Dalam regenerasi talenta olahraga, kompetisi khusus pelajar/mahasiswa sangat diperlukan. Dari apa yang saya lihat, salah satu alasannya adalah karena batasan fisik. Tetapi bagaimana dengan esports? Tak ada batasan fisik di dalam esports. Bocah berusia 13 tahun bisa saja mengalahkan mahasiswa ataupun pemain profesional apabila bocah tersebut cukup mahir bermain. Lalu apabila kita melihat ekosistem esports saat ini, bahkan beberapa pemain profesional pun masih berstatus sebagai pelajar ataupun mahasiswa; misalnya Wiraww (ex pemain profesional AOV di EVOS Esports) yang tahun lalu masih berstatus sebagai pelajar SMA.
Kalau keadaannya seperti demikian? Lalu apa gunanya turnamen khusus pelajar/mahasiswa? Memang jika kita melihat dari aspek bisnis, turnamen esports kelas pelajar/mahasiswa menjadi salah satu pasar yang menarik. Alasannya adalah karena turnamen esports kelas pelajar/mahasiswa adalah pasar yang belum tentu digarap oleh sang developer/publisher. Jadi disebut “belum tentu” mengingat ada beberapa developer/publisher menggarap esports tingkat kampus secara mandiri, PUBG Mobile contohnya.
Mengawali tahun 2021, saya merasa kita perlu mempertanyakan kembali terhadap apa-apa saja yang sudah dan perlu dilakukan terhadap ekosistem esports khusus mahasiswa. Akankah ekosistem esports tingkat pelajar/mahasiswa hanya sekadar menjadi ladang bisnis? Atau akan dapat menjadi wadah aktivitas positif bagi pelajar/mahasiswa yang menjanjikan jenjang karir menuju profesional? Simak pembahasan saya bersama dengan beberapa narasumber terkait.
Tumbuh Suburnya Turnamen Esports Khusus Pelajar/Mahasiswa di Tahun 2020
Pertandingan esports khusus pelajar/mahasiswa tumbuh pesat di tahun 2020 kemarin. Anda ingin turnamen tingkat mahasiswa yang resmi dari sang developer/publisher game? Ada PUBG Mobile Campus Championship contohnya. Anda ingin turnamen tingkat mahasiswa resmi dari pemerintah? Ada Piala Menpora Esports 2020 dan juga IEL University Series yang didukung oleh IESPA. Bahkan beberapa kampus kini punya pertandingan esports dalam lingkup internal apabila Anda mungkin masih belum berani keluar kandang.
Hadirnya beragam turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa sendiri bisa dibilang perkembangan tahap lanjut dari ekosistem esports Indonesia yang mulai bersemi kembali sekitar tahun 2017. Satu tahun setelahnya, High School League muncul menjadi salah satu pionir turnamen esports khusus pelajar. Pada tahun berikutnya (2019), IEL University Series muncul dan terbilang jadi pionir turnamen esports khusus mahasiswa universitas.
Seiring waktu dan pembuktian dari gelaran sebelumnya, turnamen-turnamen khusus pelajar/mahasiswa jadi mendapat lebih banyak perhatian sehingga berkembang seperti apa yang terjadi pada tahun 2020.
Pada tahun 2020, turnamen IEL University Series terus berlanjut bahkan kini dengan lebih banyak dukungan dari pihak swasta. Pada IEL University Series 2020, Universitas Negeri Jakarta keluar sebagai juara cabang Free Fire dan Universitas Gadjah Mada keluar sebagai juara dari cabang game Dota 2 setelah babak final usai diselenggarakan pada 11-12 Juni 2020 lalu.
Pada tanggal 3-4 Oktober 2020, babak grand final Piala Menpora Esports 2020 juga berlangsung dengan total hadiah sebesar Rp150 juta. Piala Menpora Esports 2020 agak sedikit unik karena turnamen tersebut mempertemukan pelajar SMP/SMA/SMK dengan mahasiswa universitas di dalam satu pertandingan. Binus University berhasil keluar menjadi juara setelah melewati tim dari sekolah SMA Institut Indonesia Semarang, MAN 3 Palembang, SMAN 1 Bintan Utara, serta dari Universitas Udayana, Institut Pertanian Bogor, Telkom University Bandung, dan Universitas Gunadarma jakarta.
Selain dua kompetisi yang diselenggarakan oleh pihak ketiga dengan dukungan pemerintah tersebut, tahun 2020 juga menjadi iterasi ketiga dari turnamen khusus mahasiswa yang diselenggarakan secara mandiri oleh sang developer game. Turnamen tersebut adalah PUBG Mobile Campus Championship. PMCC sendiri sudah berjalan sejak tahun 2018.
Pada tahun 2020 kemarin, gelaran puncak PMCC diselenggarakan pada tanggal 13 Desember. Memperebutkan total hadiah sebesar Rp200 juta, tim Universitas Sam Ratulangi Manado berhasil keluar sebagai juara dengan perbedaan poin yang tipis dengan Universitas Kristen Petra.
Beberapa turnamen esports kampus yang saya sebut mungkin baru sebagian dan hanya yang besar-besar saja. Belum lagi turnamen-turnamen esports internal kampus seperti BSSC Squarelypic 2020, UI Battlegrounds 2020, dan banyak turnamen khusus pelajar/mahasiswa lain lagi yang skalanya tidak sebegitu besar sehingga kurang terdengar ke muka publik.
Ingin tahu soal skena esports tingkat universitas, saya kebetulan sempat berbincang singkat Muhammad Fauzan selaku Project Officer dari turnamen esports intra-kampus, UI Battlegrounds 2020.
Fauzan menceritakan bahwa antusiasme mahasiswa di dalam UI sendiri terbilang cukup tinggi terhadap turnamen esports. Mempertandingkan Mobile Legends, PUBG Mobile, VALORANT, dan Dota 2, Fauzan lalu menceritakan, “UI punya 14 fakultas dan 1 program vokasi. Untuk MLBB lengkap semua 15 fakultas turut serta di dalam pertandingan. Sementara itu PUBG Mobile diikuti oleh 14 tim, VALORANT 13 tim, dan Dota 2 sebanyak 12 tim. Jadi total pemainnya kurang lebih ada 418 pemain yang turut serta.”
Tak hanya itu, turnamen internal seperti UI Battlegrounds ternyata cukup berhasil menarik perhatian penonton dan bahkan mungkin fanatisme fakultas di dalam Universitas Indonesia itu sendiri. “Pertandingan tersebut kami stream di channel YouTube UI Battlegrounds dan sempat ada yang tembus hingga 1,8k views. Sementara itu pertandingan Grand Final Mobile Legends dan VALORANT bahkan tembus hingga 3k views di channel Indonesia Gaming League.”
Dengan banyaknya kompetisi khusus pelajar/mahasiswa, tahun 2020 terbilang menjadi tahun menyenangkan bagi pelajar dan mahasiswa. Karena apabila kita mundur 6 tahun ke belakang, jangankan turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa, mendapatkan karir sebagai gamer kompetitif pun masih terasa gelap dan tidak jelas juntrungannya. Tapi walau sudah banyak turnamen khusus pelajar/mahasiswa di tahun 2020, bukan berarti ekosistem esports di Indonesia sudah sepenuhnya sempurna. Turnamen-turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa tersebut masih memiliki beberapa problematikanya tersendiri.
Masalah Dari Turnamen Khusus Pelajar/Mahasiswa
Seperti yang saya sebut di awal, ekosistem esports punya sifat alami yang berbeda dengan ekosistem olahraga. Dalam meniti karir sebagai pemain sepak bola misalnya, seorang anak SMA tidak mungkin bisa langsung bertanding di liga kasta satu. Dia harus bertanding di liga sepak bola tingkat SMA terlebih dahulu. Menurut pandangan saya, batasan fisik jadi salah satu alasannya. Tingkat kematangan psikis seorang anak SMA tentu berbeda jauh jika dibandingkan dengan pemain sepak bola profesional.
Tetapi dalam esports, anak SMA bisa dan boleh saja bertanding di dalam liga-liga profesional asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu karena tidak ada batasan fisik di dalam esports. Karena hal tersebut, polemik pun terjadi di dalam turnamen-turnamen esports antar pelajar/mahasiswa; setidaknya dari apa yang saya lihat.
Siapa saja yang boleh ikut dalam pertandingan esports khusus mahasiswa atau pelajar? Kalau jawabannya adalah semua mahasiswa atau pelajar, maka mahasiswa/pelajar yang telah dikontrak tim esports dan tergolong profesional boleh saja ikut ke dalam turnamen tersebut dong? Lalu muncul pertanyaan lagi. “Kalau begitu, pertandingannya jadi tidak adil dong?” Adil atau tidak adil, jawabannya kembali tergantung kepada peraturan serta apa yang jadi tujuan di balik dari sang penyelenggara dalam menyelenggarakan turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa.
Idealnya menurut apa yang ada di kepala saya, turnamen esports khusus pelajar/mahasiswa adalah wadah bagi pemain yang ingin meniti karir di esports. Namun kenyataan memang tidak selalu berjalan sesuai dengan apa yang ideal.
Jika dilakukan sesuai idealisme saya, maka Vyn dan Renbo yang sudah menjadi bagian dari Bigetron Esports seharusnya tidak boleh mengikuti turnamen IEL University Series 2019. Jika dilakukan sesuai idealisme saya, maka Jeixy yang sudah bermain bersama EVOS Esports kala itu seharusnya tidak boleh membela Universitas Gunadarma di PMCC 2019 lalu. Tapi kembali lagi, semua hal yang saya tulis tersebut adalah keadaan “idealnya”. Keadaan yang tidak bisa ditampik adalah kenyataan bahwa penyelenggara yang tentu saja punya pikiran yang berbeda dengan saya.
“Turnamen kampus sebenarnya penting banget posisinya. Tapi balik lagi, antara penting dan efektif kadang tidak bisa berjalan berbarengan. Jadi turnamen kampus ini sebenarnya penting ada, tapi turnamen yang sudah terselenggara masih belum efektif. Menurut gue apabila turnamen kampus ingin menjadi efektif, cara terbaik adalah dengan melarang keikutsertaan pemain profesional. Bagaimanapun dunia esports collegiate dengan profesional itu sangat berbeda jauh.” tutur Wolfy saat saya tanyakan pendapatnya terkait turnamen pelajar/mahasiswa yang sudah ada di ekosistem esports Indonesia saat ini.
Lalu bagaimana dengan IEL University Series? Saya juga berbincang dengan Eddy Lim yang merupakan Ketua Umum IESPA dan juga CEO Ligagame yang merupaakan penyelenggara turnamen tersebut. Dalam hal keterlibatan pemain profesional, Eddy mengatakan bahwa kompetisi IEL University Series memang tidak mencantumkan peraturan apapun terkait hal tersebut. “IEL University Series tidak mencantumkan peraturan apapun terkait pemain profesional. Semua pemain boleh ikut asalkan pemain tersebut adalah mahasiswa aktif dan resmi diutus oleh universitas terkait.” ucap Eddy.
Lebih lanjut membincangkan soal hal tersebut, Eddy juga menjelaskan bahwa IEL University Series memang berusaha mengedepankan urusan legalitas dibanding sekadar membuat turnamen untuk mahasiswa. “Kami bekerja sama dengan universitas terkait dalam pertandingan IEL University Series. Maka dari itu mahasiswa yang bertanding di dalam turnamen tersebut adalah mahasiswa aktif dari universitas terkait yang sudah mendapat izin dari rektorat untuk turut bertanding untuk membela nama universitas masing-masing.”
Sementara masih ada tumpang tindih antara profesional dan non-profesional di dalam turnamennya, organisasi esports profesional ternyata juga cenderung tidak terlalu meilirik pemain-pemain jebolan turnamen khusus pelajar/mahasiswa. Saya berbincang dengan Indra Hadiyanto selaku Co-Founder dan COO Alter Ego mendiskusikan soal hal tersebut. Indra mengatakan bahwa sebenarnya alasan dirinya tidak terlalu melirik jawara-jawara turnmaen antar-kampus bukanlah karena masalah turnamennya.
“Bukan karena turnamennya, tapi dari apa yang saya lihat, kebanyakan pemain dari turnamen kampus cenderung jarang terjun di komunitas gaming. Sementara pada sisi lain pemain yang memang sudah sering mengikuti turnamen (tidak harus antar-kampus) biasanya sudah memiliki koneksi dan terlihat sering bermain dengan pemain-pemain yang lebih senior sehingga lebih mudah diajak serta direkrut nantinya.” Tutur Indra.
Lebih lanjut, Indra sendiri menceritakan secara singkat bagaimana Alter Ego bisa mendapatkan pemain baru dan apa yang jadi prioritas bagi manajemen timnya. “Dalam hal scouting, kami biasanya mencari lewat turnamen-turnamen tier 2 atau 3. Namun demikian, kebanyakan pemain yang kami ambil memang adalah pemain yang dikenalkan oleh player kami sendiri. Setelah proses scouting, biasanya head coach akan meninjau kembali potensi sang pemain. Apabila potensinya besar baru akan kami lakukan trial setelahnya.”
Indra lalu menjelaskan lebih lanjut soal apa yang dicari tim Alter Ego saat melakukan scouting terhadap pemain baru. “Ketika mencari pemain, kami memang tidak hanya sekadar melihat skill saja. Kami juga mencoba melihat aspek yang tak kalah penting yaitu latar belakang personal serta attitude sang pemain. Apabila pemain tersebut sudah banyak ikut turnamen dan punya banyak kenalan di dalam komunitas, tugas kami untuk menyaring dari sisi personalia terbilang jadi lebih mudah karena tinggal bertanya kepada pemain yang memang kenal dengan si calon pemain baru tersebut.
Jika memang tim profesional kurang tertarik terhadap pemain-pemain dari liga universitas, lalu apakah artinya kompetisi-kompetisi tingkat universitas sudah tidak berhasil menjalankan fungsinya sebagai wadah regenerasi pemain? Ada satu opini yang menarik dari Eddy Lim terkait hal tersebut yang akan saya bahas di akhir artikel. Namun sebelum itu, mari coba kita lihat posisi turnamen esports khusus mahasiswa yang ternyata punya prospek bisnis yang cukup menjanjikan.
Melihat Peluang Bisnis Turnamen Esports Khusus Pelajar/Mahasiswa
Selain aspek ideal, saya merasa aspek bisnis adalah hal yang tak bisa kita lupakan. Bagaimanapun juga, sebuah turnamen esports tidak akan bisa berjalan apabila turnamen tersebut tidak memberikan keuntungan — finansial atau yang lainnya. Esports sendiri berkembang dari rasa haus akan kompetisi para gamers yang menurun menjadi keinginan melihat pemain-pemain terbaik beraksi dari gamers lainnya. Seiring jumlah orang yang tertarik jadi semakin banyak, pihak swasta pun mulai melirik fenomena tersebut dan menginvestasikan sebagian dananya untuk menjadi sponsor yang membuat esports menjadi semakin bertumbuh.
Lalu bagaimana dengan turnamen antar kampus? Apakah turnamen antar kampus memang punya daya tariknya tersendiri?
Mari kita coba intip mulai dari perkembangan IEL University Series. Satu hal yang patut diacungi jempol dari turnamen IEL University Series adalah konsistensinya yang berjalan sejak dari tahun 2019 lalu. Tak hanya itu, pertandingan juga berjalan dengan format liga yang hampir setiap hari pertandingannya disiarkan melalui kanal digital.
Apalagi IEL University Series juga menjadikan duet stand-up comedian Coki & Muslim sebagai caster dan pembawa acara yang membuat tayangan jadi semakin meriah. IEL University Series sempat meledak dan mencatatkan 1,8 juta views di YouTube Ligagame Esports TV. Tayangan yang berhasil mencatatkan rekor views tersebut adalah video yang berisi cuplikan kelakar Coki & Muslim pada saat sedang menjadi komentator serta membawakan acara IEL University Series.
Sementara itu jumlah views pertandingan sendiri terbilang cukup besar untuk ukuran turnamen antar-kampus. IEL University Super Series – Season 2 ditayangkan di Vidio.com selaku official broadcast platform turnamen tersebut. Pertandingan grand final hari pertama IEL University Super Series – Season 2 telah diputar sebanyak 10,2 ribu kali, sementara pertandingan grand final hari kedua telah diputar sebanyak 4 ribu kali.
Jumlah views yang didapatkan bahkan lebih banyak lagi pada musim sebelumnya karena tayangan turnamen masih disiarkan melalui YouTube. IEL University Series tahun 2019 berhasil mencatatkan 109 ribu views pada gelaran Grand Final hari pertama dan 291 ribu views pada gelaran hari kedua.
Masih membicarakan viewership, PUBG Mobile Campus Championship 2020 juga berhasil mengantongi catatan yang cukup baik. Rentetan acara PMCC 2020 berhasil mencatatkan ratusan ribu views dengan puncaknya yaitu sebanyak 402 ribu views di pertandingan grand final hari pertama dan 429 ribu views di pertandingan grand final hari kedua.
Selain dari sisi viewership, turnamen-turnamen antar kampus ternyata juga berhasil menarik banyak perhatian pihak swasta. Hal tersebut salah satunya terlihat dari deretan sponsor. Dari sisi IEL University Super Series Anda bisa melihat sendiri entitas seperti Super Soccer, Vidio, ataupun Bukalapak turut mensponsori gelaran tersebut.
Sementara pada Piala Menpora Esports 2020 kita bisa melihat sendiri bagaimana brand-brand dari Axis, Samsung, hingga Insto, BCA, Kuku Bima, Caffino, Pop Mie, dan Chitato turut menjadi sponsor acara tersebut.
Dari perkembangannya di tahun 2020 kemarin, kita bisa melihat bagaimana ekosistem esports kampus telah berkembang dengan cukup pesat. Bahkan jika perkembangannya bisa terus dijaga, esports kampus mungkin bisa jadi berdiri sendiri. Turnamen seperti IEL University Series, PMCC, atau Piala Menpora Esports ibarat seperti turnamen primer-nya. Berbarengan dengan hal tersebut, turnamen esports seperti UI Battlegrounds bisa membantu mengembangkan skena esports tingkat grassroot di dalam kampusnya.
Dengan berbagai perkembangan tersebut, lalu ke mana arah perkembangan esports tingkat pelajar/mahasiswa di tahun 2021 ini?
Akhir Kata…
Dalam membicarakan prediksi atau harapan perkembangan, satu hal yang kembali perlu diingat adalah usia perkembangan esports yang masih sangat belia. Jadi akan tidak masuk akal apabila kita langsung mengharapkan esports punya sistem layaknya liga bola basket NBA yang sudah berusia sekitar 74 tahun lebih.
Namun demikian, bisa dibilang ekosistem esports kampus sudah berjalan di jalan yang baik sejauh ini. Kehadiran turnamen seperti High School League ataupun IEL yang melibatkan pihak sekolah/universitas secara langsung menjadi salah satu jalan yang baik untuk melakukan transfer budaya esports kepada instansi-instansi sekolah/universitas yang cenderung lebih kolot dalam menerima perkembangan zaman.
Tetapi saya sendiri melihat, memang masih ada beberapa hal yang bisa membuat esports kampus jadi lebih baik lagi. Salah satu yang saya pikirkan adalah mendorong para pemain di skena esports kampus untuk tetap mendahulukan pendidikannya dengan cara memberikan hadiah turnamen dalam bentuk beasiswa. Kebanyakan turnamen tingkat pelajar/mahasiswa yang ada saat ini masih memberikan hadiahnya dalam bentuk uang tunai. Eddy Lim juga mengkonfirmasi bahwa IEL University Series kemarin masih menggunakan uang tunai sebagai hadiah utama.
Kenapa hadiah beasiswa lebih baik daripada uang tunai? Bagaimanapun, pendidikan terbilang jadi jalur paling aman untuk mencapai masa depan yang lebih baik. Walaupun karir sebagai pemain esports menjanjikan popularitas serta harta melimpah, tapi kita juga tidak boleh melupakan bahwa hanya segelintir orang saja yang bisa sukses besar di esports. Risikonya akan jadi sangat besar apabila seorang mahasiswa sampai-sampai meninggalkan pendidikannya cuma demi karir esports yang suksesnya belum bisa dipastikan. Apabila ia gagal, bagaimana nasib sang pemain tersebut tanpa memiliki bekal cadangan berupa pendidikan formal?
Hal kedua mungkin adalah kehadiran jenjang yang jelas menuju karir esports lewat ekosistem esports kampus.
Kembali menggunakan analogi liga bola basket NBA, pemain bola basket tingkat kampus punya jalur yang jelas apabila ia ingin bisa meniti karir di liga profesional. Hal tersebut yang mungkin masih belum ada di dalam ekosistem esports kampus Indonesia. Saya sempat membahas soal metode Draft pemain yang mungkin bisa menjadi jawaban atas hal ini. Namun kembali lagi, esports Indonesia sepertinya masih butuh beberapa tahun perkembangan lagi untuk bisa menghimpun kerja sama dari semua pihak agar sistem transfer pemain seperti Draft bisa dilakukan.
Lalu bagaimana dengan turnamen kampus yang turut diikuti oleh pemain-pemain profesional yang sudah dikontrak oleh tim esports? Terkait hal tersebut Eddy Lim punya opini yang terbilang menarik terkait pemain profesional di dalam pertandingan esports kampus.
“Saya sendiri memang cenderung lebih suka untuk menyelenggarakan sebuah turnamen dengan konsep terbuka (bisa diikuti oleh siapa saja). Kenapa? Dalam konsep terbuka, siapapun punya kesempatan melawan siapapun. Begitu juga dalam tingkat esports kampus.” Ucap Eddy.
“Semisal turnamen antar kampus dibatasi untuk non-profesional saja, mungkin pemain yang bertanding belum tentu dilirik tim besar. Tim esports mungkin jadi tidak memperhatikan turnamen tersebut. Mungkin tim esports akan berpikiran bahwa turnamen antar-kampus kalah kelas dan tidak kompetitif. Tapi semisal turnamennya berkonsep terbuka, pemain-pemainnya juga menjadi lebih kompetitif. Pemain-pemain yang mungkin tadinya minder dengan kemampuannya, bisa jadi semangat apabila ia berhasil memberi perlawanan terbaiknya terhadap para pemain yang tergolong profesional. Tapi dalam konteks pertandingan antar-kampus dan peraturan IEL, pemain profesional yang bisa turut bertanding di dalam kompetisi tentu hanyalah pemain yang tergolong sebagai mahasiswa aktif dan merupakan pemain yang diutus langsung oleh rektorat dari universitas terkait.” Eddy Lim memperjelas opininya soal keterlibatan pemain profesional di dalam turnamen antar kampus.
Harapan paling terakhir yang juga jadi harapan saya pribadi mungkin adalah konsistensi dari pihak-pihak terkait dalam mengadakan esports tingkat pelajar ataupun mahasiswa. Saya merasa esports di Indonesia tidak bisa bertahan lama apabila para pelakunya terlalu fokus terhadap pemain tingkat-tingkat profesional. Hal tersebut jadi ibarat membagun sebuah bangunan tanpa membuat pondasi terlebih dahulu.
Saya tahu di awal artikel saya mempertanyakan soal urgensi dari ekosistem esports kampus. Namun setelah berbincang dengan para narasumber dan melihat berbagai pencapaian yang telah dicapai oleh beberapa event tersebut, saya jadi merasa bahwa memang kenyataanya turnamen antar-kampus penting untuk menjadi pondasi ekosistem esports di Indonesia.