Tag Archives: William Notowidagdo

Amartha Accelerates Product Innovation, Acqui-hiring Surabaya Based Software House

P2p lending startup Amartha announced an acquisition of a Surabaya based software company, Twiscode (PT Dapur Rumah Sejahtera) with an undisclosed value. Twiscode talents will join Amartha’s engineer team to accelerate product and technology development plans.

Amartha‘s Chief Commercial Officer, Hadi Wenas explained to DailySocial, the company is currently in need for engineer talent to proceed with innovation and expansion plans after securing the latest fund. Twiscode is considered a perfect fit for the business’ demand.

Moreover, both companies maintain adequate relationship through several collaborations, therefore, Twiscode’s talents have proven reputation and quality. “As we’ve already work together, the chemistry is there, they also want to be part of Amartha to realize the mission,” Wenas said.

Amartha’s Senior Vice President of Engineering, William Notowidagdo added, the pandemic and the work from home (WFH) policy have proven the fact that digital talent demand can be fulfilled without having to rely only to Jakarta’s supply.

“Today’s local talents throughout Indonesia have the same opportunity to contribute to startups like Amartha,” he said. After the acquisition, the entire Twiscode team of 47 people became part of Amartha’s R&D office, named “Amartha Development Center Surabaya”.

Technology development plans

Wenas also mentioned a lot of technological scope at Amartha that could be improved. They are currently focusing on three segments from lender, internal and borrower.

For example, in terms of lender, every one lender will be possible to fund each project in Amartha starting from Rp100 thousand from the previous minimum rate of Rp5 million. “Furthermore, there are some things can be accelerated from the lender registration and verification in the future.”

Moreover, in the internal side, as 1/3 of the borrowers do not have a smartphone, Amartha requires a field officer for the verification process and fund disbursement through a separate application. The company is to launch the latest technology for cashless loan disbursement.

“We want to increase our coverage field officers, therefore, increase their productivity.”

William mentioned another technology to assist borrower verification and attendance is to provide a face recognition feature, enough with the manual process using signature. This solution is to overcome the field conditions, where most of these borrowers are illiterate and whose fingerprints unrecognized using a biometric machine.

To comply with TKB, aside from field officers and absenteeism, Amartha applies four groups with 92 parameters for credit scoring, including business parameters, demographics, ability to pay, and willingness to pay. All of these parameters are made specifically for the underserved segment, it will be different from most p2p players.

“Our survey is not whether he can pay or not, but a survey based by looking at the house condition, for example whether they’re using LPG or kerosene, the presence of refrigerator, dirt or tile based floor, and so on. In the future, we will definitely evolve.”

One of the popular scoring parameters is borrowers’ awareness towards smartphone. The one supporting factor is for the children to study. This should gradually made the increase of social media awarness to borrowers.

“When social media usage increases, we will attit with 92 parameters considering that digital adoption in the village will increase in the future,” Wenas said.

The company released Amartha Plus with three features, Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, and Amartha Pulsa/PPOB. In the first feature, the company becomes a financial partner for paylater products for stall partners registered in the Sampoerna Retail Community (SRC) network. This collaboration allows SRC’s stall partners to pay the due date for each stock purchase.

Next, for the Warung Loan Mitra, it allows stall partners in the Amartha network to purchase FMCG product stocks wholesale through Tanihub, company’s agritech partner. Currently, it has available at 11 points in East Java, there are more than 100 partners shop regularly, and offering more than 4 thousand SKUs .

Last, Amartha Pulsa, whose service is more straight forward for balance top-up and PPOB. This service has been used in 93 points out of 497 Amartha network points.

The growth of fintech lending

Indonesia’s fintech lending statistic per May 2021 / OJK

Throughout 2021, the fintech lending industry continues to growth rapidly. Based on OJK’s statistics as of May 2021, there are 118 conventional and 9 sharia fintech lending providers. The total assets owned reach 4.1 trillion Rupiah. The platforms also managed to accommodate around 8.7 million lender accounts (p2p) channeling 13.8 trillion Rupiah of funds.

In order to maximize this momentum, the company has taken a number of strategic actions. Most recently, they appointed former Minister of Communication and Information Rudiantara as Commissioner. In June 2021, they received 107 billion Rupiah investment from Norfund which is an institution owned by the Norwegian government. It follows the previous round of IDR 405 billion led by WWB Capital Partners II and MDI Ventures.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Amartha Akuisisi Twiscode

Percepat Inovasi Produk, Amartha “Acquihire” Perusahaan Piranti Lunak Asal Surabaya

Startup p2p lending Amartha mengumumkan acquihire terhadap perusahaan piranti lunak asal Surabaya Twiscode (PT Dapur Rumah Sejahtera) dengan nilai dirahasiakan. Talenta Twiscode sepenuhnya akan bergabung sebagai tim engineer Amartha untuk mempercepat rencana pengembangan produk dan teknologi.

Kepada DailySocial, Chief Commercial Officer Amartha Hadi Wenas menjelaskan, perusahaan membutuhkan talenta engineer dalam waktu cepat untuk merealisasikan seluruh rencana inovasi dan ekspansi Amartha pasca-mengantongi pendanaan. Pihaknya melihat Twiscode memenuhi seluruh kriteria yang dibutuhkan perusahaan.

Terlebih itu, keduanya memiliki relasi bisnis yang cukup baik lewat sejumlah kerja sama yang pernah dijalin sebelumnya, sehingga reputasi dan kualitas talenta Twiscode telah terbukti. “Karena kami sudah saling kenal jadi ada chemistry, mereka pun ingin jadi bagian dari Amartha untuk mewujudkan misi itu,” ucap Wenas.

Senior Vice President of Engineering Amartha William Notowidagdo menambahkan, pandemi dan tren work from home (WFH) menjadi pembuktian bahwa pemenuhan talenta digital dapat dilakukan tidak harus bergantung lagi pada suplai di Jakarta saja.

“Sekarang talenta di daerah juga punya kesempatan yang sama untuk berkontribusi di startup seperti Amartha,” ucapnya. Setelah acquihire, seluruh tim Twiscode yang berjumlah 47 orang menjadi bagian dari kantor R&D Amartha, dinamai “Amartha Development Center Surabaya”.

Rencana pengembangan teknologi

Wenas melanjutkan masih banyak ruang lingkup teknologi di Amartha yang bisa ditingkatkan jadi lebih baik. Di Amartha sendiri ada tiga segmen teknologi yang difokuskan, yakni dari sisi lender, internal, dan borrower.

Misalnya, untuk segmen lender, nantinya memungkinkan per lender dapat mendanai setiap proyek di Amartha mulai dari Rp100 ribu dari sebelumnya minimal Rp5 juta. “Lalu dari registrasi lender dan verifikasinya ada yang bisa lebih dipercepat lagi ke depannya.”

Kemudian, dari sisi internal, karena 1/3 borrower belum memiliki smartphone, maka Amartha membutuhkan kehadiran field officer untuk proses verifikasi dan pencairan dana yang dibantu lewat aplikasi tersendiri. Teknologi teranyar yang tengah disiapkan adalah proses pencairan dana pinjaman secara cashless.

“Kami ingin meningkatkan coverage field officer kami sehingga produktivitas mereka jadi lebih tinggi.”

William menyebutkan teknologi lainnya untuk membantu verifikasi dan absensi borrower adalah menghadirkan fitur face recognition, tidak lagi harus proses manual dengan tanda tangan. Solusi ini untuk mengatasi kondisi di lapangan, yang mana para borrower ini mayoritas buta aksara dan sidik jari yang tidak bisa terbaca bila memakai mesin biometrik.

Dalam menjaga TKB, selain memanfaatkan kehadiran field officer dan absensi, Amartha menerapkan empat grup dengan 92 parameter untuk skoring kredit, di antaranya parameter bisnis, demografis, kemampuan untuk bayar, dan kemauan untuk bayar. Seluruh parameter ini dibuat khusus untuk segmen underserved, sehingga berbeda dengan pemain p2p kebanyakan.

“Jadi survei kita itu bukan dia bisa bayar atau enggak, tapi dari survei dengan melihat kondisi rumahnya, misalnya pakai LPG atau minyak tanah, ada kulkas atau tidak, lantai rumahnya masih tanah atau ubin, dan sebagainya. Ke depannya pasti akan kita evolve.”

Salah satu parameter skoring yang tengah melonjak adalah awareness borrower terhadap kebutuhan smartphone. Faktor penunjangnya tak lain untuk anak-anak para peminjam untuk sekolah. Kebutuhan tersebut lambat laun membuat kesadaran borrower terhadap media sosial meningkat.

“Ketika usage media sosial naik, akan kita kawinkan dengan 92 parameter mengingat adopsi digital di desa bakal meningkat ke depannya,” pungkas Wenas.

Perusahaan merilis Amartha Plus dengan tiga fitur, yakni Warung Loan Non Mitra, Warung Loan Mitra, dan Amartha Pulsa/PPOB. Pada fitur pertama, perusahaan menjadi mitra finansial produk paylater untuk mitra warung yang masuk dalam jaringan Sampoerna Retail Community (SRC). Kerja sama ini memungkinkan mitra warung SRC dapat membayar tempo untuk setiap belanja stok.

Berikutnya untuk fitur Warung Loan Mitra, memungkinkan mitra warung di jaringan Amartha dapat melakukan pembelian stok produk FMCG secara grosir melalui Tanihub, mitra agritech yang digandeng perusahaan. Terhitung saat ini telah beroperasi di 11 poin di Jawa Timur, ada lebih dari 100 mitra yang belanja secara rutin, dan tersedia lebih dari 4 ribu SKU.

Terakhir adalah Amartha Pulsa yang layanannya lebih straight forward untuk pembelian pulsa dan PPOB. Layanan ini sudah dipakai di 93 poin dari 497 poin jaringan Amartha.

Perkembangan fintech lending

Statistik Fintech Lending Indonesia Mei 2021 / OJK

Sepanjang tahun 2021 ini, industri fintech lending masih terus memperlihatkan geliat pertumbuhan. Menurut data statistik OJK per Mei 2021, ada 118 penyelenggara fintech lending konvensional dan 9 syariah. Secara total, total aset yang dimiliki mencapai 4,1 triliun Rupiah. Para platform juga berhasil mengakomodasi sekitar 8,7 juta rekening pemberi pinjam (p2p) menyalurkan dana 13,8 triliun Rupiah.

Untuk memaksimalkan momentum tersebut, sejumlah aksi strategis telah dilakukan. Teranyar mereka menunjuk mantan Menkominfo Rudiantara sebagai Komisaris. Pada Juni 2021 lalu mereka juga baru mendapatkan investasi 107 miliar Rupiah dari Norfund yang merupakan lembaga milik pemerintah Norwegia. Ini melanjutkan perolehan sebelumnya senilai 405 miliar Rupiah dari putaran yang dipimpin WWB Capital Partners II dan MDI Ventures.

Application Information Will Show Up Here