Tag Archives: wimboh santoso

Aturan Bank Digital

POJK Baru Meredefinisi BUKU, Perlebar Peluang Perbankan Kecil Jadi Bank Digital

Setelah dinanti-nanti, OJK mengeluarkan tiga aturan baru untuk mendukung industri perbankan lebih efisien, berdaya saing, dan adaptif terhadap kebutuhan masyarakat.

Tiga POJK itu adalah POJK No.12/POJK.03/2021 tentang Bank Umum, POJK No.13/POJK.03/2021 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum, dan POJK No.14/POJK.03/2021 tentang Perubahan POJK No.34/POJK.03/2018 tentang Penilaian Kembali Pihak Utama Lembaga Jasa Keuangan.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso mengatakan, ketiga POJK ini diterbitkan untuk menyesuaikan kebutuhan seiring dinamika global, perubahan lanskap, dan ekosistem perbankan. [..] sehingga diperlukan penerapan pola pengaturan berbasis prinsip (principle based) agar peraturan lebih fleksibel (agile) dan mengantisipasi perubahan ke depan (forward looking) serta menjadi acuan yang menjaga kesinambungan operasi industri,” ucapnya dalam keterangan resmi, Kamis (19/8).

POJK Bank Umum mempertegas pengertian bank digital, yakni bank yang saat ini telah melakukan digitalisasi produk dan layanan (incumbent), ataupun melalui pendirian bank baru yang langsung berstatus bank digital menyeluruh (full digital banking).

“Namun tidak mendikotomikan antara bank yang telah memiliki layanan digital,bank digital hasil transformasi dari bank incumbent, ataupun bank digital yang terbentuk melalui pendirian bank baru (full digital bank). Bagaimanapun bank tetaplah bank, bank is bank,” ucap Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana.

Dengan kata lain, sesuai dengan Undang-Undang mengenai perbankan yang berlaku saat ini, tetap dikenal dua jenis bank, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Regulator tidak mendefinisikan bank digital sebagai suatu bank jenis baru.

Dia melanjutkan, POJK Bank Umum dan POJK Penyelenggaraan Produk Bank Umum pada dasarnya bukan memberikan beban baru pada industri perbankan nasional, melainkan memberikan landasan lebih baik dalam menjalankan bisnis, terutama di tengah pandemi Covid-19.

POJK 12 tentang Bank Umum

Dalam POJK 12 ini lebih menitikberatkan pada:

  1. Persyaratan pendirian bank baru dan aspek operasional. Hal tersebut mencakup pada penyederhanaan dan percepatan perizinan pendirian bank, jaringan kantor, pengaturan proses bisnis termasuk layanan digital ataupun pendirian bank digital.
  2. Mendorong perbankan, khususnya bank berbadan hukum Indonesia, untuk saling bersinergi dalam rangka peningkatan efisiensi dan perluasan layanan.
  3. Mendorong kelompok usaha bank (KUB) lewat konsolidasi menjadi pilihan menguntungkan bagi bank, termasuk bank yang belum memenuhi modal inti minimum Rp3 triliun.
  4. Penguatan aturan dengan meningkatkan persyaratan modal menjadi sebesar Rp10 triliun untuk pendirian bank baru, baik dengan model bisnis bank tradisional, maupun pendirian bank yang digital sepenuhnya.
  5. Meredefinisi pengelompokan bank berdasarkan modal inti (KBMI), tidak lagi menggunakan BUKU (bank umum kegiatan usaha).
Pengelompokan Modal Inti
KBMI 1 ≤ Rp6 triliun
KBMI 2 Rp6 triliun s/d  ≤ Rp14 triliun
KBMI 3 Rp14 triliun s/d ≤ Rp70 triliun
KBMI 4 ≥ Rp70 triliun
Bank Digital Wajib punya minimum satu kantor pusat
Pendirian bank Modal disetor minimum Rp10 triliun
Penyesuaian ketentuan setelah pemberlakuan KBMI
BUKU 1 dapat disetarakan dengan KBMI 1
BUKU 2 dapat disetarakan dengan KBMI 2
BUKU 3 dapat disetarakan dengan KBMI 2 atau KBMI 3
BUKU 4 dapat disetarakan dengan KBMI 3 atau KBMI 4

Redefinisi ini tidak memengaruhi kinerja perbankan existing karena tidak mengurangi cakupan kegiatan usaha. Justru bagi bank kecil, KBMI ini menjadi pemulus rencana mereka yang ingin menjadi bank digital. Di aturan sebelumnya dalam BUKU 1, mereka tidak diperbolehkan masuk ke ranah digital. Asalkan mereka tetap menyesuaikan permodalan minimal Rp3 triliun untuk bank digital hasil konversi.

POJK 13 tentang Penyelenggaraan Produk Bank Umum

Adapun untuk POJK ini menitikberatkan pada:

  1. Penguatan dalam perizinan dan penyelenggaraan produk bank dari semula menggunakan pendekatan modal inti (capital-based approval) menjadi pendekatan berbasis risiko (risk-based approval).
  2. Memberikan ruang kepada bank untuk lebih inovatif dalam menerbitkan produk dan layanan digital tanpa mengabaikan aspek prudensial.
  3. Mengatur mulai dari perencanaan, penyelenggaraan, hingga penghentian produk bank.
  4. Mempercepat proses perizinan produk bank, baik melalui penyederhanaan klasifikasi produk (dasar dan lanjutan) serta termasuk penyelenggaraannya antara lain melalui piloting review dan instant approval, untuk menciptakan level playing of field yang sama dalam industri perbankan.

Sebelumnya, OJK mencatat ada tujuh bank dalam proses go-digital yakni Bank BCA Digital, BRI Agroniaga, Bank Neo Commerce, Bank Capital, Bank Harda Internasional, Bank QNB Indonesia, dan KEB HanaBank. Selain itu, ada lima bank yang mengaku sudah menjadi bank digital. Mereka adalah Bank Jago, Jenius dari Bank BTPN, Wokee dari Bank Bukopin, Digibank dari Bank DBS, dan TMRW dari Bank UOB.

Gambar Header: Depositphotos.com

OJK merilis laman mini bernama Gerbang Elektronik Sistem Informasi Keuangan Digital (Gesit) sebagai media interaksi OJK, penyelenggara IKD, dan masyarakat

OJK Rilis “Gesit”, Permudah Pantau Pemain Fintech

Otoritas Jasa Keuangan merilis laman mini di portal OJK bernama Gerbang Elektronik Sistem Informasi Keuangan Digital (Gesit) sebagai media interaksi antara OJK, penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD), dan masyarakat. Peluncuran ini sekaligus merayakan hari jadinya OJK Infinity yang pertama.

Laman mini ini merupakan bentuk awal dari pengembangan supervisory technology (SupTech) untuk IKD. SupTech adalah pendekatan baru OJK dalam mengawasi industri jasa keuangan dengan memanfaatkan teknologi. IKD menjadi tahap pertama yang akan diawasi OJK dengan cara ini.

“SupTech ditujukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemantauan terhadap penyelenggara terkait aspek, kepatuhan terhadap aturan yang berlaku,” kata Wakil Ketua OJK Nurhaida saat meresmikan Gesit, Selasa (3/9).

Laman Gesit berisi agenda kegiatan dan pengumuman terkait IKD dan data statistik seputar keuangan digital. Statistik ini meliputi grafik jumlah permohonan pencatatan penyelenggara IKD, klaster IKD tercatat, dan data pencatatan dan regulatory sandbox IKD.

Seluruh informasi di atas akan secara berkala diperbarui datanya, harapannya seluruh masyarakat dan industri bisa saling terinfo satu sama lain mengenai perkembangan IKD.

Di samping itu, Gesit juga mengakomodir kebutuhan pelaku IKD yang ingin tercatat di OJK dengan registrasi secara online, atau ingin reservasi untuk kebutuhan konsultasi, ruang meeting, coworking space, dan group visit.

Gesit merupakan bagian dari OJK Infinity, sebuah inisiasi regulator untuk mendekatkan diri dengan publik yang ingin cari tahu tentang fintech. Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menambahkan, OJK Infinity telah menjadi forum bagi para pelaku industri fintech baik di Indonesia maupun mancanegara, melalui diskusi serta kolaborasi antara regulator dan inovator dalam rangka pengembangan IKD.

Dia mencontohkan, regulator telah bekerja sama dengan otoritas di Singapura, Monetary Authority of Singapore (MAS), dan dalam waktu dekat segera bekerja sama dengan badan pengawas pasar modal Malaysia, Securities Commission.

“OJK juga sedang melakukan pembahasan mekanisme kerja sama dengan Japan Financial Services Authority,” tambahnya.

Sejak pertama kali diperkenalkan pada Agustus 2018, OJK Infinity telah melayani 397 konsultasi dan menerima lebih dari 800 pengunjung, terdiri dari pelaku IKD, pelaku jasa keuangan, pemerintah, akademisi, dan pemangku kepentingan lainnya.

Berdasarkan data statistik terkini di OJK, terdapat 48 penyelenggara IKD yang telah mengantongi status tercatat di bawah POJK 13/2018. 34 penyelenggara diantaranya ditetapkan sebagai contoh model untuk diuji coba dalam regulatory sandbox dari 120 permohonan yang masuk di OJK.

48 penyelenggara IKD ini terbagi menjadi 15 klaster, dengan rincian berikut beserta nama penyelenggaranya:

1. Agregator : Alami, CekAja, Cermati, Disitu, MoneyZ, Lifepal, Waqara, Kreditpedia, GoBear, Dokter Dana, Pinjaman Pedia, Bandingin, Cashcash Pro, Pinjamania
2. Credit scoring: Acura Labs, Avatec, Trusting Social Indonesia (TSI), Tongdun
3. Claim service handling: Qoala, Biru
4. Digital DIRE: PropertiLord
5. Financial planner: Halofina, Finansialku, Funtastic, Pede, Arkara Finance, PayOK
6. Financial agent: Hijra, Vospay, Bantoe, GIVB
7. Funding agent: eFunding
8. Online distress solution: Amalan
9. Online gold depository: Indogold
10. Project financing: Kerjasama, Likuid, Propertree, Inspecro, Kandang.in
11. Social network and robo advisor: Stockbit
12. Block-chain based: Alumnia, iGrowChain, Biosphere, AfterOil
13. Verification non-CDD: Iluma
14. Tax and accounting: Jurnal
15. e-KYC: Privy.id

Deputi Komisioner OJK Institute Sukarela Batunanggar menegaskan seluruh perusahaan di atas akan diuji bersama dalam regulatory sandbox. Nanti akan keluar hasil rekomendasi apakah model bisnis mereka bisa dilanjutkan atau ada yang perlu diperbaiki.

“Daftar di atas adalah batch I, kita sudah buka batch ke-2 dan tercatat ada 28 penyelenggara yang mencatatkan diri. Yang terpilih ada 13 penyelenggara yang masuk ke regulatory sandbox. Sekarang kita sudah masuk ke batch 3,” tutup Sukarela.

OJK dan MAS membentuk satuan kerja khusus menangani inovasi dan layanan jasa keuangan.

Regulator Indonesia dan Singapura Kolaborasi Kembangkan Industri Fintech

Pemerintah Indonesia dan Singapura menapaki langkah selanjutnya dalam kemitraan pengaturan layanan teknologi finansial (fintech). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Monetary Authority of Singapore (MAS) telah menandatangani kerja sama untuk pengembangan industri fintech di kedua negara.

Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menjelaskan, kerja sama ini merupakan tindak lanjut pertemuan sebelumnya antara dua otoritas yang membahas usaha peningkatan inovasi dan layanan keuangan di negara masing-masing. OJK dan MAS membentuk satuan kerja khusus menangani inovasi dan layanan jasa keuangan.

“Nota kesepahaman ini merupakan formalisasi dari kesepakatan kesepahaman dalam menjalankan koordinasi dan kerja sama kedua institusi,” terang Wimboh.

Beberapa poin yang menjadi fokus kerja sama OJK dan MAS antara lain, mekanisme rujukan institusi fintech antara kedua negara, potensi proyeksi inovasi bersama, kolaborasi industri fintech dan pertukaran informasi terkait tren dan perkembangan pasar fintech, dan yang terakhir mengenai peraturan dan perkembangan regulatory sandbox.

“Singapura dan Indonesia memiliki sektor fintech yang semarak, dan MAS dan OJK memiliki minat yang sama dalam mempromosikan inovasi dalam layanan keuangan untuk meningkatkan inklusi keuangan di kawasan ini. MoU ini menyajikan peluang bagus untuk memperkuat upaya lalu lintas batas untuk mempromosikan ekosistem fintech di ASEAN,” ujar Managing Director MAS Ravi Menon.

Kerja sama otoritas ini diharapkan mampu membuat kerangka kerja yang dapat membantu perusahaan-perusahaan fintech dari kedua negara untuk dapat memahami aturan dan peluang di setiap yuridiksi dan dapat menurunkan “barriers of entry” bagi perusahaan fintech yang ingin masuk ke salah satu pasar.

Di tengah perkembangan industri fintech di Indonesia OJK juga aktif dalam merumuskan regulasi dan kerja sama dengan pihak-pihak yang dapat mendukung perkembangan fintech di Indonesia. Salah satu contohnya adalah hadirnya “OJK Infinity” yang disiapkan untuk berperan sebagai pusat keuangan digital yang berperan sebagai regulatory sandbox untuk menyeimbangkan inovasi dan perlindungan konsumen dan innovation hub untuk pengembangan industri keuangan digital.

OJK Infinity launching in Jakarta, attended by the officials from OJK, Bekraf, and Kominfo / OJK

OJK Launches “OJK Infinity”, Digital Financial Innovation Center

OJK announces the operation of digital financial innovation center “OJK Infinity”, a place where discussion with industries, regulators, government, academics, and innovation hub. The fintech center is located in OJK office at Wisma Mulia 2, Jakarta.

“Through OJK Infinity, the fintech industry is expected to be capable in bringing a financial service which is innovative, effective, efficient, and prioritize the consumer protection,” Wimboh Santoso, OJK’s Head of Commissioner, explained on Monday (8/20).

OJK Infinity has three main functions. First, providing regulatory sandbox facility as a fintech incubator to balance innovation with consumer protection. Then, as an innovation hub, for digital financial industry development (IKD) as well as a whole IKD’s ecosystem development.

Lastly, as an education center for financial service players, consumers, or academics expecting to be a part of IKD as future Indonesia’s economic players.

In running these three functions, OJK will collaborate for getting information and resources with many stakeholders, such as State Institutions and Ministries, all financial service industry players, associations, and universities to create a comprehensive digital financial ecosystem.

Publics can also visit OJK Infinity to get the latest information related to IKD and for IKD’s associates to get further detail about its regulations.

Later, OJK Infinity will expand partnership with academic institutions or private sectors which commitment goes along with the digital financial sector development. One of which is the collaboration with Telkom University through an MoU in the scope of the research and the development of IKD’s Master Program.

Applying the new regulations

In addition to the fintech center, OJK also releases the latest rules on digital financial innovation which will be the legal base to cover all innovations in the scope of the digital financial sector. POJK (OJK’s regulations) was made due to the need of a legal base for innovation in the existing financial sector, therefore, it can benefit and protect public affair.

Currently, there are 63 p2p lending companies have registered in OJK with a total distribution of IDR 7.64 trillion funding by June 2018. It has been distributed to 1.09 million borrowers.

Nurhaida, Deputy Chairman of OJK’s Board of Commissioners, added that this regulation applies market conduct-based supervision with OJK’s regulations to control the principal base matters.

Also, monitoring regulatory sandbox activity to study, analyze, understanding risk, business model management to determine risk profiles. As well as supervision and regulatory model that goes along with the certain IKD business model.

“IKD must have a reliable system to protect customer’s data. They’re also obliged to monitor system independently and run risk management that meets the precautionary principle,” she explained.

The POJK, following principal based concept, requires ethics code that is fully under Indonesia’s Fintech Association to be further detailed.

“Unlike the regulations, it can be enforced for the implementation with legal actions. However, if the ethics code being violated, there will be a moral impact. It is what we boost to the association, and monitoring the implementation among members,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Peresmian OJK Infinity di Jakarta, turut dihadiri petinggi OJK, Bekraf, dan Menkominfo / OJK

OJK Resmikan “OJK Infinity”, Pusat Inovasi Keuangan Digital

OJK meresmikan operasional pusat inovasi keuangan digital “OJK Infinity”, sebuah wadah untuk pembicaraan diskusi bersama industri, regulator, pemerintah, akademisi, dan innovation hub. Fintech center ini berlokasi di kantor OJK di Wisma Mulia 2, Jakarta.

“Melalui OJK Infinity, industri fintech diharapkan bisa menghadirkan layanan jasa keuangan yang inovatif, efektif, efisien, dan tetap mengedepankan perlindungan konsumen,” terang Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, Senin (20/8).

OJK Infinity memiliki tiga fungsi utama. Pertama, memberi fasilitas regulatory sandbox selaku inkubator fintech untuk menyeimbangkan inovasi dengan perlindungan konsumen. Kemudian, sebagai innovation hub untuk pengembangan industri keuangan digital (IKD) sekaligus pengembangan ekosistem IKD secara menyeluruh.

Terakhir sebagai sentra edukasi baik bagi pelaku jasa keuangan, konsumen maupun akademisi yang akan menjadi pegiat IKD sebagai pelaku ekonomi Indonesia ke depan.

Untuk melaksanakan ketiga fungsi ini, OJK akan bekerja sama dalam hal pertukaran informasi serta sumberdaya dengan berbagai stakeholder, antara lain dengan Kementerian dan Lembaga Negara, seluruh pelaku industri jasa keuangan, asosiasi, dan perguruan tinggi agar dapat membentuk ekosistem keuangan digital yang komprehensif.

Masyarakat umum pun bisa berkunjung ke OJK Infinity untuk mendapatkan informasi terkait IKD dan bagi pelaku IKD dapat mengetahui lebih dalam terkait regulasi IKD.

Ke depannya OJK Infinity akan memperluas kerja sama dengan institusi pendidikan maupun sektor swasta yang memiliki komitmen sejalan dalam pengembangan sektor keuangan digital. Salah satunya kerja sama yang sudah diumumkan OJK bersama Telkom University melalui Nota Kesepahaman dalam lingkup penelitian dan pembentukan program Pendidikan Magister di bidang IKD.

Terapkan aturan baru

Tak hanya meresmikan fintech center, OJK juga merilis aturan teranyar soal inovasi keuangan digital yang akan menjadi payung hukum untuk menaungi seluruh inovasi yang ada di lingkup sektor keuangan digital. POJK ini dibentuk atas dasar perlunya landasan hukum untuk inovasi bidang keuangan yang saat ini sudah ada agar dapat memberikan manfaat dan melindungi kepentingan masyarakat.

Saat ini jumlah perusahaan p2p lending yang telah terdafar di OJK sebanyak 63 perusahaan dengan total penyaluran dana sebesar Rp7,64 triliun hingga Juni 2018. Telah disalurkan kepada 1,09 juta akun peminjam.

Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK Nurhaida menambahkan, peraturan ini menerapkan pengawasan berbasis market conduct dengan peraturan OJK hanya akan mengatur hal-hal yang bersifat principal base.

Kemudian mengatur kegiatan regulatory sandbox untuk mempelajari, menganalisis, memahami risiko, tata kelola model bisnis untuk mengetahui profil risiko. Serta model pengawasan dan pengaturan yang sesuai dengan model bisnis IKD tertentu.

“IKD harus punya sistem yang andal untuk melindungi data nasabahnya. Mereka juga wajib memantau sistem secara mandiri dan melakukan manajemen risiko yang memenuhi prinsip kehati-hatian,” terangnya.

POJK ini, karena menganut konsep principal based, membutuhkan kode etik yang sepenuhnya diserahkan ke Asosiasi Fintech Indonesia agar bisa didetailkan lebih lanjut.

“Bedanya dengan peraturan, itu bisa di-enforce untuk penerapannya ada tindak hukum. Sedangkan kalau kode etik dilanggar maka ada dampak moral. Kode etik ini yang kami dorong ke asosiasi, lalu pantau bagaimana penerapannya di anggotanya,” pungkasnya.

CEO Modalku Reynold Wijaya dan CEO Investree Adrian A Gunadi yang merupakan pengurus Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) / DailySocial

Asosiasi Fintech Merasa “Diasingkan” OJK

Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) merasa “diasingkan” oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) jika dibandingkan perlakuannya terhadap lembaga jasa keuangan lainnya. Hal itu dipicu pernyataan Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, pekan lalu (3/3), yang menuturkan penggunaan logo OJK tidak diperkenankan sebagai bentuk validasi kegiatan p2p lending.

Aftech menilai pernyataan Wimboh tersebut kontradiktif dengan POJK Nomor 77 Tahun 2016. Di dalam aturan tersebut, tepatnya pasal 35 ayat B, disebutkan bahwa perusahaan yang terdaftar harus mencantumkan logo OJK dalam kegiatan bisnisnya.

“Logo itu sejalan dengan POJK 77. Semua pemain yang terdaftar harus menampilkan logo. Bila melarang pencantuman logo, berarti bertolak belakang dengan landasan hukum yang diterbitkan oleh OJK sendiri,” ucap Wakil Ketua Aftech Adrian A. Gunadi, Selasa (6/3).

OJK berpendapat pelarangan pencantuman logo ini karena perusahaan fintech tidak dikategorikan sebagai lembaga keuangan. OJK tidak akan tanggung jawab jika nantinya ada perusahaan fintech yang bangkrut atau terjadi fraud.

Terkait hal tersebut, Adrian sepakat bahwa perusahaan p2p lending lebih tepat disebut sebagai penyedia layanan keuangan. OJK memang tidak menanggung risiko yang ditimbulkan kegiatan usahanya, namun pemain tetap memenuhi syarat dan ketentuan yang sama seperti lembaga keuangan formal yang telah beroperasi.

Contohnya perusahaan p2p lending diminta memenuhi standar setara ISO 27001 yang menjadi acuan perbankan.

“Saat susun POJK, perusahaan p2p lending jadi bagian yang tidak terpisahkan dengan lembaga keuangan formal, sebab dalam praktik bisnisnya kami tetap menstandarkan diri dengan lembaga keuangan yang sudah ada.”

Adrian melanjutkan, OJK sebaiknya memperketat pengawasannya daripada lepas tangan. Caranya dengan menguatkan aturan apa saja yang bisa didetailkan lewat aturan turunan untuk menentukan kesungguhan operasi dan kinerja sebuah usaha p2p lending.

Aturan turunan yang bisa ditelaah OJK adalah yang terkait dengan pembuatan tata kelola yang baik, transparansi transaksi, dan pelaporan yang melibatkan auditor independen.

Ada pula aturan tentang manajemen risiko yang tertata rapi untuk melindungi konsumen dan pelaku usaha, juga untuk menekan angka NPL. Kontrol yang baik dari regulator, sambungnya, akan otomatis menyeleksi pelaku usaha yang tidak sungguh-sungguh.

“Kegiatan usaha yang diatur dan dilindungi oleh regulasi OJK justru menjaga pelaku tekfin dari kemungkinan menyalahgunakan dana masyarakat. Mengingat penyaluran dananya dipantau melalui mekanisme perbankan. Potensi kolaborasi fintech dan institusi keuangan lainnya bahkan terus meningkat dalam waktu dekat.”

Sentil bunga tinggi

Selain menyinggung soal pencabutan logo OJK, Wimboh juga menyentil pemberian bunga yang relatif lebih tinggi daripada perbankan, sehingga menjulukinya dengan sebutan rentenir. Sebutan inu ditolak mentah-mentah oleh Aftech.

Adrian bilang p2p lending tidak beroperasi seperti rentenir yang memberikan pay day loan (bunga harian) kepada nasabahnya. P2p lending hadir karena didasari semangat inklusi keuangan dan besarnya kebutuhan masyarakat terhadap akses pinjaman dana.

Menurut Adrian, OJK perlu memahami lebih baik bahwa terdapat berbagai model bisnis fintech lending dengan segmentasi nasabah yang berbeda-beda. Dalam pemberian bunga, biasanya pemain merujuk pada tingkat bunga pinjaman bank atau lembaga keuangan lainnya.

Untuk fintech lending yang bergerak di usaha mikro seperti Amartha, benchmark-nya menggunakan BPR dengan standar bunga di kisaran 27%-28%. Sedangkan untuk lending di usaha menengah, seperti Investree, menggunakan benchmark di bank BUKU I dan II dengan kisaran bunga di kisaran 14%-15%.

“Sayang banget kalau OJK menggeneralisir. Bunga di p2p lending memang susah untuk ditentukan langsung oleh OJK karena segmen bisnis kami itu beda-beda.”

Bunga yang diberikan kepada penerima pinjaman, tidak masuk ke kantong perusahaan, melainkan langsung diterima pemberi pinjaman. Perusahaan lending itu sendiri hanya menerima pemasukan dari komisi yang berasal dari proyek yang berhasil didanai. Umumnya kisaran komisi yang diterima perusahaan sebesar 3%-5%.

“Kita dapat fee dari borrower untuk setiap proyek yang berhasil didanai, itu hak kita sebagai platform. Bunga kredit itu masuk langsung ke pemberi pinjaman.”

Aturan pembatasan bunga

Pasca disinggung OJK, Ketua Kelompok Kerja P2P Lending Aftech Reynold Wijaya menuturkan saat ini asosiasi sedang menyusun “Pedoman Perilaku Layanan Pinjam Meminjam Daring yang Bertanggung Jawab”. Rencananya pedoman ini akan dikeluarkan paling lambat April 2018 mendatang.

Dalam pedoman ini nantinya asosiasi akan menyepakati batas bunga pinjaman maksimal. Ada beberapa acuan yang dipakai untuk menentukan batas atas suku bunga kredit p2p lending, seperti bunga KTA di bank, multifinance, BPR, hingga bunga di bank BUKU I dan II.

“Kami akan buat cap pricing (batas bunga) berdasarkan subsektor. Misalnya batas (bunga) untuk kredit UMKM itu berapa persen dan untuk ke individu atau konsumen berapa persen,” ucap Reynold.

Dia melanjutkan, “Aftech terus berkomitmen dan bekerja secara intensif untuk mendukung terbentuknya regulasi yang bijak, baik dari sisi advokasi penyusunannya maupun dari sisi implementasi operasional, serta melakukan edukasi kepada publik agar mereka dapat bertransaksi dengan aman dan nyaman.”

OJK Siapkan Beleid Baru untuk Industri Fintech

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bakal kembali merilis beleid baru terkait industri fintech, rencananya aturan ini akan diumumkan pada 18 Januari 2018. Bersamaan dengan itu, OJK juga akan menerbitkan aturan untuk sektor keuangan lainnya seperti pasar modal untuk pendanaannya dan persoalan produk lindung nilai mata uang (hedging currency).

Terkait aturan baru soal fintech, sayangnya OJK masih tutup mulut hal apa yang akan diatur. Hal ini disampaikan oleh Ketua Komisioner OJK Wimboh Santoso.

[Baca juga: Rangkuman Perkembangan Lanskap Fintech Indonesia Sepanjang Tahun 2017]

“Kami concern masalah fintech, bagaimana pendalaman pasar keuangan dan pasar modal supaya lebih aktif lagi. Detailnya nanti [saat diumumkan],” kata Wimboh seperti dikutip dari Tempo.

Sejauh ini, OJK baru merilis satu aturan terkait fintech pada akhir 2016 untuk pemain p2p lending dengan model bisnis on balance sheet lending. Aturan turunan dari beleid tersebut baru membuahkan tiga surat edaran OJK. Satu di antaranya sudah disahkan mengenai Tata Kelola dan Manajemen Risiko Teknologi Informasi pada LPMUBTI.

Sementara, ada dua aturan lainnya masih berstatus rancangan mengenai Pendaftaran, Perizinan, dan Kelembagaan Penyelenggaraan LPMUBTI dan Penyelenggaraan LPMUBTI. Padahal, sebelumnya pihak OJK menuturkan bakal ada sekitar 14 aturan turunan dari POJK No 77/2016.

Kinerja industri p2p lending

Di samping itu, semenjak diberlakukannya POJK Fintech, OJK masih merampungkan proses pendaftaran pemain p2p lending untuk mendapatkan surat tanda terdaftar. Tercatat ada 27 perusahaan yang sudah mengantongi surat tanda terdaftar.

Mengutip dari Kompas, satu perusahaan berkantor pusat di Surabaya dan sisanya di Jakarta. Dilihat dari status badan hukumnya, sebanyak 19 perusahaan adalah perusahaan lokal dan 8 perusahaan asing.

OJK juga mencatat ada 87 perusahaan p2p lending yang sudah berkomunikasi dengan regulator terkait perolehan surat tanda terdaftar ini. Namun, dari yang sudah mengantongi surat tersebut, sekitar 32 perusahaan masih dalam proses mendaftar dan 8 perusahaan baru menunjukkan minat.

Secara industri industri, OJK mencatat jumlah pembiayaan yang telah disalurkan mencapai Rp2,26 triliun hingga November 2017. Dari angka tersebut disalurkan kepada 290.335 debitur.

Untuk mendorong pengembangan, pengaturan, dan pengawasan fintech di Indonesia, OJK sedang menyusun roadmap fintech untuk lima tahun ke depan. Tak hanya itu, OJK juga telah berkoordinasi dengan otoritas terkait untuk membentuk Fintech Center di level nasional.

Fintech Center bertugas melakukan koordinasi agar penyelenggaraan kegiatan fintech tetap dapat tumbuh dan berkembang, namun dengan tidak melupakan aspek keamanan dan perlindungan konsumen.