Tag Archives: Yabes Elia

Antara Esports dan Startup: Kesamaan, Perbedaan, dan Pembelajaran

Esports sedang berkembang dengan pesatnya, namun tak bisa dipungkiri bahwa industri baru ini memiliki beberapa masalah unik tersendiri. Masalah regenerasi dan profesionalitas para talenta atau sustainability model bisnis mungkin hanya beberapa dari ragam masalah yang belum terpecahkan di ekosistem esports.

Untuk itu ekosistem esports sebenarnya bisa belajar dari “saudara dekatnya”, yaitu ekosistem startup.

Startup dan esports bisa dibilang sebagai dua bidang yang saling beririsan. Perusahaan startup bisa memiliki berbagai macam bidang termasuk esports, namun tidak semua perusahaan esports bisa digolongkan sebagai perusahaan startup. Terlepas dari hal tersebut, hal apa yang sebenarnya membedakan antara keduanya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya pun berdiskusi dengan Amir Karimuddin.

Amir atau kami memanggilnya “Mas Amir” merupakan sosok yang sudah cukup lama malang melintang di ekosistem startup. Kini ia menjabat sebagai Head of Editorial and Research di Dailysocial.id, sister company Hybrid.co.id yang merupakan sebuah media dengan fokus pembahasan seputar ekosistem startup Indonesia. Dalam menjelaskan definisi startup, Amir pun mengatakan, “ada begitu banyak definisi startup. Saya sendiri lebih suka mendefinisikan startup sebagai perusahaan yang didirikan dengan mindset mengembangkan bisnis yang tervalidasi dan bisa bertumbuh (growth dan scalable).

Amir Karimuddin
Head of Editorial and Research di DailySocial.id, Amir Karimuddin / DailySocial

Amir juga menambahkan bahwa selain soal growth mindset dan scalable, exposure ke sektor teknologi menjadi salah satu ciri lain yang membuat sebuah perusahaan dapat digolongkan sebagai startup. “Jadi asalkan konsepnya adalah membangun platform dengan growth mindset, maka suatu perusahaan bisa disebut dengan startup juga. Dalam hal ekosistem esports, misalnya mungkin perusahaan demgam tujuan membangun platform game esports yang bisa dijangkau oleh jutaan orang, punya model bisnis yang jelas, dan rencana pengembangan berkelanjutan. Apabila suatu perusahaan memiliki 3 hal tersebut, maka perusahaan tersebut bisa juga dibilang sebagai startup.”

Namun demikian ekosistem esports/gaming sendiri memang terbagi jadi beberapa sektor lagi untuk saat ini. Dua sektor yang umum terdengar adalah perusahaan pengembang game yang fokusnya membuat game (perusahaan developer game) dan perusahaan yang fokus mengembangkan unsur kompetisi dari suatu game (perusahaan esports).

Dalam artikel ini, bagian ekosistem yang menjadi fokus pembahasan saya adalah perusahaan esports seperti ESL, LoL Esports, atau juga seperti kami dan RevivaLTV pada konteks lokal. Amir lalu menambahkan apa yang jadi persamaan dan perbedaan antara ekosistem startup dengan ekosistem esports.

“Kalau persamaannya adalah keduanya memiliki paparan yang tinggi terhadap teknologi dan sama-sama mendapatkan keuntungan secara online. Sementara salah satu perbedaan antar keduanya adalah dari sisi stakeholder startup yang lebih beragam, seperti pelaku bisnis, konsumen, regulator, dan berbagai support system. Dari apa yang saya amati, stakeholder esports sepertinya masih didominasi oleh pemain. Selain itu, esports juga memiliki unsur sport dan bisnis sementara startup murni hanya bisnis.” Tukas Amir.

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Chief Editor Hybrid.co.id, Yabes Elia. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Dalam soal cara mendapatkan keuntungan, Yabes Elia Chief Editor Hybrid.co.id juga menambahkan bahwa sumber pendapatan ekosistem esports juga terbilang ambigu karena beririsan dengan industri game. “Misalnya dalam hal orang membeli skin. Apakah keuntungan tersebut merupakan keuntungan ekosistem esports? Karena kenyataannya memang ada juga game yang tidak memiliki esports namun tetap mendapat keuntungan yang besar dan secara online, Genshin Impact contohnya.” Ucapnya.

Jadi untuk mempertegas, Anda juga perlu tahu juga bedanya ekosistem esports dengan industri game. Industri game belum tentu berhubungan dengan ekosistem esports sementara ekosistem esports sudah pasti berhubungan dengan industri game. “Jadi esports bisa dibilang sebagai turunan dari industri gaming. Esports tidak akan bisa muncul tanpa ada industri game, sementara industri game bisa tetap hidup walau tanpa esports sekalipun.” Tambah Yabes mempertegas.

 

Dua Ekosistem yang Pelakunya Didorong Oleh Passion

Gaung kata passion begitu kuat di era internet ini. Tidak hanya dalam ekosistem esports, passion juga menjadi energi besar yang mendorong ekosistem startup sampai menjadi seperti sekarang. “Kalau di startup, faktor pendorong paling besar adalah menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat. Role model pasti ada, cuma mungkin baru ada pada sektor tertentu seperti e-commerce dan ride hailing.” Amir menjelaskan soal passion di balik ekosistem startup

Kalau Anda tergolong sebagai orang-orang yang “tech savvy“, Anda mungkin sedikit banyak ingat tentang cerita sukses startup lokal di sektor ecommerce dan ride hailing. Pada sektor ride hailing, masalah angkutan umum ojek yang harga dan keamanannya tidak jelas menjadi landasan terciptanya ladang bisnis ojek online yang kini bernilai puluhan miliar dolar AS. Sementara pada sektor ecommerce, Anda mungkin juga ingat bahwa isu pemerataan ekonomi di Indonesia menjadi landasan terciptanya platform yang berfungsi sebagai medium transaksi jual beli secara online. Seperti yang disebut Amir, keduanya memiliki satu passion yang sama yaitu untuk mengentaskan masalah yang ada di masyarakat.

Bagaimana dengan esports? Ekosistem esports juga didorong oleh rasa yang sama, passion. Bedanya passion di dalam esports adalah untuk berkompetisi dan menjadi yang terbaik. Walaupun sama-sama didorong oleh passion, namun keduanya terbilang berkembang ke arah yang… Cukup berbeda.

Hubungan baik Gojek dan transportasi publik
Walau sama sama didorong oleh passion, namun esports dan startup terbilang bergerak ke arah yang berbeda.

Perbedaan ini mungkin terbilang hanya stereotipe saja yang sebenarnya tidak menggambarkan populasi secara keseluruhan. Membicarakan ekosistem startup mungkin Anda akan ingat dengan sosok cemerlang seperti Nadiem Makarim yang pintar dan inovatif.  Lalu bagaimana dengan ekosistem esports? JessNoLimit mungkin bisa dibilang jadi salah satu stereotipe ekosistem esports, yaitu jago main game dan menghibur.

Tapi selain dua hal tersebut, tidak ada kesan lain yang tercipta dari seorang JessNoLimit. Stereotipe tersebut juga tidak bisa disalahkan, karena sport dan entertainment terbilang sebagai nafas utama dari ekosistem esports. Kalau menggunakan analogi olahraga basket, tidak mungkin orang seperti Nadiem Makarim jadi stereotipe “anak basket”. Tentu saja sosok yang jadi stereotipe anak basket adalah atlet-atlet NBA yang jago main basket dan atletis seperti LeBron James atau James Harden.

“Sebenarnya stereotipe tersebut muncul karena persaingan yang ketat di dalam ekosistem startup. Semua orang ingin menciptakan invoasi terbaik dan menguasai pasar. Target yang ingin dicapai juga begitu tinggi. Hal tersebut terjadi hampir di ekosistem startup semua kawasan karena berkaca kepada Silicon Valley yang jadi role model dari banyak startup.” Ucap Amir membahas soal stereotipe “anak startup”.

Jika melihat apa yang dijelaskan oleh Amir, bayangan saya kurang lebih jadi seperti ini. Berhubung ekosistem startup memang fokus kepada bisnis dan inovasi, tidak heran persaingan di dalamnya adalah untuk menjadi yang paling pintar dan inovatif agar bisa bersaing.

Sementara pada sisi lain, arah utama ekosistem esports adalah kompetisi dan entertainment. Karena hal tersebut, tidak heran juga kalau persaingan di dalamnya adalah untuk menjadi yang paling jago. Kalau tidak bisa menjadi yang paling jago, bisa juga menjadi yang paling menghibur agar jadi paling populer, walau memang untuk menjadi populer kadang bisa dicapai dengan cara-cara yang nyeleneh.

Sumber: Official Riot Games
Esports memang condong ke arah kompetisi dan entertainment. Tapi tanpa kualitas profesional yang mumpuni, esports akan kesulitan untuk menyajikan entertainment yang pantas. Sumber: Official Riot Games

Namun. mungkin yang sedikit mungkin patut disayangkan adalah persaingan menjadi paling jago/populer tersebut tidak dibarengi dengan profesionalitas para talenta-nya. Dalam esports, mencari orang yang jago main game atau menghibur terbilang mudah. Tetapi talenta yang jago dan punya tingkat profesionalitas yang tinggi mungkin bisa dihitung jari jumlahnya.

Masalah tersebut sudah beberapa kali diceritakan para narasumber kepada Hybrid.co.id. Muhammad Darmawan sosok shoutcaster Free Fire sempat menyebut masalah Star Syndrome sebagai salah satu faktor yang membuat beberapa tim Free Fire Indonesia jadi tidak konsisten prestasinya. Marzarian “Ojan” Sahita General Manager BOOM Esports pernah menceritakan soal sulitnya untuk mencari pemain yang punya skill serta attitude yang baik di ekosistem esports. Yohannes Siagian yang dulu sempat menjabat sebagai Vice President EVOS Esports juga memberikan pendapat yang serupa ketika membahas soal regenerasi pemain esports.

Kita sudah membahas dari sisi pemain. Lalu bagaimana dari sisi bisnis dan taletna profesional industri esports? saya sendiri cukup sering mendengar cerita kesulitan kawan-kawan saya mencari profesional suatu bidang untuk bekerja di esports. Kebanyakan fans esports/gamers memang punya passion. Tapi ya… Hanya passion main game saja tanpa dilengkapi dengan pengalaman kerja/profesional yang mumpuni. Merekrut profesional dari industri lain belum tentu juga bisa menjadi solusi. Karena menjadi profesional di industri esports terkadang masih dianggap “main-main” dan belum sepenuhnya diterima sebagai industri yang serius oleh masyarakat secara umum.

Saya juga jadi ingat cerita kawan saya yang bekerja di sebuah tim esports soal sulitnya mencari video editor dari kalangan fans esports. Kebanyakan yang melamar hanya bisa bilang bahwa mereka adalah fans tim tersebut tanpa menunjukkan kemampuan mereka sebagai video editor. Jangankan tembus sampai tahap interview, beberapa pelamar bahkan masih berada di titik belum mengerti cara mengirim lamaran kerja yang baik dan benar.

Padahal, peran profesional atau pekerja di industri esports terbilang tak kalah penting. Tanpa para profesional industri esports, tidak akan ada live-stream meriah, panggung megah, ataupun konten artikel/video/media sosial yang jadi saksi pencapaian para atlet esports.

Sumber: Blizzard Official
Tanpa para profesional, industri esports mungkin tidak akan punya panggung megah seperti ini. Sumber: Blizzard Official

Saya pun lalu bertanya kepada Amir soal bagaimana dengan keadaan pencarian talenta profesional di ranah startup saat ini. Amir pun mengatakan, “kalau bicara talent, industri startup terbilang punya demand yang lebih besar daripada supply yang ada. Soal talenta dan skill ini memang ada, tapi mulai ditutup dengan rekruitment besar-besaran dan adanya edukasi serta transfer knowledge dari banyak talenta asing.” Ucap Amir menceritakan dari sisi startup.

“Kalau dalam hal esports, mungkin memang sektor industri perlu diperluas. Selain itu, mungkin juga perlu lebih banyak role model entah dari sisi industri yang terlihat sukses. Transfer knowledge dari sisi bisnis ataupun profesional mungkin bisa menjadi salah satu solusi. Tapi gue sendiri belum paham apakah praktik tersebut bisa dilakukan juga di industri esports atau tidak.” Amir menyatakan pendapatnya untuk mengentaskan masalah talenta profesional di industri esports.

Yabes pun menambahkan, “soal transfer knowledge juga penting menurut gue. Menurut pengamatan gue, profesional/pekerja di industri esports sekarang itu kebanyakan adalah anak muda yang punya passion dan semangat besar tapi minim pengalaman kerja atau hanya orang yang itu-itu lagi. Jadi gue melihat memang perkembangan knowledge para profesional industri esports memang masih sangat terbatas.”

Memang untuk saat ini, jago main game dan menghibur adalah dua kesan yang melekat erat di dalam ekosistem esports. Mereka yang paling jago dan paling menghibur juga terbilang mendapat ganjaran finansial yang paling melimpah dibanding mereka yang pintar dan inovatif. Karena hal tersebut, saya jadi melihat posisi profesional industri esports terkesan hanya jadi sekumpulan orang-orang “limpahan” yang kurang jago ataupun kurang menghibur di ekosistem esports.

Jadi mungkin bisa saja hal tersebut jadi salah satu alasan kenapa perkembangan kualitas profesional industri esports masih terjebak di tengah-tengah. Mereka yang punya passion gaming mungkin belum cukup bersaing jika dilepas ke bidang industri lain. Sementara mereka yang sudah malang melintang di industri lain merasa gengsi masuk ke industri esports yang cenderung masih dianggap industri main-main. Padahal di lain sisi benar seperti yang dibilang Amir dan Yabes, bahwa transfer knowledge adalah hal yang penting untuk menyelesaikan masalah tersebut.

 

Melihat Ekosistem Esports dan Startup Sebagai Dua Ekosistem yang Masih Bertumbuh. 

Baik esports ataupun startup, bisa dibilang bahwa keduanya merupakan ekosistem yang masih punya ruang bertumbuh. Tetapi apa benar? Industri startup terbilang punya ruang tumbuh yang lebih besar karena ekosistem tersebut bisa berdiri di bidang apapun.

“Memang beberapa sektor terbilang sulit ditembus pemain baru, e-commerce dan ride hailing contohnya. Tapi ruang tumbuh startup terbilang masih cukup luas karena masih banyak sektor yang punya entry barrier lebih rendah karena belum ada pemain besar di sana.” Amir menceritakan pengamatannya terhadap kondisi ekosistem startup saat ini.

Sementara itu pada sisi lain, ekosistem esports mungkin terbilang sedang panas-panasnya apabila kita melihat pemberitaan ataupun prediksi dari perusahaan-perusahaan analisis industri seperti Newzoo. Tapi jika diteliti lebih dekat lagi, pilihan bidang bisnis untuk ditekuni industri esports di skena lokal terbilang cukup terbatas, setidaknya dari pengamatan saya.

Yabes pun menanggapi soal ini, “kalau industri startup memang perlu mindset problem solving untuk bisa sukses besar. Contohnya bisa kita lihat sendiri seperti perusahaan ride hailing atau ecommerce yang benar-benar mempermudah hidup dan dibutuhkan. Tapi pada sisi lain industri esports basisnya adalah hiburan. Hal yang patut disadari adalah meski hiburan memang jadi salah satu kebutuhan pokok manusia, jenis hiburan itu bukan cuma esports saja. Orang yang main game sekalipun mungkin punya jenis hiburan lain yang ia nikmati, menonton film misalnya. Gue rasa itu jadi salah satu perbedaan antara industri startup dengan industri esports.”.

Genshin Impact menjadi mobile game dengan pemasukan dalam satu minggu terbesar kedua.
Genshin Impact menjadi mobile game dengan pemasukan dalam satu minggu terbesar kedua.

Selain itu menurut pendapat saya ekosistem esports juga punya satu perkara lain yaitu ketergantungan ekosistem ini terhadap pelaku pihak pertama, sang developer game. Pernyataan ini mungkin sudah beberapa kali saya katakan. Tapi satu patut yang disadari adalah bahwa salah satu motor penggerak terbesar yang membuat ekosistem esports menjadi begitu maju belakangan ini adalah sang pengembang itu sendiri.

Coba bayangkan semisal Moonton memutuskan untuk berhenti membuat game dan berubah haluan bisnis jadi perusahaan makanan, apa kabar nasib perusahaan esports yang bergantung kepada Mobile Legends? Walaupun begitu, salah satu kelebihan lain dari ekosistem esports adalah banyaknya jumlah ragam game yang bisa dipertandingkan. Tapi tetap saja, ekosistem industri esports pihak ketiga terbilang punya kemungkinan tumbang yang lebih besar jika dibandingkan dengan developer game yang merupakan pelaku pihak pertama.

Terlepas dari hal tersebut, Yabes juga menambahkan bahwa mindset problem solving menjadi salah satu hal yang perlu bagi para pelaku bisnis esports di Indonesia. “Gue setuju soal mindset problem solving yang disebut Amir. Menurut pengamatan gue, industri esports di Indonesia cenderung punya mindset peniru. Misal bisnis EO lagi ramai, semua orang pun berbondong-bondong bikin bisnis EO. Padahal menurut gue, esports masih punya banyak problem yang bisa diatasi dan jadi peluang bisnis.”

Amir lalu menambahkan cerita soal kondisi para pelaku bisnis di ekosistem startup. “Sebetulnya sih pelaku startup yang non-mainstream juga ada. Biasanya pelaku tersebut fokusnya condong ke arah profit dibanding growth. Mereka biasanya disebut juga sebagai ‘cockroach’ di kalangan para pelaku startup. Tapi menurut pengamatan saya, jumlahnya sih terbilang masih minoritas.”

 

Pada Akhirnya

Antara esports dengan startup mungkin bisa dibilang seperti kakak dan adik yang keduanya sama-sama merupakan industri baru di era internet ini. Dalam konteks Indonesia, esports yang bisa dibilang sebagai “adik” mungkin memang harus banyak belajar dari industri startup yang bisa dibilang sebagai “kakak” karena posisinya yang lebih dulu mencuat.

Dari perbincangan dengan mas Amir, saya sangat setuju dengan mindset startup yang fokus pada growth dan problem solving. Saya melihat esports sangat butuh hal tersebut. Bagaimanapun, bisnis esports adalah bisnis teknologi yang terus-menerus butuh inovasi. Ekosistem esports mungkin tidak akan bertahan lama apabila modelnya lagi-lagi cuma menarik massa dan berharap sponsor saja. Seperti yang dikatakan Yabes, pelaku bisnis esports juga harus belajar lebih mengutamakan mindset problem solving ketimbang cuma sekadar meniru model bisnis yang lebih dulu ada.

“Menurut gue, kegigihan dan adaptasi pemain di masing-masing segmen untuk terus relevan dan berkembang harus jadi sorotan utama bagi para pelakunya.” Ucap Amir menyatakan pendapatnya terkait hal yang bisa dipelajari oleh industri startup dan esports seraya menutup perbincangan kami membahas topik tersebut.