya melayani perusahaan dan bisnis saja, namun juga dapat melibatkan peran dari masyarakat secara individual. Waste4Change sendiri memiliki situs bernama Send Your Waste untuk mempermudah individu mendaur ulang sampah anorganik secara bertanggung jawab.

Berdasarkan keterangan dalam situsnya, Waste4Change telah memiliki lebih dari 22 ribu pengguna aktif dan telah mengelola lebih dari 31 ribu ton sampah hingga saat ini. Ke depannya, perusahaan tengah menargetkan peningkatan pengelolaan sampah secara signifikan menjadi 2.000 ton per hari.

Saat ini, layanan pengelolaan sampah Waste4Change telah mencakup wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Surabaya, Sidoarjo, Semarang, Bandung, dan Medan.

Kinerja pengelolaan sampah di Indonesia

Berdasarkan data UNEP (2017), Indonesia diketahui menjadi negara penghasil sampah terbesar di ASEAN di angka 64 juta ton per tahunnya. Dengan populasi penduduk tertinggi ke-4 di dunia dan rendahnya kesadaran masyarakat untuk mendukung budaya daur ulang sampah menjadi tantangan besar yang harus dihadapi bangsa ini.

Mengutip Data Indonesia, kinerja pengelolaan sampah Indonesia disebut semakin membaik pada 2022. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan, skor Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah (IKPS) di Indonesia sebesar 50,25 poin pada 2022. Nilai tersebut mengalami kenaikan 0,38% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 50,06 poin.

Sumber: Data Indonesia

Capaian ini tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa semakin banyak startup ataupun layanan pengelolaan sampah di Indonesia. Selain Waste4Change, startup yang menawarkan layanan serupa adalah Rekosistem, Kibumi dan Octopus yang baru saja terpilih mengikuti program akselerator besutan Google. Melalui pendekatan yang sedikit berbeda, Rebricks mengolah sampah plastik menjadi bahan bangunan.

Dari sisi pemerintah, KLHK juga telah menerapkan skema pengelolaan sampah dengan pengembangan elaborasi prinsip dasar reduce, reuse, dan recycle (3R), yaitu mengoptimalkan rantai nilai pengelolaan sampah di sumber dengan pemanfaatan teknologi dan peningkatan fasilitas pengolahan sampah yang dikelola secara profesional serta terintegrasi.

Selain itu, pemerintah juga mengoptimalkan fasilitas pengolahan sampah seperti PLTSa, RDF, SRF, biodigester, dan magot untuk sampah biomassa; operasional TPA diperuntukkan khusus sebagai tempat pembuangan sampah residu pada tahun 2050; dan penguatan kegiatan pemilahan sampah di sumber dan pemanfaatan sampah sebagai bahan baku daur ulang.

Tanggal 21 Februari di setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) yang mengingatkan semua pihak bahwa persoalan sampah harus menjadi perhatian utama. Upaya penanganan dan pengelolaan sampah harus melibatkan seluruh komponen masyarakat yang meliputi Pemerintah baik Pusat dan Daerah, akademisi, aktivis, komunitas, dunia usaha, asosiasi profesional dan bahkan individual.

Peluang Green Tech di Indonesia

Tantangan dan Peluang Pertumbuhan “Green Startup” di Indonesia

Salah satu alasan lambannya pertumbuhan dan penetrasi layanan green startup adalah belum berkembangnya ekosistem yang ada. Kendati demikian menurut Co-founder & CEO Ecoxyztem Jonathan Davy, meskipun masih sedikit jumlah para penggiat startup lokal yang mencoba untuk memberikan solusi seputar renewable energy, efficiency energy, hingga waste management, di perkirakan dalam beberapa tahun ke depan jumlahnya akan mengalami peningkatan.

Membangun ekosistem

Ada beberapa catatan menarik yang dibagikan Jonathan, berdasarkan pengalamannya terjun langsung ke sektor lingkungan. Mulai dari latar belakangan pendiri startup yang harus benar-benar memahami solusi dan permasalahan yang ada, hingga potensi menggarap segmen B2B yang lebih menguntungkan.

Hal tersebut menjadi langkah yang tepat dilakukan, dilihat dari pasar yang jauh lebih terukur dibandingkan dengan B2C. Dibutuhkan adopsi yang masif hingga affordability ketika startup yang fokus kepada climate tech mengawali bisnisnya ke B2C. Selain B2B, potensi yang kemudian juga bisa digarap adalah turut menyasar kepada B2G.

Serupa dengan tren global, saat ini kebanyakan penggiat startup yang menghadirkan produk atau layanan untuk mendukung perubahan iklim di antaranya adalah energy efficiency, renewable energy, waste management dan electric vehicle (EV), serta layanan dan teknologi pendukungnya yaitu charging station.

DailySocial.id mencatat beberapa tahun terakhir, perusahaan teknologi dan energi hingga pemodal ventura ramai-ramai menggarap proyek kendaraan listrik. Hal ini untuk mendukung upaya pemerintah menjadikan Indonesia sebagai pusat produksi kendaraan listrik di Asia Tenggara dengan target produksi 600 ribu mobil listrik dan 2,5 juta sepeda motor listrik pada 2030.

“Serupa dengan tren global, mobility dalam hal ini adalah EV memang paling besar mendapatkan pendanaan. Hal tersebut terjadi karena teknologi EV yang paling mature saat ini. Namun layanan dan produk lainnya saat ini juga sudah mulai menyusul, seperti ekonomi sirkular hingga renewable energy dan energy efficiency,” kata Jonathan.

Tantangan menemukan talenta

Jika dilihat dari latar belakang para pendiri startup yang menghadirkan layanan climate tech, kebanyakan dari mereka memahami benar permasalahan lingkungan dan hal terkait lainnya. Hal tersebut menurut Jonathan yang membedakan pendiri green startup dengan pendiri startup di segmen lain.

Pendiri Surplus misalnya, Muhammad Agung Saputra, selain merupakan lulusan ITB, ia juga merupakan lulusan dari Imperial College London dengan fokus pendidikan kepada Environmental Economics, Environmental Law, Environmental Pollution & Control, Environmental Policy.

Kini Surplus terbilang salah satu startup yang terus mengalami pertumbuhan menghadirkan prevention food waste management untuk industri hospitality dan F&B di Indonesia. Sementara itu salah satu Co-founder Powerbrain Irvan Farasatha, selain merupakan lulusan ITB, ia juga merupakan lulusan Master of Science – MS, Energy Engineering Politecnico di Milano.

“Kita sudah melakukan riset hampir ke 100 ecopreneur di Indonesia, dan tantangan utama saat ini ada tiga. Yang pertama adalah soal skillset dan akses talenta. Jadi memang kebanyakan mereka adalah master atau para PHD di bidangnya,” kata Jonathan.

Faktor kedua yang juga masih menjadi tantangan adalah risk capital. Meskipun ada beberapa dana segar yang mengalir saat ini, namun kebanyakan investasi tersebut hanya fokus kepada pendanaan tahapan lanjutan. Sehingga masih banyak dibutuhkan investor yang bisa membantu mereka untuk mendapatkan dana segar di tahap awal hingga melalui semua proses yang ada. Tantangan terkahir adalah, navigasi untuk ke pasar dan regulator barrier.

Dari sisi regulasi pun saat ini masih terbilang abu-abu. Artinya pemerintah melalui Kementrian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) hingga Bappenas, belum memberikan sebuah aturan kepada green startup di tanah air.

Namun demikian dari sisi growth model, belum banyak di antara pendiri startup climate tech tersebut menemukan formula yang tepat. Hanya sebagian dari mereka yang kemudian berhasil melakukan uji coba langsung ke pasar, dan menemukan model bisnis yang tepat dan tentunya menguntungkan.

Dari sisi investasi, meskipun tergolong masih sangat niche, namun diprediksikan dalam waktu beberapa tahun ke depan akan semakin banyak investor lokal yang tertarik untuk berinvestasi kepada startup climate tech. Meskipun saat ini sebagian besar investor asing yang masih mendominasi investasi kepada para ecopreneur.

Yang perlu ditekankan adalah, jangan hanya fokus kepada geografi saja, tapi juga ticket size yang diberikan. Saat ini sudah mulai banyak investor lokal yang tertarik untuk berinvestasi kepada green startup.

“Berdasarkan beberapa laporan yang kami lihat, investasi venture capital untuk startup yang menyasar climate tech masih sedikit jumlahnya. Namun ke depannya walaupun sedang tech winter, kita masih melihat pertumbuhan di investasi akan naik sekitar $40 miliar,” kata Jonathan.

Fokus Ecoxyztem

Sebagai venture builder yang peduli benar dengan pertumbuhan ecopreneur di Indonesia, Ecoxyztem menyediakan sumber daya manusia yang berkualitas, bantuan berupa venture architects untuk pemodelan bisnis, dan mendukung penetrasi pasar dengan business matchmaking, serta penggalangan modal. Bukan hanya bantuan modal, namun juga jaringan yang relevan hingga peluang untuk mendapatkan investasi dari green fund dan lembaga asing lainnya.

Sebagai latar belakang, Ecoxyztem yang merupakan bagian dari Greeneration Group ini memutuskan ubah model bisnis menjadi venture builder pada 17 Mei 2021. Kata XYZ melambangkan pilar bisnis Ecoxyztem, X dari kata X-Seed yakni pengembangan sumber daya manusia, Y dari kata Ympact Lab untuk pengembangan climate-tech startup, dan Z dari kata Zinergy untuk mengembangkan akses ke pasar.

Saat ini Ecoxyztem telah memiliki empat portofolio startup, yakni Waste4Change di bidang pengelolaan sampah, ReservoAir yang mengatasi masalah banjir, Ravelware yang menggerakkan transisi industri hijau, dan Enertec yang bekerja di sektor efisiensi energi.

Baru-baru ini Waste4Change mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $5 juta (lebih dari 76 miliar Rupiah). AC Ventures dan PT Barito Mitra Investama menjadi lead dalam putaran ini, diikuti jajaran investor lain, yakni Basra Corporation, Paloma Capital, PT Delapan Satu Investa, Living Lab Ventures, SMDV, dan Urban Gateway Fund.

“Kita melirik startup yang masih bootstraping atau mereka yang masih dalam tahapan awal. Karena tujuan kita bukan mencari keuntungan saja, namun lebih kepada ingin membawa ekosistem climate tech lebih maju di Indonesia,” kata Jonathan.

Platform pengelola sampah Waste4Change mengumumkan perolehan pendanaan Seri A sebesar $5 juta dipimpin AC Ventures dan PT Barito Mitra Investama

Waste4Change Terima Pendanaan Seri A 76 Miliar Dipimpin AC Ventures dan Barito Mitra Investama

Platform pengelola sampah Waste4Change mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $5 juta (lebih dari 76 miliar Rupiah). AC Ventures dan PT Barito Mitra Investama menjadi lead dalam putaran ini, diikuti jajaran investor lain, yakni Basra Corporation, Paloma Capital, PT Delapan Satu Investa, Living Lab Ventures, SMDV, dan Urban Gateway Fund.

Perusahaan akan menggunakan modal segar ini untuk memperluas jangkauan, meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah hingga 100 ton per hari sampai 18 bulan ke depan, serta mencapai lebih dari 2 ribu ton per hari dalam lima tahun ke depan.

Untuk mencapai target tersebut, perusahaan akan melibatkan integrasi dengan lebih banyak teknologi digital dalam proses pemantauan, perekaman aliran pengelolaan limbah, dan otomatisasi fasilitas pemulihan material. Di samping itu, perusahaan berencana untuk memperkuat kemitraan dengan sektor persampahan informal di Indonesia yang saat ini didukung oleh pemulung, bank sampah, kios sampah, dan pengumpul sampah.

Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (14/10), Founder dan CEO Waste4Change Mohamad Bijaksana Junerosano mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan pemodal ventura terbaik di sektor teknologi. Menurutnya, semua investor di Waste4Change menanggapi ESG dengan serius dan bersedia berbagi wawasan mereka demi menciptakan solusi pengelolaan limbah terbaik.

“Kami lebih dari siap untuk mewujudkan misi bersama kami untuk memberikan dampak positif yang lebih cepat dan lebih besar terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi,” ucap Sano, panggilan akrab Bijaksana.

Founding Partner AC Ventures Pandu Sjahrir menambahkan, Waste4Change adalah pionir yang menyediakan solusi pengelolaan sampah end-to-end. Keberlanjutan adalah fokus utama tim dengan komitmen yang ditunjukkan untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi Indonesia.

“Perusahaan ini telah mencapai kecocokan pasar produk dan memiliki potensi untuk berkembang di seluruh negeri. Waktu perusahaan juga ideal karena pemerintah Indonesia menginginkan setidaknya pengurangan 30% di sumbernya dengan 70% sisanya ditangani pada tahun 2025,” ujar dia.

Solusi Waste4Change

Waste4Change

Sano menjelaskan, Waste4Change didirikan pada 2014 dengan mengemban misi memecahkan masalah sampah guna mencegah kebocoran ke lingkungan dan mengurangi jumlah sampah yang berakhir di tempat pembuangan sampah. Perusahaan didirikan oleh PT Greeneration Indonesia (Ecoxyztem) dan PT Bumi Lestari Bali (EcoBali) di Bekasi, Jawa Barat.

Solusi yang ditawarkan Waste4Change ada empat, yakni Consult, Campaign, Collect, dan Create.

Khusus untuk layanan ketiga ini, pelanggan diminta untuk memilah sampahnya sesuai dengan panduan Waste4Change. Kemudian, Waste4Change akan mengirimkan tim untuk datang ke lokasi mereka guna mengambil sampah secara langsung, kemudian memberikan laporan detail setelah proses selesai. Pelanggan juga memiliki pilihan untuk membawa sampah ke salah satu titik drop-off Waste4Change atau mengirim sampah mereka ke Waste4Change.

Waste4Change hadir di 21 kota di Indonesia, mengelola lebih dari 8.000 ton sampah per tahun. Perusahaan telah mengumpulkan sampah dari 100 klien B2B dan 3.450 klien rumah tangga. Sejak 2017, telah memperoleh skor CAGR 55,1%.

Waste4Change saat ini memiliki 108 karyawan dan 141 operator pengelolaan sampah. Perusahaan berencana untuk menambah 52 orang tambahan ke dalam timnya dan melibatkan lebih dari 300 sektor informal dan UMKM di sektor limbah (sejumlah personel internal dan eksternal) untuk terus mendorong pertumbuhan.

Dengan populasi lebih dari 270 juta penduduk, Indonesia menghadapi masalah pengelolaan sampah terbesar di Asia Tenggara, dengan tingkat daur ulang berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih sangat rendah, yaitu 11-12%. Namun, tidak menutup kemungkinan jika hal ini akan segera berubah pasca regulasi atau kebijakan baru yang dikeluarkan pemerintah.

Baru-baru ini, pemerintah meluncurkan program Indonesia Bersih Sampah 2025 yang diresmikan melalui Peraturan Presiden Republik Indonesia 97/2017. Aturan ini mewajibkan semua pihak untuk mendukung realisasi pengurangan sampah 30% dari sumbernya (termasuk pemilahan sampah ke tempat sampah terpisah sehingga sampah tertentu dapat diolah menjadi produk daur ulang yang berbeda) dan 70% sampah diolah. Target agresif pemerintah perlu dicapai sebelum akhir tahun 2025.

Program ini juga telah memicu peraturan pengelolaan sampah baru dari pemerintah daerah dan inisiatif pengelolaan sampah dari sektor komersial. Dalam hal permintaan pasar baru, perubahan ini telah menciptakan lonjakan kebutuhan akan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab, dengan laporan pengelolaan sampah yang terperinci.

Waste4Change Daur Ulang Sampah Indonesia

Jalan Panjang Waste4Change Perangi Sampah Sekali Pakai

Sebagai salah satu negara berpenduduk terpadat di dunia, Indonesia berada dalam posisi darurat sampah. Negara ini masih berjuang melawan polusi plastik dan sampah laut akibat sistem pengelolaan sampah yang tidak tepat. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia hanya mampu mengelola 14,58% sampahnya, sedangkan sebagian besar sampah yang dihasilkan tidak terkumpul atau dibuang ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) di 2019.

Bank Dunia (2021) menyatakan Indonesia menghasilkan sekitar 7,8 juta ton sampah plastik setiap tahun dan sebagian besar sampah yang dihasilkan salah kelola. Alias masih bertumpu pada pengelolaan sampah kumpul, angkut, buang, yang akhirnya membebani kondisi TPA, padahal banyak material yang seharusnya dapat diolah kembali.

Sebagai contoh, 70% sampah di perkotaan langsung dibuang ke TPA, yang mengakibatkan kelebihan kapasitas. TPA/TPST Bantar Gebang, Bekasi, misalnya yang seluas 110,3 hektar dengan ketinggian gundukan sampah sampai 30 meter hanya mampu menampung masuknya 7.000-7.500 ton sampah penduduk DKI Jakarta hingga maksimal tiga tahun lagi. TPA lainnya juga bernasib sama, seperti TPA Suwung di Bali dan TPA Piyugan di Yogyakarta.

Kecilnya jumlah sampah yang didaur ulang dan tingginya jumlah sampah yang menumpuk di TPA menimbulkan banyak masalah sosial maupun lingkungan. Dengan latar belakang masalah yang kompleks ini, mendorong Mohammad Bijaksana Junerosano untuk mendirikan Waste4Change pada 2014.

“Dengan mengadopsi pengelolaan sampah yang berwawasan lingkungan dan bertanggung jawab, Waste4Change berupaya meningkatkan tingkat daur ulang dengan menetapkan standardisasi dalam pengumpulan dan prosedur daur ulang sampah, serta meningkatkan kesejahteraan dan keselamatan operator,” kata dia saat dihubungi DailySocial.id.

Sano, panggilan akrabnya, merupakan pribadi yang peduli dengan pengelolaan sampah di Indonesia. Menurutnya, masalah pengelolaan sampah di negara ini merupakan masalah kompleks yang perlu ditangani dengan pendekatan holistik, tidak bisa hanya pada aspek teknis saja. Tak hanya sistem daur ulang dan pengumpulan sampah yang perlu diperbaiki, tapi mengubah perilaku dan pola pikir masyarakat tentang sampah juga sangat penting.

“Fasilitas pengelolaan sampah yang tidak memadai juga menyebabkan masalah keamanan dan buruknya kesejahteraan pemulung. Oleh karena itu, diperlukan komitmen dan kerja sama yang kuat untuk mengatasi permasalahan tersebut.”

Banyak masyarakat yang masih mengelola sampahnya tanpa berpikir panjang. Mereka mengumpulkan sampah mereka dan kemudian memindahkannya ke TPA atau tempat pembuangan sampah terdekat. Minimal atau hampir tidak ada pemilahan sampah, atau upaya daur ulang. Paradigma lama pengelolaan sampah ini menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat, lingkungan, dan ekonomi.

Untuk mengatasi permasalahan pengelolaan sampah di Indonesia, banyak pemangku kepentingan dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat telah memperkenalkan Circular Economy dan konsep 3R (Reduce, Reuse, Recycle). Dengan menerapkan pengelolaan sampah yang bertanggung jawab, diharapkan masyarakat Indonesia dapat mengubah perilaku dan pola pikir pengelolaan sampah.

Di sisi lain, sektor informal memiliki peran penting dalam mendukung pengelolaan sampah yang bertanggung jawab di Indonesia. Namun mereka cenderung sangat selektif dalam mengumpulkan sampah dari lingkungan. Mereka biasanya hanya mengumpulkan bahan daur ulang yang paling berharga seperti Botol PET, Karton, dan Kaca. Sementara itu, material lain yang kurang menguntungkan seperti plastik PP, kemasan multilayer, dan styrofoam masih menjadi tantangan untuk didaur ulang dan mencemari lingkungan.

Didukung oleh teknologi dan kemitraan masyarakat, Waste4Change fokus untuk menawarkan solusi pengelolaan sampah yang bertanggung jawab secara holistik untuk rumah tangga dan perusahaan domestik. Dalam mempercepat pelaksanaan pengelolaan sampah, pihaknya melibatkan sektor informal dalam banyak hal, seperti platform perdagangan sampah.

“Hingga tahun 2021, Waste4Change telah mengumpulkan 9.237 ton sampah dan mengurangi 53% sampah yang dibuang ke tempat pembuangan akhir.”

Model bisnis dan proses memperkenalkan teknologi

Pada hakikatnya, teknologi berguna untuk meningkatkan efisiensi, namun tidak semua orang dapat dengan cepat beradaptasi dengan teknologi. Sano pun menyadari betul kondisi tersebut, apalagi ini diterapkan untuk pengelolaan sampah. Oleh karenanya, pihaknya cenderung mengintegrasikan teknologi secara bertahap, terutama untuk sektor informal dan operator sampah.

Dicontohkan, integrasi teknologi juga tergantung pada kondisi lokasi dan jenis sampah yang ditangani. Sebagai contoh, salah satu proyek Waste4Change, BRIC (Bekasi River Cleanup Project) pada November 2021, bertujuan untuk mengurangi jumlah sampah di Kali Bekasi dengan menggunakan See Hamster, sebuah produk buatan Jerman, yakni PreZero/Schwarz Group dan One Earth One Ocean (OEOO).

Tiga perahu See Hamster memiliki mekanisme yang berbeda. Perahu pertama memiliki ramp yang berfungsi untuk menarik sampah dari badan air dan batas sungai. Perahu kedua dilengkapi dengan keranjang yang dapat naik-turun dan berfungsi untuk menahan dan mengumpulkan sampah saat perahu berjalan. Perahu terakhir memiliki conveyor belt yang dapat menarik sampah secara otomatis dari badan air.

Ketiganya bekerja secara sinergi dan saling melengkapi. Perahu ini ditenagai dengan daya panel surya, sehingga sistem yang ramah lingkungan dan bebas emisi karbon. See Hamster ini memiliki kapasitas pengumpulan 50-300 kg sampah per hari dan dapat mengurangi jumlah timbunan sampah di sungai. Untuk fasilitas pengelolaan sampah dilengkapi dengan tempat pemilahan dan penyimpanan sampah sementara, serta charging station untuk mengisi daya.

“Pada tahap awal implementasi BRIC, kami menemukan bahwa diperlukan beberapa penyesuaian dengan teknologi See Hamster karena jenis limbah yang unik dan kondisi terkini di Kali Bekasi. Keterlibatan merupakan kunci utama keberhasilan implementasi teknologi.”

Dari sisi hilir, untuk pengumpulan sampah, perusahaan menyediakan situs bernama Send Your Waste untuk permudah individu mendaur ulang sampah anorganik secara bertanggung jawab. Seluruh sampah yang sudah dibersihkan ini dikirim melalui kurir ke titik drop terdekat lokasi. Perusahaan bekerja sama dengan sejumlah mitra, yang kini lokasinya tersebar, di Jakarta, Bogor, Bekasi, Semarang, dan Sidoarjo.

Di luar itu, perusahaan juga menggiatkan kerja sama dengan pihak swasta dan pemerintah demi menciptakan efek domino yang lebih besar agar pengelolaan sampah yang lebih bertanggung jawab.

Sano melanjutkan, Waste4Change memperkenalkan konsep 4C yang merepresentasikan Consult, Campaign, Collection, dan Create, dalam menawarkan solusi pengelolaan sampah secara end-to-end. 4C adalah komitmen Waste4Change untuk menyediakan solusi pengelolaan sampah yang berkelanjutan kepada klien kami. Komitmen tersebut selaras dengan visi yang dicanangkan perusahaan.

Consult, untuk penelitian dan kajian terkait persampahan; Campaign, berbentuk peningkatan kapasitas, pendidikan, dan pendampingan; Collect, mengangkut dan pengolahan sampah setiap hari untuk zero waste ke TPA; Create, program daur ulang sampah dan EPR (Extended Producer Responsibility).

Untuk layanan ketiga ini, Waste4Change menjadi pengelola manajemen sampah untuk gedung, perusahaan, dan pelaku bisnis. Solusinya dinamai Reduce Waste to Landfill dengan model berlangganan. Penggunanya mencapai 70 institusi, yakni Sekolah Seniman Pangan, Wisma Barito, Institute Francais Indonesia, Binus School Bekasi, Javara, Mang Kabayan, dan Vide Bekasi.

Solusinya tersebut sudah bisa tersebar di 17 kota, yakni Jabodetabek, Bandung, Solo, Medan, Palembang, Makassar, Manado, hingga Denpasar. Sebanyak lebih dari 7,4 juta kg sampah telah terdaur ulang.

“Semua layanan Waste4Change dirancang dengan pendekatan ekonomi sirkular dan menargetkan bisnis dan rumah tangga untuk mengadopsi pengelolaan sampah yang bertanggung jawab dalam operasi sehari-hari mereka. Kami bermitra dengan sektor informal, pemasok sampah, pemerintah, dan sektor swasta serta mewujudkan visi zero waste di Indonesia.”

Perusahaan sudah mengantongi pendanaan tahap awal dari Agaeti Ventures, East Ventures, dan SMDV pada Maret 2022. Dana dialokasikan untuk meningkatkan kapasitas pengelolaan sampah di Rumah Pemulihan Material (Material Recovery Facility) Waste4Change menuju kapasitas 2 ribu ton per hari di 2024 dan pengembangan solusi tata kelola sampah kota menggunakan teknologi IT berupa platform smart city.

Menurut sumber DailySocial.id, perusahaan kembali mengantongi investasi baru sebesar $570 ribu dari ecoBali Recycling, AC Ventures, SMDV, Paloma Capital, Urban Gateway Fund, dan lainnya. Sehingga, total yang terkumpul untuk putaran terakhir sejauh ini menjadi $1,4 juta. Saat dikonfirmasi lebih lanjut, Sano belum bersedia mengungkapnya lebih lanjut.

Ramai pemain

Sano turut senang sekarang makin banyak pemain sejenisnya yang mulai menaruh perhatian pada pengelolaan sampah di Indonesia. Selain Waste4Change, ada Rekosistem, Gurita, OCTOPUS,  Pusat Daur Ulang Kertabumi, Xaviera, Mall Sampah, Universal Eco, dan masih banyak lagi. “Kami berharap dapat melihat lebih banyak perusahaan dan inisiatif bekerja sama dalam memecahkan masalah kompleks pengelolaan sampah di Indonesia.”

Pasalnya, menurut dia, semua pemangku kepentingan memiliki tanggung jawab yang sama dalam mengimplementasikan solusi yang tepat untuk masalah sampah di Indonesia. Untuk berkontribusi secara aktif, produsen dan perusahaan dapat menerapkan Extended Producer Responsibility dengan mengumpulkan kembali sampahnya, terutama kemasan PP, kemasan multilayer, dan styrofoam, yang dikategorikan sebagai Bahan daur ulang bernilai rendah.

Di samping itu, kemitraan dengan masyarakat adalah salah satu strategi bisnis utama karena pihaknya memahami bahwa masyarakat dan sektor informal berperan penting dalam pengelolaan sampah di Indonesia. “Di masa depan, kami ingin memiliki kemitraan yang lebih kuat dan lebih banyak inisiatif untuk membantu masyarakat memiliki akses yang lebih baik ke fasilitas pengelolaan sampah yang lebih bertanggung jawab dan berkelanjutan.”

Waste4Change akan melanjutkan visinya sebagai perusahaan pengelolaan sampah terbesar di Indonesia yang mengumpulkan sampah dengan cara yang paling bertanggung jawab. Pada tahun depan rencananya ingin perluas kemitraan dengan sektor informal dan meningkatkan pengumpulan sampah harian di semua fasilitas daur ulang Waste4Change.

“Kami telah mencapai pertumbuhan yang luar biasa setiap tahun. Namun saat ini, kami sedang mengupayakan pembenahan pelaku pengelolaan sampah informal. Beberapa proyek kami dengan klien kami berfokus pada masalah ini. Kami percaya bahwa dengan meningkatkan jumlah sampah yang didaur ulang, kami dapat membantu membangun sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan di Indonesia.”

Proyek lain yang sedang dikerjakan adalah untuk mendukung kesadaran dan realisasi program pengelolaan sampah pemerintah Indonesia. Sano memastikan, seluruh layanannya selalu menaati peraturan pemerintah, di antaranya Indonesia Bersih Sampah 2025 dan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 75/2019 yang mewajibkan produsen untuk menyediakan peta jalan pengurangan sampah.

“Kami senang melihat pasar yang lebih matang pada tahun 2022. Orang-orang mulai lebih peduli dengan limbah mereka dan pendekatan holistik kami masih diminati akhir-akhir ini. Menyambut hari jadi kami yang ke-8 di November 2022, kami bertujuan untuk menjadi penyedia, mitra, dan penasihat layanan pengelolaan sampah yang lebih baik bagi semua pemangku kepentingan,” pungkasnya.

Startup Climate Change

15 Startup yang Mencoba Memberikan Solusi untuk Lingkungan

Isu lingkungan belakangan ini santer diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Pasalnya, perubahan iklim telah nyata-nyata memberikan dampak buruk kepada kehidupan — mulai dari gagal panen akibat cuaca buruk berkepanjangan sampai dengan flora-fauna yang kehilangan habitatnya.

Melihat permasalahan yang ada, sejumlah inovator lokal mencoba menghadirkan cara baru yang dapat membantu masyarakat berpartisipasi untuk mengurangi potensi isu akibat perubahan iklim. Salah satunya, para startup ini hadir membantu masyarakat untuk bisa mengetahui kondisi kesehatan udara di daerah sekitar dan memberikan alternatif energi yang ramah lingkungan.

Berikut ini beberapa inovasi startup lokal terkait perubahan iklim yang layak diektahui.

BLUE

BLUE (Bina Usaha Lintas Ekonomi) adalah salah satu startup di bidang energi terbarukan yang didirikan pada 2018 Oleh Abu Bakar Abdul Karim Almukmin.

BLUE ini menyediakan solusi satu atap untuk barang dan jasa energi terbarukan melalui pasar Warung Energi. Selain itu, BLUE juga mengembangkan solusi energi surya B2B untuk sistem energi surya komersial, industri, dan terpusat untuk wilayah perkotaan dan pedesaan di Indonesia.

Debut pendanaan BLUE sendiri berasal dari New Energy Nexus yang telah mendanai 16 Startup climate change maupun renewable energy.

BuMoon.io

Salah satu startup social yang bergerak pada bidang IoT (Internet of Things), Blockchain, dan Artificial Intelegences yaitu BuMoon.io memiliki project juga untuk mengatasi climate change melalui token crypto.

BuMoon.io sendiri didirikan pada tahun 2021 oleh Dian Agustian Hadi dan Adya Kemara. Selain climate change, BuMoon.io juga mengatasi limbah sampah plastik yang ada. Hal ini bisa dijadikan salah satu hal yang baik untuk diikuti.

Konsep dari BuMoon.io ini sangat unik yaitu mereka memberlakukan “Eco Living Token”, pengguna dapat menyetor sampah ke BuMonn.io setelah itu kita akan mendapatkan benefit (uang, token, dan semacamnya). Model bisnis yang satu ini dilakukan secara periodik.

Tidak hanya Eco Living Token saja, BuMoon.io memliki proyek untuk pemasangan panel surya yang diambil dari data carbon trading, sehingga menjadi salah satu transaksi program yang cukup menarik.

Carboon Addons

Startup ini didirikan pada Agustus 2020. Carboon Addons menghadirkan solusi untuk menggerkakan dampak limbah serta startup untuk mengimbangi emisi karbon dari setiap pembelian seperti produk online dan tiket transportasi melalui add-on sebelum memeriksa produk.

Carbon Addons ini memungkinkan pengguna untuk mengimbangi jejak karbon dari pembelian produk/layanan mereka dengan menambahkan dana karbon tambahan sebelum checkout melalui plugin aplikasi perangkat lunak yang dapat diintegrasikan dengan platform seperti e-commerce.

Carboon Addons sendiri didirikan oleh Mohamad Naufal. Dengan adanya Carboon Addons sendiri, Mohama Naufal yakin bisa meminimalisir kerusakan lingkungan yang ada sehingga kita bisa menikmati keindahan alam terutama di Indonesia.

Duitin

Salah satu startup dengan waste management system yang aman adalah Duitin. Duitin adalah gerakan memilah, mengumpulkan, dan mengelola sampah agar bisa mendapatkan ‘kehidupan kedua’ melalui proses daur ulang.

Jadi Duitin, startup pengumpulan sampah, khususnya sampah anorganik. Apalagi, kampanye pengumpulan sampah anorganik – termasuk pemilahan sampah – terus berlanjut hingga saat ini.

Startup waste management yang satu ini didirikan oleh empat founder yaitu Agy (CEO), Adjiyo Prakoso (COO), Astriani L(CFO), dan Danni Fajariadi (CMO) yang pastinya akan membantu masyarakat Indonesia dalam mengelola limbah sampah dengan baik menggunakan Aplikasi Mobile yang terintegarasi yakni Duitin.

Gringgo

Salah satu startup waste management yang ada di Bali ini dapat menjadi salah satu perusahaan yang dapat berdampak pada lingkungan. Gringgo didirikan oleh Oliver Pouillon (CEO) dan Febriadi Pratama (CTO) pada tahun 2014.

Cara kerja dari Gringgo sendiri adalah memfasilitasi pengelolaan sampah dengan menggunakan website based application yang terintegrasi antara satu sama lain. Hal ini agar para user dapat mengangkut sampahnya melalui aplikasi Gringgo. Namun, pengangkutan sampah ini ada tujuannya yaitu Gringgo ingin membangun sebuah layanan network untuk waste collection.

Pastinya hal tersebut dapat menjadi hal yang baik untuk bank sampah dan kolektor sampah sehingga dapat dimanfaatkan dengan baik.

Pada tahun 2019, Gringgo sendiri mendapatkan pendanaan sekitar $500.000 dari Google untuk mengekspansi bisnisnya ke beberapa wilayah kota seperti Jakarta dan Bali tentunya.

Hijauku.com

Hijauku.com adalah green portal yang menyediakan informasi terkini tentang gaya hidup hijau dan sehat. Startup climate change yang satu ini berisi ide-ide konten untuk penghijauan yang dibagikan menggunakan lisensi Creative Commons untuk mengedukasi orang-orang dan lebih jauh lagi menghijaukan bisnis dan kehidupan sehari-hari mereka.

Selain itu Hijauku.id ini adalah salah satu startup  yang bisa digunakan untuk mengetahui emisi karbon di daerah sekitarnya. Hijauku sendiri berdiri pada Maret 2011 didirikan oleh Hizbullah Arief. 

Selain emisi karbon, Hijauku.com juga memprediksi perubahan cuaca dan Iklim di Indonesia. Hal ini untuk mengetahui gambaran dasar yang baik untuk kamu gunakan dalam kehidupan sehari-hari dan beraktivitas.

Jangjo

Jangjo adalah startup baru di Indonesia. Startup yang satu ini ingin menciptakan ekosistem sinergi yang dapat mengintegrasikan setiap pemangku kepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam pengelolaan sampah. Mulai dari rumah tangga, pemulung, perusahaan operator hingga industri.

Stakeholder yang dimaksud antara lain penghasil sampah (masyarakat), pengangkut sampah (operator), tempat penampungan sementara (hub), dan pengelolaan sampah (industri).

Untuk mengatasi permasalahan di atas, kata dia, Jangjo mengembangkan solusi utama yaitu edukasi pemilahan dan pengangkutan sampah terpilah untuk wilayah Jakarta. Warga yang terdidik memilah sampah bisa menggunakan jasa angkut sampah untuk didaur ulang oleh industri

Edukasi pemilahan sampah dilakukan door to door untuk kawasan pemukiman. Kemudian, Jangjo Rangers akan merekam data sampah yang telah dipilah melalui aplikasi.

Platform waste management ini didirikan oleh 4 Co-Founder Joe Hansen (Co-founder dan Commisioner), Nyoman Kwanhok (Co-founder dan CEO), Eki Setijadi (COO), dan  Hendra Yubianto (CMO) pada tahun 2019.

Startup waste management yang satu ini mendapatkan seed funding dari Darmawan Capital dengan nominal yang dirahasiakan. Dengan Investasi yang satu ini Jangjo akan mengekspansi bisnisnya dan memodernisasi aplikasinya.

Jejak.in

Jejak.in merupakan salah satu startup climate change yang menggunakan teknologi IoT (Internet of Things) dan AI (Artificial Intelegences). Startup ini awalnya adalah berbentuk FMCG yang didirikan oleh Arfan Alandra pada tahun 2018.

Jejak.in memiliki misi untuk menginisiasi aksi iklim melalui solusi berbasis AI dan IoT. Salah satu produk andalan mereka adalah Tree and Carbon Storage Monitoring Platform, sebuah platform yang memanfaatkan teknologi seluler, drone, sensor IoT, LiDAR, dan satelit untuk mengumpulkan dan menganalisis data ekologi lingkungan. 

Jejak.in ini sangat bagus untuk dimanfaatkan dengan baik karena dengan adanya aplikasi ini masyarakat mampu mengetahui perkembangan climate change serta emisi karbon dengan real time.

Selain itu, ada fitur lain yang berfungsi untuk mengukur dampak penyerapan karbon, infiltrasi udara, kondisi tanah dan udara, serta keanekaragaman hayati.

Nafas

Didirikan oleh Ex-CMO Gojek Piotr Jakubowski dan Zulu Nathan Roestandy pada tahun 2018. Startup climate change yang satu ini memiliki perbedaan dibandingkan dengan startup climate change yang lain. Nafas bisa menghadirkan kondisi dan situasi iklim serta kadar emisi karbon yang tepat secara real time dan akurasinyas sangat jitu.

Nafas sudah memasang 46 sensor yang tersebar di Jabodetabek. Sensor mereka dapat memperbarui data kualitas udara setiap 20 menit. Adapun data yang disajikan dalam aplikasi nafas berupa kadar Air Quality Index (AQI) dan Particulate Matter (PM) 2,5. Mereka juga kini menjual produk pembersih udara Aria.

OCTOPUS

Octopus adalah  platform agregator yang bisa dimanfaatkan oleh industri terkait untuk mendapatkan sampah daur ulang dari pemulung dan pengepul. Layanan ini telah memulai operasionalnya di kota lapis 2 dan 3.

Octopus didirikan pada tahun 2020 oleh Dimas Ario Rubianto, Hamish Daud Wyllie, Niko Adi Nugroho, Moehammad Ichsan. Octopus juga sudah melayani ampir 200 ribu pengguna yang tersebar di lima kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta, Tangerang Selatan, Bandung, Bali, dan Makassar. OCTOPUS juga telah bekerja sama dengan lebih dari 1.700 bank sampah dan 14.600 pemulung terlatih dan terverifikasi (mereka menyebutnya dengan “pelestari”).

Saat ini Octopus telah mendalami fokus bisnisnya untuk mengembangkan hal tersebut. Salah satunya melakukan membukukan pendanaan awal dari Openspace Ventures.

Plumelabs

Plume Labs, sebuah startup yang khusus untuk mengukur kualitas udara, baru-baru ini meluncurkan API Plume.io berbayar yang memungkinkan siapa saja untuk menambahkan kualitas udara ke layanan pembeli API mereka. Sebelumnya Plume Labs telah mengembangkan aplikasi mobile dan pengukur kualitas udara.

Plume Labs sendiri didirikan oleh Romain Lacombe pada tahun 2021. Pastinya Plume Labs ini akan menahadirkan startup climate change yang berbeda dengan yang lainnya. 

Rekosistem

Startup Zero Waste Management ini didirikan pada tahun 2018 oleh Ernest Layman dan Joshua Valentin. Rekosistem sendiri tumbuh dan berkembang menjadi perusahaan Zero Waste Management terkemuka dan termutakhir.

Produk dan layanan dari Rekosistem ini cukup banyak model bisnisnya sangat luas di B2B serta B2C dan layanan dan produk rekosistem ini komperhensif seperti edukasi pengelolaan sampah, Mengirim dan menerima sampah agar mudah diolah serta energi terbaharukan seperti Biogas dan sebagainya.

Produk utama yang ditawarkan Rekosistem antara lain Layanan Penjemputan (Repickup Service) dan Penyetoran Sampah ke Tempat Sampah (Redrop Service). Layanan penjemputan ulang meliputi layanan pengumpulan dan penjemputan sampah untuk rumah tangga atau perumahan, bisnis, perkantoran, sekolah, fasilitas umum, fasilitas olahraga, dan tempat komersial.

Rekosistem juga mendapatkan pendanaan dari  Bali Investment Club dan menjalin kerja sama strategis dengan Marubeni. Hal ini digunakan untuk melakukan eskpansi bisnis ke ranah yang lebih meluas lagi.

Sampangan

Salah satu startup waste management selanjutnya adalah Sampangan. Startup yang satu ini didirikan oleh Muhammad Fauzal Rizki (CEO) dengan Hana Punawarman (CPO) pada tahun 2019. Startup ini membantu para pengepul untuk mengelolaan sampah agar lebih berguna.

SamPangan ini memiliki magic box yaitu Carbonized Technlogy untuk pengolahan sampah menjadi sesuatu yang berharga, yaitu mengubah sampah menjadi karbon secara berkala.

Carbonized Technology ini merupakan kombinasi proses Pyrolis dan Gasifikasi. Ini adalah proses penguraian materi menggunakan radiasi panas tanpa adanya oksigen (sehingga tidak ada pembakaran dan tidak ada polusi).

Magic Box ini beroperasi pada 100-400 derajat celcius dibandingkan dengan 700 dan 1200 derajat celcius untuk masing-masing diproses secara tradisional. Sumber energi adalah input limbah yang energi potensialnya diubah menjadi energi panas dalam prosesnya.

Secara sederhana konsepnya mirip dengan rice cooker atau oven. Tidak ada api. Hanya radiasi panas. Limbah masuk, karbon aktif + produk organik dan aman lainnya keluar.

Jadi secara tidak langsung sampang juga dapat mempengaruhi dan memperbaiki kualitas udara melalui pembakaran sampah dan limbah.

Waste4Change

Waste4Change adalah perusahaan pengelola sampah yang bertanggung jawab yang didirikan oleh Mohamad Bijaksana Junerosano pada tahun 2014 di Bekasi, Jawa Barat.

Waste4Change memberikan solusi pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir yang terdiri dari 4 jalur, yaitu: Konsultasi : Penelitian dan kajian terkait persampahan Kampanye : Peningkatan kapasitas, edukasi, dan pendampingan Kumpulkan : Pengangkutan dan pengolahan sampah harian untuk zero waste to landfill Create : Daur ulang sampah dan program EPR (Extended Producer Responsibility).

Hingga saat ini, Waste4Change telah berhasil mengelola 5.400 ton sampah dan mengurangi 52% sampah yang berakhir di TPA. Saat ini, layanan pengelolaan sampah Waste4Change mencakup wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Surabaya, Sidoarjo, Semarang, Bandung, dan Medan.

Zerowaste

Zero Waste Indonesia (ZWID) adalah komunitas berbasis online yang didirikan pada tahun 2018 oleh Maurilla Imron dan Kirana Agustina dengan tujuan mengajak masyarakat Indonesia untuk menjalani gaya hidup zero waste. Zero Waste Lifestyle merupakan gaya hidup untuk meminimalkan produksi sampah yang dihasilkan dari setiap individu yang akan berakhir di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) dalam upaya melestarikan lingkungan.

ZWID berperan aktif untuk terus menyebarkan kesadaran penerapan pola pikir bijak dalam pengelolaan sampah dengan menerapkan 6R (Rethink, Refuse, Reduce, Reuse, Recycle, dan Rot) dengan memberikan tips gaya zero waste yang bermanfaat dan informasi isu-isu pengelolaan sampah. dan kaitannya dengan kelestarian lingkungan.

Mengusung visi sebagai one-stop-solution platform dan payung informasi gaya hidup minim sampah di nusantara, ZWID juga menjadi wadah berkumpulnya individu, penggiat lingkungan, komunitas, dan semua pihak yang peduli terhadap kelestarian lingkungan.

Dukungan holistik pemerintah, masalah retribusi, dan kesadaran masyarakat merupakan isu-isu yang harus dihadapi startup pengelolaan sampah di Indonesia.

Tantangan Startup Manajemen Sampah di Indonesia

Persoalan lingkungan adalah salah satu isu terbesar abad ke-21. Isu ini punya beragam cabang persoalan, mulai dari perubahan iklim hingga pembabatan hutan ilegal punya tingkat kegentingan masing-masing. Bagi sebagian masyarakat dan pemangku kepentingan, isu pengelolaan sampah merupakan salah satu persoalan lingkungan paling mengkhawatirkan.

Kita langsung ambil contoh pengelolaan sampah di Jabodetabek. Jumlah sampah yang dihasilkan oleh warga Jabodetabek diperkirakan sekitar 14.000 ton per hari. Hanya ada 8 tempat pembuangan akhir (TPA) yang menampung gunungan sampah tersebut. Mengutip laporan Jakarta Post, dua di antaranya sudah melebihi kapasitas, tiga yang lain bernasib serupa tahun ini dan tahun depan. Saat ini pemerintah sedang membangun TPA Lulut-Nambo yang luasnya 55 hektare atau setengah dari luas lahan TPA Bantargebang.

Keadaan tersebut secara tak langsung melahirkan sejumlah startup yang fokus di pengelolaan sampah. Gringgo, Waste4Change, Magalarva, dan MallSampah adalah beberapa di antaranya. Hal ini wajar karena persoalan sampah di Indonesia mengakar sangat dalam. Jangan heran sungai Citarum sempat meraih predikat sungai terkotor di dunia.

Akar masalah

Sejatinya sumber masalah pengelolaan sampah di Indonesia ada begitu banyak, tapi Bijaksana Junerosano dari Waste4Change memadatkannya jadi tiga penyebab utama. Pertama adalah penegakan hukum. Indonesia punya sejumlah peraturan soal sampah, tapi penegakannya masih jauh dari kata cukup.

Sano, begitu ia akrab disapa, menyebut penegakan hukum yang lemah menyebabkan sejumlah warga memilih jalan pintas untuk membuang sampahnya, entah dengan membakar atau membuang ke sungai. Jangan kaget saat berkunjung ke tepi sungai besar, seperti Ciliwung, Anda dapat menemukan barang-barang seperti kasur hingga sofa mengapung terbawa arus.

Penyebab kedua adalah ongkos pengelolaan sampah yang terlalu murah dibandingkan tanggung jawab yang harus diemban. Ongkos yang kelewat murah ini dinikmati warga selama bertahun-tahun sehingga sedikit kenaikannya saja bisa menuai protes.

Data Waste4Change menunjukkan ada disparitas yang cukup besar antara rata-rata target retribusi sampah dengan jumlah penerimaannya di kota-kota metropolitan. Pada tahun lalu target rata-rata target kota-kota metropolitan untuk penerimaan retribusi sampah sekitar Rp17 miliar. Namun kenyataannya yang bisa mereka kumpulkan rata-rata hanya berkisar Rp12 miliar.

“Ini masalah besar karena pemerintah diminta membenahi masalah sampah, tapi yang punya sampah tidak mau bayar dengan benar,” ujar Sano.

Dari perkara retribusi itu memunculkan tantangan ketiga dan yang terakhir yakni pembiayaan pengelolaan sampah. Sano yakin jika ekosistem pengelolaan sampah ingin maju maka aspek pembiayaan harus lebih baik sehingga tidak melulu bergantung pada anggaran pemerintah yang terbatas.

Berbagi peran

Di ekosistem pengelolaan sampah ini pemerintah punya peran yang sangat besar, meliputi pembuatan regulasi, penegakannya, dan pembiayaan. Startup manajemen sampah dalam ekosistem ini berperan menawarkan beragam solusi baru untuk mengatasi masalah ini. Kami mengambil dua contoh solusi dari MallSampah dan Waste4Change.

MallSampah adalah startup yang bergerak di manajemen sampah yang bermarkas di Makassar. Beroperasi sejak 2019, MallSampah punya dua layanan yakni layanan jual sampah dan daur ulang. Layanan pertama menekankan pada pengumpulan sampah yang teratur. Pengguna jasa ini dapat menjual sampahnya dengan memilah berdasarkan jenis sampah. Setelah dipilah, maka sampah akan dijemput pihak MallSampah sesuai tempat dan waktu yang ditentukan.

Sementara layanan kedua MallSampah bersifat B2B dengan prinsip mirip dengan layanan pertama. Pemilik bisnis dapat berlangganan layanan daur ulang ini untuk menjual atau mendaur ulang sampah mereka. Dengan kedua layanan tersebut MallSampah berhasil mendaur ulang 30 ton sampah setiap bulan dengan 5.000 pengguna aktif bulanan.

Berbeda dengan MallSampah, layanan Waste4Change jauh lebih beragam dan komprehensif dari hulu ke hilir dan terbagi antara perusahaan dan individu. Mereka punya layanan penjemputan sampah dari rumah ke rumah, kotak sampah untuk sampah siap daur ulang, sedia peralatan dan perlengkapan pengomposan mandiri, konsultasi pengelolaan sampah perusahaan, penyortiran sampah berlabel, hingga edukasi ke sekolah-sekolah mengenai prinsip reduce, reuse, dan recycle. Berkat banyaknya jenis layanan mereka, Waste4Change berhasil mengelola 5.400 ton sampah sejauh ini.

Kendala yang masih dihadapi

CEO MallSampah Adi Saifullah Putra mengatakan kendala paling kentara dari vertikal ini adalah regulasi dan pelaksanaan di lapangan. Adi menilai begitu banyak program pengelolaan sampah yang dibuat, namun sedikit merangkul gerakan dan komunitas yang sudah bergerak sebelumnya.

Adi merujuk pada keberadaan pemulung dan pengepul yang memiliki peran kunci dalam rantai pengelolaan sampah di Indonesia. “Berapa banyak program pemerintah yang menginisiasi pendampingan dan peningkatan efektivitas kerja pemulung dan pengepul, sebagai kunci dari rantai daur ulang di Indonesia? Kebanyakan justru membuat program baru masing-masing,” imbuh Adi.

Sano di sisi lain mengatakan faktor infrastruktur dan pembiayaan sebagai kendala yang masih harus mereka hadapi. Hal ini tercermin dari cara kerja Waste4Change yang kini juga bermitra dengan pemerintah daerah.

Sano sempat mengatakan jika mereka akan sangat kewalahan jika Waste4Change sendirian melayani masyarakat di satu wilayah besar. Ini tak lain karena infrastruktur yang ada belum memadai dan setara di semua wilayah sehingga perlu investasi uang dan waktu yang besar dari Waste4Change untuk menciptakannya. Tak heran jika layanan personal waste management mereka masih terbatas di Jakarta Selatan, Tangerang Selatan, dan Bekasi saja.

Belakangan Waste4Change mengakalinya dengan menggandeng pemerintah setempat. Kolaborasi mereka dengan pemerintah sudah terealisasi di Kota Bekasi. Dari kerja sama ini, mereka menargetkan bisa mengolah sampah kota  hingga 500 ton.

“Enggak mungkin kita minta orang bayar sebelum kita kasih pelayanan. Jadi membangun infrastruktur lebih dulu baru membenahi retribusi,” ujar Sano kala menandatangani nota kesepahaman dengan Pemkot Bekasi pada Maret lalu.

Butuh waktu

Bisnis pengelolaan sampah ini bisa dikatakan tak sesederhana vertikal lain seperti sebut saja sharing economy misalnya. Selain lapisan permasalahan yang lebih mendalam, regulasi yang startup vertikal ini hadapi juga lebih rumit.

Kendati begitu Indonesia setidaknya sudah punya arah kebijakan manajemen sampah yang jelas seperti yang tertuang di Peraturan Presiden Nomor 97 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional (Jakstranas).

Perpres itu menargetkan pengurangan sampah sebesar 30% dan penanganan sampah 70 % pada 2025 nanti. Ini artinya perlu kerja sama yang erat antara startup dengan pemerintah dalam tiap upaya pengelolaan sampah.

Hal ini sudah dipraktikkan Waste4Change yang menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan Lingkungan, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, dan Bappenas. Kolaborasi besar ini mungkin diperlukan karena Indonesia menghasilkan sampah 175.000 ton per hari atau 64 juta ton per tahun.

“Ini adalah sektor baru yang baru saja diganggu oleh teknologi dan belum ada model yang cukup sukses sejauh ini,” pungkas Adi.