Tag Archives: WeChat

Luncurkan Snap Minis, Snapchat Makin Mirip dengan WeChat

Kehadiran platform Snap Games tahun lalu mengindikasikan ketertarikan Snapchat untuk berevolusi menjadi semacam superapp ala WeChat. Jadi tanpa perlu meninggalkan aplikasi Snapchat, pengguna dapat mengakses beragam aplikasi lain, dalam kasus ini aplikasi gaming.

Maka dari itu, tidak mengejutkan mendengar kabar mengenai Snap Minis sebagai salah satu dari seabrek fitur baru yang diperkenalkan dalam ajang Snap Partner Summit 2020. Snap Minis pada dasarnya merupakan Snap Games tapi untuk aplikasi-aplikasi non-gaming, dan premisnya tidak berubah: pengguna dapat mengakses deretan aplikasi pihak ketiga langsung dari tampilan percakapan di Snapchat.

Snap Minis bisa diakses dengan mengklik icon bergambar roket tepat di atas tampilan keyboard. Tempatnya jadi satu dengan Games; pengguna dapat menyortir kategorinya dengan mengklik masing-masing tab di bagian paling bawah. Semuanya bisa langsung dibuka tanpa harus mengunduh apa-apa terlebih dulu.

Sejauh ini sudah ada tujuh Minis yang terintegrasi, dan sesuai namanya, masing-masing ibarat versi mini dari aplikasi yang bersangkutan. Salah satu contohnya adalah Headspace, yang menawarkan akses cepat ke sesi meditasi singkat pada versi mininya, atau Saturn, yang versi mininya membantu para pengguna untuk saling membandingkan jadwal sekolahnya.

Salah satu Minis yang sudah tersedia, Headspace / Snap
Salah satu Minis yang sudah tersedia, Headspace / Snap

Snap pun tidak lupa menyelipkan Minis bikinan mereka sendiri, yakni Let’s Do It yang berfungsi untuk membantu pengguna membuat keputusan secara berkelompok. Integrasi banyak aplikasi tentu membuka peluang bagi Snapchat untuk merambah banyak segmen sekaligus seperti yang sudah dibuktikan oleh WeChat maupun sejumlah superapp lain.

E-commerce merupakan satu segmen yang hendak dituju oleh Snap dengan adanya Minis, seperti disampaikan oleh CEO-nya, Evan Spiegel, kepada The Verge. Ke depannya, tidak menutup kemungkinan ada Minis yang mempersilakan para pengguna untuk berbelanja online bersama teman-temannya selagi asyik ngobrol di group chat.

Seperti halnya Snap Games, Snap Minis memanfaatkan teknologi HTML5, dan Snap menjanjikan langkah-langkah integrasi yang terbilang mudah. Developer yang tertarik membuat Minis tidak akan ditarik biaya, dan Snap juga tidak akan mengambil persentase keuntungan seandainya ada transaksi yang berlangsung di dalam sejumlah Minis.

Sulit mengabaikan pengaruh besar WeChat terhadap proses evolusi Snapchat menjadi sebuah superapp, tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa Tencent (perusahaan induk WeChat) adalah salah satu investor besar Snap. Kepada Financial Times, Evan Spiegel mengaku bahwa relasi mereka dengan Tencent-lah yang pada akhirnya membuat mereka jadi condong ke konsep superapp.

Sumber: TechCrunch dan Snap.

Strategi Tencent Menjadi Perusahaan Terbesar di Industri Game Dunia

Tencent kini menjadi publisher game terbesar di dunia. Padahal, game sebenarnya bukan bisnis utama Tencent. Konglomerasi asal Tiongkok itu memiliki bisnis di berbagai bidang, mulai dari hiburan — yang mencakup game, televisi, komik — media sosial, sampai e-commerce. Pada 2019, total pendapatan Tencent mencapai 377,8 miliar yuan (sekitar Rp856 triliun), naik 21 persen dari pendapatan mereka pada 2018. Pertanyaannya, bagaimana Tencent bisa menjadi publisher game paling besar di dunia?

Sejarah Tencent

Tencent didirikan oleh Ma Huateng — yang akrab dengan panggilan Pony Ma — bersama empat temannya pada 1998. Mereka meluncurkan produk pertama mereka pada 1999, berupa layanan instant messaging bernama OICQ, yang kemudian namanya diganti menjadi QQ. Satu tahun sejak diluncurkan, instant messaging buatan Tencent itu berhasil mendapatkan satu juta pengguna. Namun, ketika itu, Tencent masih belum mendapatkan untung. Mereka mendapatkan untung untuk pertama kalinya pada 2001, setelah peluncuran platform pengirim pesan Mobile QQ. Saat itu, mereka mendapatkan pemasukan sebesar US$5,9 juta dengna laba sebesar US$1,2 juta. Tiga tahun kemudian, pada 2004, Tencent menjadi perusahaan terbuka yang terdaftar di Hong Kong Stock Exchange.

Pada 2005, Tencent memperkenalkan Qzone, layanan jaringan sosial multimedia. Pony Ma memutuskan untuk mengizinkan developer lain untuk membuat aplikasi di Qzone. Lima tahun kemudian, pada 2010, Qzone menjadi platform jejaring sosial terbesar di Tiongkok dengan 492 juta pengguna aktif. Pada 2011, industri mobile mulai berkembang. Melihat ini sebagai kesempatan, Tencent meluncurkan WeChat. Pada awalnya, WeChat hanyalah aplikasi pengirim pesan, sama seperti WhatsApp atau LINE. Namun, Tencent terus menambahkan berbagai fitur baru ke aplikasi tersebut, mulai dari game sampai layanan pembayaran. Sekarang, WeChat menjadi aplikasi super yang tak bisa lepas dari kehidupan sehari-hari warga Tiongkok.

WeChat bahkan dilengkapi dengan game.
WeChat bahkan dilengkapi dengan game.

Valuasi Tencent sebagai perusahaan terus naik. Selama lima tahun, mulai 2011 sampai 2016, valuasi Tencent tumbuh 40 persen per tahun. Pada April 2017, mereka masuk ke dalam daftar 10 perusahaan yang paling bernilai di dunia, menurut laporan The Conversation.

Strategi Tencent di Industri Game

Tencent membuat divisi khusus gaming, Tencent Games, pada 2003. Satu tahun kemudian, mereka meluncurkan game untuk platform instant messaging mereka sendiri, QQ. Sejak saat itu, mereka meluncurkan sejumlah game lain untuk QQ, seperti Dungeon Fighter Online, sebuah game side-scrolling beat ’em up dan QQ Sanguo, game RPG yang mengambil setting waktu di Tiga Kerajaan di Tiongkok.

Selain membuat game sendiri, Tencent juga menjadi perusahaan yang menjembatani developer asing yang ingin masuk ke Tiongkok, negara dengan populasi terbesar. Misalnya, ketika Activision Blizzard (perusahaan asal Amerika Serikat) ingin meluncurkan game Call of Duty di Tiongkok, mereka harus menggandeng perusahaan lokal sebagai rekan. Inilah peran Tencent. Begitu juga ketika perusahaan kreator game lain — seperti Riot Games, EA, Sony, dan Ubisoft — ingin masuk ke pasar Tiongkok, mereka harus bekerja sama dengan perusahaan lokal Tiongkok. Biasanya, perusahaan tersebut adalah Tencent.

Usaha Tencent untuk mengembangkan bisnis game-nya tak berhenti sampai di situ. Mereka juga mulai melakukan akuisisi atau membeli saham dari sejumlah developer game ternama. Pada 2011, Tencent menghabiskan US$400 juta untuk membeli 93 persen saham dari Riot Games, developer League of Legends. Empat tahun kemudian, Tencent membeli 7 persen saham Riot yang tersisa. Dengan begitu, Riot Games sepenuhnya menjadi milik Tencent. Tidak heran jika Tencent membeli Riot, mengingat League of Legends adalah salah satu game PC terpopuler di dunia. Pada tahun 2019, 10 tahun setelah diluncurkan, League of Legends, masih bisa mendapatkan pemasukan sebesar US$1,5 miliar. Game MOBA tersebut juga merupakan salah satu game paling berpengaruh di ekosistem esports.

League of Legends Pro League telah kembali digelar. | Sumber: Riot Games via Rift Herald
League of Legends Pro League telah kembali digelar. | Sumber: Riot Games

Menurut laporan PC Gamer, meskipun saham Riot dikuasai penuh oleh Tencent, Riot mendapatkan kebebasan penuh atas pengembangan League of Legends. Meskipun begitu, hubungan antara Riot dan Tencent juga tak selamanya berjalan mulus. Pada 2015, Tencent meminta Riot untuk membuat versi mobile dari League of Legends. Alasannya, karena ketika itu, mobile game tengah booming dan Tencent ingin memanfaatkan momentum tersebut. Riot menolak. Namun, Tencent tetap berkeras dan membuat mobile game MOBA bernama Honor of Kings. Inilah yang membuat hubungan mereka dengan Riot memburuk.

Ketika diluncurkan, game Honor of Kings hanya tersedia di Tiongkok. Pada 2017, Tencent meluncurkan Honor of Kings ke pasar internasional dengan nama Arena of Valor. Meskipun begitu, sekarang, Tencent tak lagi berusaha untuk memasarkan Arena of Valor di negara-negara Barat dan Riot telah setuju untuk membuat versi mobile dari League of Legends. Dan sekarang, hubungan Tencent dan Riot sudah kembali membaik.

Developer-Developer Game yang Dibeli Tencent

Dalam dunia investasi, ada pepatah untuk tidak menaruh semua telur Anda di satu keranjang. Tencent memahami ini. Karena itu, mereka tidak hanya berinvestasi di Riot. Mereka juga membeli saham dari sejumlah developer dari game populer lainnya.

Pada Juni 2012, Tencent membeli 40 persen saham Epic Games, developer Fortnite, senilai US$300 juta. Tak hanya modal, Tencent juga berbagi insight mereka tentang mengoperasikan game online. Dari Tencent, CEO dan pendiri Epic Games, Tim Sweeney belajar tentang model bisnis game as a service. Epic lalu mulai membuat Paragon dan Fortnite: Save the World. Kedua game itu dianggap gagal. Meskipun begitu, ini justru membuka kesempatan bagi Epic untuk meluncurkan Fortnite, game battle royale yang kini menjadi salah satu game paling populer di dunia. Pada 2018, Fortnite menghasilkan US$2,4 miliar. Pendapatan Fortnite mengalami penurunan pada 2019 menjadi US$1,8miliar. Meskipun begitu, game tersebut masih menjadi game gratis dengan penghasilan terbesar.

Tencent juga membeli saham dari Epic, developer Fortnite.
Tencent juga membeli saham dari Epic, developer Fortnite.

Setelah mendapatkan investasi dari Tencent, Epic juga mengubah bisnis model mereka untuk Unreal Engine 4, game engine buatan mereka. Mereka tak lagi memungut biaya berlangganan bulanan untuk pemakaian game engine tersebut. Sebagai gantinya, Epic menggunakan sistem royalti. Jadi, jumlah uang yang harus dibayarkan oleh developer yang menggunakan Unreal Engine tergantung dari kesuksesan game mereka. Memang, jika developer membuat game yang sukses, maka mereka harus membayar royalti yang lebih besar pada Epic. Namun, ini memudahkan developer indie untuk menggunakan Unreal Engine dalam mengembangkan game mereka. Selain itu, ini juga membuat persaingan antara Unreal dengan Unity — yang saat itu dianggap sebagai game engine terbaik untuk developer indie — menjadi semakin panas.

Fortnite bukan satu-satunya game battle royale yang sukses. Di Indonesia, para gamer lebih menyukai Player Unknown’s Battleground buatan Bluehole. Menariknya, meskipun Tencent sudah menjadi investor dari Epic, mereka juga menanamkan modal di Bluehole. Lucunya, di Tiongkok, Tencent menjadi publisher untuk Fortnite dan PUBG. Tencent membeli 1,5 persen saham Bluehole pada 2017. Kemudian, mereka membeli lebih banyak saham dari Bluehole. Diperkirakan, total saham Bluehole yang dimiliki oleh Tencent kini mencapai 11,5 persen.

Tencent juga menanamkan investasi sebesar US$8,6 miliar di Supercell, developer asal Finlandia yang terkenal berkat beberapa mobile game-nya, seperti Clash of Clans, Clash Royale, dan Brawl Stars. Menurut PC Gamer, investasi Tencent di Supercell merupakan salah satu investasi terbesar di sejarah industri game. Namun, mengingat 60 persen dari total pendapatan Tencent pada 2018 berasal dari mobile game, tidak heran jika Tencent rela mengeluarkan uang besar demi membeli saham Supercell. Pada Oktober 2019, Tencent menjadi pemegang saham mayoritas dari konsorsium yang memiliki Supercell. Dengan begitu, Tencent memiliki kendali atas Supercell. Meskipun begitu, sama seperti Riot, Supercell juga tetap mendapatkan kebebasan dalam mengelola game buatan mereka.

Salah satu franchise di bawah Ubisoft adalah Assassin's Creed.
Salah satu franchise di bawah Ubisoft adalah Assassin’s Creed.

Selain itu, Tencent juga memiliki saham sebanyak lima persen di Ubisoft dan Activision Blizzard. Pada 2018, Vivendi ingin mengambil alih Ubisoft secara paksa (hostile takeover), yang berarti ribuan karyawan Ubisoft terancam dipecat. Ubisoft lalu membuat perjanjian dengan Vivendi untuk menjual saham mereka ke berbagai investor, termasuk Tencent. Namun, Tencent tidak bisa membeli saham kepemilikan atas Ubisoft. Selain mendapatkan saham minoritas di Ubisoft, Tencent juga mendapatkan hak untuk merilis game Ubisoft di Tiongkok.

Masih pada tahun 2018, Tencent membeli 80 persen saham dari Grinding Gear Games, developer yang membuat game Path of Exile. Ini sempat memunculkan kekhawatiran bahwa Tencent akan mengimplementasikan sistem microtransaction yang lebih agresif. Untungnya, ketakutan itu tidak menjadi nyata. Sama seperti developer lain yang sahamnya dibeli oleh Tencent, Grinding Gear Games bebas untuk menentukan apa yang akan mereka lakukan pada game buatannya.

Tencent juga memiliki saham di Platinum Games dan Yager, meski tidak diketahui berapa banyak saham yang dipegang oleh konglomerasi Tiongkok tersebut. Selain itu, Tencent memiliki 9 persen saham di Frontier Developments, developer dari Elite Dangerous dan Planet Zoo. Setelah kesuksesan Warhammer 2: Vermintide, Tencent juga tertarik untuk membeli 36 persen saham dari sang developer, Fatshark. Salah satu investasi terbaru Tencent adalah pada Funcom. Mereka membeli 29 persen saham dari developer Conan Exiles tersebut. Belum lama ini, mereka juga mengumumkan rencana mereka untuk mengakuisisi Funcom sepenuhnya.

Tak hanya di  developer game, Tencent juga menanamkan saham di Kakao, perusahaan internet asal Korea Selatan. Tencent menguasai 13,5 persen saham dari Kakao, yang juga merupakan publisher PUBG di negara asalnya. Pada 2018, Discord mendapatkan kucuran dana sebesar US$158 juta. Tencent merupakan salah satu investor yang turut serta dalam pengumpulan dana itu. Sayangnya, tidak diketahui berapa banyak dana yang Tencent kucurkan.

Laporan Keuangan Terbaru Tencent

Dalam daftar 2000 perusahaan terbesar dunia dari Forbes, Tencent duduk di peringkat 74 dengan kapitalisasi pasar (total nilai saham yang beredar) sebesar US$472,06 miliar. Sementara menurut Bloomberg, perusahaan Tiongkok itu memiliki lebih dari 62,8 ribu pekerja. Belum lama ini, Tencent juga mengeluarkan laporan keuangan mereka untuk Q4 2019. Pada Q4, Tencent mendapatkan pemasukan sebesar 105,8 miliar yuan (sekitar Rp240 triliun), naik 25 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun sebelumnya. Sementara total pendapatan untuk tahun 2019 mencapai 377,8 miliar yuan (sekitar Rp856 triliun), naik 21 persen dari pendapatan pada 2018.

Peacekeeper Elite adalah
Peacekeeper Elite adalah PUBG Mobile yang telah di-rebrand untuk Tiongkok.

Divisi gaming Tencent menyumbangkan 30,3 miliar yuan (sekitar Rp68,7 triliun). Angka ini naik 25 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pertumbuhan pendapatan tersebut didorong oleh kesuksesan mobile game, baik di pasar Tiongkok maupun di pasar internasional. Beberapa mobile game yang memberikan pemasukan paling besar antara lain Peacekeeper Elite, PUBG Mobile, dan juga game-game buatan Supercell. Sayangnya, pendapatan dari segmen game PC justru mengalami sedikit penurunan. Dalam laporan pada investornya, Tencent menjelaskan, tiga game yang membuat mereka sukses mengembangkan bisnis mereka di luar Tiongkok adalah PUBG Mobile, Call of Duty Mobile dan Teamfight Tactics.

“Pendapatan kami dari pasar game internasional naik lebih dari dua kali lipat dari tahun sebelumnya, memberikan kontribusi sebesar 23 persen pada total pendapatan untuk divisi game online untuk Q4 2019,” tulis Tencent, seperti dikutip dari The Esports Observer. Selain itu, Tencent juga membanggakan fakta bahwa 5 dari 10 game dengan jumlah pengguna aktif harian paling banyak merupakan game buatan mereka.

Bisnis Tencent yang Lain

Selain gaming, Tencent juga memiliki beberapa divisi lain, termasuk hiburan yang mencakup seri TV dan film bioskop, komik, serta musik. Pada Januari 2020, Tencent membeli 10 persen saham dari Universal Music. Namun, dalam laporan keuangannya, Tencent mengatakan bahwa bisnis hiburan mereka mengalami perlambatan karena perubahan regulasi oleh pemerintah.

Ini menyebabkan mereka harus menunda beberapa seri TV. Meskipun begitu, mereka mengaku bahwa mereka masih menjadi pemimpin di industri hiburan. Sementara itu, jumlah pengguna WeChat juga masih terus bertambah. Total pengguna WeChat naik 6 persen menjadi 1,16 miliar orang. Sebagai perbandingan, Facebook memiliki total pengguna mencapai 2,5 miliar orang per Desember 2019.

“Kami mengalami perlambatan pertumbuhan jumlah pelanggan dan pemasukan untuk layanan video langganan kami pada 2019 jika dibandingkan dengan pada 2018. Penyebabnya adalah keterlambatan peluncuran sejumlah konten penting,” tulis Tencent dalam pernyataan resmi, seperti dikutip dari Variety. “Namun, jumlah pelanggan berbayar Tencent Video kami mencapai 106 juta orang dan kami masih menjadi pemimpin industri berdasarkan kualitas konten, jumlah pengguna, dan dari segi finansial. Ini menekan kerugian operasional pada 2019 menjadi 3 mliiar yuan.”

Tencent juga tak diam saja melihat pertumbuhan Bytedance, yang dikenal berkat aplikasi video pendeknya, TikTok. Untuk menyaingi Bytedance, Tencent fokus untuk mengembangkan aplikasi video pendeknya, Weishi. Jumlah pengguna aktif harian dari aplikasi tersebut naik 80 persen sementara jumlah video yang diunggah naik 70 persen pada Q4 2019.

Kesimpulan

Tencent sukses menjadi publisher terbesar di dunia meskipun mereka bukanlah perusahaan yang fokus pada bisnis gaming. Sampai sekarang, Tencent dikenal sebagai perusahaan teknologi dengan WeChat sebagai salah satu produk utamanya. Namun, sejak didirikan pada 2003, Tencent Games berhasil untuk memberikan kontribusi yang signifikan pada total pendapatan konglomerasi ini. Berbeda dengan perusahaan seperti Nintendo yang berusaha untuk membangun franchise dari nol, Tencent lebih memilih untuk membeli saham atau mengakuisisi developer dari game yang sudah terbukti populer. Menariknya, Tencent biasanya tidak banyak ikut campur dalam operasional perusahaan game yang mereka akuisisi.

Sumber header: The Register

Kerja Sama BCA dengan Alipay dan WeChat Pay

Realisasi Kerja Sama dengan BCA Diundur, Alipay dan WeChat Pay Baru Bisa Hadir di Indonesia Awal 2020

BCA masih merampungkan proses kerja sama dengan Alipay dan WeChat Pay untuk kehadirannya di Indonesia. Diharapkan pada kuartal pertama tahun depan dapat segera dirilis.

Mulanya, perseroan menargetkan kerja sama ini bakal terealisasi pada September 2019. Namun terpaksa harus diundur karena harus memenuhi semua urusan teknis.

“Masih terus kami proses secara teknikal. Kami harapkan awal tahun depan mudah-mudahan kuartal pertama tahun 2020 sudah bisa kerja sama,” kata Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja, seperti dikutip dari CNN Indonesia.

Direktur Keuangan BCA Vera Eve Lim menjelaskan, dalam kerja sama ini perseroan hanya akan menjadi penyedia fasilitas (acquiring), bukan penyelenggara fasilitas (issuing).

BCA akan menyediakan mesin EDC di merchant yang banyak dikunjungi turis Tiongkok, seperti kawasan wisata, untuk bertransaksi dengan Alipay atau WeChat. “Karena mereka sudah terbiasa tidak bawa kartu kredit, hanya bawa ponsel. Jadi nanti bisa pakai mesin EDC kami,” kata Vera.

Selain BCA, kedua pemain uang elektronik raksasa asal Tiongkok ini juga menjajaki kerja sama dengan bank BUKU IV lainnya. Bank tersebut antara lain BNI, BRI, Bank Mandiri, Bank Panin, dan CIMB Niaga.

Ini sesuai dengan ketentuan BI yang menyatakan, setiap Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran (PJSP) harus bekerja sama dengan perusahaan domestik, jika ingin berbisnis di tanah air.

Di samping itu, PJSP asing dan lokal juga harus menyesuaikan layanannya dengan implementasi QRIS sampai akhir tahun ini. Dengan begitu, QRIS bisa diimplementasikan menyeluruh mulai awal tahun depan.

“(Saya dengar) perusahaan asing masih melakukan (pembayaran dengan kode QR). Dalam waktu sampai akhir tahun ini mereka harus ikut QRIS. Kalau ada yang melakukan di luar pakai QRIS, kami tertibkan,” terang kata Deputi Gubernur BI Sugeng.

CIMB Niaga akan menggunakan beberapa penyedia switching pihak ketiga untuk kerja sama dengan Alipay (dan juga WeChat Pay)

CIMB Niaga Resmi Ajukan Izin Kerja Sama dengan Alipay ke Bank Indonesia

PT Bank CIMB Niaga Tbk langsung bergerak cepat mengajukan permohonan izin kerja sama dengan Alipay ke Bank Indonesia (BI) kemarin, Kamis (17/1). Sebagaimana dikutip dari Antara, Deputi Gubernur BI Sugeng telah mengonfirmasi hal tersebut.

Sebelumnya, CIMB Niaga juga sudah mengajukan permohonan izin kerja sama dengan WeChat Pay untuk masuk ke pasar financial technology (fintech) di Indonesia. Kini, BI tinggal melakukan verifikasi, termasuk kelengkapan dokumennya.

Seperti diketahui, Alipay dan WeChat Pay sama-sama menyediakan jasa pembayaran digital di Tiongkok. Alipay terafiliasi dengan raksasa ecommerce dunia Alibaba, sedangkan WeChat Pay berada di bawah naungan Tencent Holdings Limited.

Alipay dan WeChat Pay tidak memiliki izin Bank Indonesia ketika melakukan kerja sama dengan sejumlah merchant di Bali dalam menawarkan jasa pembayaran digital kepada turis-turis asal Tiongok pada pertengahan 2018 lalu.

Padahal, sesuai Peraturan Bank Indonesia tentang Penyelenggara Jasa Sistem Pembayaran, setiap prinsipal asing wajib bekerja sama dengan Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) 4 atau bank bermodal inti minimal Rp30 triliun. Dengan kata lain, Alipay dan WeChat Pay tidak memiliki izin beroperasi di Indonesi

Untuk memuluskan langkahnya sebagai penyedia jasa pembayaran digital yang sah di Indonesia, keduanya mendekati bank-bank Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun statusnya hingga kini masih “gantung” karena bank-bank tersebut berencana mendirikan entitas baru, sebuah BUMN khusus yang bergerak di segmen fintech.

Kembali ke permohonan izin CIMB Niaga dan Alipay, DailySocial mencoba menghubungi direksi dan manajemennya untuk menanyakan persiapan kerja sama tersebut.

Direktur Perbankan Konsumer Lani Darmawan mengungkapkan bahwa pihaknya sudah melakukan pilot untuk penerimaan WeChat Pay di merchant. Pilot yang dimaksud adalah melakukan live test di merchant.

“Kami menggunakan EDC di beberapa lokasi wisata agar bisa mendukung pariwisata Indonesia. Dengan begitu pengguna WeChat yang berwisata ke Indonesia bisa merasa nyaman,” ungkapnya lewat pesan singkat.

Berbeda dengan WeChat Pay, pihak CIMB Niaga tidak melakukan pilot untuk Alipay karena alasan tertentu. Head of Acceptance, eChannel, dan Partnership CIMB Niaga Bambang Karsono Adi menyebut pihaknya memilih route berbeda sehingga tidak memerlukan pilot lagi.

“Kami ajukan permohonan izin ke BI tanpa pilot karena internal test sudah berjalan dengan baik. Alipay sudah ‘firmed’ sehingga sistem infra kami bisa dukung integrasi hanya dengan internal test tanpa perlu ‘live test’ di merchant sesungguhnya,” ujarnya kepada DailySocial.

Ia enggan menyebutkan penyedia switching pihak ketiga yang akan menjadi mitranya karena mereka juga sedang melengkapi persyaratan beroperasi ke BI.

Selain itu, lanjut Bambang, pihaknya belum dapat mengonfirmasi kapan kerja sama ini akan komersial, termasuk jumlah merchant yang bisa memakai layanan Alipay dan WeChat Pay.

“Proses otorisasi transaksi WeChat Pay dan Alipay dilakukan langsung oleh switching pihak ketiga. Kemudian saat settlement ke merchant yang juga merchant kami, [switching] diproses oleh kami,” sambung Bambang.

Chinese tourists great potential is such an opportunity / Alipay

Alipay Approaches BRI and BCA to Handle Chinese Tourist in Indonesia

After WeChat, Alipay is getting its business ready for Indonesia by approaching BRI and BCA. The pilot project is yet to be announced.

Quoted from Detik, Alipay has just signed the MoU with BRI. After that, there’ll be homework, including license.

BRI can be a facilitator for tourist to make easier transaction as the acquirer. They can use Alipay at some merchants partnered with BRI.

However, they haven’t calculate potential income for the company in the MoU. Therefore, the internals are preparing another IT system because the one used by Alipay is different with Visa and Mastercard.

“In addition to GPN (National Payment Gateway), something will be added related to the payment from China,” he said.

Aside from BRI, BCA is also rumored to be approached by Alipay, but it is yet to discuss MoU. Santoso, BCA’s Director said to DailySocial they currently in the exploratory process of how long BCA’s acquiring system can collaborate with Alipay.

“In terms for collaboration, system development is indeed necessary, to be able to connect with one another,” he explained.

Still, he didn’t have a definite answer regarding the finalization because it’s still on progress.

“We’ll see, it’s to be announced in time.”

Previously, Bank Indonesia said the China-based digital wallet, Alipay and WeChat Pay is getting serious in digging Indonesia’s market by approaching national bank. In fact, WeChat development is getting better in Indonesia because they already passed the transaction test with BNI in Bali at IMF 2018 event.

Sugeng, Deputy Governor BI said, besides Bali, WeChat is now available for Chinese tourists in Medan, North Sumatra. Both locations are chosen due to the most favorite destination for Chinese tourists.

“CIMB Niaga is said to have signed the partnership with WeChat,” he added.

Sugeng also said if the business to business partnership has approved by both China’s digital wallet with four national bank, the legal business from BI will follow.

“If everything is settled [partnership], we’ll review business legal and technical problem, and business process. Bank in 4th category will register ask for license to BI.”

Partnership between two will be made according to the current regulation, it is PBI (BI Regulation) Number 20/6/PBI/2018 of E-Money Organizer.

Stated in the regulation that transaction from Chinese tourists in Indonesia will be converted into rupiah. Also, transactions will be recorded in GPN system.

The amount of Chinese tourists

Alipay and WeChat aggressive movement to enter Indonesia is due to the high rate of Chinese tourist in this country. Quoted from BPS data, Chinese tourists is in the fourth position of the total cumulative, 14.39 million by November 2018, or increased by 11.63%.

As per November 2018, the number of Chinese tourist has reached 124,616 people, decrease from the same period in previous year of 148,306. The first position is taken by Malaysian tourist of 186,422, followed by Singaporean (153,988), and Timor Leste (142,050).

Bali is the favorite destination, especially for Chinese and Australian people with 3-day visit in average.

Based on BPS data, a total tourist during January to November 2018 is 5.57 million. Sort by nationality of tourists in Bali, Tiongkok (22.99%), Australia (19.16%), England (4.51), and Japan (4.29%).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kerja Sama Alipay dan BRI

Alipay Dekati BRI dan BCA untuk Layani Turis Tiongkok di Indonesia

Setelah WeChat, kini giliran Alipay yang mulai kencang menyiapkan bisnisnya di Indonesia dengan menggaet BRI dan BCA. Belum disebutkan pilot project yang akan segera dilaksanakan.

Dengan BRI, dikutip dari Detik, Alipay baru melakukan penandatanganan MoU. Setelahnya ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, termasuk soal perizinan.

Direktur BRI Handayani menjelaskan, dalam kesempatan ini perseroan berharap bisa mendukung industri pariwisata nasional. Pasalnya banyak turis dari Tiongkok datang ke Indonesia dan memiliki alat pembayaran khusus.

BRI bisa menjadi fasilitator agar turis bisa mudah bertransaksi sebagai pihak acquirer. Turis bisa membayar dengan Alipay di merchant yang sudah bekerja sama dengan BRI.

Namun dia belum memperhitungkan potensi pendapatan yang bisa diraih perseroan dari MoU tersebut. Untuk itu, dalam internal perseroan sedang melakukan berbagai persiapan IT karena sistem yang dipakai Alipay berbeda dengan Visa dan Mastercard.

“Selain ada Gerbang Pembayaran Nasional (GPN) juga, nanti kita akan tambahkan lagi terkait pembayaran dari Tiongkok,” katanya.

Tak hanya dengan BRI, BCA juga dikabarkan didekati oleh Alipay, namun belum sampai ke tahap MoU. Kepada DailySocial, Direktur BCA Santoso menjelaskan saat ini perusahaan masih proses penjajakan dan pendalaman sejauh mana sistem acquiring BCA dapat berkolaborasi dengan Alipay.

“Tentunya untuk bisa berkolaborasi butuh pengembangan sistem agar bisa saling connect satu dengan yang lainnya,” terang Santoso.

Hanya saja, dia belum memberikan jawaban pasti terkait kapan penjajakan ini selesai karena dia mengaku masih berlangsung.

“Kita tunggu saja, nanti kami akan informasikan pada waktunya.”

Sebelumnya Bank Indonesia menyebut dompet digital asal Tiongkok, Alipay dan WeChat Pay kian serius mendalami pasar Indonesia dengan menggandeng bank nasional. Adapun WeChat sudah lebih maju perkembangannya di Indonesia, lantaran perusahaan tersebut sudah uji coba transaksi dengan BNI di Bali saat momen pertemuan tahunan IMF 2018.

Deputi Gubernur BI Sugeng menyebut, selain Bali, WeChat juga sudah bisa digunakan oleh turis Tiongkok yang berada di Medan, Sumatera Utara. Kedua lokasi ini dipilih karena menjadi destinasi terbesar yang dikunjungi turis Tiongkok.

“CIMB Niaga juga disebut sudah tanda tangan kerja sama dengan WeChat,” tambah Sugeng.

Sugeng menyatakan bila kerja sama secara bisnis ke bisnis sudah berhasil disepakati oleh dua dompet digital Tiongkok dengan empat bank nasional, maka legal bisnis dari BI juga akan menyusul.

“Kalau semua sudah settle [kerja sama], maka kami lihat legal bisnis dan masalah teknis, serta bisnis proses. Nanti bank BUKU 4 akan mendaftarkan dan minta persetujuan dari BI.”

Kerja sama antara kedua belah pihak dilakukan sesuai dengan aturan main yang berlaku, yaitu Peraturan BI (PBI) Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Penyelenggaraan Uang Elektronik.

Di dalam aturan tersebut, juga menjelaskan transaksi pembayaran dari turis Tiongkok di Indonesia akan dikonversikan ke rupiah. Selain itu, transaksi pembayaran juga akan terekam dalam sistem GPN.

Jumlah wisman Tiongkok

Gencarnya Alipay dan WeChat untuk masuk ke Indonesia, lantaran potensi turis Tiongkok yang mendatangi negara ini cukup tinggi. Dikutip dari data BPS, wisman Tiongkok menempati urutan keempat terbesar dari total kumulatif hingga November 2018 ada 14,39 juta kunjungan atau naik 11,63%.

Per November 2018, jumlah kunjungan wisman Tiongkok mencapai 124.616 orang atau turun dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya sebanyak 148.306. Peringkat pertama ditempati oleh wisman dari Malaysia sebanyak 186.422, kemudian diikuti Singapura (153.988), dan Timor Leste (142.050).

Bali menjadi destinasi favorit para wisman, terutama buat orang Tiongkok dan Australia dengan rata-rata lama kunjungan selama 3 hari.

Data BPS menyebut kunjungan wisman pada Januari hingga November 2018 sebanyak 5,57 juta. Menurut kebangsaan wisman yang datang ke Bali adalah Tiongkok (22,99%), Australia (19,16%), India (5,75%), Inggris (4,51), dan Jepang (4,29%).

WeChat Pay dan Alipay

Bank Indonesia Dorong AliPay dan WeChat Pay Bermitra dengan Bank Lokal

Bank Indonesia (BI) mendorong layanan pembayaran digital Alipay dan WeChat Pay menjalin kerja sama dengan bank lokal untuk menjalankan operasionalnya di Indonesia.

Diutarakan Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara, bahwa WeChat Pay dan Alipay merupakan dua layanan pembayaran digital yang banyak digunakan di Tiongkok. Kehadiran mereka di Indonesia bisa menghadirkan potensi besar, mengingat banyaknya turis asal Tiongkok yang terbiasa melakukan pembayaran menggunakan platform tersebut.

“Turis dari China ini kan mereka sudah terbiasa untuk membayar menggunakan QR Code, turis China nomor satu (jumlah kunjungannya) jadi bagaimana kami harus fasilitasi itu,” terang Mirza.

Jalinan kerja sama WeChat Pay dan Alipay dengan perbankan lokal juga diharapkan bisa membawa keuntungan bagi pihak perbankan dengan banyaknya turis Tiongkok yang masuk ke Indonesia.

“Bagaimana kita fasilitasi itu, jadi WeChat dan Alipay harus kerja sama dengan bank nasional, supaya bank nasional mendapatkan kue dari transaksi turis Tiongkok Tersebut,” Jelas Mirza.

Pembayaran WeChat Pay dan Alipay saat ini memanfaatkan teknologi QR Code, sehingga pengguna hanya perlu memindai kode yang ada di merchant untuk melakukan pembayaran.

Sementara sejauh ini bank sentral masih melakukan standardisasi untuk pembayaran QR Code. Rencananya BI juga akan meluncurkan aturan transaksi pembayaran dengan QR Code ini untuk mendukung perekonomian nasional.

Di Indonesia Ant Finansial, pemilik layanan pembayaran Alipay, telah bekerja sama dengan Emtek untuk membentuk joint venture melahirkan layanan pembayaran digital DANA. Saat ini DANA telah terintegrasi dengan BBM dan Bukalapak.

WeChat Kantongi 1 Miliar Pengguna Terdaftar

WhatsApp boleh jadi dinobatkan sebagai aplikasi pesan instan paling populer di dunia, tapi tidak di Tiongkok. Pasalnya, di negeri Tirai Bambu tersebut WhatsApp dan Line tidak dapat digunakan. Praktis, WeChat yang merupakan aplikasi asli buatan Tiongkok memonopoli. Sedangkan di tempat lain, WeChat tidak mendapatkan perlakukan seperti halnya WhatsApp atau Line di Tiongkok.

Dengan gabungan dominasi total di Tiongkok dan pengguna global, WeChat disebut mengantongi jumlah pengguna sebanyak 1 miliar yang merupakan rekor tertinggi perusahaan. Pencapaian ini menandai pertumbuhan pengguna WeChat sebesar 15,8% dalam setahun. Di laporan terakhir, WeChat disebut mengantongi jumlah pengguna aktif sebesar 902 juta di mana 38 miliar pesan dikirimkan setiap hari menggunakan WeChat.

Lebih jauh disebutkan penyumbang terbesar pengguna WeChat berasal dari kawasan Asia Tenggara, Eropa dan juga Amerika Serikat. Menurut lansiran Financial Times via Theverge, pengguna asal Tiongkok yang tinggal di di negara lain juga memilih menggunakan WeChat untuk berkomunikasi dengan sanak saudara yang masih di Tiongkok.

Pun demikian, 1 miliar pengguna yang terdaftar di WeChat bukan berasal dari individu per orang. Pasalnya, ada kemungkinan satu orang mempunyai lebih dari satu akun, untuk bisnis dan pribadi.

WeChat merupakan salah satu platform percakapan instan yang bertransformasi ke dalam banyak bentuk. Selain tempat bercakap-cakap, WeChat juga jadi sarana untuk melakukan berbagai keperluan, misalnya membeli barang fisik dan digital, memesan tiket, memesan restoran dan lain-lain. Luasnya layanan yang ditawarkan membuat WeChat makin mudah untuk merebut hati berbagai kelas pengguna.

Sumber berita TheVerge dan gambar header Theverge.

Tencent Umumkan Drone Perdananya dengan Kemampuan Live Stream ke WeChat

GoPro memulainya dengan Karma, lalu tidak lama DJI menyusul dengan Mavic Pro. Singkat cerita, drone berbodi ringkas dengan desain foldable adalah tren 2016, dan kini raksasa teknologi asal Tiongkok, Tencent, sepertinya tidak ingin ketinggalan.

Perusahaan di balik layanan pesan instan populer WeChat tersebut sedang bersiap untuk memasarkan drone bernama Ying. Sama seperti Mavic Pro, Ying dapat dilipat ketika tidak digunakan, dan ukurannya pun tidak kalah mini – bobotnya bahkan lebih ringan ketimbang Mavic di angka 425 gram.

Ying juga dapat merekam video dalam resolusi 4K. Kendati demikian, Ying punya misi khusus yaitu untuk menyiarkan video langsung ke WeChat dalam resolusi 720p. Yup, live streaming tidak harus menggunakan smartphone, drone pun juga bisa.

Ukuran ringkas dan desain foldable membuatnya sangat mudah untuk dibawa berpergian / Tencent
Ukuran ringkas dan desain foldable membuatnya sangat mudah untuk dibawa berpergian / Tencent

Dalam menggarap drone perdananya, Tencent bekerja sama dengan pabrikan drone Zerotech untuk urusan hardware, sedangkan software-nya dikembangkan bersama Qualcomm. Kiprah Tencent di ranah drone ini sekaligus menjadi bukti betapa luasnya platform WeChat di Negeri Tirai Bambu tersebut.

Untuk sekarang, belum ada informasi mengenai ketersediaan Ying di negara lain selain kampung halamannya. Di Tiongkok, Ying diprediksi akan mulai dipasarkan pada akhir Oktober seharga $299 saja. Melihat fitur utamanya untuk live streaming dan harganya yang terjangkau, jelas sekali tipe konsumen yang menjadi incaran Tencent tidak harus seorang drone enthusiast.

Sumber: Recode.

Saingi Slack, WeChat Enterprise Berniat Memudahkan Komunikasi dalam Lingkup Dunia Kerja

Layanan pesan instan populer asal Tiongkok, WeChat, belum lama ini meluncurkan layanan terpisah baru yang dikhususkan untuk lingkup dunia kerja. Bernama WeChat Enterprise, layanan ini secara langsung akan bersaing dengan Slack yang populer di kalangan perusahaan.

Selain tentunya mengemas fitur-fitur standar WeChat, layanan baru ini turut dilengkapi fitur-fitur lain yang akan memudahkan komunikasi di dunia kerja. Salah satunya adalah tombol untuk mengaktifkan status semacam “Coffee Break”, dimana kolega Anda bisa langsung tahu bahwa Anda sedang beristirahat dan belum bisa dihubungi.

Fitur lain yang tak kalah menarik adalah tombol “Receipt” yang berfungsi untuk memberi tahu ke pengguna lain bahwa Anda telah membaca suatu pengumuman. Fitur ini mirip seperti fitur Reactions di Slack, yang akan meminimalisir secara drastis jumlah jawaban singkat “oke” atau sejenisnya.

WeChat Enterprise juga memudahkan perusahaan untuk membuat semacam sistem formulir untuk keperluan tertentu. Jadi semisal ada karyawan yang hendak meminta reimburse biaya transportasi, ia tinggal mengakses formulir itu dari menu aplikasinya yang tersedia untuk iOS, Android, Mac dan Windows. Demikian juga halnya ketika hendak mengajukan izin cuti maupun keperluan lainnya.

Panggilan telepon yang dilakukan lewat WeChat Enterprise akan tersambung ke akun perusahaan, yang berarti biaya tagihannya otomatis akan dialihkan ke perusahaan. Fitur ini tergolong baru dalam kategori aplikasi chatting kantoran seperti ini.

Meski kedengarannya menjanjikan, sejauh ini WeChat Enterprise baru tersedia di Tiongkok saja, dan perusahaan yang hendak menggunakan pun diwajibkan memiliki izin usaha resmi yang memenuhi standar regulasi negara. Hingga kini belum ada informasi terkait ketersediaannya di kawasan lain.

Sumber: TheNextWeb dan WSJ.