Tag Archives: Xendit

Startup payment gateway Xendit kembali PHK sejumlah karyawannya, gelombang kedua setelah rumahkan 5% karyawan pada Oktober 2022

Xendit Kembali PHK Karyawan

Startup payment gateway Xendit kembali merumahkan sejumlah karyawannya. Perusahaan berdalih langkah ini ditempuh untuk memaksimalkan ketahanan jangka panjang dan peningkatan profitabilitas.

Secara resmi tidak disampaikan berapa banyak karyawan yang terdampak dari keputusan tersebut, namun dari rumor yang beredar sekitar 200 pegawai dirumahkan dalam gelombang PHK kedua ini. Sebelumnya, gelombang PHK pertama telah ditempuh pada Oktober 2022, saat itu sebanyak 5% karyawan Xendit dirumahkan, menyisakan sekitar 800-an lebih pegawai.

Dalam keterangan resmi, Managing Director Xendit Indonesia Mikiko Steven menyampaikan proses ini sulit dilakukan, namun harus tetap ditempuh demi menyelaraskan sumber daya dengan strategi bisnis, dan memastikan Xendit berada di posisi terbaik untuk mengejar pertumbuhan baru.

“Kami berterima kasih kepada semua anggota tim kami atas kontribusi mereka terhadap kesuksesan dan pertumbuhan kami sepanjang perjalanan kami,” ujarnya, Senin (22/1).

Mikiko juga memastikan penyeimbangan organisasi dan tenaga kerja tidak akan berdampak pada komitmen perusahaan untuk memberdayakan klien dan membangun solusi fintech yang inovatif.

“Kami tetap menjadi gerbang pembayaran terkemuka di Indonesia dan Filipina, dan kami berharap dapat membangun infrastruktur pembayaran di seluruh Asia Tenggara,” pungkasnya.

Xendit beroperasi sejak Juli 2016. Tak hanya di Indonesia, startup yang digawangi oleh Moses Lo ini telah melebarkan bisnisnya ke Filipina (2020) dan Malaysia (2023). Di Malaysia, Xendit beroperasi melalui Payex, startup sejenis yang memperoleh suntikan dana dari Xendit.

Solusi Xendit memungkinkan bisnis untuk menerima pembayaran, menjalankan marketplace dan banyak lagi, melalui platform integrasi yang mudah dan didukung oleh layanan pelanggan selama 24 jam. Xendit memungkinkan bisnis untuk menerima pembayaran dari debit langsung, rekening virtual, kartu kredit dan debit, eWallet, QRIS, gerai ritel, dan cicilan online.

Secara grup, Xendit juga memiliki lini bisnis di luar gerbang pembayaran, yakni Bank Sahabat Sampoerna dan BPR Nex.

Perusahaan terakhir kali mengumumkan pendanaan seri D pada Mei 2022. Putaran yang bernilai $300 juta ini dipimpin oleh Coatue dan Insight Partners, dengan partisipasi Accel, Tiger Global, Kleiner Perkins, EV Growth, Amasia, Intudo, dan Goat Capital.

Pembiayaan Berbasis Pendapatan UMKM

Finfra dan Xendit Garap Produk Pembiayaan Berbasis Pendapatan untuk UMKM

Populernya lanskap pembiayaan UMKM di Indonesia mendorong kemunculan berbagai inovasi untuk mempermudah akses. Baru-baru ini, startup fintech Finfra dan Xendit memperkenalkan Revenue-Based-Financing (RBF) alias pembiayaan berbasis pendapatan, model pembiayaan alternatif baru bagi UMKM.

Produk RBF menawarkan akses kredit kepada UMKM dan pilihan pembayaran yang fleksibel. Finfra dan Xendit mengembangkan sistem rekening bank berkemampuan API yang dapat dibuka atas nama pihak peminjam. RBF memungkinkan peminjam untuk mengarahkan semua pendapatan ke rekening yang ditunjuk, dan sebagian otomatis dialokasikan untuk pembayaran kembali pinjaman.

Hal ini untuk menghindari rasio yang umumnya mengarahkan 20% dana masuk ke pembayaran pinjaman dan menyimpan 80% sisanya di rekening peminjam. Adapun, kemitraan ini memanfaatkan fitur Rekening Dana Fintech (RDF) dari Xendit untuk proses collection secara otomatis.

Dalam keterangan resminya, Managing Director Xendit Mikiko Steven mengatakan, “Menyederhanakan dan memodernisasi pembayaran telah menjadi inti pekerjaan kami sejak kami mendirikan perusahaan ini. Untuk itu, penting bagi kami untuk bermitra dengan perusahaan yang fokus pada Asia Tenggara dan UKM Asia Tenggara seperti kami, dan saya sangat yakin dengan masa depan produk dan kemitraan ini.”

Sementara dihubungi secara terpisah, Co-Founder dan CEO Finfra Markus Prommik mengungkap bahwa produk ini dapat menimbulkan biaya pembayaran yang lebih tinggi meski menghasilkan keuntungan positif dan tingkat approval lebih tinggi. Namun, edukasi pengguna terus dilakukan agar lebih memahami tantangan dan risiko pembiayaan berbasis pendapatan.

“Keuntungannya, RBF dapat menaikkan tingkat persetujuan untuk produk pinjaman. Kedua, pembayaran secara otomatis dapat menghemat waktu dan memberikan fleksibilitas bagi UKM. Saat ini, hanya penjual online yang memiliki akses ke produk RBF kami. Suku bunga yang ditawarkan tergantung profil risiko, tetapi rata-rata berkisar 2,5% per bulan,” ujar Prommik.

Sebagai informasi, Finfra adalah startup penyedia infrastruktur pinjaman yang beroperasi bersama anak usaha P2P Lending, Danabijak. Sementara, Xendit membangun infrastruktur pembayaran yang kini beroperasi di Indonesia dan Filipina.

Model pendanaan UMKM

Dari informasi yang kami himpun, tampaknya belum banyak platform penyedia produk pembiayaan atau modal UMKM dengan skema RBF. Sejauh ini yang kami temukan adalah platform Jenfi asal Singapura, klaimnya sebagai penyedia produk RBF pertama di Asia Tenggara. Jenfi baru resmi meluncur di Indonesia pada Juni 2023.

Mengutip informasi di situs resminya, Jenfi menjelaskan bahwa model RBF berbeda dengan pembiayaan ekuitas yang mengambil porsi kepemilikan saham untuk mendapat modal. Skema ini juga disebut lebih fleksibel dan ideal bagi pelaku UMKM yang mengejar pertumbuhan bisnis dalam jangka panjang.

Di Indonesia, kebanyakan model fasilitas pembiayaan alternatif yang ditawarkan oleh startup berbentuk P2P Lending. Kemudahan pengajuan dan akses yang lebih luas memungkinkan pelaku usaha untuk mendapat fasilitas permodalan dibandingkan opsi dari lembaga keuangan tradisional.

Model lainnya yang tengah berkembang saat ini adalah Securities Crowdfunding (SCF). Pemilik bisnis dapat melakukan pengumpulan dana untuk pengembangan usahanya di mana investor bisa masuk lewat berbagai instrumen, seperti kepemilikan saham, obligasi, atau sukuk. Meski begitu, skala penggunaan SCF masih jauh dibandingkan P2P Lending.

Berdasarkan data OJK per Oktober 2023, total outstanding loan P2P Lending mencapai Rp58,05 triliun dengan total platform penyelenggara sebanyak 101. Adapun, total pengumpulan dana melalui platform SCF baru mencapai Rp1,01 triliun dari 16 platform terdaftar dan 164 ribu investor.

Bisnis Dana di 2022

Miliki 135 Juta Pengguna, DANA Perkuat Kemitraan dan Kembangkan Layanan Cross-Border

Dalam kesempatan temu media (25/1), DANA mengatakan bisnisnya terus mengalami pertumbuhan. Pada 2021 lalu jumlah pengguna mereka ada sekitar 93 juta, di tahun 2022 tercatat naik menjadi sekitar 135 juta. Bukan hanya di pulau Jawa, namun kota-kota di luar pulau Jawa juga sudah mulai menunjukkan pertumbuhan pengguna dalam jumlah yang besar.

CEO DANA Indonesia Vince Iswara mengungkapkan, tahun ini dan 2024 mendatang, perusahaan menargetkan jumlah pengguna lebih banyak lagi atau sekitar 3x lipat, dilihat dari makin bertambahnya layanan dan produk yang akan dihadirkan oleh DANA.

“Pencapaian ini merupakan momentum bagi DANA sebagai solusi keuangan modern untuk terus menyebarkan nilai, inovasi, serta produk dan layanan. Melalui inisiatif program, teknologi, serta kolaborasi dengan regulator, DANA berkomitmen untuk terus memberikan perlindungan, kenyamanan, dan pengalaman terbaik bagi kebutuhan keuangan dan gaya hidup sehari-hari para pengguna,” kata Vince.

Setelah mendapatkan dana segar dari Sinar Mas dan Lazada Group dengan nominal dirahasiakan, hingga saat ini DANA masih akan fokus untuk mengembangkan infrastruktur teknologi sekaligus menambah jumlah talenta digital mereka khususnya engineer. Saat ini DANA telah memiliki sekitar 900 pegawai lebih, dan 60% di antaranya adalah tim engineer.

Disinggung apakah ke depannya akan ada integrasi antara DANA dengan Sinar Mas dan Lazada Group, Vince menegaskan sejak awal kedua investor tersebut percaya dengan teknologi dan layanan yang dimiliki DANA, namun saat ini belum memiliki rencana untuk melakukan integrasi dengan mereka.

Perkuat kerja sama dengan Xendit

Managing Director, Xendit Mikiko Steven / DANA

Salah satu mitra strategis DANA adalah startup payment gateway Xendit. Dalam implementasi kemitraannya, DANA sebagai dompet digital yang menerapkan ekosistem terbuka dalam sistem operasinya juga berkolaborasi dengan Xendit, perusahaan teknologi finansial yang menyediakan infrastruktur pembayaran untuk Indonesia.

DANA menjadi salah satu jenis pembayaran transaksi dalam ekosistem Xendit Group. Transaksi uang elektronik sendiri di Xendit meningkat, khususnya DANA tumbuh 6x lipat dalam setahun dengan volume lebih dari Rp4 triliun.

Telah menjalin kemitraan sejak tahun 2019 lalu, sebanyak 64% porsi volume transaksi produk uang elektronik DANA di Xendit meningkat, dibandingkan dengan produk DANA lainnya di tahun 2022. Sementara itu jumlah merchant aktif yang bertranskasi menggunakan produk uang elektronik DANA di bulan Desember 2022 berjumlah sekitar 1400.

“Alasan utama kami melakukan kemitraan strategis dengan DANA adalah dari sisi teknologi dibandingkan dengan mitra Xendit lainnya DANA lebih unggul dari sisi kemudahan membaca, integrasi dan kemudahan transaksi para merchant,” kata Managing Director Xendit Mikiko Steven.

Ditambahkan olehnya untuk pembayaran menggunakan QRIS dari sisi teknis DANA paling lengkap, demikian juga dari sisi fitur dan tentunya teknologi. Tercatat saat ini Xendit telah menjadi Most Valuable Partner untuk payment gateway di DANA dan telah memproses sekitar 500 miliar rupiah melalui channel DANA.

Menurut Vince, kerja sama strategis antara DANA dan Xendit, masing-masing saling memberikan keuntungan bagi kedua pihak. Dengan 135 juta pengguna DANA, tentunya bisa dimanfaatkan oleh Xendit untuk memperluas layanan dan produk mereka.

Saat ini Xendit sendiri telah memproses lebih dari 200 juta transaksi pembayaran digital di Indonesia dengan nilai total volume transaksi lebih dari $20 miliar (sekitar Rp300 triliun). Angka ini naik 30% secara year-on-year dibandingkan tahun sebelumnya.

Adapun, untuk jumlah merchant aktif yang dilayani Xendit Group mencapai 3.500 pelaku usaha, terdiri dari 70% merchant UMKM dan 30% perusahaan. Dari segi fitur, ada sejumlah peningkatan yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kepuasan merchant.

Kembangkan pembayaran cross-border

Menyusul diresmikannya implementasi transaksi pembayaran lintas negara oleh Bank Indonesia (BI) dan Bank of Thailand, dengan melibatkan 76 penyedia jasa sistem pembayaran dari kedua negara, pada bulan September lalu DANA sudah bisa digunakan di Thailand.

Melalui inisiatif ini, masyarakat di wilayah Indonesia dan Thailand dapat menggunakan aplikasi pembayaran yang terdapat pada gawai dengan memindai Thai QR Codes dan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard) dalam melakukan transaksi pembayaran di merchant.

Ke depannya DANA juga memiliki rencana untuk menambah implementasi transaksi pembayaran lintas negara di negara Asia Tenggara lainnya. Meskipun masih dalam tahap awal dan adopsi, namun untuk fase selanjutnya, DANA juga ingin menambah layanan dan fitur pembayaran cross border ini untuk pengguna di kedua negara.

“Tahun 2023 ini DANA memiliki rencana untuk memberikan layanan keuangan lebih luas lagi, dilihat dari penetrasi digital yang sudah lumayan. Kami ingin pengguna DANA mendapatkan benefit lebih banyak. Tahun ini yang diprediksi akan terjadi resesi, diharapkan DANA bisa membantu pengelolaan keuangan pengguna dalam kehidupan sehari-hari,” kata Vince.

Application Information Will Show Up Here
Xendit Papar Rencana Bisnis di Luar Gerbang Pembayaran

Xendit Papar Ekspansi Bisnis di Luar Gerbang Pembayaran

Diversifikasi bisnis merupakan ‘bensin’ bagi perusahaan untuk terus mendongkrak pendapatan agar dapat berkelanjutan. Xendit pun mulai mengembangkan bisnis di luar gerbang pembayaran, dengan berinvestasi di Bank Sahabat Sampoerna dan merilis aplikasi bank digital Nex, sebagai salah satu upayanya sejak tahun lalu.

Dalam wawancara eksklusif bersama DailySocial.id, Co-Founder dan COO Xendit Tessa Wijaya memaparkan latar belakang perusahaan mengambil dua aksi strategis tersebut. Ia merasa optimistis perkembangan produk finansial di Indonesia, apalagi terkait BPR yang selama ini seolah terasingkan dari hiruk-pikuk digitalisasi. Padahal, peranan mereka tak kalah penting bagi ekonomi negara.

“Mereka [BPR] punya opportunity yang sangat besar, nasabahnya banyak, tapi belum banyak disebut dan difokuskan oleh startup-startup lain untuk dapat dikerjasamakan dan dikembangkan produk digitalnya agar mereka lebih mapan lagi,” katanya.

Tessa menambahkan, di tengah hiruk-pikuk bank digital, mayoritas dari pemain yang ada bicara soal konsumen akhir (B2C). Namun, banyak yang melupakan bahwa bisnis (perusahaan) juga membutuhkan bank tak hanya untuk pembayaran saja. “Makanya kami berinvestasi ke Bank Sahabat Sampoerna, aplikasi Nex, karena alasan itu.”

Sebagai catatan, aplikasi Nex sudah dirilis sejak 7 November 2022 setelah melewati fase uji coba internal. Aplikasi ini dikembangkan oleh PT Nex Teknologi Digital (NTD) yang bekerja sama dengan PT BPR Xen. Keduanya merupakan bagian dari Xendit Group. Produk perdananya adalah Rekening Tabungan Milenial dengan penawaran bunga tabungan 6% per tahun, yang dibayarkan setiap hari.

Dijelaskan lebih jauh oleh Director Xendit Group Rifai Taberi yang turut menjabat sebagai Direktur Utama PT Nex Teknologi Digital (NTD), semangat Xendit Group untuk membuat aplikasi bank digital untuk memenuhi ekosistem B2B yang sejatinya tidak hanya butuh kemudahan sistem pembayaran semata. Sebab, ada kalanya bisnis, terutama yang masih dalam skala UKM butuh aspek pembiayaan dan tabungan dalam mendukung perkembangan bisnis mereka.

Oleh karenanya, eksperimen Xendit melalui aplikasi Nex ini adalah dalam rangka mendigitalkan BPR agar produknya lebih mudah diakses. Proposisi ini bisa dianggap sebagai angin segar di dunia BPR. Menurut Rifai, secara tampilan luar produk, Nex memang diarahkan untuk konsumen akhir, tapi ternyata segmentasi target penggunanya justru buat pebisnis existing (merchant) Xendit.

“Kami mau memfasilitas merchant-merchant kami dengan solusi perbankan yang end-to-end bersama Xendit. Harapannya ketika bisnis BPR meningkat, baik dari tabungan dan pinjaman tersalurkan, semuanya bisa tumbuh bersama Xendit. Jadi positioning Nex tetap B2B,” terangnya.

Perlu diketahui, agar dapat bertahan pada era digital seperti sekarang, inovasi layanan dan teknologi menjadi hal wajib jika BPR tidak ingin tersingkir dari peta bisnis perbankan. Sayangnya, tak semua BPR memiliki infrastruktur digital yang memadai. Apalagi, banyak BPR bermodal cekak sehingga sulit untuk membangun infrastruktur digital yang relatif membutuhkan biaya tinggi.

Sudah harus bersaing di dunia digital, jalan yang ditapaki BPR pun kian hari kian sulit. Segmen mikro yang selama ini jadi lahan bisnis utama mereka terus tergerus dengan hadirnya berbagai pesaing dari dunia finansial. Kendati persaingan sangat ketat, bank-bank rural ini memiliki keunggulan lantaran karakteristik bisnisnya yang berbeda.

Kelokalan dan keeratan hubungan emosionalnya dengan para nasabah menjadi nilai lebih bagi BPR. Namun untuk mengatasi kelemahannya—sekaligus mengandalkan kelebihannya-—akan membuat daya tarik BPR akan makin kinclong. Dengan begitu, fungsi BPR untuk memajukan daerah dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat akan makin besar.

Bank Sahabat Sampoerna

Tessa melanjutkan, cerita awal kerja sama bisnis antara Xendit dengan Bank Sahabat Sampoerna (BSS) sudah dimulai bahkan saat perusahaan masih kecil. Saat itu, pihaknya sangat mengapresiasi keterbukaan dari pihak bank untuk menjalin kerja sama dengan startup untuk masuk ke ranah digital dan meracik produk bersama.

“BSS itu sangat progresif sejak dulu selalu terbuka karena itu sangat masuk akal bagi kami untuk berinvestasi ke mereka. Dengan adanya investasi ini akan ada lebih banyak lagi sinergi yang bisa dilakukan,” terang Tessa.

Salah satu contoh yang sudah dilakukan kedua perusahaan adalah dari sisi penyelarasan produk remitansi. Melalui solusi yang dikembangkan bersama BSS, kini memungkinkan perusahaan remitansi dengan tingkat kepatuhan tinggi, mampu mendeteksi secara otomatis identitas pengirim sumber dana dan pemilik akun di aplikasi haruslah sama.

“Itu salah satu contoh bagaimana kami bisa serve partner yang highly compliance seperti itu. Jadi dari sisi kapabilitas, banyak banyak yang belum bisa seperti itu. Tapi di BSS sudah bisa,” tambah Director Xendit Group Mikiko Steven.

Mengenai rencana untuk menjadi pemegang mayoritas, menurut Tessa, tentunya ada wacana seperti itu, tetapi belum dalam waktu dekat. Semua perusahaan yang bergerak di bisnis pembayaran pasti punya keinginan untuk menyediakan produk-produk yang bank-alike. Bahkan, saat Xendit masih menjadi minoritas, pihak BSS malah semakin membuka diri untuk menggodok produk bersama. Dari sisi Xendit, turut membantu bank dari sisi backend untuk keperluan e-KYC agar semakin efisien, tidak ada proses manual lagi.

Mengutip dari situs BSS, Xendit Pte. Ltd. kini menguasai 24,2% saham di BSS. Pemegang mayoritas masih dikempit oleh PT Sampoerna Investama. Sebelumnya, pada April 2022, kepemilikan Xendit berada di angka 14,96%.

Baik BSS maupun BPR Xen akan menjadi kendaraan Xendit untuk meningkatkan bisnis non-pembayaran dalam menyasar para merchant-nya. Xendit akan membantu usaha para merchant yang membutuhkan pinjaman usaha melalui referral dan dukungan riwayat data agar prosesnya jauh lebih ringkas. Tak hanya itu, sebelumnya perusahaan juga mengakuisisi perusahaan pembiayaan PT Globalindo Multi Finance pada tahun lalu, melalui PT Indo Digital Raya (15,13%) per 2021.

“Kami lihat B2B dan B2C itu beda sekali cara dekati konsumennya, cara buat produk, dan sebagainya. DNA kami itu B2B banget. Jadi kalau kami buat produk B2C belum tentu ngerti konsumen maunya apa. Dari sisi teknis, kami paham mau buat produk apa dan bagaimana support bisnis meningkatkan pendapatan dan bertransaksi secara digital. Jadi sangat beda angle-nya,” pungkas Tessa.

Startup payment gateway Xendit ekspansi ke Malaysia melalui pendanaan yang diberikan untuk Payex, startup lokal asal Malaysia

Setelah Malaysia, Xendit Akan Lanjutkan Ekspansi Regional

Setelah resmi masuk ke Malaysia, startup payment gateway Xendit akan melanjutkan ekspansi berikutnya ke sejumlah negara di Asia Tenggara dalam rangka mewujudkan ambisi sebagai pemain terdepan di segmen ini. Malaysia merupakan ekpansi kedua Xendit setelah masuk ke Filipina sejak 2020.

“Kami bangga dengan produk kami. Misi kami adalah mengembangkan produk ini ke berbagai negara ASEAN. IPO bukan wacana sekarang tapi suatu hari. Fokus 2023 dan beberapa tahun ke depan masih ke regional, mau bawa produk dari Indonesia ke luar negeri,” terang Co-founder dan COO Xendit Tessa Wijaya dalam media gathering, Kamis (12/1).

Hanya saja, Tessa enggan memaparkan lebih rinci rencana strategis mengenai negara berikutnya yang tengah dijajaki. Ia menjelaskan ada sejumlah alasan strategis di balik keputusan perusahaan memilih Malaysia sebagai negara kedua yang dirambah, termasuk juga alasan memilih Payex sebagai mitra lokalnya.

Pertama, di Negeri Jiran tersebut punya kesamaan dari preferensi metode pembayaran yang dipilih. Salah satunya adalah memindai kode QR yang kini makin populer di Malaysia, hal yang sama juga terjadi di Indonesia dengan kehadiran QRIS. Kondisi tersebut memvalidasi bahwa teknologi yang sudah dibangun Xendit di Indonesia dapat diboyong ke sana agar terjadi pemerataan solusi gerbang pembayaran yang sama antara UMKM di Malaysia dengan Indonesia.

Kedua, dari Payex itu sendiri, startup yang disuntik Xendit, merupakan perusahaan sejenis yang baru berdiri sejak dua tahun lalu. Startup ini fokus pada penyediaan solusi gerbang pembayaran untuk UMKM, sejalan dengan misi Xendit yang ingin mendukung UMKM dengan menyediakan solusi pembayaran digital di Asia Tenggara.

Kesempatan tersebut membuka banyak potensi sinergi yang bisa dilakukan untuk mengembangkan UMKM di sana sedini mungkin agar dapat tumbuh bersama. “Terakhir, yang terpenting mereka itu punya company culture yang sama dengan kami. Kami sangat pentingkan itu karena misalkan punya culture yang selaras akan sangat gampang mengembangkan ide-ide yang ada.”

Sebagai catatan, ekspansi ke Malaysia ini merupakan tindak lanjut dari pengumuman investasi dari Penjana Kapital untuk Xendit pada 2021, melalui program Dana Penjana Nasional. Sebagai langkah strategis pertamanya di dalam negeri, Xendit telah mengumumkan investasi pada pemain fintech lokal, Payex – penyedia gerbang pembayaran berlisensi Bank Negara Malaysia. Tidak disebutkan nominal dana yang diberikan dari Xendit.

Pencapaian Xendit

Dalam kesempatan yang sama, perusahaan secara grup juga mengumumkan pencapaian bisnisnya selama setahun kemarin. Disebutkan telah memproses lebih dari 200 juta transaksi pembayaran digital di Indonesia dengan nilai total volume transaksi lebih dari $20 miliar (sekitar Rp300 triliun). Angka ini naik 30% secara year-on-year dibandingkan tahun sebelumnya.

Adapun, untuk jumlah merchant aktif yang dilayani Xendit Group mencapai 3.500 pelaku usaha, terdiri dari 70% merchant UMKM dan 30% perusahaan. Dari segi fitur, ada sejumlah peningkatan yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kepuasan merchant.

Di antaranya, menyediakan pembayaran berkala (recurring payments) untuk permudah merchant dalam pembayaran melalui kartu kredit, e-wallet, debit langsung secara teratur. Kemudian, peningkatan autentikasi yang diperbarui untuk membantu merchant, menerima pembayaran melalui kartu kredit dengan aman, dan tokenisasi dompet elektronik demi menciptakan alur pembayaran yang lebih nyaman bagi pelanggan dan meningkatkan tingkat keberhasilan pembayaran

Dari data internal, juga dipaparkan mengenai tren pembayaran digital di Indonesia untuk menggambarkan frekuensi penggunaan layanan Xendit Group oleh merchant. Temuan tersebut adalah:

1.Virtual Account menjadi metode pembayaran paling populer.
Dari 200 juta transaksi yang diproses, sebanyak 36% di antaranya adalah transfer Virtual Account (VA). Selanjutnya, penggunaan uang elektronik dan kartu kredit menempati urutan kedua dan ketiga sebagai metode pembayaran terpopuler di merchant Xendit.

2.Paylater catatkan pertumbuhan 10 kali lipat.
Penggunaan fasilitas pembayaran paylater semakin diminati konsumen, terbukti dari volume pembayaran yang meningkat hingga 10 kali lipat, diikuti dengan kartu kredit (6 kali lipat), uang elektronik (5 kali lipat) dibandingkan tahun sebelumnya.

3.Sektor wisata dan hiburan bangkit signifikan pasca-pandemi.
Xendit Group mencatatkan sektor pariwisata tumbuh tertinggi (181,4%), kemudian disusul hiburan — gaming, tiket pertunjukan, tempat wisata (132,5%), dan restoran (68,4%). Sektor-sektor ini mengalami lonjakan transaksi sepanjang November-Desember 2022, memperlihatkan bahwa konsumen kembali membelanjakan uang untuk keperluan hiburan dan rekreasi pasca berakhirnya pandemi.

4.Transaksi tertinggi berada di sektor bisnis jasa.
Dari sekian banyak merchant Xendit Group, data menunjukkan bahwa sektor yang mencatatkan frekuensi transaksi paling banyak adalah jasa (96 juta transaksi), layanan finansial (61,3 juta transaksi), dan produk digital —voucher game, e-book (56 juta transaksi).

5.Penggunaan QRIS terus meningkat.
Selama 2022, Xendit Group telah memfasilitasi lebih dari 20 juta transaksi dengan volume sebesar $150 juta (sekitar Rp2 triliun). total volume transaksi ini meningkat 17,25% dari tahun sebelumnya.

Application Information Will Show Up Here
Startup unicorn fintech Xendit melakukan PHK atau layoff sebanyak 5% karyawannya di Indonesia dan Filipina karena situasi makro ekonomi yang tak menentu

Xendit PHK 5% Karyawan di Indonesia dan Filipina

Pemutusan hubungan kerja alias PHK kembali ditempuh startup Indonesia. Kali ini dari Xendit, startup yang meraih gelar unicorn pada tahun lalu. Keputusan ini diambil perusahaan karena situasi makro ekonomi yang tak menentu, sehingga memaksa perusahaan melakukan rightsizing struktur dan sumber daya tim.

“Xendit selalu mencoba untuk menyiapkan rencana bisnis terbaik, namun situasi makro ekonomi yang tidak menentu saat ini memaksa kami untuk melakukan rightsizing struktur dan sumber daya tim. Hal ini didasarkan pada strategi bisnis yang progresif melihat situasi ke depan, dan telah melalui pertimbangan yang komprehensif untuk memastikan bahwa kami siap menghadapi tantangan dan peluang di masa depan,” ucap Co-Founder & COO Xendit Tessa Wijaya dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, melakukan rightsizing tim adalah keputusan yang sangat sulit, namun harus tetap diambil untuk mengoptimalkan posisi perusahaan di jangka pendek maupun panjang. Sebanyak 5% karyawan Xendit di Indonesia dan Filipina terkena dampak dari keputusan tersebut.

Mengutip dari laporan RevoU, berdasarkan data LinkedIn Premium Insights, pada tahun lalu Xendit masuk dalam urutan ke-9 dari 10 perusahaan teknologi Indonesia dengan jumlah karyawan baru terbanyak yakni sebanyak 307 orang. Xendit menerima karyawan baru sebanyak 307 orang dengan persentase pertumbuhan sebesar 104,78% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut bisa dipastikan belum menghitung jumlah karyawan baru Xendit di Filipina.

Xendit menyatakan komitmennya untuk mendampingi pegawai yang terdampak selama masa transisi ini. Mereka akan menerima kompensasi dan prosesnya dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan. Tidak dirinci kompensasi yang dimaksud Tessa.

“Kami juga memberikan manfaat tambahan lain bagi tim yang terdampak guna membantu mereka, seperti perpanjangan masa asuransi kesehatan, bantuan pendampingan psikolog dan juga akan mengurasi daftar alumni Xendit untuk membantu tim terdampak mendapatkan pekerjaan lebih cepat.”

Tessa juga memastikan kendati melakukan rightsizing, tidak berdampak pada kelangsungan usaha Xendit. Perusahaan tetap menjadi perusahaan pembayaran digital di Indonesia dan Filipina, serta berkomitmen untuk terus membangun infrastruktur pembayaran di Asia Tenggara.

“Xendit telah bertumbuh dengan baik dalam beberapa tahun ini melalui kontribusi berbagai pihak, terutama dari tim kami yang penuh dedikasi berkontribusi untuk membangun Xendit sampai berada di posisi saat ini. Kami sangat mengapresiasi seluruh upaya dalam menjadikan Xendit seperti yang sekarang,” tutupnya.

Pendanaan Seri D

Sebelumnya pada Mei 2022, perusahaan menutup pendanaan seri D senilai $300 juta dipimpin oleh Coatue dan Insight Partners, dengan partisipasi Accel, Tiger Global, Kleiner Perkins, EV Growth, Amasia, Intudo, dan Goat Capital. Diperkirakan valuasi perusahaan melambung hingga lebih dari $2 miliar pasca pendanaan ini.

Sejak merengkuh label unicorn perusahaan aktif mengembangkan bisnis di luar bisnis gerbang pembayaran. Di antaranya, mengumumkan investasi di Bank Sahabat Sampoerna serta menawarkan layanan banking-as-a-service (BaaS). Selanjutnya, masuk ke segmen UMKM dengan merilis solusi SaaS untuk membantu pelaku usaha mengatur inventori produk; ada juga aplikasi bisnis “Online Store” untuk memfasilitasi kegiatan social commerce.

Kendati layanan fintech ini memiliki peluang besar di tengah digitalisasi bisnis yang kian masif, namun untuk memenangkan pasar sebuah platform harus memiliki proposisi nilai yang kuat. Di layanan payment gateway, Xendit berhadapan langsung dengan sejumlah pemain. Di antaranya, ada Midtrans yang saat ini berada di bawah naungan grup GoTo Financial. Ada juga DOKU, Fazz, Faspay, Duitku, dan beberapa lainnya.

Pemodal Ventura Dorong Startup untuk Ubah “Playbook” Bisnis

Para pemodal ventura (venture capitalist) di Indonesia tak henti-hentinya menekankan para startup untuk tetap resilient di tengah berbagai gejolak ekonomi dunia tahun ini. Apalagi, di sepanjang tahun ini, kita telah menyaksikan sejumlah startup melakukan efisiensi, ada yang menutup layanan dan ada juga yang merumahkan banyak karyawannya.

Gejolak ekonomi yang terjadi diketahui merupakan salah satu langkah antisipasi global untuk menghadapi resesi dengan adanya inflasi dan kenaikan suku bunga tinggi. Bahkan, gejolak baru bertambah pasca-pemerintah Indonesia mengumumkan kenaikan harga BBM.

Sebetulnya, CEO BNI Ventures Eddi Danusaputro menilai sentimen yang terjadi tak selalu berarti buruk, baik itu tren bullish, bearish, atau market correction. “It’s a market adjusting itself. Apalagi valuasi [startup] mahal dalam beberapa tahun terakhir,” ujarnya pada sesi Nexticorn International Summit 2022 beberapa waktu lalu.

Kendati demikian, founder startup juga untuk jangan terlalu overlook pada cash management yang dapat memicu startup menjadi lalai terhadap penggunaan modal mereka. Startup perlu menahan diri melakukan shopping spree, bakar uang untuk kegiatan promo, atau menambah banyak tim.

“Kita lihat startup mulai melakukan efisiensi, bisa berupa mengurangi biaya marketing atau human resource. Startup harus mengubah playbook di situasi saat ini. Cobalah untuk fall in love dengan produk yang mereka kembangkan,” tutur Eddie.

Senada dengan di atas, Co-founder dan Managing Partner Alpha JWC Ventures Jefrey Joe berpendapat bahwa situasi ‘tech winter‘ dapat menjadi momentum founder untuk merefleksi dan fokus kembali pada pengembangan produk. Para founder juga perlu mengubah cara mereka untuk membangun bisnis.

Menurutnya, tantangan besar justru akan dialami pada startup di tahap seri A, B, dan C, bukan di early stage. Berkaca dari pengalamannya, Jefrey menilai tidak semua startup mampu menunjukkan profitabilitas di tahapan tersebut. Startup harus kembali fokus pada fundamental dan tidak perlu terjebak pada tekanan harus segera profit selama bisnisnya solid.

“Tahun lalu, kami pikir pasar sangat bullish, banyak founder dapat funding, tim bertambah. Tiba-tiba tahun ini bearish sangat ekstrem. Where’s the money, where’s the profit? Maka itu, startup yang dapat pendanaan harus take it slow. Mereka harus berubah, salah satunya mencapai product-market-fit sampai lima tahun untuk bisa achieve profitabilityWe’ll see a lot of potential growth dalam 3-5 tahun ke depan,” jelasnya.

Ekspansi regional

Pada kesempatan sama, DailySocial.id juga sempat berbincang dengan sejumlah startup unicorn menanggapi isu IPO maupun rencana ekspansi. Sebagian besar mengaku merampungkan tahun 2022 dengan fokus terhadap pengembangan produk dan ekspansi regional.

Kopi Kenangan, misalnya, akan membuka gerai regional pertamanya di Malaysia pada kuartal IV 2022. Co-founder dan CEO Kopi Kenangan Edward Tirtanata mengungkap bahwa ini merupakan bagian dari rencana ekspansi ke Asia Tenggara yang akan dilakukan secara bertahap.

Ia mengaku telah mematangkan rencana ekspansi sejak lama dengan memperhitungkan potensi kenaikan harga bahan baku. Namun, situasi tersebut diatasi dengan melakukan integrasi dari sisi upstream. Per 2021, Kopi Kenangan telah menjual sebanyak 40 juta cangkir. Kini, total outlet-nya telah mencapai 672 outlet di 45 kota di Indonesia.

Demikian juga Co-founder dan COO Xendit Tessa Wijaya yang mengaku fokus terhadap ekspansi regional alih-alih memikirkan rencana melantai di bursa saham sebagaimana telah dilakukan oleh GoTo dan Bukalapak. Sekadar informasi, Xendit telah memulai ekspansi regionalnya sejak 2020.

“Saat ini, kami baru hadir di dua tenggara dan impian kami adalah menguasai Asia Tenggara. Mungkin selanjutnya, kami melirik Malaysia, Thailand, dan Vietnam untuk [ekspansi] ini karena ada permintaan dari customer. Indonesia semakin disorot, banyak global company yang berkembang. Mereka ingin suatu produk tidak cuma di Indonesia, tapi di Asia Tenggara,” jelasnya.

Adapun,  J&T Express tengah melakukan ekspansi ke Tiongkok dan Amerika Latin. Menurut CEO J&T Robin Lo, pasar J&T telah berkembang besar di Indonesia, tetapi belum merambah ke Asia Tenggara. Per 2021, J&T telah menyandang gelar decacorn dengan valuasi sebesar $20 miliar.

“Banyak perusahaan luar masuk ke Indonesia membawa investasi super raksasa. Kalau tidak menjajal negara lain, ketika diserang luar, kita akan sulit survive karena cuma punya market di Indonesia. Once we survive in Asia Tenggara dan Tiongkok, [kita] akan mudah survive di mana saja.” Tutupnya.

Pendanaan seri D Xendit

Xendit Rampungkan Pendanaan Seri D Senilai 4,3 Triliun Rupiah

Startup pengembang infrastruktur pembayaran Xendit mengumumkan telah menutup putaran pendanaan seri D senilai $300 juta atau setara 4,3 triliun Rupiah. Putaran investasi ini dipimpin oleh Coatue dan Insight Partners, dengan partisipasi Accel, Tiger Global, Kleiner Perkins, EV Growth, Amasia, Intudo, dan Goat Capital.

Dana segar ini menambah total pendanaan ekuitas yang berhasil dikumpulkan Xendit sejauh ini senilai $538 juta. Capaian ini diperkirakan melambungkan valuasi perusahaan hingga lebih dari $2 miliar Rupiah. Sebelumnya Xendit menutup pendanaan seri C senilai $150 juta pada September 2021 lalu, berhasil membawa mereka menjadi unicorn selanjutnya dari Indonesia.

“Melalui pendanaan terbaru ini, kami berkomitmen untuk terus berinvestasi di pasar-pasar baru, mengembangkan platform, dan memperluas lini bisnis agar bisa memaksimalkan peluang yang ada. Nilai ekonomi digital Asia Tenggara akan mencapai $360 miliar pada tahun 2025 dan kami percaya Xendit telah berada di posisi yang tepat untuk bisa berkontribusi dan meraih manfaat dari pertumbuhan tersebut,” sambut Co-founder & CEO Xendit Moses Lo.

Hadir menyajikan layanan utama berupa payment gateway, Xendit memudahkan startup dan UMKM untuk bisa memproses pembayaran digital dan meningkatkan skala bisnis mereka. Xendit konsisten melanjutkan performa positifnya, dengan peningkatan penjualan lebih dari 10% month-on-month semenjak diluncurkan tahun 2016.

Selama satu tahun terakhir, jumlah transaksi yang tahunan difasilitasi Xendit melonjak 3x lipat, dari 65 juta menjadi 200 juta dan meningkatkan total nilai pembayaran dari $6,5 miliar (setara dengan Rp95 triliun) menjadi $15 miliar (setara dengan Rp219 triliun). Saat ini sudah ada sekitar 3 ribu bisnis yang menjadi klien Xendit.

Penguatan strategi bisnis

Sejumlah pengembangan strategi dilakukan Xendit beberapa waktu terakhir. Yang terbaru, mereka mengumumkan investasinya di Bank Sahabat Sampoerna serta menawarkan layanan banking-as-a-service (BaaS).

Pada bulan Maret lalu juga meluncurkan XENSClub, komunitas resmi penjual online Xendit yang memiliki banyak program edukatif untuk membantu anggotanya mengembangkan diri. Xendit juga melakukan investasi strategis di DragonPay, sebagai bagian dari ekspansinya ke Filipina.

“Xendit akan terus berekspansi ke wilayah baru  seperti Thailand, Malaysia, dan Vietnam, di mana kami bisa mengidentifikasi kebutuhan pelaku usaha di sana dan memberikan solusi infrastruktur pembayaran yang tepat. Kami pun berencana untuk menghadirkan layanan yang lebih luas dan bervariasi, misalnya seperti program pinjaman yang telah kami jalankan di Indonesia,” imbuh Co-Founder & COO Xendit Tessa Wijaya.

Untuk mendekatkan diri ke segmen UMKM, sejak tahun 2021 Xendit meluncurkan sejumlah inovasi produk. Di antaranya ada layanan SaaS untuk membantu pelaku usaha mengatur inventori produk; ada juga aplikasi bisnis “Online Store” untuk memfasilitasi kegiatan social commerce.

Kendati layanan fintech ini memiliki peluang besar di tengah digitalisasi bisnis yang kian masif, namun untuk memenangkan pasar sebuah platform harus memiliki proposisi nilai yang kuat. Di layanan payment gateway, Xendit berhadapan langsung dengan sejumlah pemain. Di antaranya ada Midtrans yang saat ini berada di bawah naungan grup GoTo Financial. Ada juga DOKU, Xfers (bagian dari Fazz Financial Group), Faspay, Duitku, dan beberapa lainnya.

Application Information Will Show Up Here
Xendit menyampaikan aplikasi Nex sepenuhnya dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital. Dua pihak lainnya, PT Sumber Digital Teknologi maupun Xendit sendiri (PT Sinar Digital Terdepan) tidak terlibat dalam pengelolaan

Xendit Klarifikasi Tidak Terlibat dalam Pengelolaan Aplikasi Bank Digital “Nex”

Xendit mengeluarkan pernyataan resmi terkait keterlibatannya dalam pengembangan aplikasi digital banking Nex. Kepada DailySocial.id, perwakilan Xendit menyampaikan aplikasi Nex sepenuhnya dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital. Dua pihak lainnya, PT Sumber Digital Teknologi maupun Xendit sendiri (PT Sinar Digital Terdepan) tidak terlibat dalam pengelolaan.

“Aplikasi Nex merupakan produk digital yang sedang berada dalam masa uji coba terbatas, dan saat ini hanya dipergunakan untuk kalangan internal, tanpa melibatkan Bank Sahabat Sampoerna,” tulis manajemen.

Pernyataan yang dikeluarkan Xendit ini untuk meluruskan pemberitaan sebelumnya yang ditayangkan DailySocial.id, menyebutkan bahwa aplikasi Nex dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya berdasarkan laman Kebijakan Privasi.

Dari pantauan DailySocial.id, fitur awal yang ditawarkan Nex adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Penawaran tersebut cukup lumrah seperti bank digital kekinian lainnya.

Sebelumnya Xendit mengonfirmasi telah melakukan investasi strategis di Bank Sahabat Sampoerna dan akan menjadi mitra teknologi bank untuk mengembangkan infrastruktur teknologi, serta meningkatkan proses internal dan produk.

Mengutip dari situs Bank Sampoerna, Xendit Pte. Ltd. menguasai 14,96% saham. Pemegang saham mayoritas, PT Sampoerna Investama terdilusi menjadi 64,24%. Kemudian, PT Cakrawala Mulia Prima (bagian dari Alfa Group) juga ikut tergerus menjadi 14,28%. Sisanya, dikuasai oleh Abakus Pte. Ltd. (2,55%), Sultan Agung Mulyani (2,49%), Ekadhamajanto Kasih (0,79%), dan Yan Peter Wangkar (0,69%).

Xendit menjadi startup fintech berikutnya yang serius menggarap bank digital. Di antaranya, ada induk Kredivo yang resmi menguasai 75% saham Bank Bisnis Internasional, Grab dan Singtel sebagai investor strategis Bank Fama, Modalku dan Carro berinvestasi di Bank Index, dan Ajaib Group genggam 40% saham Bank Bumi Artha. Selebihnya masih sekadar rumor, tinggal tunggu kabar peresmiannya, seperti Amartha yang dikabarkan akan akuisisi Bank Victoria Syariah.

Application Information Will Show Up Here
Xendit mengumumkan investasi strategis di Bank Sahabat Sampoerna, kini kuasai 14,96 persen saham. Xendit akan menjadi mitra teknologi Bank Sampoerna

Xendit Kini Kuasai Hampir 15 Persen Saham Bank Sahabat Sampoerna [UPDATED]

Xendit mengumumkan investasi strategis di Bank Sahabat Sampoerna. Nantinya, Xendit akan menjadi mitra teknologi Bank Sampoerna untuk mengembangkan infrastruktur teknologi kelas dunia dan terus meningkatkan proses internal dan produk yang tersedia.

Dalam keterangan resmi, tidak disebutkan persentase saham Bank Sampoerna yang kini dimiliki Xendit. Namun menurut pemberitaan DailySocial.id sebelumnya, Xendit akan mengempit saham secara bertahap hingga 51% menjadi pemegang mayoritas.

Mengutip dari situs Bank Sampoerna, Xendit Pte. Ltd. menguasai 14,96% saham. Pemegang saham mayoritas, PT Sampoerna Investama terdilusi menjadi 64,24%. Kemudian, PT Cakrawala Mulia Prima (bagian dari Alfa Group) juga ikut tergerus menjadi 14,28%. Sisanya, dikuasai oleh Abakus Pte. Ltd. (2,55%), Sultan Agung Mulyani (2,49%), Ekadhamajanto Kasih (0,79%), dan Yan Peter Wangkar (0,69%).

Co-founder dan CEO Xendit Moses Lo menyampaikan kedua perusahaan akan terus berjalan secara independen, tanpa mengubah produk dan layanan yang ada. “Kami akan bekerja sama unutk menetapkan arah strategis jangka panjang,” ujar Lo dalam keterangan resmi, Rabu (22/4).

“Xendit dan Bank Sampoerna telah menjadi mitra sejak awal Xendit di Indonesia. Dengan investasi ini, Xendit bangga dapat mendukung Bank Sampoerna dalam mengembangkan infrastruktur digital Bank dan terus berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi digital bangsa.”

CEO Bank Sampoerna Ali Rukmijah turut menambahkan, “Kolaborasi telah menjadi titik sentral Bank Sampoerna dalam melayani bisnis mikro dan UKM. Dukungan dari Xendit tentunya akan meningkatkan kemampuan layanan kami. Peningkatan tersebut akan terlihat dari segi kapasitas layanan, cakupan, dan yang tidak kalah pentingnya, kualitas & inovasi.”

Bank Sampoerna adalah bank swasta Indonesia yang fokus pada bisnis mikro, UKM dan banking-as-a-service kepada bisnis berbasis teknologi. Selama bertahun-tahun, Bank Sampoerna terus berinovasi dan berinisiatif mengembangkan layanan transaksi perbankan yang inovatif dengan mengoptimalkan teknologi di berbagai produk dan layanan digital. Hal ini dilakukan melalui integrasi teknis dan berbagai format yang disediakan oleh bank.

Aplikasi Nex

Saat ini, Xendit tengah mengujicoba secara terbatas aplikasi bank digital Nex. Nex akan memanfaatkan kapabilitas perbankan milik Bank Sampoerna dan teknologi yang ditawarkan Xendit. Fitur awal yang ditawarkan adalah bunga tahunan 6% yang dibayar setiap hari untuk tabungan, bebas biaya admin dan transfer, dan kemudahan pengiriman dan penerimaan dana. Hal yang umum ditawarkan bank digital kekinian.

Aplikasi Nex dikelola tiga pihak, yakni PT Nex Teknologi Digital, PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai), PT Sinar Digital Terdepan (Xendit), dan afiliasi-afiliasinya. Iluma bertugas melakukan e-KYC dan pengecekan skoring kredit yang lebih seamless. Kemungkinan besar Iluma adalah bagian dari Xendit karena lokasi kantornya satu gedung dengan kantor pusat Xendit.

Kepada DailySocial.id, perwakilan Xendit memberikan pernyataannya. Mereka bilang, aplikasi Nex merupakan produk digital yang sedang berada dalam masa uji-coba terbatas dan saat ini hanya dipergunakan untuk kalangan internal, tanpa melibatkan Bank Sahabat Sampoerna.

“Aplikasi Nex sepenuhnya dikelola oleh PT Nex Teknologi Digital. PT Sumber Digital Teknologi (iluma.ai) maupun PT Sinar Digital Terdepan (Xendit) tidak terlibat dalam pengelolaan aplikasi ini,” tulis manajemen.

Akuisisi perusahaan pembiayaan

Sebelumnya, Xendit juga mengonfirmasi akan membeli saham perusahaan pembiayaan PT Global Multi Finance. Langkah ini terkait dengan rencana Global Multi Finance merger dengan PT Emaas Persada Finance.

“Yang saat ini diumumkan di media adalah rencana aksi korporasi dari Globalindo Multi Finance mengenai perubahan kepemilikan. Xendit group nantinya menjadi salah satu pemilik dari Globalindo Multi Finance,” ujar perwakilan perusahaan mengutip dari Katadata.

Tidak dirinci lebih lanjut terkait besaran saham yang akan diakuisisi Xendit nantinya. Sebab, dia bilang masih berlangsung proses administrasinya dan akan disampaikan ketika rampung. Dilanjutkan, masuknya ke perusahaan pembiayaan ini nantinya akan memberikan produk-produk pembiayaan sebagai nilai tambah.

 

*) Kami menambahkan pernyataan tambahan dari manajemen Xendit terkait Nex.

Application Information Will Show Up Here