Tag Archives: Winzendy Tedja

Pemanfaatan AI untuk Analisis Prediktif

Yuna & Co: Analisis Prediktif Menjadi Model Bisnis Menjanjikan dari Pemanfaatan AI

Yuna & Co merupakan aplikasi fashion matchmaking berbasis preferensi pengguna dan juga pertama di Indonesia. Aplikasi ini mengandalkan teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) untuk memperoleh data tentang preferensi gaya pakaian pengguna.

Memasuki tahun keduanya, Yuna & Co telah melayani kebutuhan styling sebanyak 3000 pengguna wanita. Bagi perusahaan, angka tersebut merupakan pencapaian baik dengan dukungan 21 karyawan. Itu sudah termasuk beberapa personal stylist yang membantu kurasi pakaian pengguna.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Founder dan CEO Yuna & Co Winzendy Tedja bicara tentang pesatnya perkembangan e-commerce di Indonesia yang mendorong perusahaan untuk dapat memberikan layanan fashion yang lebih personal kepada konsumen.

Sebagaimana kita tahu, e-commerce merupakan lokomotif industri digital di Indonesia. Riset Google Temasek memprediksi nilai transaksi e-commerce di Indonesia berdasarkan Gross Merchandise Value (GMV) bakal mencapai $53 miliar atau sekitar Rp 758 miliar di 2025.

Pria yang karib disapa Zendy ini berujar bahwa konsumen saat ini sudah jauh lebih matang. Konsumen dianggap sudah lebih paham apa yang mereka inginkan dibandingkan beberapa tahun silam saat industri e-commerce terbilang masih baru.

Akan tetapi, maraknya pemain e-commerce atau marketplace saat ini dinilai memberikan terlalu banyak pilihan kepada konsumen. Menurutnya, pemain di bisnis ini harus dapat memberikan yang lebih personal kepada setiap konsumen mereka.

“Sekarang konsumen sudah mulai terbiasa dan percaya untuk bertransaksi online. Malah konsumen punya begitu banyak pilihan setiap harinya. Bahkan terlalu banyak pilihan kadang bikin mereka bingung. Makanya, sudah saatnya kita bisa memberikan elemen personal untuk setiap konsumen,” jelasnya.

Bicara peran AI terhadap kepuasan pelanggan, Yuna & Co belum memiliki standar atau pengukuran tertentu. Akan tetapi, perusahaan tetap berpatok pada kepuasan konsumen sebagai Key Perfomance Indicator (KPI) utama.

“Bicara peran AI terhadap kepuasan pelanggan, sebetulnya teknologi AI kami masih dalam tahap pembelajaran. Tapi kami tidak akan berhenti berevolusi,” ungkapnya.

Kolaborasi dan bisnis analisis prediktif

Saat ini, Yuna & Co masih mengandalkan transaksi penjualan Matchbox sebagai model bisnis utamanya. Matchbox merupakan paket berisi satu set pakaian yang dipilih stylist Yuna & Co berdasarkan kebutuhan/selera/kepribadian dan ukuran tubuh pengguna.

Sebetulnya, perusahaan berminat untuk menerapkan sistem berlangganan (subscription). Apalagi, tingkat ketertarikan konsumen dinilai sangat tinggi terhadap produk ini. Akan tetapi, perusahaan ingin fokus terhadap penambahan pengguna baru, kolaborasi brand, dan edukasi pasar di tahun ini.

Untuk memperkuat bisnisnya di masa depan, Zendy melihat analisis prediktif sebagai model bisnis menjanjikan yang dapat menghasilkan pendapatan baru. Dengan mengandalkan data yang dimilikinya, analisis prediktif menjadi use case yang sangat memungkinkan dari pemanfaatan teknologi AI.

Selain itu, analisis prediktif juga dapat diimplementasikan untuk kebutuhan yang lebih luas, misalnya menurunkan jumlah inventory, meningkatkan kepuasan pelanggan, menurunkan item return yang menjadi biaya besar bagi perusahaan maupun konsumen.

“Analisis prediktif itu tidak hanya digunakan perusahaan kami, tetapi juga dapat menguntungkan ekosistem secara keseluruhan. Dengan data ini, kami harap dapat menguntungkan dan mengedukasi pemain industri besar, seperti UKM di industri tekstil,” jelas Zendy.

Application Information Will Show Up Here
Belajar dari Founder dan CEO Yuna + Co Winzendy Tedja di sesi #SelasaStartup tentang menciptakan layanan fashion yang lebih personal

Menciptakan Layanan Fashion yang Lebih Personal dengan Kecerdasan Buatan

Pada dasarnya, manusia ingin selalu tampil keren. Memang terdengar mudah, tetapi bagi sebagian orang keinginan untuk tampil bagus menjadi sebuah beban tersendiri.

Contoh paling sederhana adalah memikirkan apa yang akan kita pakai setiap hari. Hal ini umumnya cukup sering dialami di kalangan perempuan.

Personal stylist bisa saja menjadi jawaban, akan tetapi kita tahu bahwa personal stylist bukan menjadi sebuah layanan terjangkau bagi segmen pasar menengah hingga ke bawah.

Lalu opsi yang dapat kita tawarkan? Teknologi. Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) dapat dimanfaatkan untuk menghadirkan sebuah layanan fashion yang lebih personal.

Di sesi #SelasaStartup kali ini, Founder dan CEO Yuna & Co Winzendy Tedja berbagi pengalaman tentang pemanfaatan AI dalam menghadirkan aplikasi fashion matchmaking berbasis preferensi pengguna.

Scale up dengan teknologi AI

Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang fashion, pria yang karib disapa Zendy ini mengungkap tentang pentingnya mempelajari gaya dan preferensi pengguna untuk bisa scale up.

Menurutnya platform perlu untuk mempelajari bagaimana kebiasaan dan preferensi pengguna agar seluruh informasi tersebut dapat diolah menjadi sebuah rekomendasi kepada mereka saat berbelanja.

“Sekarang adalah era di mana pengguna ingin memiliki pengalaman yang lebih personal. Lalu, bagaimana mau scale up dengan personalisasi? Personalisasi itu kan harus one-to-one. Nah, di sini AI berperan sebagai tool,” ungkap Zendy.

Diakuinya, pengguna harus mengeluarkan effort dalam memberikan informasi seputar gaya dan preferensi fashion yang disukai. Namun, begitu pengguna telah mengalami pengalaman yang personal, mereka akan terus lanjut.

Kumpulan data untuk ciptakan analisis prediktif

The thing about fashion, brands want to own their data. Berbeda dengan industri musik atau film. Kita tidak akan tahu produk apa yang paling laris di H&M, misalnya,” kata Zendy.

Dalam hal ini, AI dapat mengambil peran lebih dalam mengolah kumpulan data (dataset) menjadi sebuah analisis yang prediktif. Di perusahaannya, data prediksi ini juga yang ia tawarkan kepada brand-brand yang menjadi mitranya.

“Semakin banyak pelanggan dan produk yang masuk ke dalam learning system kita, akan semakin banyak pula insight yang kita dapat. Kita bisa kasih rekomendasi ke brand, misal dari sisi bahan atau warna yang disukai pengguna,” ujar Zendy.

Manusia tetap punya peran

Meski teknologi ada untuk mempermudah proses kerja, bukan berarti manusia tak lagi dibutuhkan. Apalagi preferensi dan tren fashion seseorang kerap berubah-ubah.

Hal juga dapat menjadi tantangan dalam menghasilkan rekomendasi yang berguna bagi pelanggan. Akan tetapi, Zendy menyebutkan bahwa kecerdasan buatan akan terus berjalan dalam mengumpulkan dan mengolah jutaan data.

Di sisi lain, stylist juga akan tetap dibutuhkan dalam mengkurasi berbagai macam informasi. Menurutnya, tidak semua hal dapat terbantu dengan teknologi. Justru, teknologi berperan sebagai enabler.

“Ada hal-hal di mana kita perlu manusia untuk memutuskannya, dan tidak bisa mengandalkan kecerdasan buatan. When it comes to taste, we still needs human.” tutur Zendy.