Tag Archives: William Li

Akulaku pendanaan debt 2022

Startup Unicorn Akulaku Terus Perluas Cakupan Bisnis Finansial

Akulaku mengumumkan pendanaan $10 juta atau setara 143 miliar Rupiah dari Lend East. Investasi berbentuk debt funding tersebut akan dimanfaatkan Akulaku untuk meningkatkan portofolio kredit di pasar utama mereka, yakni Indonesia, Filipina, dan Thailand. Seperti diketahui, sejak didirikan tahun 2014 aplikasi Akulaku sendiri menawarkan produk paylater dan cashloan untuk para konsumennya.

Sebelumnya Akulaku baru menerima pendanaan ekuitas senilai  $100 juta atau lebih dari Rp1,4 triliun dari Siam Commercial Bank (SCB). Perolehan ini melanjutkan putaran investasi $125 juta di tahun sebelumnya yang dipimpin Silverhorn Group, yang sekaligus menjadi mitra pembiayaan (financing partner) sejak 2018. Secara total, saat ini valuasi Akulaku sudah menembus $1 miliar dan menjadikannya sebagai startup unicorn selanjutnya.

“Sejak tahun lalu Akulaku terus mengalami pertumbuhan dan dengan adanya pendanaan tambahan ini akan memungkinkan kami untuk terus memenuhi kebutuhan underbanked di seluruh Asia Tenggara,” ujar CEO Akulaku William Li.

Terus lakukan diversifikasi bisnis finansial

Pada 2021, Akulaku telah menyalurkan kredit lebih dari $ 2,2 miliar kepada lebih dari 10 juta pengguna. Selain layanan paylater, Akulaku menggabungkan platform wealth management, e-commerce, dan perbankan digital sehingga dapat meningkatkan total pendapatan perusahaan sebesar 120% menjadi $598 juta.

Untuk layanan bank digital, Akulaku memilih mengakuisisi 24,98% saham Bank Neo Commerce (mayoritas). Sejumlah rencana turut digencarkan dari kolaborasi tersebut, salah satunya lewat loan origination system, yakni sistem untuk memproses persetujuan kredit, khususnya untuk direct loan/online financing.

Selain itu, Akulaku juga mengembangkan serangkaian teknologi untuk meningkatkan kapabilitas perbankan memasuki era digital, beberapa produk yang disuguhkan di antaranya e-KYC, sistem verifikasi, sampai ke layanan pembayaran QR.

Sementara untuk layanan pinjaman, merekan mengandalkan platform fintech lending Asetku. Hingga saat ini total pinjaman yang sudah digulirkan mencapai 42 triliun Rupiah dengan total peminjam 13 ribu nasabah. Dan di platform wealth management, mereka mengembangkan OneAset, yakni aplikasi keuangan yang bisa dimanfaatkan pengguna untuk mengelola aset finansialnya, termasuk untuk berinvestasi ke reksa dana, surat berharga, hingga emas.

Kompetisi pasar

Di Indonesia, seluruh lini bisnis Akulaku harus bersaing dengan para pemain lain. Misalnya untuk payalter, saat ini ada Kredivo, Atome, hingga GopayLater yang menjadi penantang. Masing-masing juga memiliki dukungan besar dari induknya – termasuk untuk potensi menguasai pasar Asia Tenggara, seperti FinAccel, Advance Intelligence Group, dan GoTo.

Sementara di bank digital pun, saat ini persaingan juga terus diramaikan dengan inovasi produk dari pemain di ekosistem. Ada puluhan bank digital yang sudah mengudara dan siap meluncurkan debutnya. Dan untuk wealth management, puluhan aplikasi sejenis juga sudah dijajakan untuk investor ritel di Indonesia.

Terlepas dari diversifikasi produk finansial yang coba disuguhkan, pemain seperti Akulaku sebenarnya memiliki keunggulan strategis yang dapat dieksplorasi, yakni konektivitas di ekosistem digital yang dimiliki. Nyatanya pemain lain banyak bersinergi dengan pihak ketiga untuk menghadirkan kapabilitas tertentu – ambil contoh Bank Jago dengan Bibit/Stockbit untuk fitur investasi—yang mana hal ini bisa juga dilakukan oleh Neo Commerce dan OneAset; atau diaplikasikan untuk skenario model bisnis lain.

Application Information Will Show Up Here

Akulaku Obtains Strategic Investment of 1.4 Trillion Rupiah from Siam Commercial Bank

Akulaku to receive strategic investment of $100 million or over Rp1.4 trillion from Siam Commercial Bank (SCB), a leading commercial bank in Thailand. This agreement follows last year’s successful funding of $125 million led by Akulaku’s existing investor, Silverhorn Group, which also acts as a financing partner since 2018.

Akulaku’s subsidiary, Bank Neo Commerce (BNC), has finalized a public offering on the Indonesia Stock Exchange with a value around $175 million (over Rp2.5 trillion) in the fourth quarter of 2021. Reportedly, this is the closing of the pre-IPO fundraising series through the SPAC. According to reports on DealStreetAsia, Akulaku will be listed on the stock exchange in 2022.

In an official statement, Akulaku’s CEO, William Li said, the fresh money will be used to continue expanding the geographic coverage of its products and services throughout Southeast Asia and develop innovation. “We established Akulaku to fulfill the daily financial of underserved customers in emerging markets,” Li said, Tuesday (2/15.

Siam Commercial Bank’s President, Dr. Arak Sutivong said this investment marks SCB’s continued commitment and strong belief in Indonesia’s long-term prospects as one of the fastest growing digital economies in the region. The company considers Akulaku as having a dominant market position and well positioned with its innovative technology and superior product offerings.

“We are excited about investing in this company and look forward to leveraging our deep expertise in Thailand’s financial services sector to support its expansion. Investments in Akulaku fit within our regional theses to serve underserved markets using digital innovation. We look forward to partnering with Akulaku as the company grows,” Sutivong said.

Credit disbursement to 6 million users

Founded in 2016, Akulaku has grown into a Buy Now Pay Later (BNPL) and consumer finance platform in Indonesia, claiming to have disbursed more than $2.2 billion in credit to more than 6 million users by 2021. Akulaku’s coverage is not merely in Indonesia, but also in the Philippines, Vietnam, and Malaysia.

Building on this success, BNC launched its mobile digital banking service in March 2021, and is now the fastest growing digital bank in Indonesia with more than 13 million users to date. The company has another financial subsidiary group engaged in lending, Assetku, which operates in Indonesia, and a similar BNPL service that is present in Europe called Wisecart.

With more than 80% of consumers now participating in e-commerce, Southeast Asia’s digital retail market is growing exponentially. Akulaku’s digital credit service is poised to further accelerate the digital transformation of retail in Southeast Asia, providing new markets for consumers with access to flexible banking services.

Akulaku alone is said to have reached the unicorn status since 2019 with a valuation of more than $1.1 billion, according to a report compiled by Credit Suisse entitled “ASEAN Unicorn, Scaling the New Height”. The company is yet to disclose this status to the public.

BNPL to rise after pandemic

A special report on the paylater ecosystem in Indonesia released by DSInnovate stated that paylater became the second favorite service in 2020 (72.5%) or slightly below digital wallet platforms which had recognition of 82.2%.

On the other hand, the e-commerce’s positive trend which strongly accelerated by the pandemic has also triggered the high adaptation of paylater products in the community. In fact, ResearchAndMarkets has released a research at the end of 2020 stated that the Gross Merchandise Value (GMV) is predicted to grow at US$8.5 billion in 2028 and estimated to help boost paylater facilities by approximately 76.7% annually. .

Likewise, the latest research by Kredivo and the Katadata Insight Center entitled “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021” also shows an increase in paylater users. There are 55% new users who use the Kredivo paylater feature.

The high number of paylater users also has a positive impact on the supply side, where this feature is able to help merchants increase AoV (average order value), increase sales by offering credit without a credit card, and also increase sales conversions by reducing friction during the shopping process.

While paylater has two classifications: paylater owned by digital startups (e-commerce, OTA, ride-hailing service, and others) and the paylater service owned by fintech startups. In Indonesia, there are many fintech companies that provide paylater services. The implementation is not limited, paylaters made by fintech generally become “online” credit platforms that can be used anywhere, from e-commerce to retail outlets.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Akulaku mengumumkan perolehan investasi strategis senilai $100 juta (lebih dari Rp1,4 triliun) dari Siam Commercial Bank (SCB)

Akulaku Peroleh Investasi Strategis 1,4 Triliun Rupiah dari Siam Commercial Bank

Akulaku mengumumkan perolehan investasi strategis senilai $100 juta atau lebih dari Rp1,4 triliun dari Siam Commercial Bank (SCB), bank umum terkemuka di Thailand. Kesepakatan ini mengikuti keberhasilan pendanaan yang diterima Akulaku sebesar $125 juta pada tahun lalu dipimpin oleh investor Akulaku sebelumnya Silverhorn Group, yang sekaligus menjadi mitra pembiayaan (financing partner) sejak 2018.

Anak usaha Akulaku, yakni Bank Neo Commerce (BNC), juga menyelesaikan penawaran umum hak publik di Bursa Efek Indonesia dengan nilai sekitar $175 juta (lebih dari Rp2,5 triliun) pada kuartal IV 2021. Dikabarkan, pendanaan yang diterima Akulaku ini merupakan penutupan penggalangan dana pra-IPO melalui jalur SPAC. Menurut pemberitaan di DealStreetAsia, Akulaku akan melantai di bursa pada 2022.

Dalam keterangan resmi, CEO Akulaku William Li menyampaikan, dana segar memungkinkan perusahaan untuk melanjutkan visinya memperluas jangkauan geografis produk dan layanannya ke seluruh Asia Tenggara dan terus berinovasi. “Kami mendirikan Akulaku untuk memenuhi kebutuhan keuangan sehari-hari dari pelanggan yang kurang terlayani di pasar negara berkembang,” ucap Li, Selasa (15/2).

Presiden Siam Commercial Bank Dr. Arak Sutivong mengatakan, langkah investasi yang diambil SCB ini menandai komitmen berkelanjutan dan keyakinan kuatnya terhadap prospek jangka panjang Indonesia sebagai salah satu ekonomi digital dengan pertumbuhan tercepat di kawasan ini. Ia melihat Akulaku memiliki posisi pasar yang dominan dan memiliki posisi yang baik dengan teknologi inovatif dan penawaran produk unggulannya.

“Kami sangat antusias dengan investasi di perusahaan ini dan berharap dapat memanfaatkan keahlian mendalam kami di sektor jasa keuangan Thailand untuk mendukung ekspansinya. Investasi di Akulaku cocok dalam tesis regional kami untuk melayani pasar yang kurang terlayani menggunakan inovasi digital. Kami berharap dapat bermitra dengan Akulaku seiring dengan pertumbuhan perusahaan,” kata Sutivong.

Telah menyalurkan kredit ke 6 juta nasabah

Didirikan pada tahun 2016, Akulaku telah berkembang menjadi platform Buy Now Pay Later (BNPL) dan pembiayaan konsumen di Indonesia, mengklaim telah menyalurkan kredit lebih dari $2,2 miliar pada 2021 ke lebih dari 6 juta pengguna. Cakupan layanan Akulaku tidak hanya Indonesia, tapi juga Filipina, Vietnam, dan Malaysia.

Berangkat dari kesuksesan itu, BNC meluncurkan layanan mobile digital banking pada Maret 2021, dan kini menjadi bank digital dengan pertumbuhan tercepat di Indonesia dengan lebih dari 13 juta pengguna saat ini. Perusahaan juga memiliki grup anak usaha keuangan lain yang bergerak di lending, yakni Asetku yang beroperasi di Indonesia, dan layanan BNPL sejenis yang hadir di Eropa bernama Wisecart.

Dengan lebih dari 80% konsumen yang sekarang berpartisipasi dalam e-commerce, pasar ritel digital Asia Tenggara tumbuh secara eksponensial. Layanan kredit digital Akulaku siap untuk lebih dipercepat transformasi digital ritel di Asia Tenggara, menyediakan pasar baru akses konsumen ke layanan perbankan yang fleksibel.

Akulaku sendiri disebut-sebut sudah mencapai status unicorn sejak 2019 dengan valuasi lebih dari $1,1 miliar, menurut laporan yang disusun Credit Suisse bertajuk “ASEAN Unicorn, Scaling the New Height”. Perusahaan sendiri belum menyampaikan statusnya tersebut hingga kini ke publik.

BNPL melesat semenjak pandemi

Laporan khusus mengenai ekosistem paylater di Indonesia yang dirilis DSInnovate yang mengemukakan, paylater menjadi layanan favorit peringkat kedua pada tahun 2020 (72,5%) atau sedikit di bawah platform dompet digital yang memiliki rekognisi sebesar 82,2%.

Di sisi lain, tren positif e-commerce yang kian terakselerasi oleh pandemi turut menjadi pemicu tingginya adaptasi produk paylater di masyarakat. Bukan tanpa alasan, riset yang dirilis oleh ResearchAndMarkets di penghujung 2020 kemarin menyatakan, prediksi pertumbuhan Gross Merchandise Value (GMV) yang bakal mencapai angka US$8,5 miliar di 2028 diperkirakan bakal turut mendongkrak fasilitas paylater sebesar kira-kira 76,7% setiap tahunnya.

Pun dengan halnya riset terbaru yang dirilis oleh Kredivo dan Katadata Insight Center berjudul “Consumer Behavior of E-Commerce Indonesia 2021”, juga menunjukkan peningkatan pengguna paylater, yakni terdapat 55% pengguna baru yang menggunakan fitur paylater Kredivo.

Tingginya penggunaan paylater juga memberikan dampak positif dari sisi supply, di mana fitur tersebut mampu membantu merchant dalam peningkatan AoV (average order value), meningkatkan penjualan dengan menawarkan kredit tanpa kartu kredit, dan juga meningkatkan konversi penjualan dengan mengurangi friksi selama proses belanja.

Sementara paylater sendiri memiliki dua klasifikasi, yaitu: paylater yang dimiliki oleh startup digital (e-commerce, OTA, ride-hailing service, dan lainnya) dan yang kedua adalah layanan paylater yang dimiliki oleh startup fintech. Di Indonesia sudah banyak perusahaan fintech yang menyediakan layanan paylater, implementasinya tidak terbatas, paylater besutan fintech umumnya menjadi platform kredit “online” yang dapat digunakan di mana saja, mulai dari e-commerce, hingga gerai ritel.

 

Collaboration of Startup and Digital Bank to Ramp up Innovation and Financial Inclusion

There was a time when corporations saw startups as a challenge. However, as years passed by, this assumption is getting hazier when the two parties are now collaborating with each other, to complete each other out in winning the market.

In the banking sector, a new phenomenon has occurred, that large startups have started to invest and become majority shareholders in banks that have just transformed into digital banks. For example, Akulaku joined Bank Neo Commerce (BNC), then Gojek invested in Bank Jago, and Sea Group, Shopee’s holding company, which reportedly entered the Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Currently, Akulaku, through PT Akulaku Silvrr Indonesia, is trying to extend ownership in BNC through the rights issue scheme. Therefore, Akulaku’s ownership is to increase from 24.98% to 27.25%. Akulaku has been a shareholder of BNC since 2019.

Moreover, in mid-December 2020, Gojek Group through its subsidiary GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) has invested into Bank Jago in the form of  22% equity at the end of 2020.

Meanwhile, there has not been any confirmation regarding the involvement of Sea Group in BKE. However, there is already strong evidence based on information from the recruitment website which says there is a new placement at “Sea Money-Bank BKE”.

Overseas, the dynamics of digital banks are escalated quickly. For instance, the Monetary Authority of Singapore (MAS) has issued digital bank operating licenses to four corporate groups. The four companies receiving these licenses are (1) Ant Group, a subsidiary of Alibaba Group, (2) the Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel) consortium, (3) the parent Sea Group of Shopee, and (4) a consortium consisting of companies from China, including Greenland Financial Holdings.

Thus, what is the meaning of this synergy between startups and digital banks? How can the synergy between the two be mutually beneficial without breaking the existing rules? The banking sector is a highly regulated sector with high-risk management when it comes to product and service development.

Strong capital and innovation development

Although the terminology for digital banking and the supporting regulations is still unclear, the sign for digital banks has occurred when BTPN launched Jenius. This step was followed by DBS through Digibank. It’s just that Jenius and Digibank are not quite legitimate as digital banks as their business processes are still under the owner’s company.

Therefore, digital banks such as Bank Jago and BNC are experiencing a massive transformation by changing faces and new branding in order to strengthen their position as a digital bank. Bank Jago is a new identity (previously Bank Artos), while BNC was previously named Bank Yudha Bhakti (BYB).

Bank Jago changed the name in June 2020 following its acquisition by a group of investors led by Jerry Ng and Patrick Waluyo through PT Metamorfosis Indonesia (MEI) and Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng is the former President Director of BTPN for a decade and also the person behind the development of Jenius, while Patrick Waluyo is the Co-Founder of Northstar Group, one of the former BTPN owners.

Next, Akulaku became a shareholder in BNC for the first time in March 2019 with 8.9% ownership of the current controlling shareholder, PT Gozco Capital. This fintech platform continues to increase its share ownership to become the controlling shareholder.

In previous reports, Bank Yudha Bhakti’s President Director, Tjandra Gunawan emphasized that his team is transferring the entire work process and business model from a conventional bank to digital, including the existence of branch offices with limited numbers.

In developing internal human resources, BNC recruited many talents in the technology sector, assisted by the collaboration of two giant technology companies, namely Huawei and Sunline.

In recent contact with DailySocial, Gunawan highlighted that BNC is trying to come up with a different positioning through its collaboration with Akulaku. It will target the retail and MSME segments through a number of digital banking products.

“Akulaku as one of the shareholders in BNC is a fintech company that focuses on e-commerce, B2B financing, and other digital financings, therefore, BNC and Akulaku is to combine market segments in the future,” said Tjandra.

Meanwhile, it is still unclear why Sea Group entered through BKE. If it is true, it is possible that BKE will have the same fate as the two banks mentioned above, coming with a new identity. It seems difficult to move forward without a new identity for legacy companies looking to undertake a major transformation.

Product development and integration to the ecosystem

The involvement of Gojek, Akulaku, and Shopee (Sea Group) has the same common thread, namely efforts to integrate innovation into a digital service ecosystem for people who are yet to be exposed to banking services.

Banks are a business of trust, while digital platforms have the strength in technological innovation. In this case, banks can push financial services into a broader platform services ecosystem with a large customer base.

Gojek already has an A to Z service ecosystem. Likewise, Shopee, according to iPrice data, is the e-commerce with the largest monthly visitors in Indonesia in the first quarter of 2020. Meanwhile, Akulaku is targeting a comprehensive financial ecosystem, from marketplaces, P2P lending, to financing.

Quoting KrAsia, Akulaku’s CEO, William Li said that the potential of digital banking in Southeast Asia is enormous. “There are 400 million workers, but only 5% -10% are using digital banking services. That means, we have 300 million potential customers,” Li said. He thought, if Akulaku can work on around 5% -10% of the market share, the company could potentially reap greater achievements.

In terms of technology, Tjandra also said that his team would optimize technology development and digitization of the loan origination system and online financing related to granting approval and lending. In the future, this coordination and integration can become a pilot ecosystem that can be replicated to other marketplaces.

In addition, BNC will develop open banking in the payment system through the formulation of Open API Standards, therefore, the transaction and identification process will be more seamless. “This is a piloting project of the digital product on Akulaku platform as well as the use of the BNC Virtual Account to make it easier for customers to make payments,” Gunawan added.

Platform Category Service Ecosystem User/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 million (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 million (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 million (2020)

Meanwhile, Gojek’s Chief Corporate Affairs, Nila Marita revealed that Gojek and Bank Jago are currently preparing a synergy for digital banking services. This is in line with the company’s efforts to increase financial inclusion at all levels of society.

Based on reports from Google, Temasek, and Bain & Company, as many as 52% or around 95 million adults in Indonesia do not have bank accounts and more than 47 million adults do not have adequate access to credit, investment, and insurance. On the other hand, smartphone penetration in Indonesia has reached up to 70% -80%. This indicates that the Indonesian people are ready to accept digital banking services.

“The number is quite large of people who do not have a bank account in Indonesia. Therefore, Gojek and Bank Jago will provide digital banking services on the Gojek platform to facilitate access to financial services,” she told DailySocial.

Referring to this, collaboration between startups and digital banks can encourage penetration of financial inclusion. One use case is that the digital platform can be a front-end channel for opening an online account. This is what Gojek and Bank Jago are currently preparing as their initial synergy plan. A number of banks in Indonesia have implemented a similar concept, such as opening a BRI online account on the Grab platform.

By utilizing the platform as an entry point, the public can be exposed to the integrated platform service ecosystem. Bank Jago can take advantage of the Gojek service ecosystem to increase its service penetration, as well as BNC-Akulaku and Sea Group-BKE. This means that the government’s efforts to encourage financial inclusion at all levels of society can be realized more quickly.

The next step is technology transfer. This is an expensive price to pay to leverage the technological innovations that have been built by Gojek, Shopee, and Akulaku. It will be free to develop innovations than to work together without investment commitments.

However, considering the current regulations have not accommodated digital banks, financial innovation players are still waiting and wondering about the limitations and potentials for future business development.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Memahami fenomena Gojek berinvestasi ke Bank Jago, Akulaku ke Bank Neo Commerce, dan Sea Group ke BKE dalam memperkuat inovasi dan inklusi keuangan / Pexels

Kolaborasi Startup dan Bank Digital untuk Memperkuat Inovasi dan Inklusi Keuangan

Ada masa di mana korporasi sempat menganggap eksistensi startup sebagai sebuah tantangan. Namun, dari tahun ke tahun, anggapan ini makin kabur tatkala kedua pihak kini saling berkolaborasi, mengisi satu sama lain untuk memenangkan pasar.

Di sektor perbankan, fenomena baru yang terjadi adalah startup besar mulai berinvestasi dan menjadi pemegang saham mayoritas di bank-bank yang baru bertransformasi menjadi bank digital. Misalnya, Akulaku masuk ke Bank Neo Commerce (BNC), lalu Gojek berinvestasi ke Bank Jago, dan Sea Group, induk usaha Shopee, yang kabarnya masuk ke Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE).

Saat ini Akulaku, melalui PT Akulaku Silvrr Indonesia, tengah berupaya meningkatkan kepemilikan sahamnya di BNC lewat skema right issue. Dengan aksi ini, kepemilikan Akulaku bakal naik dari 24,98% menjadi 27,25%. Adapun Akulaku telah masuk menjadi pemegang saham BNC sejak 2019.

Kemudian, pada pertengahan Desember 2020, Gojek Group melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) menyuntikkan investasi ke Bank Jago berupa penyertaan saham sebesar 22% pada akhir 2020.

Sementara itu, belum ada konfirmasi apapun mengenai keterlibatan Sea Group di BKE. Namun, sudah ada bukti kuat berdasarkan informasi dari laman perekrutan yang menyebutkan ada penempatan baru di “Sea Money-Bank BKE”.

Di luar negeri, dinamika bank digital sudah berjalan cepat. Ambil contoh, Otoritas Moneter Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) telah menerbitkan izin operasi bank digital kepada empat kelompok perusahaan. Keempat perusahaan penerima lisensi ini adalah (1) Ant Group anak usaha Alibaba Group, (2) konsorsium Grab-Singapore Telecommunication Limited (Singtel), (3) Sea Group induk dari Shopee, dan (4) konsorsium yang terdiri dari perusahaan asal Tiongkok, termasuk Greenland Financial Holdings.

Lalu, apa arti dari sinergi antara startup dan bank digital ini? Bagaimana sinergi keduanya bisa saling menguntungkan tanpa menerobos aturan yang ada? Sektor perbankan adalah high regulated sector yang memiliki manajemen risiko tinggi jika bicara pengembangan produk dan layanan.

Permodalan kuat dan pengembangan inovasi

Meski belum jelas terminologi bank digital dan regulasi yang mendukung, cikal bakal menuju bank digital sebetulnya sudah muncul ketika BTPN meluncurkan Jenius. Langkah ini kemudian diikuti DBS melalui Digibank. Hanya saja, Jenius dan Digibank belum sahih dikatakan sebagai bank digital karena proses bisnisnya masih berada di atap perusahaan empunya.

Untuk itu bank-bank digital seperti Bank Jago dan BNC melakukan transformasi besar-besaran dengan berganti wajah dan branding baru demi mengokohkan posisinya sebagai bank digital. Bank Jago adalah identitas baru dari nama sebelumnya Bank Artos, sedangkan BNC sebelumnya bernama Bank Yudha Bhakti (BYB).

Pergantian nama Bank Jago pada Juni 2020 menyusul aksi akuisisinya oleh grup investor yang dipimpin Jerry Ng dan Patrick Waluyo lewat PT Metamorfosis Indonesia (MEI) dan Wealth Track Technology (WTT). Jerry Ng adalah eks Direktur Utama BTPN selama satu dekade yang juga orang di balik pengembangan inovasi Jenius, sedangkan Patrick Waluyo merupakan Co-Founder Northstar Group, salah satu mantan pemilik BTPN.

Kemudian, Akulaku masuk menjadi pemegang saham di BNC pertama kali pada Maret 2019 dengan kepemilikan 8,9% dari pemegang saham pengendali saat itu PT Gozco Capital. Platform fintech ini terus menambah kepemilikan sahamnya untuk menjadi pemegang saham pengendali.

Dalam pemberitaan sebelumnya, Direktur Utama Bank Yudha Bhakti Tjandra Gunawan telah menegaskan bahwa pihaknya mengalihkan keseluruhan proses kerja dan model bisnis sebagai bank konvensional menjadi digital, tak terkecuali keberadaan kantor cabang yang jumlahnya bakal dibatasi.

Untuk memperkuat SDM di internal, BNC bahkan merekrut banyak talent di bidang teknologi dan turut dibantu kerja sama oleh dua perusahaan teknologi raksasa, yakni Huawei dan Sunline.

Dihubungi DailySocial baru-baru ini, Tjandra kembali menegaskan bahwa BNC berupaya hadir dengan positioning yang berbeda melalui kolaborasinya dengan Akulaku. Pihaknya akan menyasar segmen ritel dan UMKM melalui sejumlah produk digital banking.

“Akulaku sebagai salah satu pemegang saham di BNC adalah perusahaan fintech yang berfokus pada e-commerce, financing B2B, dan pembiayaan digital lainnya, sehingga ke depannya BNC dan Akulaku akan melakukan kombinasi segmen pasar,” ujar Tjandra.

Sementara itu, belum diketahui alasan Sea Group masuk melalui BKE. Jika ini benar, bisa jadi BKE akan bernasib sama seperti dua contoh bank di atas, yakni hadir dengan identitas baru. Tampaknya, akan sulit untuk maju tanpa identitas baru bagi perusahaan legacy yang ingin melakukan transformasi besar-besaran.

Pengembangan produk dan integrasi ke ekosistem layanan

Keterlibatan Gojek, Akulaku, dan Shopee (Sea Group) memiliki benang merah yang sama, yakni upaya untuk memadukan inovasi terhadap ekosistem layanan digital bagi masyarakat yang masih banyak belum terpapar layanan perbankan.

Bank merupakan bisnis kepercayaan, sedangkan platform digital memiliki kekuatan pada inovasi teknologi. Dalam hal ini, bank bisa mendorong layanan keuangan masuk ke dalam ekosistem layanan platform yang lebih luas dengan basis pelanggan besar.

Gojek telah memiliki ekosistem layanan dari A sampai Z. Demikian juga Shopee yang menurut data iPrice merupakan e-commerce dengan pengunjung bulanan terbesar di Indonesia pada kuartal pertama 2020. Sementara Akulaku membidik ekosistem keuangan yang komprehensif, mulai dari marketplace, P2P lending, hingga pembiayaan.

Mengutip KrAsia, CEO Akulaku William Li mengatakan bahwa potensi perbankan digital di Asia Tenggara sangat besar. “Kami melihat ada 400 juta pekerja, tetapi hanya 5%-10% yang menggunakan layanan perbankan digital. Artinya, kami punya 300 juta pelanggan potensial,” tutur Li. Menurutnya, apabila Akulaku dapat menggarap sekitar 5%-10% dari pangsa pasar tersebut, perusahaan dapat berpotensi meraup pencapaian yang lebih besar.

Dari sisi teknologi, Tjandra juga menyebutkan bahwa pihaknya akan mengoptimalkan pengemba ngan teknologi dan digitalisasi loan origination system dan online financing terkait pemberian persetujuan dan penyaluran kredit. Ke depannya, kordinasi dan integrasi ini dapat menjadi percontohan ekosistem yang bisa direplikasi ke marketplace lain.

Selain itu, BNC akan mengembangkan open banking di sistem pembayaran melalui perumusan Standar Open API sehingga proses transaksi dan identifikasi akan lebih seamless. “Ini merupakan piloting project produk digital di platform Akulaku serta untuk penggunaan BNC Virtual Account guna yang memudahkan customer melakukan pembayaran,” tambah Tjandra.

Platform Kategori Ekosistem Layanan Pengguna/Visitor
Gojek Ride-hailing
  • Food Delivery & Shopping

(GoFood, GoShop, GoMart, GoMall

  • News and Entertainment

(GoTix, GoPlay, GoGames)

  • Payments

(GoPay, GoInvestasi, GoPulsa)

  • Transport & Logistics

(GoCar, GoRide, GoSend, GoBox)

29,2 juta (Nov 2019)
Shopee E-commerce
  • Shopping

(Shopee Mall, Shopee Mart)

  • Payments

(Shopee Pay, Shopee PayLate)

  • Logistics

 (Dikelola Shopee)

71,5 juta (Q1 2020)
Akulaku Fintech
  • Marketplace
  • P2P Lending
  • Multifinance
6 juta (2020)

Sementara itu, Chief Corporate Affairs Gojek Nila Marita mengungkap bahwa Gojek dan Bank Jago saat ini tengah mempersiapkan sinergi layanan perbankan digital. Hal ini sejalan dengan upaya perusahaan untuk meningkatkan inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat.

Berdasarkan laporan Google, Temasek, and Bain & Company, sebanyak 52% atau sekitar 95 juta penduduk dewasa di Indonesia tidak memiliki rekening bank dan lebih dari 47 juta penduduk dewasa tidak memiliki akses memadai kepada kredit, investasi, dan asuransi. Di sisi lain, penetrasi smartphone di Indonesia telah mencapai hingga 70%-80%. Ini menandakan masyarakat Indonesia sudah siap untuk menerima layanan perbankan digital.

“Jumlah penduduk yang belum memiliki rekening bank masih sangat banyak di Indonesia. Maka itu, Gojek bersama Bank Jago akan menyediakan layanan perbankan digital di platform Gojek untuk memudahkan akses terhadap layanan keuangan,” ujarnya kepada DailySocial.

Mengacu pada hal tersebut, kolaborasi startup dan bank digital dapat mendorong penetrasi inklusi keuangan. Salah satu use case-nya adalah platform digital bisa menjadi front-end channel untuk pembukaan rekening online. Inilah yang tengah disiapkan Gojek dan Bank Jago sebagai rencana sinergi awal mereka. Konsep serupa sebetulnya sudah diterapkan sejumlah bank di Indonesia, seperti pembukaan rekening online BRI di platform Grab.

Dengan memanfaatkan platform sebagai jalan masuk, masyarakat dapat terpapar oleh ekosistem layanan platform yang terintegrasi. Bank Jago dapat memanfaatkan ekosistem layanan Gojek untuk meningkatkan penetrasi layanannya, demikian juga berlaku pada BNC-Akulaku dan Sea Group-BKE. Ini berarti upaya pemerintah untuk mendorong inklusi keuangan di seluruh lapisan masyarakat bisa semakin cepat terealisasi.

Langkah selanjutnya adalah transfer teknologi. Ini merupakan harga mahal yang harus dibayar untuk me-leverage inovasi teknologi yang telah dibangun oleh Gojek, Shopee, dan Akulaku. Akan lebih leluasa mengembangkan inovasi ketimbang bersinergi tanpa komitmen investasi.

Namun, mengingat regulasi yang ada saat ini belum mengakomodasi bank digital, pemain inovasi keuangan masih wait and see tentang limitasi dan potensi-potensi pengembangan bisnis di masa mendatang.