Tag Archives: Wifkain

Startup Manufaktur Indonesia

Perlahan Tapi Pasti, Startup B2B Digitalisasi Sektor Manufaktur

Digitalisasi industri manufaktur di Indonesia dikatakan belum secepat sektor lain, misalnya keuangan, ritel, atau transportasi. Lambatnya adopsi ini dipicu oleh faktor rantai proses yang kompleks, mulai dari produksi hingga distribusi.

Survei McKinsey pada 2020 menemukan bahwa baru 21% perusahaan di Indonesia yang mengadopsi industri 4.0, lebih rendah dari negara-negara lain yang disurvei, yakni Amerika Serikat (53%), Singapura (50%), dan Jepang (40%).

Karena proses yang berlapis itu, digitalisasi manufaktur dinilai menjadi lebih sulit dan memakan biaya besar. Belum lagi kekhawatiran akan risiko kegagalan. Pelaku industri pun ragu mengalokasikan anggarannya untuk digitalisasi. Faktor lainnya adalah kurangnya talenta digital di sektor ini.

Rendahnya rasio digitalisasi tersebut dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan rintisan untuk terlibat dalam transformasi manufaktur di Indonesia. Adalah Bababos, Imajin, dan Wifkain yang berupaya mensimplifikasi sebagian proses bisnis melalui platform tanpa menghilangkan aspek fisik dalam mempertemukan mitra manufaktur dengan pelaku bisnis.

Dengan traksi yang telah mereka peroleh, ketiga founder ini membagikan catatan penting terkait dinamikanya membangun platform rantai pasok manufaktur. Sebagai informasi, Bababos dan Imajin adalah platform penyedia rantai pasok material, seperti metal dan plastik, sedangkan Wifkain untuk bahan baku tekstil.

Memahami karateristik pelanggan

Baik Bababos, Imajin, dan Wifkain mengembangkan platform yang mempertemukan mitra manufaktur di Industri Kecil Menengah (IKM) dengan pemilik bisnis atau brand. Profil penggunanya berasal dari perusahaan skala menengah ke atas hingga korporasi.

Berangkat dari situ, mereka perlu memahami penggunanya karena kebutuhan segmen B2B dinilai lebih kompleks, dan terkadang membutuhkan komunikasi yang lebih intens dan personal sebelum memutuskan pembelian. Tak seperti pelanggan individu atau ritel.

Dengan karateristik ini, upaya digitalisasinya juga tidak bisa diimplementasikan 100% online. “Profil customer B2B kami adalah enterprise. Sulit untuk mengakuisisi customer kalau pure online. [Upaya] retensinya juga tidak sepenuhnya online,” tutur Co-Founder dan CEO Wifkain Sara Sofyan.

B2B memiliki kebutuhan kompleks / Sumber: Shutterstock

Dari sudut pandang Co-Founder dan CEO Bababos Fajar Adiwidodo, karateristik kebutuhan kebutuhan B2C disebut dapat cepat berubah–bisa jadi didorong karena faktor seasonal dan promosi harga. Namun, proses eksekusi di pasar B2C lebih simple dibandingkan B2B.

“Sementara, kebutuhan B2B akan selalu tetap sama; harga terjangkau, kualitas produk, dan pengiriman tepat waktu. Yang kami lakukan bukan mentransformasi apa yang mereka mau, tetapi mengirimkan apa yang dibutuhkan–yang mana sangat kompleks. Kami memiliki kemampuan untuk melakukan [delivery] tepat waktu. Setiap peningkatan yang kami lakukan, langsung ada direct impact.”

Mendigitalisasi proses, mempertahankan aspek fisik

Co-Founder dan CEO Imajin Chendy Jaya mengungkap ada banyak sekali rantai proses di manufaktur yang masih dilakukan secara manual. Misalnya, pengecekan mesin atau progres produksi. Ini membuat arus informasi menjadi terpecah-pecah, tidak melalui satu pintu yang sama dan berpotensi miskomunikasi.

Proses ini yang ingin disimplifikasi oleh pelaku startup dengan menghadirkan Dashboard di platformnya, memungkinkan mitra pabrikan atau pemilik bisnis memantau progres pekerjaan, mulai dari waktu pengerjaan hingga pengiriman. Contohnya, Dashboard Imajin di mana vendor dan pelanggan dapat memantau apabila ada perubahan ukuran produk.

Startup manufaktur tetap memiliki QC dan QA sendiri / Sumber: iStock

Sementara, Bababos menyoroti digitalisasi pada ‘dapur’ platformnya. Tak cuma mempertemukan vendor dan pemilik brand, pihaknya kini tengah mengembangkan engine yang memungkinkan pengguna untuk mendapatkan rekomendasi harga. Ada pula pengembangan fitur underwriting hingga collection pada credit engine. Menurut Fajar, fitur-fitur ini tidak akan ‘terlihat’, tetapi akan lebih terasa pada experience pengguna.

Meski sebagian proses manufaktur telah didigitasi, Chendy mengungkap aspek fisik tetap diperlukan bagi rantai pasok. Salah satunya adalah quality control (QC) dan quality assurance (QA), prosedur yang tak pernah luput dalam pengembangan sebuah produk.

“Model marketplace biasanya transaksi langsung. Bagi kami, ini akan sulit untuk kasih quality assurance karena customer terkadang khawatir dengan pesanannya. Makanya, kami ikut terlibat di tengah untuk mencarikan [mitra manufaktur], makanya kami tambahkan quality assurance. Jadi sebelum kirim ke customer, kirim ke Imajin dulu agar sesuai standar,” ujarnya.

Hal yang sama juga diterapkan Wifkain dalam menyuplai bahan baku tekstil. Sara menyebut memiliki QC sesuai standar global. Bahkan, ungkapnya, ada beberapa bahan baku yang harus melewati tingkat pengecekan lebih ketat untuk mencapai level tolerasi (rectification level). Klaimnya, Wifkain memiliki rectification level 0,5% dari rata-rata level global sebesar 3%. “Kami mendeteksi sedini mungkin agar barang yang dikirim memenuhi level toleransi tertentu.”

Seputar kendala

Sara mengungkap, pandemi telah memicu perubahan tren industri di mana pemilik merek fesyen kini mulai beralih ke manufaktur terdekat/domestik, termasuk Indonesia. Dengan memproduksi ke pabrikan terdekat, pelaku bisnis memiliki kejelasan dari sisi logistik.

Meski begitu, logistik tetap menjadi kendala yang kerap dihadapi pada rantai pasok, terutama bagi industri fesyen yang harus cepat mengejar tren. Isu yang ditemui biasanya terkait administrasi dan dokumentasi yang mengakibatkan pengiriman sample terlambat. Wifkain tengah menyiapkan fitur digital pattern sehingga pengguna dapat membuat pola sendiri dan mengurangi penggunaan bahan baku.

“Tantangan selanjutnya adalah akses pembiayaan syariah. Industri ini sangat padat modal, dan kami sudah bekerja sama dengan bank dan fintech agar brand bisa dorong produksi. Nah, Indonesia dan Malaysia adalah pasar terbesar kami, di mana permintaan produk modest wear (hijab) tinggi. Mereka strict untuk ambil pinjaman konvensional, sedangkan pembiayaan syariah di sini belum banyak. Ini membuat produksi mereka belum optimal,” jelasnya.

Sumber: Pexels

Sementara, Bababos enggan merinci soal tantangan pengembangan bisnisnya. Pihaknya menilai digitalisasi tak hanya sebatas soal simplifikasi saja, melainkan bagian dari sebuah proses. Meski sudah didigitalisasi, pihaknya berupaya menghadirkan proses semirip mungkin dengan biasa mereka lakukan.

“Pada setiap perubahan, kami ingin menghasilkan gain sebesar mungkin dan pain sekecil mungkin. Kami memastikan punya produk dan solusi yang tepat, serta strategi memiliki pasar, sumber daya, dan channel yang tepat. Kami ingin konsisten berikan harga, kualitas, pengiriman, dan transparansi.”

Wifkain

Wifkain Paparkan Tren Pasar Tekstil, Ekspansi, dan Digitalisasi Manufaktur

Sejak awal tahun ini, Wifkain mulai menggencarkan transformasinya menjadi platform Manufacturing-as-a-Service (MaaS). Sebelumnya, startup ini berawal sebagai marketplace untuk bahan baku tekstil yang berdiri sejak 2020.

Saat berbincang dengan DailySocial.id, Co-Founder dan CEO Wifkain Sara Sofyan mengatakan ada banyak proses manufaktur yang dapat diberdayakan melalui platform MaaS. Dalam menjalankan platform ini, Wifkain menggandeng sejumlah pabrikan di berbagai segmen, kapasitas produksi, dan lokasi di Indonesia.

Selain itu, secara bisnis, platform MaaS juga dinilai dapat menghasilkan gross margin lebih tinggi, yakni 7-8 kali lebih tinggi dibandingkan hanya menyuplai bahan baku saja. “Karena MaaS punya margin bagus, path to profitability kami cukup jelas. Kalau hanya suplai raw material, yang mana masuk komoditas, pricing tidak terlalu bagus. Margin menjadi tidak sehat,” tutur Sara.

Sara menyebut transaksi dari layanan MaaS belum berkontribusi signifikan saat ini. Namun, pihaknya tengah mendorong MaaS sejalan dengan upayanya mendorong realisasi keuntungan pada tahun depan.

Wifkain sempat mendapat pendanaan awal dipimpin oleh Insignia Ventures Partners dengan nominal yang tidak disebutkan pada 2022.

Adapun, sebesar 90% pendapatannya disumbang dari pasar domestik. Namun, sejak beberapa bulan terakhir, Wifkain telah melebarkan permintaan pasar ke Uni Emirat Arab (UEA) dan Malaysia yang telah berkontribusi terhadap total pendapatan sebesar 10%. “Ke depannya, kami ingin dorong ekspor, termasuk ke Australia dan Taiwan.”

Perubahan perilaku pasar

Lebih lanjut, Sara mengungkap industri rantai pasok tekstil pasca-pandemi mengalami perubahan selama tiga tahun terakhir. Ia melihat pelaku bisnis atau pemilik merek fesyen yang biasanya impor bahan dari Tiongkok, kini mulai beralih ke manufaktur terdekat/domestik.

Wifkain disebut baru mengantongi traksi nyata pada 2021 meski sudah berdiri secara legal sejak 2020. Hal ini dikarenakan Wifkain sempat kesulitan mengakuisisi pengguna akibat pembatasan sosial selama pandemi.

Baginya, perubahan tren ini berdampak terhadap pertumbuhan organik Wifkain karena pemilik bisnis mulai mengalihkan manufakturnya ke Indonesia dan Vietnam. “Manufaktur Tiongkok menguasai 50% dari pangsa manufaktur global. Pandemi membuat ketidakjelasan di sisi logistik sehingga manufaktur terdekat (nearshoring) menjadi opsi yang jelas dan fleksibel bagi mereka,” ujarnya.

Kemudian, mitra manufaktur dan pelaku bisnis yang terbiasa dengan cara konvensional sebelum pandemi, kini disebut sudah mulai mengadopsi proses kerja secara digital. Menurut Sara, ada banyak proses manufaktur yang dapat ditekan hingga 80% dengan memberdayakan teknologi.

Wifkain melayani pemilik bisnis fesyen skala menengah dengan klaim omset Rp2 miliar ke atas termasuk korporasi skala menengah ke atas yang memiliki kebutuhan pengadaan pada merchandise.

Peningkatan fitur

Dalam upayanya memenuhi kebutuhan rantai pasok tekstil, Sara mengaku tengah meningkatkan kemampuan platformnya lewat pengembangan sejumlah fitur baru pada dashboard mitra manufaktur maupun customer.

Fitur ini dapat memungkinkan mitra manufaktur untuk menginput target dan output produksi secara harian. Dengan demikian, Wifkain dapat memantau mitra yang kinerjanya agar dapat menjaga kecepatan produksi dan pengiriman barang tepat waktu.

Selain itu, Wifkain juga berupaya menekan penggunaan bahan baku dengan memberdayakan beberapa proses dengan teknologi. Salah satunya adalah pembuatan pola berbasis digital (digital pattern). Fitur ini diharapkan juga dapat menekan biaya dan menghemat waktu.

“Proses di manufaktur itu panjang sekali, kami enable pada bagian tertentu. Pola yang biasanya dibuat konvensional kini melalui digital di mana bisa plotting penempatannya. Ini dapat mengurangi penggunaan raw material hingga 20%,” ujarnya.

Untuk menjaga kualitas barang, Wifkain menetapkan standar quality checking (QC) sesuai SOP di internasional. Sara juga menyebut ada beberapa produk yang melalui pengecekan kualitas lebih ketat agar dapat mencapai batas tolerasi (rectification level) di level tertentu. Klaimnya, Wifkain memiliki rectification level sebesar 0,5% dari rata-rata tingkat global 3% per September 2023.

Wifkain hubungkan stakeholder dalam bisnis manufaktur produk fesyen / Wifkain

Wifkain Perluas Fitur Pembiayaan Rantai Pasok Manufaktur Fesyen

Wifkain adalah platform yang menghubungkan antara pebisnis busana dengan perusahaan manufaktur. Untuk memperluas layanannya, mereka menggandeng KoinWorks untuk memberikan permodalan produktif kepada UMKM di dalam ekosistemnya. Kini sudah ada lebih dari 600 pengajuan permodalan yang tengah diproses.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Wifkain Sara Sofyan mengungkapkan, kecepatan proses dan dukungan para mitra dari layanan fintech memainkan peranan penting bagi perusahaan, agar seluruh leads yang masuk bisa terlayani dengan baik. Model ini juga akan terus diperluas, sehingga membuat model bisnis yang dijalankan menjadi lebih efisien, khususnya dari sisi perputaran dana.

Kolaborasi strategis targetkan UMKM

Tercatat saat ini ada lebih dari 2 juta pengguna KoinWorks mengakses layanan keuangannya dan mayoritas aktif di industri fesyen. KoinWorks melalui KoinInvoice menyediakan supply chain financing untuk mendukung UMKM di bidang fesyen yang bermitra dengan Wifkain. Dengan harapan menciptakan lebih banyak peluang penjualan sehingga menciptakan pertumbuhan bisnis.

Wifkain menggandeng KoinWorks sebagai mitra strategis untuk menyediakan supply chain financing bagi mitra pabrik dan fashion brand yang menjadi rekanan. Para mitra pabrik juga dapat menerima pembayaran di depan dan para fashion brand mempunyai kesempatan untuk membayar sampai dengan 6 bulan kemudian.

Secara khusus layanan Manufacturing-as-a-Service (MaaS) dari Wifkain ingin memudahkan pengusaha untuk mendapatkan desain atau pola jahit yang sesuai dengan keinginan, serta memudahkan proses textile procurement, manufacturing, quality assurance, dan penyediaan logistik dengan cara yang lebih mudah dan cepat.

Hingga saat ini Wifkain yang berkantor pusat di Tangerang Selatan sudah memiliki lebih dari 200 mitra pabrik di seluruh Pulau Jawa, yang melayani produksi kecil hingga besar. Klien Wifkain pun tidak hanya berasal dari Pulau Jawa, tetapi juga dari Bali dan kota-kota besar di Sumatera dan Kalimantan.

“Berbekal pengalaman di manufaktur fesyen rekanan Wifkain, kami melihat bahwa sebenarnya ada benang merah rantai pasok yang bisa kami dukung dan kembangkan, tidak hanya di industri fesyen tapi juga merambah ke industri lainnya. Oleh karena itu Wifkain menargetkan untuk ekspansi pengembangan kerja sama financing supply chain bersama Koinworks dapat terus berlanjut di berbagai kategori lainnya,” kata Sara.

Ingin perluas kolaborasi

Industri fesyen Indonesia saat ini mencakup beragam desainer dan brand, masing-masing dengan kebutuhan produksi yang berbeda. MaaS memungkinkan bisnis untuk mengukur produksi mereka naik atau turun seiring fluktuasi permintaan, tanpa beban menjaga fasilitas manufaktur besar. Hal ini lebih menguntungkan bagi desainer dengan skala yang lebih kecil dan baru muncul, yang mungkin tidak memiliki sumber daya untuk investasi awal yang substansial.

Penyedia MaaS kerap memanfaatkan teknologi terbaru seperti pencetakan 3D, pembuatan pola digital, dan automasi. Dengan mengintegrasikan teknologi-teknologi ini, industri fashion di Indonesia dapat meningkatkan efisiensi, mengurangi waktu produksi, dan meminimalkan kesalahan dalam produksi.

Berdiri sejak 2020, Wifkain adalah platform penyedia layanan manufaktur yang dapat memenuhi segala kebutuhan produksi bisnis fashion secara lebih praktis. Untuk memaksimalkan debutnya, mereka juga sudah mendapatkan pendanaan awal dari Insignia Ventures.

“Target Wifkain tidak hanya selalu mengenai angka, karena Wifkain selalu membuka peluang kerja sama dan kolaborasi, misalnya dengan perusahaan logistik, sistem POS, ataupun startup lain yang memiliki visi yang sama dan mau maju bersama,” kata Sara.

Wifkain

Transformasi Wifkain Menghubungkan Pebisnis Fashion dan Manufaktur, Siap Ekspansi ke Uni Emirat Arab

Berawal sebagai marketplace untuk produk tekstil, kini Wifkain bertransformasi menjadi platform Manufacturing-as-a-Service (MaaS), layanan multifungsi yang memungkinkan pemilik bisnis fashion mendapatkan sumber bahan baku dan semua kebutuhan produksi bisnis secara lebih praktis.

Kepada DailySocial.id, Co-founder dan CEO Wifkain Sara Sofyan menyampaikan rencana Wifkain untuk menambah jumlah brand hingga melakukan ekspansi ke Uni Emirat Arab.

Menjembatani pembeli dan manufaktur

Salah satu industri yang belum tersentuh teknologi, seperti proses dan otomasi, adalah fashion. Rumitnya proses hingga sulitnya pencarian atau discovery yang harus dilakukan oleh pebisnis fashion dari awal hingga akhir, menjadi salah satu alasan Wifkain berdiri.

Pandemi yang sempat mengganggu industri fashion pada dua tahun lalu, menjadi momen tepat bagi Wifkain untuk membantu pembeli dan brand di segmen menengah ke atas hingga UMKM dalam menemukan manufaktur yang relevan untuk melancarkan bisnis mereka. Saat ini, kondisi industri fashion mulai memulih.

Menurut Sara, ada perubahan yang cukup signifikan terjadi saat pandemi. Jika dulu banyak pemain mengandalkan produk impor dari negara lain, seperti Tiongkok, kini mereka mengandalkan tenaga dan tim lokal di dalam ekosistemnya.

“Saat pasar sudah mulai pulih kembali setelah first wave pandemi, kami melihat ini sebagai kesempatan untuk Wifkain. Kami melihat akan banyak lokalisasi manufacturing bukan hanya di Indonesia, tetapi juga negara lainnya,” kata Sara.

Berdiri sejak 2020, Wifkain adalah platform penyedia layanan manufaktur yang dapat memenuhi segala kebutuhan produksi bisnis fashion secara lebih praktis. Memosisikan diri sebagai pionir, Wifkain membidik sebagai platform berbasis teknologi pertama untuk memenuhi kebutuhan rantai pasok (supply chain) tekstil bagi fashion brand di Indonesia.

Layanan MaaS dari Wifkain akan memudahkan pengusaha untuk mendapatkan desain atau pola jahit yang sesuai dengan keinginan, serta mempermudah dan mempercepat proses textile procurement, manufacturing, quality assurance, dan penyediaan logistik.

“Proses supply chain yang terjadi di Indonesia saat ini masih long tail. Semakin downstream, semakin fragmented prosesnya. Wifkain hadir untuk mengotomasi proses tersebut,” kata Sara.

Saat ini, Wifkain memiliki sekitar 200 mitra, terdiri dari 60 pabrik dan sisanya adalah trader, distributor, dan penjahit. Semua mitra telah melalui proses kurasi yang ketat sebelum bergabung ke ekosistem Wifkain. Hal tersebut dilakukan guna memberikan kepastian dan jaminan kepada brand. Strategi monetisasi yang dilancarkan oleh Wifkain adalah langsung kepada mitra mereka.

Ekspansi ke Uni Emirat Arab

Didukung oleh teknologi, Wifkain ingin menghadirkan sebuah fitur yang bisa digunakan oleh pembeli untuk memonitor pembuatan atau proses produk yang mereka pesan. Fitur ini bisa meminimalisasi terjadinya pengiriman yang terlambat dan masalah lainnya.

Untuk mitra, teknologi tersebut diharapakan dapat memonitor kinerja pekerja mereka agar lebih transparan. Praktik ini sebelumnya sudah dilancarkan oleh industri fashion di Tiongkok. Saat ini, khususnya di Indonesia, semua proses tersebut masih banyak dilakukan secara konvensional.

Roadmap perusahaan ke depan adalah menciptakan tech-enabled tracking di garmen untuk menyediakan buyers daily output berupa monitoring process. Dari sisi pabrik, mereka bisa memonitor working flow labour menjadi lebih transparan,” ucap Sara.

Tahun depan perusahaan juga akan melancarkan ekspansi ke Uni Emirat Arab. Masih dalam proses penjajakan, adanya kesamaan iklim hingga besarnya potensi fashion muslim di Indonesia, menjadikan rencana ekspansi tersebut tepat dan relevan.

Sebagai informasi, Wifkain telah mengantongi pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh Insignia Ventures Partners dengan nominal yang dirahasiakan. Sejumlah angel investor terkemuka ikut berpartisipasi pada putaran ini, termasuk CEO Atome Financial Indonesia Wawan Salum.

Bersama dengan Co-founder lainnya, yakni Rudy Setyo Hartono dan Chindera Soewandy, dana segar tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Wifkain memperluas jangkauan bisnisnya ke UMKM dan pemilik fashion brand, meningkatkan jumlah merchant, dan membangun tim.

Kemitraan strategis dengan KoinWorks

Untuk memperkuat komitmen, Wifkain menggandeng KoinWorks sebagai mitra strategis untuk menyediakan supply chain financing bagi mitra pabrik dan fashion brand yang menjadi partner dan kliennya.

Masih banyak perbankan hingga institusi finansial yang belum menjangkau para pebisnis fashion dalam melancarkan bisnis mereka. Ini menjadi alasan kuat Wifkain dan KoinWorks untuk memfasilitasi supply chain financing. Solusi ini dilihat sangat tepat untuk membantu pebisnis fashion, bukan hanya dukungan dalam pemenuhan bahan.

“Solusi pendanaan ini memberikan jaminan pembayaran menjadi lebih baik. KoinWorks menjadi mitra yang tepat bagi kami untuk menawarkan pembiayaan kepada para buyer. Dari sisi fund flow, kami pastikan pendanaan ini digunakan untuk working capital sehingga tidak disalahgunakan untuk penggunaan yang tidak tepat,” tuturnya.

Industri fashion tercatat sebagai salah satu industri dengan kontribusi terbesar dalam perekonomian Indonesia. Menurut laporan Euromonitor International, bisnis fashion berkontribusi sebesar 18,01% dari Gross Domestic Product (GDP) di Indonesia dengan CAGR sebesar 9%-10% untuk kategori womenswear, menswear, dan childrenswear. Selain itu, tekstil dan manufacturing menempati peringkat ke-12 di Asia Tenggara dengan pertumbuhan CAGR sebesar 5%.

Melihat besarnya peran industri fashion, Wifkain dan KoinWorks berharap kolaborasi ini dapat mendukung lebih banyak lagi UMKM sehingga dapat mendorong pertumbuhan industri fashion lebih pesat.

Wifkain Bags Seed Funding Led by Insignia Ventures [UPDATED]

Textile supply chain platform, Wifkain, announced seed funding led by Insignia Ventures Partners with an undisclosed amount. A number of prominent angel investors participated in this round, including the Atome Financial Indonesia‘s CEO, Wawan Salum.

The company positioned itself as a pioneer, Wifkain aspires to be the first technology-based platform to meet the needs of the textile supply chain for fashion brands in Indonesia. Through this funding, Wifkain intends to expand its business reach to SMEs and fashion brand owners, increase the number of merchants, and build a team.

On the general note, Wifkain was founded by former banker and fashion entrepreneur Sara Sofyan (CEO), D2C brand entrepreneur Chindera Soewandy, and former Bukalapak’s executives Rudy Setyo Hartono (CTO) in 2020.

The Co-founder & CEO, Sara Sofyan said many brands had difficulty finding manufacturing partners due to several factors. In that case, Wifkain provides Manufacturing-as-a-Service (MaaS) services by cooperating with various manufacturers in various specialties, capacities, and locations in Indonesia.

“The platform we built connects sellers and buyers directly, simplify the long supply chain by cutting out intermediaries, the transaction process is cheaper, faster, and low risk,” Sara said in her official statement.

Meanwhile, Yinglan Tan, Founding Managing Partner of Insignia Ventures Partners, said that e-commerce and social media make fashion available quickly and easily accessible online. However, the upstream supply chain in Indonesia will remain disconnected and fragmented.

“Thus, Sara and the team at Wifkain are in a strong position to digitize the entire supply chain in the textile industry. They have made significant early-stage progress since launching the platform. We are delighted to be their partner on this journey,” he said.

Challenges and target

Sara views the Indonesian textile industry ecosystem from upstream to downstream has not been fully digitized. The process chain is very long, complex, and not transparent as it involves many intermediaries.

Manufacturing companies also have no integrated system for buyers, limiting their opportunities to increase sales. The ordering process can take up to several days. The level of non-fulfillment (unfulfillment rate) of sales can reach 30-50 percent. This situation forces fashion business people and brand owners through a multi-layered chain of processes.

In addition, traditional textile traders who sell offline have limitations in the choice of products which are relatively expensive, the ordering system is not integrated, and there is no product guarantee.

In fact, Indonesia is one of the largest textile markets and manufacturing centers in the world. Its market value is around 40% of the total global fashion industry market of $55 billion according to the Euromonitor report in 2018. The value is projected to grow at 5% CAGR in 2022.

Wifkain seeks to digitize the supply chain, especially for long-tail merchants in the MSME segment, aka merchants with search volumes and relatively low levels of competition. Through the solutions built, Wifkain wants to increase connectivity, transparency and efficiency for the textile industry supply chain

In order to meet supply chain needs in Indonesia, Wifkain will develop order management and inventory management that will allow order confirmation within a few hours, reduce order non-fulfillment rates to less than 5%, increase production process transparency, and provide analytical data such as demand predictions to suppliers.

Since its commercial service in 2020, Wifkain recorded an 11-fold growth in GMV (YoY) and pocketed 150 merchants (textile and factory traders) on the island of Java. The company claims to be able to complete the sourcing process in one day, faster than the standard which generally takes up to three weeks. It guarantees that there is an efficiency of purchasing costs of up to 50%.

On a separate session with DailySocial, Sara revealed that it is not easy to digitize merchants or textile suppliers with long history of conventional operation. One of the obstacles is shown from the development of technology on the platform to accommodate merchant needs.

“[The development of] technology [for the textile market] does not have many benchmarks in the market, therefore, we have to [do] testing properly according to the needs of merchants,” Sara added.

Although the textile marketplace is relatively new to the Indonesian market, Sara admitted that Wifkain’s business measurement metrics remain the same as the e-commerce model in general, such as Monthly Active User (MAU), Lifetime Value (LTV), and retention rate.

To date, Wifkain merchants are only available in the Java and Bali areas, however, the scope of buyers has reached various locations throughout Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Wifkain Supply Chain Tekstil

Wifkain Peroleh Pendanaan Awal Dipimpin Insignia Ventures [UPDATED]

Platform supply chain tekstil Wifkain mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal (seed) yang dipimpin oleh Insignia Ventures Partners dengan nominal yang dirahasiakan. Sejumlah angel investor terkemuka ikut berpartisipasi pada putaran ini, termasuk CEO Atome Financial Indonesia Wawan Salum.

Memposisikan diri sebagai pionir, Wifkain berkeinginan untuk menjadi platform berbasis teknologi pertama untuk memenuhi kebutuhan rantai pasokan (supply chain) tekstil bagi fashion brand di Indonesia. Lewat pendanaan ini, Wifkain ingin memperluas jangkauan bisnisnya ke UKM dan pemilik fashion brand, meningkatkan jumlah merchant, dan membangun tim.

Sebagai informasi, Wifkain didirikan oleh mantan bankir dan pengusaha fashion Sara Sofyan (CEO), pengusaha brand D2C Chindera Soewandy, dan eks Bukalapak Rudy Setyo Hartono (CTO) di 2020.

Co-founder & CEO Sara Sofyan mengatakan banyak brand kesulitan mencari mitra manufaktur karena sejumlah faktor. Untuk itu, Wifkain menghadirkan layanan Manufacturing-as-a-Service (MaaS) dengan menggandeng berbagai macam pabrikan di berbagai spesialisasi, kapasitas, dan lokasi di Indonesia.

“Platform yang kami bangun menghubungkan penjual dan pembeli langsung, memotong supply chain yang panjang dengan memangkas perantara, proses transaksi lebih murah, cepat, dan rendah risiko,” ujar Sara dalam keterangan resminya.

Sementara itu, Founding Managing Partner Insignia Ventures Partners Yinglan Tan mengatakan e-commerce dan media sosial membuat fashion dapat tersedia dengan cepat dan mudah diakses secara online. Namun, supply chain hulu di Indonesia akan tetap terputus dan terfragmentasi.

“Maka itu, Sara dan tim di Wifkain memiliki posisi kuat untuk mendigitalkan seluruh rantai pasokan di industri tekstil. Mereka telah membuat kemajuan tahap awal yang signifikan sejak meluncurkan platformnya. Kami senang dapat menjadi partner mereka dalam perjalanan ini,” ujarnya.

Tantangan dan target

Sara melihat ekosistem industri tekstil Indonesia dari hulu ke hilir belum sepenuhnya terdigitalisasi. Rantai prosesnya sangat panjang, kompleks, dan tidak transparan karena melibatkan banyak perantara.

Perusahaan manufaktur juga tidak punya sistem terintegrasi kepada pembeli sehingga membatasi peluang mereka meningkatkan penjualan. Proses pemesanan memakan waktu hingga beberapa hari. Tercatat tingkat ketidakterpenuhan (unfulfillment rate) penjualan bisa mencapai 30-50 persen. Situasi ini memaksa pelaku bisnis fashion dan pemilik brand melalui rantai proses yang berlapis.

Selain itu, pedagang tekstil tradisional yang berjualan secara offline memiliki keterbatasan pada pilihan produk yang harganya relatif mahal, sistem pemesanannya tidak terintegrasi, dan tidak ada jaminan produk.

Padahal Indonesia merupakan salah satu pasar tekstil dan pusat manufaktur terbesar di dunia. Nilai pasarnya berkisar 40% dari total pasar industri fashion global $55 miliar mengacu laporan Euromonitor di 2018. Nilai tersebut diproyeksi tumbuh 5% CAGR di 2022.

Wifkain berupaya mendigitalkan rantai pasokan, terutama bagi long-tail merchant di segmen UMKM alias merchant dengan volume pencarian dan tingkat persaingan yang relatif rendah. Melalui solusi yang dibangun, Wifkain ingin meningkatkan keterhubungan, transparansi, dan efisiensi bagi rantai pasokan industri tekstil

Untuk memenuhi kebutuhan rantai pasok di Indonesia, Wifkain akan mengembangkan order management dan inventory management yang memungkinkan konfirmasi pesanan dalam waktu beberapa jam, menurunkan tingkat ketidakterpenuhan pesanan kurang dari 5%, meningkatkan transparansi proses produksi, dan menyediakan data analisis seperti prediksi permintaan ke pemasok.

Sejak layanannya komersial di 2020, Wifkain mencatat pertumbuhan GMV sebesar 11 kali lipat (YoY) dan mengantongi 150 merchant (pedagang tekstil dan pabrik) di pulau Jawa. Wifkain mengklaim dapat menyelesaikan memproses sourcing dalam satu hari, lebih cepat dibanding standar yang umumnya memakan waktu sampai tiga minggu. Pihaknya menjamin ada efisiensi biaya pembelian hingga 50%.

Dihubungi DailySocial secara terpisah, Sara mengungkap tidak mudah untuk mendigitalisasi merchant atau supplier tekstil yang selama ini beroperasi secara konvensional. Salah satu kendalanya terlihat dari pengembangan teknologi di platform untuk mengakomodasi kebutuhan merchant.

“[Pengembangan] teknologi [untuk pasar tekstil] tidak banyak benchmark-nya di pasar sehingga kami harus [melakukan] testing dengan benar sesuai dengan kebutuhan merchant,” tutur Sara.

Meski marketplace tekstil terbilang baru untuk pasar Indonesia, Sara mengaku metrik pengukuran bisnis Wifkain tetap sama dengan model e-commerce pada umumnya, seperti Monthly Active User (MAU), Lifetime Value (LTV), dan retention rate.

Adapun, saat ini merchant Wifkain baru ada di area Jawa dan Bali, tetapi cakupannya pembelinya sudah menjangkau berbagai lokasi di seluruh Indonesia.

**
Ikuti kuis dan challenge #NgabubureaDS di Instagram @dailysocial.id selama bulan Ramadan, yang akan bagi-bagi hadiah setiap minggunya berupa takjil, hampers hingga langganan konten premium DailySocial.id secara GRATIS. Simak info selengkapnya di sini dan pantau kuis mingguan kami di sini.