Fujifilm baru-baru ini mengumumkan perilisan pembaruan firmware baru untuk tiga kameranya, yakni Fujifilm X100V, X-T30, dan X-Pro3. Pembaruan ini akan datang pada akhir bulan Februari 2021 mendatang dan menambahkan fitur baru seperti dukungan untuk Fujifilm X Webcam serta banyak lagi.
Mari mulai dari X100V, dirilis tepat satu tahun yang lalu – X100V merupakan kamera compact premium yang sangat unik. Dikemas dalam bodi rangefinder yang ringkas, menawarkan tombol kontrol manual yang lengkap, serta memiliki hybrid viewfinder optical dan electronic.
Generasi ke-5 dari X100 series ini sudah menggunakan sensor, prosesor, dan lensa baru fix 23mm f/2 generasi kedua. Karena sudah menggunakan sensor CMOS X-Trans 4 26MP dan X-Processor 4, meski berorientasi pada fotografi, kemampuan video X100V juga meningkat signifikan.
X100V juga memiliki ND filter bawaan 4 stop, tetapi hanya bisa digunakan untuk foto. Lewat pembaruan firmware versi 2.00, ND filter tersebut bakal bisa dimanfaatkan untuk perekaman video. Fitur ini cukup berguna, karena memungkinkan menggunakan aperture besar dan menjaga motion blur yang alami dengan shutter speed mendekati 2x frame rate saat syuting di kondisi cahaya berlimpah.
Selain itu, software Fujifilm X Webcam bakal mendukung film simulation pada X100V. Lalu, saat menggunakan fitur digitalteleconverter, pengguna kini dapat menyimpan foto dalam RAW + JPEG ke kartu memori.
Lanjut ke Fujifilm X-T30, versi hemat X-T3 ini juga mendapatkan firmware versi 1.40 yang kini dapat digunakan sebagai webcam lewat software Fujifilm X Webcam dengan menghubungkannya ke komputer melalui kabel USB dan mode film simulation juga bisa digunakan. Selain itu, rating informasi yang disimpan di kamera, kini dapat dilihat di software edit foto untuk peningkatan manajemen katalog.
Beralih ke Fujifilm X-Pro3 dengan firmware versi 1.20 memungkinkan untuk mengatur posisi bingkai terang ke lokasi bergesernya dalam mode optical viewfinder ketika tombol rana ditekan setengah. Dengan mengaktifkan fitur ini, kamera tidak perlu menyesuaikan kembali posisi binkai setiap kali fokus diperoleh.
Fitur tersebut juga tersedia untuk X100V dan X-Pro3 sendiri merupakan kamera mirrorless yang ditujukan untuk para fotografer berpengalaman yang merindukan sensasi memotret menggunakan kamera film. Punya hybrid viewfinder, dengan dual screen dengan panel LCD utama menghadap ke belakang dan perlu dibalik untuk menggunakannya yang secara dramatis akan mengubah kebiasaan cara memotret para penggunanya.
Pada bulan September 2018, Fujifilm mengumumkan X-T3. Kamera mirrorless flagship mereka yang pertama menggunakan sensor baru BSI CMOS X-Trans beresolusi 26MP dan X-Processor generasi ke-4.
Sensor X-Trans CMOS 4 ini sudah mengusung struktur backside illuminated yang meningkatkan performanya di kondisi minim cahaya. Serta, menawarkan sistem autofocus hybrid canggih dengan 425 phase-detect point yang mencakup seluruh frame.
Kemudian pada tahun 2019 Fujifilm merilis X-T30 dan X-Pro3. Serta, X-T4 dan X100V di awal tahun 2020. Keempat kamera ini juga tetap mengandalkan sensor BSI CMOS X-Trans 26MP dan X-Processor 4. Meski begitu, masing-masing kamera ini punya daya tariknya sendiri. Mari bahas satu per satu.
1. Fujifilm X-T3
Meski penerusnya sudah ada, tapi kemampuan Fujifilm X-T3 masih sangat mumpuni. Dalam hal video, ia sanggup merekam video 4K 60fps dengan output video 10-bit 4:2:0 langsung ke SD card (menggunakan codec H.265/HEVC) atau 10-bit 4:2:2 ke external recorder melalui HDMI.
Dari fisik, Fujifilm X-T3 memiliki body dan grip kamera yang cukup besar, dengan sistem kontrol fisik yang lengkap dan intuitif sehingga sangat nyaman digunakan untuk bekerja dan produksi konten yang serius. Layarnya bisa dimiringkan ke atas-bawah maupun ke kiri untuk memudahkan memotret secara vertikal.
Jelas bahwa Fujifilm merancang kamera ini untuk mereka para fotografer maupun videografer profesional. Soal harga, Fujifilm X-T3 body only dibanderol sekitar Rp20 juta dan bisa lebih murah bila belinya saat ada diskon.
2. Fujifilm X-T30
Kamera ini mengemas sensor, prosesor, dan sistem autofocus baru yang sama milik flagship X-T3 ke dalam body X-T30 yang jauh lebih ringkas dan harga lebih terjangkau (body only Rp14 juta). Artinya lebih mudah dibawa bepergian dan tidak terlalu mencolok saat memotret di tempat umum. Sangat cocok bagi para pecinta fotografi, content creator yang ingin meningkatkan kualitas kontennya, dan traveler.
Body yang kecil membuat kemampuan videonya terpangkas. Namun, Fujifilm X-T30 masih sanggup merekam video 4K UHD dan DCI pada 30 fps 200 Mbps dengan output video 4:2:0 8-bit menggunakan internal recording dan output video 4:2:2 10-bit menggunakan external recorder lewat HDMI.
3. Fujifilm X-Pro3
Fujifilm X-Pro3 ditujukan untuk para fotografer berpengalaman yang merindukan sensasi memotret menggunakan kamera film. Punya hybrid viewfinder tipe optical dan electronic, dengan dual screen. Di mana panel LCD utamanya menghadap ke belakang dan perlu dibalik untuk menggunakannya.
Mekanisme layarnya tampak seperti perubahan kecil, namun secara dramatis akan mengubah ‘kebiasaan’ cara memotret para penggunanya. Misalnya kebiasaan mengambil gambar lewat layar dan mengintip foto setelah memotret, pengguna pun didorong untuk memotret melalui jendela bidik. Harga Fujifilm X-Pro3 body only dibanderol Rp28 juta.
4. Fujifilm X-T4
Seperti Fujifilm X-T3, X-T4 juga dirancang untuk produksi konten serius dan ditujukan untuk para fotografer dan videografer profesional. Lantas apa saja peningkatannya?
Pertama adalah fitur in-body image stabilization atau IBIS yang mampu mengurangi guncangan hingga 6,5 stop. Kemudian layarnya kini memiliki mekanisme fully articulated yang sangat berguna untuk memastikan framing dan autofocus-nya tepat saat syuting.
Selain itu, Fujifilm X-T4 menggunakan jenis baterai baru NP-W235 yang memiliki kapasitas sekitar 1,5 kali lebih besar dibanding NP-W126S. Sehingga sanggup menjepret hingga 500 sekali charge, bahkan 600 jepretan bila menggunakan mode ‘economy‘. Harga Fujifilm X-T4 dibanderol Rp26.999.000 untuk body only.
5. Fujifilm X100V
Fujifilm X100V adalah kamera compact premium penerus X100F yang dikenal sebagai kamera untuk street photography dan traveler.
Generasi ke-5 dari X100 series ini sudah menggunakan sensor dan prosesor baru. Namun tetap mempertahankan ciri khasnya seperti hybrid viewfinder optical dan electronic dan lensa fix 23mm f/2 yang tidak bisa diganti.
Meski begitu, Fujifilm telah membenahi rancangan optiknya supaya lebih cekatan mengunci fokus dari jarak dekat dan dapat menghasilkan gambar yang lebih tajam di bagian ujung frame. Serta, menyempurnakan viewfinder electronic-nya lewat panel OLED beresolusi 3,69 juta dot.
Selain itu, layarnya kini sudah touchscreen dan bisa di-tilt dua arah. Serta, mampu merekam video 4K 30 fps dengan mode F-log. Tertarik? Fujifilm X100V dibanderol Rp21.999.000 di Indonesia.
6. Fujifilm X-S10
Fujifilm X-S10 merupakan lini baru kamera Fuji dengan desain berbeda tidak seperti Fuji X-series lain. Fisiknya bergaya DSLR dengan grip cukup besar seperti X-H1, tetapi dimensinya lebih compact. Harga Fujifilm X-S10 untuk body only di Indonesia dibanderol Rp15.999.000.
Sementara bila dilihat dari atas, X-S10 menyerupai banyak kamera mirrorless lain di pasaran. Panel atas yang biasanya dihuni oleh dial untuk mengatur shutter speed, ISO, dan exposure compensation kini telah digantikan oleh dial PASM dan dua dial generik di ujung kiri dan kanan.
Sangat jelas bahwa Fujifilm X-S10 ini lebih berkonstrasi pada video. Kamera ini dapat merekam video 4K hingga 30fps dengan bit rate 200Mbps, belum secanggih X-T3 mengingat posisinya berada di kelas menengah. Juga dapat merekam video 1080p dengan frame rate tinggi pada 120fps atau 240fps.
Layar 3 incinya memiliki mekanisme fully articulated, punya port mikrofon 3,5mm, port USB-C bisa digunakan untuk headphone guna memonitor audio, dan juga telah dilengkapi sistem in-body image stabilization (IBIS). Sebagai kamera Fuji dengan Sensor X-Trans CMOS 4 terbaru, X-S10 juga mengemas mode film simulatio anyar termasuk Classic Negative dan Eterna Bleack Bypass.
7. Fujifilm X-E4
Fujifilm X-E4 merupakan kamera Fuji terbaru dengan sensor X-Trans CMOS 4 dan juga mengemas 18 mode film simulation termasuk ETERNA Bleach Bypass dan Classic Negative. Berbeda dengan X-S10 yang mengusung desain bergaya DSLR dan memiliki IBIS, X-E4 tidak punya IBIS tapi mengusung desain rangefinder yang ringkas dengan pengalaman gabungan X-Pro3 dan X100V dengan harga lebih terjangkau.
Penampilan X-E4 sekilas mirip X100V, tidak lagi kaku seperti X-E3 dan lebih modern. Upgrade penting lainnya ialah ia punya layar sentuh 3 inci 1,63 juta dot yang kini bisa ditarik dan ditekuk hingga 180 derajat ke depan untuk kemudahaan pengambilan foto maupun video dari berbagai macam sudut.
Jendela bidik eletronik-nya punya cup bulat dengan panel OLED beresolusi 2,36 juta dot dengan magnification 0.62x. Di pelat atas, masih terdapat dial shutter speed, exposure compensation, tombol shutter beserta tuas on/off, dan ada tambahan tombol Q.
Untuk perekam videonya, X-E4 sanggup menangkap footage 4K DCI atau 4K UHD hingga 30fps 4: 2: 0 8-bit dan juga mendukung 4K 30P 4:2:2 10-bit melalui port HDMI-nya. Selain itu, pada resolusi 1080p kamera dapat merekam video frame rate tinggi hingga 240fps.
Keterangan: Artikel ini pertama kali tayang pada 20 April 2020 dan di-update dengan menambahkan Fujifilm X-S10 ke dalam daftar pada 25 Januari 2021 dan menambahkan Fujifilm X-E4 pada 28 Januari 2021.
Setelah sebelumnya me-review kamera mirrorless flagship foto sentris rasa analog Fujifilm X-Pro3, kali ini saya me-review kamera mirrorless X-A series terbaru; Fujifilm X-A7. Dua kamera ini jelas berbeda, dari desain, antarmuka, sampai pengalaman pengguna. Sebab yang satu ditujukan untuk fotografer pengalaman, satu lagi menyasar video content creator pemula.
Terus terang awalnya saya agak underestimate, tapi setelah mencoba dan sesi pertama saya memotret ‘my little girl‘ bermain. Satu hal yang saya sadari ialah kamera ini jelas tidak bisa diremehkan. Sebab sistem autofocus-nya kencang dan fitur eye/face detection cekatan dalam mengunci objek bergerak.
Harga Fujifilm X-A7 di Indonesia dibanderol sekitar Rp10-11 juta dengan lensa kit XC 15-45mm f3.5-5.6 OIS PZ. Berikut cerita review Fujifilm X-A7 selengkapnya.
Sensor 24MP Bayer Bukan X-Trans
Saya sangat menikmati warna yang disajikan oleh film simulation pada Fujifilm X-Pro3 yang menggunakan sensor X-Trans. Di mana mampu menghasilkan foto dalam format JPEG yang matang sehingga secara signifikan mengurangi tahapan editing.
Pada Fujifilm X-A7, kamera mirrorless ini masih menggunakan sensor konvensional berdesain Bayer 24MP. Lalu, mode film simulation X-A7 tidak selengkap yang dimiliki X-Pro3 dan yang menjadi concern saya ialah apakah efeknya tetap bakal ‘seistimewa’ seperti yang disuguhkan sensor X-Trans?
Setelah rutin melakukan street hunting, hasil bidikan Fujifilm X-A7 mampu membuat saya tersenyum lebar. Meski tidak menggunakan sensor X-Tans, efek film simulation-nya masih cukup terasa. Foto yang ditampilkan sudah saya kurasi dan diambil menggunakan lensa kit XC 15-45mm f3.5-5.6 OIS PZ.
Mode film simulation yang tersedia ialah Provia, Velvia, Astia, Classic Chrome, PRO Neg. Hi, PRO Neg. Std, Monochrome (+ Y, R, dan G), serta Sepia. Efek film simulation terbaru seperti Acros, Classic Negative, dan Eterna tidak tersedia pada X-A7.
Desain & Sistem Kontrol
Beralih ke body-nya, Fujifilm X-A7 mengalami banyak perubahan desain dibanding pendahulunya seperti mekanisme layar baru dan penyesuaian tombol kontrol fisiknya. X-A7 mengemas layar 3,5 inci dengan mekanisme fully articulated, artinya harus ditarik terlebih dahulu ke sisi kiri sebelum bisa memutar layarnya sesuai kebutuhan.
Selain ukuran layar yang sedikit lebih besar, resolusinya juga meningkat menjadi 2,76 juta dot. Sebelumnya X-A5 memiliki layar 3 inci 1,04 juta dot yang bisa dilipat langsung 180 derajat ke atas. Dengan tingkat kecerahan maksimum 1.000 nit, memungkinkan memotret di bawah terik matahari tanpa kesulitan.
Seperti kamera Fujifilm anyar lainnya, X-A7 dibekali focus stick atau joystick menggantikan tombol d-pad navigasi empat arah. Ruang kosong tersebutlah yang memungkinkan Fujifilm menyematkan panel LCD lebih besar tanpa banyak memengaruhi dimensinya.
Ukuran body-nya masih cukup compact, punya dimensi 119x38x41 mm dengan bobot 320 gram dan 455 gram dengan lensa kit. Secara keseluruhan, desain X-A7 masih senada dengan X-A series lain, tanpa viewfinder electronic, punya hot shoe dan flash dengan mekanisme pop up.
Untuk sistem kontrol kameranya, Fujifilm X-A7 memiliki dua roda kontrol putar di bagian atas untuk mengatur shutter speed dan aperture. Pas awal otak-atik kamera ini saya sempat bingung bagaimana caranya mengatur ISO dengan cepat.
Setelah menelusuri lebih jauh, kamera ini memiliki satu tombol Fn fisik yang secara default fungsinya untuk merekam video dan dua tombol Fn virtual untuk mengatur white balance dan film simulation. Untuk kenyamanan memotret, saya mengganti fungsi tombol Fn fisik untuk mengatur ISO. Lalu untuk merekam video, bisa beralih ke mode video yang tersedia secara terpisah di menu drive.
Selain soal pengaturan ISO, sebetulnya salah satu aspek utama yang ditawarkan oleh Fujifilm X-A7 adalah kepraktisan penggunaan. Di mana X-A7 memiliki antarmuka kamera berbasis sentuhan yang simpel agar lebih mudah dikuasai oleh pengguna baru.
Smart menu disebutnya, Fujifilm merancang ulang tampilan menunya dan menyediakan shortcut ke sejumlah fitur essential. Seperti tap autofocus/area/shot, white balance, mode film simulation lengkap dengan preview-nya, focus mode (AF-S, AF-C, dan MF), portrait enhancer,exposure compensation, depth control, aspek rasio foto, dan quick menu.
Build quality-nya sudah cukup baik, body-nya terbuat dari paduan material metal dan plastik polikarbonat dengan lapisan kulit sintetis di sekelilingnya. Ukuran grip-nya memang tidak besar, tapi masih bisa ditoleransi.
Kelengkapan atributnya, bagian belakang didominasi oleh layar 3,5 inci dan hanya menyisakan sedikit ruang di sebelah kanannya untuk sepasang tombol (menu/ok dan disp/back) beserta joystick.
Bagian atas terdapat roda kontrol bersama tombol Fn di tengahnya, yang secara default untuk mengatur shutter speed. Lalu, ada tombol on/off, mode pengambilan gambar, roda kontrol bersama tombol rana untuk mengatur aperture, shot shoe, dan pop up flash. Port micro HDMI dan USB Type C berada di sisi kanan, serta tuas untuk membuka flash dan port microphone 2,5mm di kiri.
Baterai yang digunakan berjenis NP-W126S, slot-nya berada di bawah bersama kartu SD. Bagian terbaiknya, X-A7 bisa diisi ulang menggunakan charger Type-C smartphone dan menurut CIPA mampu memberikan 270 jepretan sekali charge.
Kemampuan Foto & Video
Fujifilm X-A7 mengandalkan sensor CMOS APS-C 24MP berdesain Bayer. Sensor yang diusung X-A7 memiliki jumlah titik phase-detection autofocus 8,5 kali lebih banyak daripada sensor milik X-A5 yakni 425 titik.
Unit yang saya review punya rentang ISO 200-12800 yang bisa diperluas hingga 25600. Foto bisa disimpan dalam format JPEG kualitas fine atau normal dan Raw dalam opsi aspek rasio 4:3, 3:2, 16:9, dan 1:1.
Selain mode film simulation yang khas, X-A7 dijejali beberapa mode pengambilan gambar. Selain mode manual, aperture priority, shutter priority, dan program AE, terdapat juga mode motion panorama, night, sport, landscape, portrait, portrait enhancer, advanced filter, dan advance sr auto.
Kamera ini didukung kapabilitas memotret beruntun 6 fps dengan continuous autofocus. Bisa dibilang agak pelan dan buffer-nya juga terasa =pendek. Beberapa kali saya kehilangan momen, karena kamera tak mampu lagi memoret.
Lensa Fujinon XC 15-45mm F3.5- 5.6 OIS PZ akan memanjang saat digunakan, meskipun terbuat dari plastik tapi kualitas hasil fotonya dapat diandalkan. Tentu saja, Anda bisa memasangkan X-A7 dengan lensa fix Fujifilm yang cukup beragam pilihan focal length dan harganya.
Kamera dapat disambungkan ke smartphone melalui aplikasi Camera Remote menggunakan konektivitas Bluetooth dan WiFi. Bahkan mendukung fitur auto transfer sehingga otomatis mengirim foto-foto yang diambil.
Mekanisme layar yang fully articulated, serta ukuran lebih besar dan resolusi lebih tinggi – membuat X-A7 menjadi kamera yang ideal untuk bikin konten video. Benar saja, kemampuan perekaman videonya sanggup merekam 1080p hingga 120fps dan mencapai 4K 30fps tanpa crop dengan bit rate 200Mbps, bukan lagi 4K 15 fps seperti pada X-A5.
Perlu dicatat, durasi rekaman 4K dibatasi sampai 15 menit dan tidak didukung fitur F-Log untuk fleksibilitas editing warna. Lalu, port microphone eksternal 2,5mm – artinya bakal butuh adapter ke 3,5mm.
Verdict
Sebagai kamera foto, Fujifilm X-A7 sangat dapat diandalkan. Mode film simulation yang kece dan menawarkan kemudahan kontrol lewat tombol fisik dan layar sentuhnya. Menurut saya, Anda tinggal membeli lensa fix Fujifilm sebagai pelengkap experience dan focal length-nya sesuaikan dengan kebutuhan.
Untuk keperluan video, buat content creator awal jelas sangat mencukupi. Namun buat yang channel-nya sudah jalan dan fokusnya ingin meningkatkan kualitas konten, maka saya lebih merekomendasikan Fujifilm X-T30. Bila terpaksa butuh layar yang bisa ditarik ke depan, X-T200 juga telah tiba di harga Rp13 juta.
Sparks
Layar 3,5 inci dengan mekanisme fully articulated
Kinerja AF cepat dengan 425 titik
Perekam video 4K 30fps dan 1080p hingga 120fps
Slacks
Burst shooting hanya 6fps
Mode film simulation terbatas
Kena tanggung, posisinya terlalu dekat dengan X-T200
Belakangan ini, mirrorless dengan sensor full frame menjadi pusat perhatian di dunia kamera. Di tengah drama full-frame, Fujifilm tidak ikut-ikutan dan tetap fokus pada sistem APS-C mereka sambil terus mengembangkan mirrorlessmedium format.
Setelah tahun lalu mirrorless flagshipFujifilm X-T3 menuai sukses, seperti yang sudah-sudah mereka juga menurunkan sebagian besar teknologinya ke mirrorless kelas menengah Fujifilm X-T30. Terutama kemampuan perekam videonya, yang sangat memungkinkan membuat para video content creator atau videografer profesional jatuh hati.
Harga Fujifilm X-T30 sendiri dibanderol dengan harga Rp14 juta untuk body only, Rp16 juta dengan lensa XC 15-45mm, dan Rp19 juta dengan lensa XF 18-55mm. Berikut review Fujifilm X-T30 selengkapnya.
Desain Khas dan Ikonik
Bicara soal kamera mirrorless besutan Fujifilm, memang selalu identik dengan desain klasiknya. Seperti kebanyakan mirrorless Fujifilm, X-T30 juga mewarisi desain yang khas dan ikonik. Unit yang saya review berwarna charcoal silver yang kental dengan nuansa retro.
Dimensi body kameranya tergolong compact, terasa klop dalam genggaman tangan meskipun ukuran grip-nya agak kecil. Untuk penggunaan harian, saran saya sebaiknya pasangkan strap untuk keamanan kamera.
Lensa yang saya gunakan ialah XF 16mm F2.8 yang juga berukuran ringkas, saya bisa menggunakan tas kamera kecil dan membawanya bepergian tanpa memakan banyak tempat.
Build quality-nya sendiri menurut saya finishing-nya sangat baik, hampir semua bagian sasisnya terbuat dari material logam – termasuk tiga roda kontrol di pelat atas. Pada beberapa bagian seperti samping dan depannya memang ada juga yang dari bahan plastik. Sementara, bagian belakang dan grip-nya telah berlapis karet untuk memperkuat cengkraman.
Sistem Kontrol Kamera Intuitif
Ini adalah kali pertama saya me-review kamera Fujifilm, sebelumnya hanya sempat hands-on. Saya berpikir bahwa sistem kontrol di kamera manapun itu bakal identik, asalkan sudah paham aturan ‘segitiga emas’.
Nah sehari setelah saya toel-toel kamera ini, dengan ‘PD-nya’ saya mengajaknya pergi meliput sebagai kamera utama. Hasilnya saya sedikit frustasi, karena meraba-raba kontrol manualnya – beberapa momen pun terlewat.
Saat itu saya sadar, membaca buku panduan penggunaan itu penting. Setelah itu, saya browsing dan mengunjungi website resmi Fujifilm untuk mempelajari sistem kontrol dan fitur-fitur yang ditawarkan.
Memang butuh waktu untuk beradaptasi, menurut saya sistem kontrol kamera ini memang sedikit rumit. Bahkan untuk memotret menggunakan sistem autofocus saja membutuhkan beberapa pengaturan kombinasi. Pastikan tuas yang berada di roda kontrol shutter speed mengarah ke auto. Lalu, arahkan tuas focus mode ke S atau C yang berada di bagian belakang sebelah kiri bawah.
Untung saja, titik fokus bisa dengan mudah ditentukan – bisa menggunakan layar sentuh (tap focus) atau dengan menggerakkan joystick. Layarnya juga dapat berfungsi sebagai touchpad saat kita memotret menggunakan viewfinder.
Sedikit penjelasan mengenai focus mode, S artinya Single AF yang bisa Anda gunakan saat memotret objek diam. Sementara C ialah Continuous AF yang bisa dipilih saat memotret objek bergerak, dan M artinya Manual Focus.
Tombol fisik pada sekeliling body-nya memang terkesan ramai sekali, tapi saya sangat menyukai sistem kontrol pada kamera X-T30 ini. Ada tiga dial atau roda kontrol utama pada kamera ini yaitu exposure compensation, shutter speed, dan drive atau mode pengambilan gambar.
Lalu, didukung roda kontrol tambahan di bagian belakang untuk mengatur ISO dan depan untuk mengatur shutter speed dengan rentang terbatas. Buat saya kelengkapan ini sudah lebih dari cukup untuk mengoperasikan kamera dengan cepat dan akurat, ditambah lagi sejumlah tombol juga dapat disesuaikan (Quick Menu) dan menawarkan sejumlah shortcut yang bisa diatur lagi sesuai kebutuhan.
Ukuran viewfinder-nya memang agak kecil, bagi yang menggunakan kaca mata seperti saya sedikit kurang nyaman. Fujifilm mengemasnya dengan panel OLED beresolusi 2,36 juta titik. Secara default refresh rate EVF adalah 60 fps, tapi bisa naik menjadi 100 fps bila mengaktifkan ‘boost mode‘.
Layar 3 inci-nya disokong resolusi 1,04 juta titik dan sepenuhnya layar sentuh termasuk untuk mengakses antarmuka kamera. Sayangnya, Fujifilm masih mempertahankan mekanisme tilting dan bukan menggunakan mekanisme yang fully articulated seperti pada X-T100.
Artinya kita hanya bisa memiringkan layarnya sedikit, ke atas sampai 90 derajat dan ke bawah sampai 45 derajat. Untuk aktivitas memotret, mekanisme ini justru yang paling ideal. Sebaliknya, bagi para video content creator yang membuat video mereka seorang diri – ini menjadi kekurangan.
Soal kelengkapan port-nya, di sisi kiri terdapat tiga port yakni port microphone 2,5mm, USB Type-C, dan micro-HDMI. Anda mungkin akan membutuhkan adaptor dari 2,5mm ke 3,5mm untuk menggunakan mikrofon eksternal. Sementara, port USB Type-C miliknya dapat digunakan untuk mengisi daya, transfer file ke komputer, atau menancapkan headphone untuk memonitor audio.
Baterai yang digunakan ialah lithium-ion NP-W126S yang menyuguhkan 380 jepretan menggunakan layar LCD. Tentu saja, ketahanan baterai balik lagi pada penggunaan kamera. Hasilnya bisa berbeda-beda, bila kita juga sering menggunakan viewfinder, mode burst, dan merekam video. Di sebelah baterai terdapat satu slotSD card yang mendukung media UHS-I.
Kemampuan Video – 4K 30fps
Sekarang kita akan bahas mengenai fitur spesial pada kamera ini yakni kemampuan perekam videonya. Fujifilm X-T30 dapat merekam video 4K UHD dan DCI pada 30 fps, oversampling menggunakan seluruh penampang sensor dengan bit rate maksimum 200 Mbps.
Nah fitur yang bakal membuat para videografer atau filmaker tersenyum lebar ialah kamera ini tak hanya menawarkan output video 4:2:0 8-bit dengan internal recording yang bisa disimpan langsung ke SD card, tapi juga output video 4:2:2 10-bit menggunakan external recorder lewat HDMI.
Didukung juga fitur-fitur seperti picture profile F-Log gamma curve, face/eye detection, dan ‘mode movie silent control‘. Di mana kita dapat menyesuaikan exposure, ISO, mic/headphone level, wind filter, white balance, dan Film Simulation dengan layar sentuh tanpa perlu menyentuh tombol fisik.
Berikut detail lengkap format video yang direkam oleh Fujifilm X-T30:
4K DCI 17:9 (4096×2160) / UHD (3840×2160) pada 29.97p, 25p, 24p, 23.98p dengan bit rate 200, 100 Mbps
Full HD 17:9 (2048×1080) / Full HD(1920×1080) pada 59.94p, 50p, 29.97p, 25p, 24p, 23.98p dengan bit rate 200, 100, 50 Mbps
Cukup mumpuni bukan? Sayangnya, durasi perekaman video 4K dibatasi hanya 10 menit. Mungkin untuk mencegah terjadinya overheat, mengingat ukuran kamera ini cukup ringkas.
Fitur perekam video 4K memang sangat penting dan akan menjadi standar di masa depan, tapi apakah Anda sudah benar-benar membuat video di resolusi 4K?
Sebab video 4K membutuhkan requirement tinggi, seperti kartu memori dengan kecepatan baca tulis tinggi dan kapasitas besar, penyimpanan untuk menampung file 4K, dan laptop dengan prosesor cepat untuk mengeditnya.
Saya sendiri masih membuat video pada resolusi 1080p, tapi beberapa footage saya mulai ambil pada video 4K. Karena memberi fleksibilitas lebih saat editing dan juga sebagai aset. Untuk saat ini, saya tak masalah dengan batasan durasi 10 menit di resolusi 4K pada X-T30.
Kemampuan Foto
Bagaimana dengan hasil fotonya? Fujifilm X-T30 mengusung sensor X-Trans beresolusi 26MP dan prosesor X 4 yang sama seperti yang dimiliki X-T3. Artinya, kualitasnya tak perlu diragukan lagi.
Prosesor X 4 ini menyuguhkan kemampuan burst shooting lebih ngebut. Dengan electronic shutter, kamera dapat menembak 30 fps tanpa henti tapi dengan crop 1.25x atau 20 fps tanpa crop. Sementara, bila menggunakan mechanical shutter dapat menembak 8fps.
Seperti X-T3, X-T30 memiliki sistem Hybrid AF dengan 425 phase-detect points yang mencakup seluruh frame. Focus mode-nya sendiri terdiri dari single point, zone, wide, dan all.
Sistem autofocus-nya sangat dapat diandalkan, X-T30 juga dapat mendeteksi wajah dan mata dengan cukup cepat. Titik fokus juga dapat ditentukan dengan menyentuh layar atau joystick. Berikut beberapa hasil foto dari Fujifilm X-T30:
Verdict
Berada di rentang harga belasan juta, menurut saya Fujifilm X-T30 merupakan salah satu kamera mirrorless kelas menengah terbaik pada tahun 2019. Kamera ini dikemas dengan sensor, prosesor, dan sistem autofocus baru yang sama seperti milik mirrorless flagship Fujifilm X-T3.
Saya sangat menyukai desain dan sistem kontrol fisiknya seperti terhubung dengan kamera, walaupun sedikit rumit tapi begitu Anda menguasainya maka Anda akan dimanjakan. Tapi ada dua hal yang perlu dipertimbangkan sebelum membeli kamera ini, yaitu mekanisme layar tilting dan batasan durasi 10 menit di perekaman video 4K. Apakah itu masalah buat Anda?
Lawan sepadan dari Fujifilm X-T30 adalah Sony A6400 dan Panasonic Lumix G95. Ketiga kamera ini dilengkapi kemampuan perekam video yang mumpuni, sangat cocok untuk para video content creator yang ingin meningkatkan kualitas konten mereka.
Sparks
Perekaman video 4K DCI dan UHD 30fps
Mendukung output video 10-bit 4:2:2 menggunakan external recorder lewat HDMI
Dukungan picture profile F-Log gamma curve
Port USB Type-C dapat digunakan untuk memasang headphone
Menggunakan sensor dan prosesor gambar yang sama seperti X-T3
Film Simulation mode memungkin Anda menghasilkan foto yang ‘artsy’
Slacks
Mekanisme layar tilting, hanya bisa dimiringkan sedikit
Tidak memiliki in-body stabilization
Durasi perekaman video 4K dibatasi hanya 10 menit
Port mikrofon eksternal 2,5mm sehingga butuh adaptor tambahan