Tag Archives: Wearable

Honor-Watch-GS-5

Honor Umumkan Watch GS 3, Smartwatch Stylish Dengan Bodi Stainless Steel

Pada bulan September 2021 lalu, Honor memperkenalkan Watch GS Pro. Jam tangan pintar ini ditujukan untuk penggemar aktivitas outdoor dan para petualang.

Kini Honor kembali mengumumkan smartwatch baru seri GS, yakni Watch GS 3. Sangat kontras dengan Watch GS Pro, Watch GS 3 justru tampil stylish dengan bodi lebih ramping, pelacakan lokasi yang lebih baik, dan dilengkapi rangkaian fitur pelacakan kesehatan yang lengkap.

 

Dari segi desain, Watch GS 3 mengemas kaca lengkung 3D baru di depan panel AMOLED 1,43 inci beresolusi 466×366 piksel (336 ppi) berbentuk bulat dengan diameter 45,9 mm. Ia hadir dalam pilihan warna silver, gold, dan black dengan tali kulit atau tali karet yang tahan lama.

Sasisnya terbuat dari 316L low-carbon stainless steel dengan ketebalan 10,5 mm dan beratnya hanya 44 gram. Bodinya juga sudah tahan air dengan sertifikasi 5 ATM, jadi bisa dipakai saat mandi atau aktivitas berenang.

Berkat sensor pemosisian dual-frequency baru yang mendukung lima konstelasi satelit utama, perangkat wearable ini dapat melacak pengguna ke mana pun perginya meski tak terhubung dengan smartphone. Ia juga dapat menyajikan data yang lebih akurat saat berlari, mendaki, dan melakukan aktivitas outdoor lainnya.

Tentunya Honor Watch GS 3 juga dilengkapi dengan rangkaian fitur kesehatan yang ditingkatkan. Ia memiliki modul PPG 8-channel yang dapat memberikan akurasi minimum 97% saat melacak detak jantung. Serta, dapat melacak kadar oksigen dalam darah, kualitas tidur, dan ada lebih dari 100 mode olahraga termasuk 10 mode olahraga profesional.

Jeroannya menggunakan chipset Apollo4 dengan penyimpanan internal 4G dan menjalankan LiteOS yang mendukung banyak aplikasi pihak ketiga. Rangkaian sensornya mencakup accelerometer, gyro, compass, air pressure, dan ambient light.

Dengan baterai 451 mAh, smartwatch ini menjanjikan masa pakai hingga 14 hari untuk penggunaan biasa atau 30 jam dengan pelacakan GPS terus menerus. Bila sedang terburu-buru, cukup mengisi daya selama 5 menit dan pengguna akan mendapatkan daya yang cukup untuk bertahan sepanjang hari. Pengisian dari baterai kosong sampai penuh akan memakan waktu kurang dari satu jam.

Harga Honor Watch GS 3 di Tiongkok dibanderol mulai dari CNY 1.300 (Rp2,9 jutaan) dengan tali karet atau CNY 1.500 (Rp3,3 jutaan) dengan tali kulit.

Sumber: GSMArena

Redmi Smart Band Pro Unggulkan Layar AMOLED 1,47 Inci dan SpO2 Tracking

Kemampuan perangkat smart band terus bertambah, sensor dan fitur-fiturnya semakin lengkap dan fungsionalitasnya meningkat berkat layar yang lebih besar. Salah satu yang baru diperkenalkan ialah Redmi Smart Band Pro.

Mari mulai dari panel AMOLED 1,47 inci yang memenuhi 66,7% bagian depan yang cukup tajam 282 ppi dengan resolusi 194×368 piksel dan cerah 450 nit. Layar yang lebih besar, membuat konten dapat ditampilkan dengan lebih baik dan juga memudahkan dalam navigasi dan kontrol.

Layarnya telah dilengkapi sensor cahaya yang dapat menyesuaikan kecerahan secara otomatis, fitur praktis ini biasanya dilupakan di smart band entry-level. Permukaan layarnya dilindungi tempered glass 2.5D dengan sudut yang agak membulat dan sekaligus mempercantik penampilannya.

Bodinya terbuat dari material dari polycaprolactam (sejenis nilon, plastik), diperkuat dengan glass fiber. Serta, sudah water resistence 5 ATM yang akan baik-baik saja diajak menyelam hingga 50 meter. Sementara, talinya terbuat dari silikon lembut.

Sensor di dalamnya termasuk accelerometer, gyroscope, dan PPG heart rate monitor. Smart band ini dilengkapi 50+ band face dan 110+ mode workout termasuk 15 mode profesional.

Beberapa mode workout tersebut diantaranya outdoor running, treadmill, outdoor walking, outdoor cycling, hiking, trail run, trekking, indoor cycling, elliptical machine, rowing machine, jumping rope, HIIT, Yoga, freestyle, pool swimming, dan banyak lagi.

Fitur utama lain dari Redmi Smart Band Pro ialah heart rate monitoring 24 jam, SpO2 tracking (blood oxygen), sleep quality tracking, stress level monitoring, deep breath exercise, dan female health. Untuk penggunaan normal, perangkat ini dapat bertahan 14 hari dan hingga 20 hari dalam mode hemat daya berkat baterai 200 mAh. Saat ini, Xiaomi belum mengungkap harga dan ketersediaan Redmi Smart Band Pro.

Sumber: GSMArena

Oura Perbarui Smart Ring, Cincin Pintar Generasi Ketiganya Usung Lebih Banyak Sensor dan Fitur Baru

Jam tangan dan gelang pintar telah perangkat wearable yang mainstream. Mereka memang sangat cocok digunakan di kehidupan new normal untuk menunjang gaya hidup sehat. Sekarang apa Anda pernah mendengar cincin pintar?

Itu yang sedang dikerjakan Oura, perusahaan yang didirikan di Finlandia dengan fokus untuk meningkatkan cara kita menjalani hidup. Mereka mengembangkan cincin pintar bernama Oura Smart Ring, versi ketiga atau terbarunya telah hadir dengan sensor dan sejumlah fitur baru.

Salah satunya ialah kemampuan 24/7 heart rate monitoring secara terus menerus sepanjang hari berkat sensor detak jantung optik baru. Sebagai informasi, model sebelumnya dari Oura Smart Ring hanya dapat melacak detak jantung di malam hari saat pengguna tidur.

Oura Smart Ring juga diklaim dapat memprediksi siklus wanita 30 hari sebelumnya dengan menggunakan algoritme khusus dan pembacaan suhu tubuh. Pengguna akan mendapatkan notifikasi enam hari sebelum periode dimulai dan akan belajar dari perubahan biologis penggunanya sehingga kedepannya menjadi lebih akurat.

Cincin ini terbuat dari material titanium dengan berat antara 4 dan 6 gram, tergantung pada ukurannya. Dalam lingkaran cincin yang sekecil itu terdapat tujuh sensor temperature dan ditambah sensor pulse oxygen, tetapi fitur blood oxygen monitoring baru akan siap digunakan pada tahun 2022 mendatang.

Dengan semua fitur pelacakan tersebut, baterai Oura Smart Ring dapat bertahan sekitar 4 hingga 7 hari sekali pengisian daya. Tergantung apakah fitur heart rate monitoring terus menerus diaktifkan atau tidak.

Oura Smart Ring dibanderol dengan harga US$299 atau sekitar Rp4,2 jutaan. Oura juga menyediakan paket berlangganan bulanan seharga US$6.99 yang sifatnya opsinal. Perlu diingat bahwa tidak semua fitur akan tersedia saat peluncuran dan beberapa di antaranya akan hadir menyusul untuk pengguna smartphone Android.

Sumber: GSMArena

TCL Umumkan Thunderbird Smart Glasses Pioneer Edition, Kacamata Pintar dengan Layar Micro-LED Full-Color Transparan

Perkembangan teknologi kacamata pintar sejauh ini memang belum menggembirakan, tampaknya masih butuh waktu hingga benar-benar dapat diterima dan digunakan secara luas. Namun tren kacamata pintar diprediksi akan mulai ramai di tahun 2022 mendatang.

Kabar terbaru datang dari TCL, perusahaan pembuat alat elektronik konsumen asal Tiongkok itu telah mengumumkan smart glasses terbarunya, bernama Thunderbird Smart Glasses Pioneer Edition. Kacamata pintar ini menggunakan cahaya holografik waveguide dan teknologi layar MicroLED full-color yang transparan dengan algoritme pengoptimalan khusus yang dikembangkan sendiri oleh TCL selama tiga tahun terakhir.

Silahkan tonton video di bawah ini untuk melihat demonstrasi apa yang dapat dilakukan seseorang dengan Thunderbird Smart Glasses Pioneer Edition.

Ya, berkat teknologi kacamata yang awalnya berfungsi untuk memperjelas penglihatan berubah menjadi gadget pintar yang dapat mempermudah kehidupan penggunanya. Mulai dari membaca berita, mengecek jadwal kerja, melihat pesan, mengontrol smart home, mendapatkan navigasi, berbagi file, membaca laporan, terhubung ke mobil, dan lainnya. Semua itu, dapat dikontrol melalui gagang kacamata.

Demo tersebut juga menunjukkan bahwa kacamata Thunderbird punya kamera bawaan yang tersemat di pangkal hidung. Pengguna dapat melakukan zoom sebelum mengambil foto, lalu secara otomatis ditransfer ke smartphone.

Pada dasarnya, semua kegiatan tersebut dapat dilakukan dengan mudah lewat smartphone, tetapi Thunderbird Smart Glasses Pioneer Edition menawarkan pengalaman baru yang jauh lebih praktis. Selain itu, sepertinya kacamata pintar ini masih membutuhkan smartphone Anda untuk menyediakan koneksi internet.

Saat ini, TCL belum mengungkapkan ketersediaan Thunderbird Smart Glasses Pioneer Edition untuk konsumen dan berapa harganya.

Sumber: GSMArena

Anker Luncurkan Soundcore Frames, Kacamata Pintar dengan Desain Semi-Modular

Soundcore merupakan sub-brand milik Anker yang secara khusus menggeluti bidang audio. Namun produk mereka kini tak hanya mencakup speaker, earphone dan headphone saja, melainkan juga kacamata.

Gambar di atas adalah Soundcore Frames, kacamata pintar sekaligus perangkat wearable pertama dari Anker. Kata pintar di sini mengacu pada kemampuannya memutar audio, bukan untuk menyajikan konten augmented reality seperti Snap Spectacles.

Dalam mengerjakan tugasnya, Soundcore Frames mengandalkan sepasang driver pada masing-masing tangkainya; satu berdiameter 25 mm, satu lagi 8 mm. Anker tidak lupa menyematkan sejumlah mikrofon sehingga perangkat juga bisa dipakai untuk menelepon maupun menangkap perintah suara.

Selain via perintah suara, pengoperasiannya juga bisa dengan menyentuh dan mengusap sisi luar tangkainya. Secara keseluruhan, perangkat ini tahan cipratan air dengan sertifikasi IPX4.

Soundcore Frames bukanlah kacamata audio pertama yang eksis di pasaran. Jauh sebelum ini sudah ada perangkat serupa dari Bose. Bahkan Razer pun juga punya kacamata dengan fungsi yang sama bernama Anzu.

Namun yang membedakan Soundcore Frames adalah fleksibilitasnya. Ketimbang menawarkan beberapa varian dengan desain yang berbeda, Anker justru menerapkan desain semi-modular pada Soundcore Frames; kedua tangkainya dapat dilepas-pasang dengan mudah dari bingkai kacamata.

Jadi ketimbang membeli unit baru secara lengkap hanya sekadar untuk berganti gaya, konsumen cuma perlu membeli bagian bingkainya saja. Jauh lebih hemat, tapi di saat yang sama masih tetap praktis. Agar dapat menjangkau semua pengguna, perangkat tentu juga kompatibel dengan lensa berukuran.

Soal baterai, Soundcore Frames diklaim bisa tahan sampai 5,5 jam sebelum ia perlu diisi ulang. Pengisiannya sendiri mengandalkan charger magnetis khusus. Saat buru-buru, perangkat bisa di-charge selama 10 menit saja, dan itu sudah cukup untuk menenagainya selama 1,5 jam pemakaian.

Untuk pasar Amerika Serikat, Soundcore Frames kabarnya akan dijual dengan harga $200 (sama seperti Razer Anzu), sementara bingkai tambahannya (yang tersedia dalam 10 variasi desain) dihargai $50 per unit.

Sumber: 9to5Toys dan Anker.

Teknologi di Esports dan Olahraga: Cheat dan Regulasi

Bidang sports engineering terbukti bisa menghasilkan peralatan yang dapat meningkatkan performa atlet olahraga tradisional. Seiring dengan semakin populernya esports, maka semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk membuat peralatan bagi para gamers profesional. Dan perangkat itu tidak terbatas pada smartphone, mouse, keyboard, atau peripheral elektronik lainnya, tapi juga kursi gaming, sepatu gaming, smartwatch, dan perangkat yang bisa dikenakan lainnya.

Perusahaan sepatu ternama — seperti Nike, Puma, dan adidas — juga pernah membuat sepatu untuk gamers. Seperti Air Jordan 1 Zoom dari Nike atau X9000 dari adidas. Puma bahkan meluncurkan “Active Gaming Footwear”, kaos kaki yang diklaim bisa memberikan kenyamanan yang diperlukan oleh gamers profesional. Dan tampaknya, di masa depan, akan ada semakin banyak produk yang ditujukan untuk gamers atau atlet esports profesional.

Adakah Regulasi untuk Peralatan yang Digunakan oleh Pemain?

Fairness adalah bagian penting dari kompetisi olahraga, tidak terkecuali esports. Karena itu, penyelenggara turnamen atau game esports biasanya akan membuat regulasi terkait peralatan yang boleh digunakan oleh para peserta. PUBG Mobile adalah salah satu game yang tidak hanya mengatur peralatan yang bisa digunakan oleh pemain, tapi juga regulasi terkait seragam yang dikenakan oleh peserta.

Dalam PUBG Mobile Rulebook V1.2.1 yang dirilis pada Juni 2021, disebutkan bahwa semua pemain yang ikut serta dalam kompetisi hanya boleh menggunakan perangkat berbasis Android dan iOS. Untuk PUBG Mobile Pro League (PMPL) Indonesia Season 4, bahkan sudah ada smartphone resmi yang digunakan, yaitu realme GT Master Edition. Selain itu, peserta juga tidak boleh menggunakan aksesori tanpa izin dari pihak penyelenggara turnamen. Contoh aksesori yang disebutkan dalam buku regulasi itu adalah adapter, controllers, keyboard Bluetooth, dan mouse.

PUBG Mobile punya rulebook tersendiri.

Rulebook PUBG Mobile juga membahas tentang pakaian yang boleh dikenakan oleh para peserta kompetisi. Di buku itu, tertulis bahwa semua anggota tim esports yang bertanding harus menggunakan seragam tim, yang terdiri dari jersey, jaket, topi, dan celana. Khusus untuk jaket dan topi, pemain dibebaskan untuk mengenakan atau melepasnya sepanjang turnamen. Di PUBG Mobile Rulebook, juga disebutkan bahwa pihak penyelenggara punya hak untuk melarang peserta menggunakan pakaian tertentu jika pakaian itu melanggar Regulasi Umum.

Selama kompetisi, peserta juga diharuskan untuk mengenakan celana panjang dan sepatu. Avatar pemain dalam game juga diwajibkan untuk mengenakan pakaian. Pemain juga dilarang untuk mengganti pakaian dari avatar mereka, demi kepentingan estetika atau comic effect. Sementara itu, pelatih tim diharuskan mengenakan pakaian resmi.

Terkait smartphone yang digunakan dalam kompetisi esports, Herry Wijaya, Head of Operation Mineski Global Indonesia mengatakan, dua hal yang harus diperhatikan daalah touchscreen dan WiFi.

“Dulu, ada banyak smartphone yang touchscreen-nya tidak bisa sensitif saat digunakan dengan lebih dari dua jari. Sekarang, kebanyakan sudah responsif bahkan dengan lebih dari tiga jari,” ujar Herry saat dihubungi oleh Hybrid. Sementara untuk masalah WiFi, yang harus diperhatikan adalah apakah performa smartphone akan mengalami penurunan ketika ia terhubung ke WiFi serta charger secara bersamaan. Herry mengaku, Mineski biasanya akan menguji smartphone yang akan digunakan di kompetisi, untuk memastikan ponsel itu memang punya performa yang mumpuni.

Di sisi tim esports, ketika ditanya tentang smartphone yang digunakan oleh tim RRQ, CEO Andrian Pauline alias AP mengungkap bahwa mereka selalu menggunakan smartphone yang disarankan oleh publisher game. Alasannya adalah agar pemain sudah terbiasa menggunakan smartphone itu. Sehingga mereka tidak kagok ketika bertanding di kompetisi resmi.

Sekarang, mari beralih ke skena fighting game. Jika dibandingkan dengan mobile esports, fighting game menawarkan opsi perangkat yang lebih beragam, mulai dari gamepad, arcade stick, sampai hit box. Faktanya, komunitas fighting game sempat terbelah menjadi dua: kubu arcade stick dan kubu gamepad. Hybrid pernah membahas tentang perbedaan antara keduanya di sini.

Pada September 2019, EVO — turnamen fighting game terbesar di dunia — mengeluarkan peraturan terkait controllers yang bisa digunakan oleh para peserta. Mereka membuat regulasi ini sebagai jawaban dari banyak pertanyaan terkait controller dan modifikasi yang dibolehkan dalam kompetisi resmi. Pertanyaan itu datang dari peserta dan manufaktur controllers.

“Para pemain tidak tahu controllers apa yang boleh digunakan di turnamen, sehingga mereka memilih untuk menggunakan gamepad dan fightstick tradisional. Hal ini membatsi opsi controller yang bisa dipilih oleh pemain, membuka kemungkinan bahwa pemain tidak memilih controller yang paling sesuai dengan gaya mereka,” tulis EVO dalam Google Docs. “Manufaktur controllers juga menjadi bimbang apakah produk mereka bisa digunakan di turnamen resmi, yang bisa menghambat inovasi. Untuk menjawab ketidakpastian ini, EVO telah membuat peraturan terkait controller buatan pihak ketiga.”

Secara garis besar, ada tiga peraturan yang EVO tetapkan. Pertama, satu mekanisme input dalam controller tidak boleh mengaktifkan beberapa input sekaligus. Pengecualian dari aturan ini adalah input arah (atas, bawah, kiri, dan kanan). EVO membolehkan penggunaan lever yang bisa memasukkan input Bawah+Kanan sekaligus. Namun, EVO melarang penggunaan tombol dengan makro yang bisa mengaktifkan sekumpulan input dalam game. Selain itu, penggunaan tombol analog yang bisa memasukkan input A atau input B — tergantung pada seberapa keras tombol itu ditekan — juga dilarang.

Peraturan kedua, controller bisa mengirimkan input game dari mekanisme input analog atau digital, selama ia tidak melanggar peraturan pertama. Peraturan terakhir, controller tidak boleh memasukkan input arah yang berlawanan secara bersamaan (Simultaneous Opposite Cardinal Direction alias SOCD), seperti Atas+Bawah atau Kanan+Kiri. Ketika EVO mengumumkan akan regulasi itu, penggunaan PlayStation 4 DualShock masih diizinkan. Karena, controller itu dianggap sebagai controller standar dan tidak punya fitur ekstra. Namun, peraturan itu ditinjau ulang pada 31 April 2021, seperti yang disebutkan oleh Dot Esports.

Sebagai penyelenggara turnamen esports, ESL juga punya peraturan sendiri. ESL tetap membuat sejumlah regulasi, bahkan ketika mereka menggelar turnamen dari game yang sudah punya rulebook sendiri, seperti PUBG Mobile. Biasanya, peraturan yang ditetapkan oleh ESL akan disesuaikan dengan game yang diadu. Namun, memang, mereka tidak membuat peraturan spesifik tentang aksesori atau pakaian yang digunakan oleh pemain. ESL hanya menegaskan, jika ada pemain yang ketahuan berbuat curang, maka dia akan dikenakan sanksi dan akan secara otomatis dikeluarkan dari turnamen.

Contoh Aksesori di Dunia Esports

Herry bercerita, saat ini, kebanyakan aksesori yang digunakan oleh pemain esports mobile adalah in-ear earphone. Memang, sudah muncul berbagai aksesori wearable, seperti gaming gloves. Namun, kebanyakan — jika tidak semua — pemain profesional di Indonesia bermain tanpa bantuan aksesori tersebut. Karena itu, tidak heran jika belum ada regulasi yang mengatur tentang penggunaan gaming gloves atau aksesori wearable lainnya. Ke depan, apakah aksesori seperti gaming gloves boleh digunakan, Mineski akan menyerahkannya pada pihak publisher.

Pendiri dan CEO BOOM Esports, Gary Ongko Putera mengatakan, peripheral seperti mouse, headphone, atau keyboard memang punya pengaruh pada performa pemain game esports PC. Alasannya karena aksesori yang digunakan akan mempengaruhi pada kenyamanan dan response time dari para pemain. Namun, sekarang, peralatan yang bisa digunakan oleh pemain esports tak terbatas pada aksesori untuk smartphone, PC, atau konsol saja. Aksesori seperti compression sleeves, sarung tangan, dan celana pun mulai bermunculan.

POINT3 adalah salah satu perusahaan apparel yang membuat pakaian untuk gamers. Mereka bahkan punya gaming collection yang dibuat menggunakan DRYV, teknologi manajemen keringat yang sudah dipatenkan. Sebelum membuat koleksi pakaian untuk gamers, POINT3 telah membuat pakaian untuk atlet olahraga tradisional.

Celana POINT3 yang bisa menyerap keringat. | Sumber: Inven Global

Michael Luscher, pendiri dan CEO POINT3 mengatakan bahwa setelah memperhatikan komunitas esports, POINT3 menemukan, atlet esports membutuhkan pakaian yang nyaman dan menghilangkan segala gangguan. Tangan yang berkeringat adalah masalah yang ingin POINT3 selesaikan dengan pakaian berteknologi DRYV mereka. Pada 2020, mereka sempat mengirimkan contoh produk ke para influencers di industri esports. Hal ini berujung pada kontrak endorsement antara POINT3 dan Nidal “MamaImDatMan” Nasser, pemain NBA2K League, menurut laporan Inven Global.

Nasser bercerita, tangannya sering berkeringat saat menggenggam controllers. Saat mengenakan celana dari POINT3, dia bisa dengan mudah mengelap keringat itu di celananya. “Sejujurnya, pada awalnya, saya juga skeptis,” kata Nasser, seperti dikutip dari Washington Post. “Tapi, semakin sering saya mengenakan celana ini, semakin saya sadar bahwa saya mengelap tangan saya ke celana ini setiap hari.”

Luscher merasa, saat ini, memang belum banyak inovasi yang ada untuk membuat “performance wear” — pakaian yang diklaim bisa meningkatkan performa atlet — untuk bidang esports. Namun, dia percaya, pasar performance wear untuk esports masih akan berkembang dalam beberapa tahun ke depan. Gamers akan memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan pasar tersebut.

Selain Nasser, sejumlah pemain esports profesional lain mengatakan bahwa memang ada pakaian yang membuat mereka merasa nyaman dan meningkatkan performa mereka, walau sedikit. Ialah Audric “JaCkz” Jug, pemain Counter-Strike: Global Offensive untuk G2 Esports. Dia mengatakan, compression sleeves adalah hal wajib untuk pemain game esports PC yang sering mengistirahatkan lengan mereka di meja.

“Fungsi compression sleeves adalah untuk mengurangi gesekan,” kata Jug. “Lengan saya terkadang menempel ke permukaan meja. Saya tidak perlu mengkhawatirkan hal itu ketika saya menggunakan compression sleeve.” Jug mengaku bahwa dia tidak disponsori oleh perusahaan manufaktur compression sleeves. Namun, dia telah menggunakan compression sleeves selama bertahun-tahun. Belakangan, dia menyadari bahwa semakin banyak pemain profesional yang mengenakan compression sleeves. Dia memperkirakan, ada setidaknya satu atau dua pemain dari setiap tim yang dia lawan yang mengenakan compression sleeve atau gaming gloves.

Atlet esports lain yang mengenakan compression sleeves adalah Mohamed “Revenge” Kaddoura, pemain League of Legends untuk Immortals. Tim esports itu punya kerja sama dengan POINT3. Biasanya, Kaddoura menggunakan compression sleeve dan sweater dari POINT3. Salah satu keunggulan sweater POINT3 adalah karena ia terbuat dari bahan yang menyerap keringat. Kaddoura mengungkap, dia mengenakan compression sleeve dan sweater demi kenyamanan. Dia ingin memastikan bahwa dia tidak merasa kedinginan ketika bertanding di arena esports, yang biasanya memang bersuhu rendah.

Tak hanya performance wear, sekarang, juga ada smartwatch khusus untuk gamers, seperti Garmin Instinct Esports Edition. Dalam Instinct Esports Edition, Garmin mencoba untuk menggabungkan fitur-fitur karakteristi smartwatch — seperti GPS dan fitur pelacak kesehatan — dengan tools untuk streamers dan pemain profesional. Salah satu fitur yang ada di Instinct Esports Edition adalah tracker kegiatan esports. Fitur ini memungkinkan Instinct untuk melacak detak jantung pengguna layaknya ketika dia berolahraga. Dari detak jantung pengguna, smartwatch itu akan menunjukkan indeks stres pengguna.

Garmin Instinct Esports Edition.

Menurut The Gamer, data dari Instinct Esports Edition bisa membantu para pelatih atau bahkan pemain profesional sendiri tentang bagaimana stres mempengaruhi performa gaming seseorang. Setelah mengetahui informasi ini, pemain atau pelatih diharapkan akan bisa menemukan cara untuk mengatur stres. Fitur lain yang ada di Instinct Esports Edition adalah STR3AMUP, yang memungkinkan pengguna untuk melihat data yang dilacak oleh smartwatch di PC secara langsung. Sehingga, pengguna bisa langsung mengetahui kapan dia mulai merasa stres, yang bisa terlihat dari detak jantungnya.

Ketika ditanya apakah wearable seperti smartwatch akan bisa mempengaruhi performa pemain, Gary mengaku sangsi. “Memang ada waktu untuk lihat jam saat main? Saya rasa, fungsinya lebih ke arah kesehatan saja deh,” ujarnya.

Sementara itu, AP mengatakan bahwa untuk para pemain mobile esports, belum diketahui apakah aksesori seperti sarung tangan bisa meningkatkan performa atlet esports. “Earphone-pun, beberapa pemain pakai, dan beberapa tidak,” katanya. “Untuk lebih tepatnya, belum ada studi khusus sih… Masih di-explore.” Lebih lanjut dia menyebutkan, saat ini, dia belum ada percobaan yang menunjukkan apakah wearable seperti smartwatch memang akan bisa membantu pemain untuk bermain dengan lebih baik.

Chuck Tholl adalah seorang Research Associate di German Sport University Cologne. Selama enam tahun terakhir, dia dan timnya meneliti tentang beban mental dan fisik yang dihadapi oleh para atlet esports. Mereka juga berusaha untuk mengembangkan program pelatihan dan pemulihan bagi pemain profesional yang cedera.

Tholl mengaku tidak heran jika nantinya, semakin banyak performance wear yang muncul untuk pemain esports. Dia berkata, sekarang, memang semakin banyak tim esports profesional yang memperlakukan para pemain layaknya atlet tradisional. Tim-tim tersebut tidak hanya mempekerjakan psikologis, tapi juga ahli nutrisi. Jadi, menurutnya, kemunculan produk performance wear adalah langkah berikutnya.

Meskipun begitu, Tholl juga mengakui bahwa, saat ini, masih belum diketahui apakah performance wear memang akan dapat meningkatkan performa pemain profesional. Satu hal yang pasti, dia menyebutkan, produk performance wear setidaknya bisa memberikan dampak psikologis positif.

Compression sleeves dari ASUS ROG. | Sumber: ASUS

“Sekarang, belum ada bukti fisik yang menunjukkan bahwa produk-produk itu — seperti compression sleeves dan lain sebagainya — memang bisa meningkatkan performa pemain,” ujar Tholl. “Tapi, efek placebo sering kita bahas. Jika Anda pikir produk itu bisa membantu Anda, bisa jadi, kepercayaan itu bisa menjadi nyata. Mengenakan pakaian tertentu bisa membantu Anda menjadi lebih fokus.”

Di dunia kesehatan, placebo effect didefinisikan sebagai efek semu ketika seseorang mengonsumsi “obat palsu”. Jadi, walau seseorang mengonsumsi obat kosong (tanpa zat aktif tertentu), otaknya akan meyakinkan tubuh bahwa dia telah mendapatkan pengobatan sehingga tubuh akan terpicu untuk melakukan proses penyembuhan.

Placebo effect bukan sekadar berpikir positif bahwa sebuah metode pengobatan akan bekerja,” kata Ted Kaptchuk dari Beth Israel Deaconess Medical Center, seperti dikutip dari blog Harvard. “Placebo effect adalah upaya untuk membuat ikatan yang lebih kuat antara tubuh dan pikiran.”

Terlepas dari apakah aksesori wearable bisa memberikan efek placebo, Herry mengatakan, fairness tetap menjadi hal yang paling harus diperhatikan oleh pihak penyelenggara turnamen. Dia menambahkan, jika penyelenggara turnamen ingin memperbolehkan penggunaan aksesori/alat bantu seperti gaming gloves dan compression sleeves, maka ada dua hal yang harus dipastikan. Pertama, aksesori tidak meningkatkan performa pemain secara signifikan. Kedua, semua pemain bisa menggunakan aksesori itu, untuk memastikan pertandingan tetap berjalan dengan adil.

Teknologi Majukan Olahraga Tradisional, Juga Bakal Terjadi di Esports?

Seiring dengan berjalannya waktu, industri olahraga terus berubah. Pada awalnya, raket tennis terbuat dari kayu. Kemudian, raket metal mulai populer untuk digunakan pada 1970-an. Setelah itu, material baru digunakan untuk membuat raket tennis, seperti aluminium dan graphite. Perubahan material ini membuat raket tennis menjadi lebih ringan.

Tak hanya material, desain raket tennis juga mengalami perubahan. Sekarang, bagian kepala raket menjadi lebih besar. Dalam sebuah video, Sports Engineering Research Group menjelaskan bagaimana raket dengan ukuran kepala yang lebih besar akan meningkatkan momen inersia. Dengan begitu, ketika raket digunakan untuk memukul bola, rotasi yang terjadi pada raket bisa diminalisir. Hal ini memungkinkan petenis untuk mengarahkan bola yang dia pukul.

Teknologi juga bisa meningkatkan performa atlet olahraga tradisional. Faktanya, sports engineering merupakan jurusan yang mengkhususkan diri untuk mengaplikasikan bagian teknis dari matematika dan fisika untuk memecahkan masalah di dunia olahraga. Masalah yang sports engineering coba pecahkan  beragam, mulai dari desain peralatan olahraga, memastikan keamanan atlet di olahhraga berbahaya, regulasi standar, sampai menganalisa performa atlet.

Salah satu manfaat sports engineering adalah kemunculan peralatan olahraga yang bisa meningkatkan performa atlet. Contohnya adalah baju renang polyutherane. Material polyutherane bersifat hidophobic, sehingga pemakainya bisa mengapung lebih tinggi. Jika atlet renang bisa mengapung lebih tinggi, dia akan bisa meminimalisir resistensi yang dia hadapi. Alhasil, perenang yang mengenakan baju renang polyutherane bisa berenang dengan lebih cepat. Inovasi baju renang polyutherane sukses meramaikan dunia renang. Buktinya, setelah atlet renang mulai menggunakan baju renang dari polyutherane, banyak rekor baru di dunia renang. Pada World Swimming Championship 2009 saja, ada 20 rekor dunia di olahraga renang yang dipecahkan.

Hanya saja, baju renang polyutherane mahal (US$500 per baju renang) dan hanya bisa digunakan beberapa kali. Jadi, tidak semua atlet renang bisa menggunakannya. Hal ini berujung pada larangan untuk menggunakan baju renang polyutherane pada 2009. Karena, pakaian renang tersebut bisa meningkatkan performa atlet secara signifikan. Dan hal ini dianggap membuat pertandingan menjadi tidak adil bagi atlet yang tidak bisa menggunakan baju renang polyutherane.

Baju renang polyutherane. | Sumber: Deutsche Welle

Dua contoh di atas menunjukkan bagaimana peralatan yang digunakan oleh atlet olahraga tradisional bisa berubah seiring dengan waktu. Dan teknologi yang dipakai pada peralatan atlet bisa mempengaruhi performa mereka. Saat ini, industri esports masih sangat muda. Ada beberapa hal yang industri esports tiru dari industri olahraga tradisional, seperti kompetisi franchise dan format kompetisi home-away. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan, esports akan meniru bagian lain dari olahraga. Misalnya, penggunaan performance wear oleh atlet esports.

Namun, Herry percaya, esports tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan olahraga tradisional. Menurutnya, keberadaan mobile esports hanya akan mendorong perkembangan teknologi smartphone. Pasalnya, smartphone adalah satu-satunya perangkat yang diperlukan untuk memainkan mobile game. Dan saat bermain mobile game, atlet esports hanya perlu menggunakan tangan dan jari. Jadi, para pemain profesional tidak membutuhkan boost dalam kekuatan fisik.

“Anggap saja esports seperti catur. Keduanya tidak menggunakan equipment yang bakal mempengaruhi fisik peserta,” kata Herry. “Berbeda dengan olahraga tradisional, yang memang sangat mengutamakan kekuatan fisik. Misalnya, basket. Kalau pemain basket memang perlu peralatan yang bisa mendorong performa, seperti sepatu.”

Kesimpulan

Esports memang tengah naik daun. Sekarang, esports juga semakin diakui oleh masyarakat. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa industri esports masih muda. Banyak pelaku esports yang masih melakukan “coba-coba”. Mengingat esports punya kesamaan dengan industri olahraga, tidak heran jika sebagian pelaku esports memutuskan untuk meniru beberapa aspek dalam dunia olahraga. Misalnya, format kompetisi.

Sekarang, teknologi merupakan bagian penting bagi olahraga tradisional. Sports engineering sukses mendorong para atlet kelas dunia untuk memberikan performa yang lebih baik. Seiring dengan meningkatnya popularitas esports, mulai bermunculan peralatan dan aksesori yang dibuat untuk meningkatkan performa gamers atau pemain esports.

Saat ini, memang masih belum ada studi yang menunjukkan apakah performance wear untuk gaming dan esports bisa meningkatkan performa penggunanya. Namun, di level global, jumlah pemain profesional yang mengenakan performance wear mulai bertambah. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, di masa depan, pasar performance wear untuk gamers dan atlet esports memang akan menjadi semakin besar.

Sumber header: Trend Hunter

Ray-Ban Stories Adalah Kacamata Pintar Generasi Pertama dari Facebook

Setelah lama dirumorkan, Facebook akhirnya secara resmi memperkenalkan kacamata pintar perdananya pada tanggal 9 September kemarin. Dinamai Ray-Ban Stories, perangkat ini memang merupakan hasil kolaborasi langsung Facebook dengan sang produsen kacamata asal Italia tersebut, lebih tepatnya induk perusahaannya, yakni EssilorLuxottica.

Secara fisik, Ray-Ban Stories nyaris identik dengan kacamata tradisional, dan frame-nya pun tergolong tipis untuk ukuran perangkat yang mengemas sederet komponen elektronik. Anda tidak akan menemukan satu pun branding Facebook di tubuhnya, dan satu-satunya bagian yang menunjukkan bahwa ini bukan kacamata biasa hanyalah dua lensa kecil di ujung kiri dan kanan atasnya.

Di balik masing-masing lensa tersebut, tertanam sensor kamera 5 megapiksel. Kenapa harus dua? Supaya foto yang dihasilkan juga bisa diberi efek 3D. Foto tangkapannya sendiri memiliki resolusi 2592 x 1944, sementara videonya memakai format kotak dengan resolusi 1184 x 1184.

Pengoperasiannya terkesan sangat simpel. Pada tangkai sebelah kanan, pengguna bisa menemukan sebuah tombol. Klik tombol tersebut, maka perangkat bakal merekam video selama 30 detik. Klik dan tahan tombolnya, maka perangkat bakal menjepret foto. Selagi kameranya bekerja, orang lain bisa melihat indikator LED kecil di sebelah lensanya menyala dalam warna putih.

Untuk melihat hasil tangkapannya, pengguna perlu memakai aplikasi Facebook View di perangkat Android maupun iOS. Lewat aplikasi ini pula pengguna dapat mengunggah konten ke Facebook, Instagram, WhatsApp, Messenger, Twitter, TikTok, Snapchat, dan lain sebagainya.

Seandainya tangan pengguna sedang sibuk, mereka juga bisa mengambil video atau foto dengan memanfaatkan perintah suara. Ya, selain mengusung kamera, kacamata ini rupanya juga mengemas mikrofon sekaligus speaker. Jadi selain untuk mengabadikan momen, perangkat juga dapat difungsikan untuk menelepon atau mendengarkan musik.

Yang tidak bisa dilakukan oleh kacamata ini adalah menampilkan konten augmented reality (AR) di hadapan penggunanya. Tidak seperti prototipe Spectacles generasi keempat, Ray-Ban Stories sama sekali tidak dibekali kapabilitas AR. Maklum, kacamata ini merupakan produk generasi pertama.

Dalam sekali pengisian, Stories diyakini mampu bertahan sampai satu hari penuh. Kacamata ini hadir bersama sebuah wadah yang merangkap sebagai charging case, jadi Anda tidak usah repot-repot mencari colokan tersembunyi di tangkainya. Case ini dapat mengisi ulang Stories sampai sebanyak tiga kali sebelum ia sendiri perlu dicolokkan ke charger.

Sebagai produk yang mempunyai asosiasi langsung dengan Facebook, Ray-Ban Stories tentu memicu pertanyaan-pertanyaan seputar privasi. Namun kalau menurut Facebook sendiri, Stories dirancang dengan berfokus pada aspek privasi. Mereka bahkan telah menyiapkan sebuah microsite yang secara khusus menjelaskan mengenai fitur-fitur privasi milik kacamata ini.

Lalu seandainya pengguna benar-benar butuh privasi ekstra, mereka bisa mematikan semua komponen elektronik yang tertanam di Stories lewat sebuah tuas kecil di belakang engselnya.

Tertarik? Well, sayang sekali untuk sekarang Ray-Ban Stories baru akan tersedia di Amerika Serikat, Australia, Inggris, Irlandia, Italia, dan Kanada. Harganya dipatok $299, dan ia tersedia dalam total 20 variasi desain berdasarkan tiga style khas Ray-Ban — Wayfarer, Round, dan Meteor. Sejauh ini belum ada informasi terkait ketersediaannya di negara-negara selain yang sudah disebutkan.

Sumber: Facebook.

Fitbit Charge 5 Hadir Membawa Desain Baru yang Lebih Stylish Sekaligus Layar Berwarna

Fitbit Charge adalah salah satu lini produk terpopuler Fitbit yang sudah eksis sejak tahun 2014. Tahun demi tahun, Fitbit terus menambahkan sederet pembaruan di tiap generasi Charge. Untuk tahun ini, pembaruan yang dihadirkan rupanya adalah yang paling banyak dan paling signifikan.

Dari fisiknya saja, Fitbit Charge 5 sudah kelihatan sangat berbeda dari Charge 4 yang dirilis tahun lalu. Hilang sudah gaya yang terkesan kaku, digantikan oleh lengkungan-lengkungan yang seksi nan elegan. Tebal bodinya pun menyusut hingga sekitar 10 persen. Secara keseluruhan, penampilan Charge 5 memang tidak sampai semodis Fitbit Luxe, tapi setidaknya jauh lebih manis di mata ketimbang pendahulu-pendahulunya.

Fitbit Charge 4 (kiri) dan Fitbit Charge 5 (kanan) / Fitbit

Juga ikut berubah drastis adalah layarnya. Charge 5 merupakan perangkat pertama di keluarga Fitbit Charge yang dibekali panel layar AMOLED berwarna. Layar ini juga dilengkapi fitur always-on, dan Fitbit tidak lupa melapisinya dengan kaca Gorilla Glass 3 demi proteksi ekstra. Berhubung AMOLED, tingkat kecerahan layarnya juga jauh lebih baik. Sekitar dua kali lebih terang daripada layar milik Charge 4 kalau kata Fitbit — 450 nit dibanding 200 nit.

Kalau kita lihat sisi kiri dan kanannya, sepintas Charge 5 mungkin kelihatan seperti dilengkapi dua buah tombol yang memanjang. Namun bagian tersebut sebenarnya berguna untuk mewujudkan dua fitur andalan Charge 5, yaitu pengecekan electrocardiogram (ECG) — cuma tersedia di negara-negara tertentu — dan electrodermal activity (EDA). Sebelumnya, dua fitur tersebut hanya bisa dinikmati oleh pengguna smartwatch Fitbit Sense.

Sebagai informasi, sensor EDA berfungsi untuk mengukur respon tubuh terhadap beragam faktor yang menyebabkan stres dengan cara memperhatikan perubahan aliran listrik pada kelenjar keringat di jari. Fitbit percaya fitur ini dapat membantu pengguna mengurangi tingkat stres, dan data yang mereka kumpulkan selama ini menunjukkan bahwa 70% pengguna Fitbit Sense berhasil menurunkan laju jantungnya dengan mengaktifkan fitur EDA Scan.

Khusus untuk para pelanggan Fitbit Premium, mereka nantinya juga bisa memantau metrik baru bernama Daily Readiness Score di Charge 5. Metrik ini akan ditampilkan setiap pagi hari dengan memperhatikan faktor-faktor seperti tingkat kebugaran, variabilitas denyut jantung, maupun kualitas tidur semalam. Tujuannya adalah supaya pengguna bisa memahami apakah tubuhnya sudah siap untuk berolahraga, atau apakah sebaiknya pengguna lebih memprioritaskan pemulihan.

Seperti pendahulunya, Charge 5 dapat digunakan secara mandiri tanpa harus terhubung ke smartphone setiap saat karena ia sudah dilengkapi dengan GPS. NFC pun turut tersedia sehingga pengguna bisa memakainya untuk transaksi contactless.

Fitbit rencananya akan segera menjual Charge 5 dengan banderol $180, lebih mahal $30 daripada Charge 4, tapi dengan pembaruan sebanyak dan sesignifikan tadi. Plus, khusus konsumen baru, harga ini juga sudah termasuk gratis berlangganan Fitbit Premium 6 bulan.

Untuk warnanya, Fitbit menawarkan tiga kombinasi warna strap dan bodi: Black/Graphite, Lunar White/Soft Gold, dan Steel Blue/Platinum. Sejumlah strap opsional dengan pilihan bahan dan gesper yang bervariasi juga dapat dibeli secara terpisah.

Sumber: Fitbit dan The Verge.

Samsung Galaxy Watch4 dan Watch4 Classic Resmi Hadir di Indonesia, Ada Versi LTE

Samsung resmi memperkenalkan Galaxy Watch4 dan Watch4 Classic pada tanggal 11 Agustus kemarin, dan kedua smartwatch itu pun sudah bisa dipesan di Indonesia sejak beberapa hari yang lalu. Menurut Taufiq Furqan selaku Product Marketing Manager Samsung Mobile di Indonesia, antusiasme konsumen tanah air rupanya cukup besar terhadap kedua perangkat ini.

Hal itu bisa dimengerti mengingat Watch4 dan Watch4 Classic adalah smartwatch pertama Samsung yang menjalankan sistem operasi Wear OS. Namun agar tetap terasa familier di mata konsumen, Samsung tidak lupa menyematkan tampilan antarmuka One UI. Jadi meski fondasi dasarnya berbeda, Samsung berani memastikan pengguna tidak akan perlu waktu lama untuk beradaptasi dengan Wear OS di Watch4 dan Watch4 Classic.

Lalu bagaimana nasib smartwatch Samsung yang masih menjalankan OS Tizen? Apakah ke depannya Samsung juga bakal merilis update Wear OS? Sayang sekali tidak. Meski begitu, Taufiq menjamin bahwa konsumen tidak perlu khawatir karena Samsung masih akan terus memberikan support terhadap Tizen. Namun kalau mereka memang menginginkan lebih, Watch4 dan Watch4 Classic tentu bisa jadi pilihan.

Seperti yang sudah saya jelaskan secara merinci di artikel sebelumnya, baik Watch4 maupun Watch4 Classic sama-sama hadir dalam dua ukuran. Kalau dilihat secara keseluruhan, Watch4 terkesan sangat sporty, sedangkan Watch4 Classic terkesan lebih elegan dan classy. Ini wajar mengingat Watch4 sejatinya merupakan suksesor dari Watch Active2, sedangkan Watch4 Classic adalah penerus langsung dari Watch3. Itu juga yang menjadi alasan mengapa cuma Watch4 Classic yang dilengkapi rotating bezel.

Kalau dibandingkan dengan Watch Active2, bodi Watch4 rupanya lebih tipis sekitar 1,1 mm. Watch4 Classic pun juga demikian; jika disejajarkan dengan Watch3, kita bisa melihat bodi Watch4 Classic yang lebih tipis 1,2 mm. Bobotnya pun lebih enteng sekitar 1,8 gram. Fisik yang lebih ringkas ini akan terdengar semakin mengesankan setelah mengetahui peningkatan dari sisi hardware yang Samsung terapkan pada Watch4 dan Watch4 Classic.

Yang paling utama adalah prosesor Exynos W920, yang tak hanya menawarkan performa lebih kencang, tapi juga konsumsi daya yang lebih irit berkat proses pabrikasi 5 nm. Tidak kalah penting adalah sensor baru yang memungkinkan pengguna untuk memantau atribut kesehatan secara lebih lengkap; mulai dari pengecekan detak jantung, tekanan darah, kadar oksigen dalam darah, elektrokardiogram (EKG), dan untuk pertama kalinya, pemantauan komposisi tubuh.

Bagi pengguna yang membutuhkan penyemangat ekstra selagi berolahraga, mereka bisa memanfaatkan fitur Group Challenges di aplikasi Samsung Health untuk saling memotivasi satu sama lain. Di luar jam olahraga, Watch4 dan Watch4 Classic juga siap memantau kualitas tidur secara lebih akurat, sekaligus mendeteksi berapa lama pengguna mendengkur selama terlelap.

Ada varian LTE

Untuk pertama kalinya di pasar tanah air, Samsung menghadirkan varian smartwatch yang dibekali konektivitas LTE di samping varian yang hanya dibekali koneksi Bluetooth. Secara fitur dan spesifikasi, varian Bluetooth-only dan LTE ini sebenarnya sama, hanya saja varian LTE lebih fleksibel karena dapat beroperasi secara mandiri dan tidak selalu harus bergantung pada smartphone.

Varian LTE ini hanya tersedia untuk Watch4 Classic, akan tetapi Taufiq bilang ada kemungkinan ke depannya Samsung Indonesia bakal menghadirkan varian LTE dari Watch4 apabila terbukti respon konsumen begitu positif. Varian LTE ini mengandalkan teknologi eSIM, dan sejauh ini baru mendukung operator Smartfren. Meski begitu, Samsung terbuka untuk bekerja sama dengan operator lain seandainya mereka juga menawarkan produk eSIM.

Samsung masih membuka pre-order Galaxy Watch4 dan Watch4 Classic sampai tanggal 29 Agustus 2021. Watch4 ukuran 40 mm dihargai Rp2.999.000 dan tersedia dalam warna Black serta Pink Gold, sedangkan Watch4 ukuran 44 mm dibanderol Rp3.499.000 dan ditawarkan dalam pilihan warna Black, Silver, serta Green.

Untuk Watch4 Classic, Samsung mematok harga mulai Rp4.499.000 untuk versi 42 mm Bluetooth, Rp4.999.000 untuk versi 46 mm Bluetooth, dan Rp5.999.000 untuk versi LTE. Versi Bluetooth-nya tersedia dalam opsi warna Black dan Silver, sementara versi LTE hanya dalam warna Black saja.

Selama masa pre-order, pembeli berhak mendapatkan bonus dengan nilai total Rp1.029.000. Bonusnya mencakup Extreme Sports strap untuk semua varian, dan kesempatan memperoleh cashback dari sejumlah bank. Khusus untuk Watch4 Classic varian LTE, ada bonus eSIM Smartfren dengan total kuoat 90 GB dan masa aktif 360 hari.

Samsung Galaxy Watch4 dan Watch4 Classic Datang Membawa OS Baru, Prosesor Baru, dan Sensor baru

Bersamaan dengan peluncuran Samsung Galaxy Z Fold3 dan Z Flip3, Samsung turut memperkenalkan dua smartwatch terbaru mereka, yakni Galaxy Watch4 dan Galaxy Watch4 Classic. Lewat kedua perangkat ini, Samsung pada dasarnya ingin memulai babak baru di segmen smartwatch.

Untuk mewujudkannya, Samsung tak lagi menggunakan Tizen sebagai sistem operasi smartwatch-nya. Sebagai gantinya, Samsung dan Google telah melebur Tizen dengan Wear OS. Samsung menamai hasil kolaborasinya ini “Wear OS Powered by Samsung”, sedangkan Google memilih menggunakan nama Wear OS 3. Apapun itu, yang pasti Tizen sudah tinggal kenangan.

Samsung menjanjikan peningkatan dari segi kinerja maupun efisiensi berkat penggunaan sistem operasi baru ini. Namun yang lebih penting mungkin adalah aspek kompatibilitas. Berkat Wear OS, duo Galaxy Watch4 ini pada dasarnya bisa mengakses berbagai aplikasi atau layanan Google yang tidak tersedia pada pendahulunya, contohnya Google Maps.

Spesifikasi dan fitur Samsung Galaxy Watch4 dan Galaxy Watch4 Classic

Beralih ke hardware, satu perbedaan terbesar antara Watch4 dan Watch4 Classic terletak pada bezel-nya. Watch4 mengemas bezel standar yang bisa mengenali sentuhan, sedangkan Watch4 Classic mengusung bezel berputar yang sudah menjadi ciri khas smartwatch Samsung selama ini.

Bahan yang digunakan untuk membuat case masing-masing juga berbeda; aluminium untuk Watch4, stainless steel untuk Watch4 Classic. Otomatis, bobot Watch4 jelas lebih ringan ketimbang Watch4 Classic. Tingkat ketebalan keduanya juga berbeda; Watch4 dengan ketebalan 9,8 mm, sedangkan Watch4 Classic dengan 11 mm. Semuanya tahan air hingga kedalaman 50 meter dan dengan sertifikasi IP68.

Watch4 hadir dalam ukuran 44 mm atau 40 mm, sedangkan Watch4 Classic dalam ukuran 46 mm atau 42 mm. Pada varian besarnya, baik Watch4 maupun Watch4 Classic sama-sama mengandalkan layar sentuh Super AMOLED 1,4 inci dengan resolusi 450 x 450 pixel. Untuk varian kecilnya, keduanya menggunakan panel Super AMOLED 1,2 inci beresolusi 396 x 396 pixel.

Mengotaki kedua smartwatch ini adalah prosesor dual-core Exynos W920 yang dibuat dengan proses pabrikasi 5 nm. Dibanding generasi sebelumnya, prosesor ini menjanjikan kinerja CPU 20% lebih cepat dan kinerja GPU 10 kali lebih gegas. Samsung tidak lupa meningkatkan kapasitas RAM-nya menjadi 1,5 GB, dan perangkat turut dibekali storage internal sebesar 16 GB. GPS maupun NFC juga tersedia sebagai fitur standar.

Terkait fitur-fitur kesehatannya, Watch4 dan Watch4 Classic hadir membawa BioActive Sensor, sensor generasi baru yang pada dasarnya mencakup tiga sensor yang berbeda: Optical Heart Rate, Electrical Heart Rate, dan Bioelectrical Impedance Analysis, sehingga perangkat dapat memonitor tekanan darah, mendeteksi fibrilasi atrium, sekaligus kadar oksigen dalam darah.

Juga baru adalah kemampuan untuk mengalkulasikan komposisi tubuh dengan mengukur parameter-parameter seperti otot rangka, laju metabolisme basal, kadar air maupun kadar lemak dalam tubuh. Semua data tersebut dapat direkam dengan cara menempelkan dua jari ke dua tombol di sisi kanan smartwatch selama 15 detik.

Semua itu tanpa memberikan pengaruh negatif terhadap daya tahan baterai perangkat. Berkat kinerja prosesor yang lebih efisien, Samsung berani mengklaim daya tahan hingga 40 jam per charge. Fitur fast charging pun turut didukung; pengisian selama 30 menit sudah bisa memberikan daya yang cukup untuk pemakaian selama 10 jam.

Harga dan ketersediaan

Di pasar tanah air, Samsung saat ini sudah membuka gerbang pre-order Galaxy Watch4 beserta Galaxy Watch4 Classic. Keduanya bakal hadir dalam varian Bluetooth-only dan LTE. Untuk Watch4, Samsung mematok harga mulai Rp2.999.000, sementara Watch4 Classic dijual dengan harga mulai Rp4.499.000.

Samsung menawarkan empat pilihan warna untuk Galaxy Watch4, yakni Black, Green, Silver, dan Pink Gold. Untuk Watch4 Classic, opsi warna yang tersedia hanya Black atau Silver. Alternatifnya, Samsung juga akan menghadirkan Galaxy Watch4 Classic Thom Browne Limited Edition yang berlapis rhodium pada akhir bulan September.

Sumber: Samsung.