Crypto asset earning platform Blocknom announced a seed funding of $500 thousand (over 7 billion Rupiah) from three investors, including YCombinator, Number Capital, and Magic Fund. The last two names is fronted by Hendra Kwik (Fazz) and he is appointed as an advisor at Blocknom along with Tianwei Liu (Fazz) and Thomas Chen (Magic Fund).
Blocknom is currently participating in the Y Combinator’s Winter 2022 batch along with several startups. The startup was initiated in January 2022 by Gojek and Shopee’s former employee, Fransiskus Raymond and Ritase’s former engineer, Ghuniyu Fattah Rozaq.
In terms of value proposition, Blocknom offers yields deposit on available stablecoin-based crypto assets, includng USDT (Tether), USDC (Circle), and XIDR (StraitsX). The product does not have a lockup period, therefore, investors can withdraw their funds at any time. Blocknom offers earnings of up to 13% per year and is claimed to be safe from the price volatility.
“We started Blocknom to provide easy crypto investing for everyone. Based on our research, 90% of people gain negative results from trading crypto. However, they find it better to make long term crypto investments. We have not been able to find a suitable product in the market. Therefore, we decided to build Blocknom for the good of everyone,” Blocknom’s Co-founder and CEO, Fransiskus Raymond said in an official statement, Friday (4/3).
Blocknom
Based on the company’s blog, Blocknom is the first gateway for investors to enter the DeFi (Decentralized Finance) era. This platform operates on the web2 internet base and serves as a bridge for investors to the web3 DeFi industry. Blocknom implements transparency in the fund management process and has a proof of community system, with a commitment to always involve the community in the DeFi selection process to manage investor funds and has an unlimited incentives program for the community.
In the earning process, investors make earning deposits on the Blocknom website or application and they will start getting daily rewards.
Behind the scenes, investors’ funds will be automatically input into various staking and earning platforms that have been pre-selected by the Blocknom community such as, A.A.V.E, BALANCER, CELCIUS NETWORKS, CURVE, and so on. The Blocknom algorithm will automatically carry out the process of selecting and distributing funds to the DeFi platform with the largest yield.
The competitive interest will be given as the lending institution relies on blockchain technology, with collateral lending as the core business. The collateral will be in the form of digital assets such as Bitcoin, Ethereum, etc. This allows borrowers to pay a premium interest, as they believe the value of the asset will be much higher than the interest they are paying.
Blocknom trusts Fireblock as a custodial company to store all Blocknom deposit funds. For additional security, they implement the highest level of wallet security (bank standards) and full encryption (2 factor verification). In terms of regulatory, Blocknom operates throughout Southeast Asia using the license partner method from StraitsX, licensed by MAS. Also, they currently submitting for a permit to operate in Indonesia to CoFTRA as the relevant authority.
Fransiskus said, after earning stablecoins, the company will continue to innovate to realize the mission of crypto investment for everyone journey through Blocknom.
“In the future, there will be more features designed to help people feel the benefits of crypto, not only as an investment, but also part of their daily life,” he said.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Platform earning aset kripto Blocknom mengumumkan penutupan pendanaan tahap awal sebesar $500 ribu (lebih dari 7 miliar Rupiah) dari tiga investor, yakni YCombinator, Number Capital, dan Magic Fund. Kedua investor terakhir ini, digawangi oleh Hendra Kwik (Fazz), sekaligus menjadikannya sebagai advisor di Blocknom bersama Tianwei Liu (Fazz) dan Thomas Chen (Magic Fund).
Blocknom saat ini berada di bawah inkubasi Y Combinator batch Winter 2022 bersama sejumlah startup lainnya. Startup tersebut dirintis pada Januari 2022 oleh mantan pegawai Gojek dan Shopee Fransiskus Raymond dan matan engineer Ritase Ghuniyu Fattah Rozaq.
Sebagai diferensiasi dengan platform earning lainnya, Blocknom menawarkan yield deposito terhadap aset kripto berbasis stablecoin yang tersedia, yakni USDT (Tether), USDC (Circle), dan XIDR (StraitsX). Produknya tidak memiliki lockup period, dengan demikian investor dapat melakukan withdraw dananya kapan saja saat dibutuhkan. Blocknom menawarkan earning hingga 13% per tahun dan diklaim aman dari volatilitas harga koin.
“Kami memulai Blocknom untuk membuat investasi kripto mudah bagi semua orang. Berdasarkan hasil riset, kami menemukan bahwa 90% orang tidak mendapatkan hasil yang baik dari trading kripto. Namun mereka merasa lebih baik untuk melakukan investasi kripto jangka panjang. Kami belum dapat menemukan produk yang sesuai di pasaran. Maka, kami memutuskan untuk membangun Blocknom demi kebaikan semua orang,” ucap Co-founder dan CEO Blocknom Fransiskus Raymond dalam keterangan resmi, Jumat (4/3).
Blocknom
Menurut blog perusahaan, Blocknom adalah gerbang pertama investor memasuki era DeFi (Decentralized Finance). Platform ini beroperasi dalam basis internet web2 dan menjadi jembatan kepada investor menuju industri DeFi web3. Blocknom menerapkan transparansi dalam proses pengelolaan dana dan memiliki sistem proof of community, dengan komitmen selalu melibatkan komunitas terhadap proses pemilihan DeFi untuk pengelolaan dana investor dan memiliki program unlimited incentives bagi komunitasnya.
Dalam proses earning, investor melakukan earning deposito di situs atau aplikasi Blocknom dan investor akan mulai mendapatkan rewards yang dibagikan setiap hari.
Di belakang layar, dana investor akan otomatis dimasukkan ke dalam berbagai platform staking dan earning yang telah dipilih sebelumnya komunitas Blocknom seperti, A.A.V.E, BALANCER, CELCIUS NETWORKS, CURVE, dan sebagainya. Algoritma Blocknom akan otomatis melakukan proses pemilihan dan pendistribusian dana dengan ke dalam platform DeFi tersebut yang memiliki yield terbesar.
Bunga yang kompetitif tersebut bisa diberikan karena backbone institusi pinjamannya adalah teknologi blockchain, yang memiliki bisnis utama pinjaman dengan kolateral. Kolateral tersebut berupa aset digital seperti Bitcoin, Ethereum, dll. Hal ini memungkinkan peminjam membayar bunga premium, sebab mereka percaya nilai asetnya akan jauh lebih tinggi dibanding bunga yang mereka bayar.
Blocknom memercayakan Fireblock sebagai perusahaan kustodian untuk menyimpan seluruh dana deposito Blocknom. Untuk keamanan lainnya, menerapkan keamanan wallet level tertinggi setingkat standar bank dan enkripsi penuh (2 factor verification). Dari segi regulasi, Blocknom beroperasi di seluruh Asia Tenggara dengan menggunakan metode partner lisensi dari StraitsX yang telah memiliki izin dari MAS. Juga, sedang mengajukan permohonan izin beroperasi di Indonesia kepada Bappebti selaku otoritas terkaitnya.
Fransiskus menuturkan, setelah earning stablecoins, perusahaan akan terus berinovasi demi mewujudkan misi semua orang dapat memulai perjalanan investasi kripto melalui Blocknom.
“Ke depannya, akan ada sejumlah fitur lain yang bertujuan membantu masyarakat merasakan manfaat dari kripto, bukan hanya sebagai investasi, tapi juga bagian dari kehidupan sehari-hari,” tutupnya.
Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Tidak dapat dipungkiri bahwa budaya kerja menjadi salah satu pertimbangan besar ketika seseorang memutuskan untuk mengambil pekerjaan baru di satu perusahaan. Hal ini dipahami betul oleh Moses Lo, Pendiri dan CEO Xendit, saat dia bekerja untuk sebuah perusahaan, begitu pula ketika memulai sesuatu yang baru. Di Xendit, ia selalu memastikan bahwa fundamental organisasi bisa terpenuhi. Moses fokus membangun internal perusahaan agar dapat melayani pihak eksternal dengan lebih baik.
Moses mengawali bisnis ini dengan passion, ia bercita-cita menciptakan sesuatu yang bisa menggerakkan pasar untuk kurun waktu lebih dari 20 tahun. Ia membangun gerbang pembayaran untuk menyederhanakan dan mengamankan transaksi bisnis. Dengan ide tersebut, Xendit menjadi startup Indonesia pertama yang diterima dalam program Y Combinator.
Sedari kecil, Moses sudah terpapar dunia teknologi. Beranjak dewasa, ia mulai tertarik pada hal-hal terkait keuangan dan perbankan, disandingkan dengan latar belakang pendidikan di bidang teknologi, sampailah ia ke dunia fintech. Ia berhasil lulus dengan gelar mahasiswa terbaik di jurusan commerce, manajemen sistem informasi, dan keuangan di University of New South Wales. Melanjutkan kisah bisnisnya, ia bergabung di Berkeley untuk mengambil gelar master bisnisnya. Moses juga memiliki pengalaman bekerja dengan dua perusahaan terbaik dunia, mengajarinya hal-hal penting untuk memasuki industri teknologi.
Pada tahun 2015, di usianya yang ke-27 tahun, Moses memulai Xendit. Sejak saat itu, perusahaan telah berkembang pesat. Pada tahun ini, Xendit berhasil tercatat sebagai salah satu unicorn di Indonesia. Infrastruktur Xendit juga telah banyak digunakan oleh perusahaan di Indonesia, Filipina, dan Asia Tenggara.
Berikut petikan diskusi kami dengan Moses Lo, orang nomor satu di Xendit, tentang visi dan pencapaiannya di industri teknologi.
Bagaimana awal mula Anda mengejar karir di industri teknologi?
Saya ingin terjun ke industri teknologi sejak berusia 13 atau 14 tahun. Hal ini semata-mata karena kebiasaan bermain game dan merakit komputer. Jadi, saya selalu ingin melakukan sesuatu yang berbau teknologi. Tumbuh dewasa, saya mulai tertarik dengan hal-hal terkait keuangan dan perbankan, lalu mengambil jurusan Sistem Informasi di Universitas, yang akhirnya membawa saya ke fintech. Setelah itu, saya sempat bekerja dengan Boston Consulting Group (BCG) dan Amazon untuk beberapa waktu sebelum memutuskan untuk memulai perusahaan sendiri.
Seperti apa kehidupan Anda sebelum memulai Xendit?
Saya berasal dari keluarga pengusaha. Salah satu alasan saya bekerja di BCG adalah karena mereka pandai dalam mengajarkan keahlian-keahlian berbisnis yang baik. Mereka mengajari cara berpikir, cara menyajikan informasi dengan baik, cara berbicara dengan orang yang lebih tua, orang yang lebih senior, dan jauh lebih penting dari saya. Itu adalah bekal yang sangat berguna.
Kemudian, saya juga sempat bekerja di Amazon untuk waktu yang singkat. Amazon, dibandingkan dengan perusahaan lain, bersaing sangat ketat untuk setiap pasar di mana mereka beroperasi. Mereka memenangkan e-commerce di AS, layanan cloud mereka tersebar di mana-mana. Pergerakan mereka sangat baik dalam ruang kompetitif ini dan saya ingin belajar di perusahaan yang sangat baik dalam hal berkompetisi. Dalam waktu yang singkat itu, saya juga belajar bagaimana membangun budaya startup yang scalable dan bagaimana membangun tim kohesif yang sangat efisien dalam menjalankan bisnis.
Xendit merupakan perusahaan pertama Anda yang mendapat dukungan pemodal ventura. Seperti apa ide awal Xendit?
Ketika kami memulai Xendit, saya melihat beberapa hal yang terjadi di negara lain. Terdapatcelah sejarah di mana perusahaan yang telah berkembang akan menentukan teknologi dan bisnis untuk 15 hingga 20 tahun ke depan. Mereka menetapkan aturan tentang cara kerja teknologi. Oleh karena itu, saya ingin pulang dan membangun infrastruktur serta menetapkan aturan dengan cara yang baik untuk Indonesia dan Asia Tenggara selama 20 tahun ke depan.
Ini benar-benar hal yang menyenangkan. Saya melihat hal ini seperti kita sedang membangun jalan beraspal yang dulunya adalah jalan tanah. Kami sedang membangun infrastruktur, sehingga bisnis lain dapat berkembang di atas platform ini.
Sebagian besar perjalanan hidup Anda terjadi di luar Indonesia. Selain karena potensi, apa yang mendorong Anda untuk membangun bisnis yang berfokus di negara ini? Apa yang membuat Anda yakin bisa menaklukkan pasar Indonesia?
Saya memiliki darah Indonesia. Meskipun tidak tumbuh besar di negara ini, saya menghabiskan sebagian besar masa dewasa di sini. Sebenarnya ini adalah passion saya untuk membangun sesuatu di Indonesia, dan segala sesuatunya mendukung. Sepanjang perjalanan, saya juga menemukan beberapa teman baik yang mau bersama-sama berkembang. Mungkin bukan menaklukkan, karena saya tidak semata-mata berpikir akan menang. Kami hanya melakukan hal yang sangat kami sukai. Semua bermula dari passion.
Di tahun ini, Xendit berhasil mencapai status unicorn. Pernahkah Anda berfikir bisa sampai pada titik ini?
Menurut saya “unicorn” atau valuasi adalah indikator yang lemah untuk setiap nilai yang dapat kita berikan kepada dunia, jadi tidak pernah terpikirkan sebelumnya untuk menjadi unicorn.
Saya cenderung memikirkan apakah kita dapat membuat sesuatu yang berskala untuk menghadirkan dampak positif bagi jutaan orang selama 10 hingga 20 tahun ke depan. Jika hal itu terjadi, maka valuasi pasti akan mengikuti.
Saya tidak pernah benar-benar peduli dengan status unicorn, dan pandangan itu masih sama. Saya lebih memikirkan apakah kita mampu memberi nilai kepada pelanggan, karena itu yang terpenting. Jika kita sudah berada di jalur yang tepat, segala sesuatu yang lain akan mengikuti. Valuasi tetap menjadi satu hal yang harus dipikirkan, tetapi bukan sebagai indikator pencapaian atau sesuatu yang harus dikejar. Hal itu hanya bagian dari bisnis. Saya menghabiskan sebagian besar waktu saya untuk memikirkan produk, pelanggan, dan tim di Xendit.
Menurut Anda, apa hal yang paling esensial untuk membangun keberlanjutan sebuah perusahaan di industri teknologi?
Sederhana saja, semuanya (teknologi, produk, penjualan) bergantung pada orang-orang yang mengerjakannya. Semuanya merupakan cerminan. Bagi saya, yang terpenting adalah membangun organisasi yang dapat menarik dan mempertahankan orang-orang yang tepat. Produk memang penting, tapi fungsi tersebut datang dari orang yang membangunnya, sama halnya dengan penjualan dan layanan pelanggan.
Saya menghabiskan banyak waktu untuk memikirkan organisasi, orang-orang di dalamnya, budaya yang kita jalani, cara kita membuat keputusan. Setelah semua hal sudah dilakukan dengan benar, segala sesuatu yang lain, bahkan jika saya tidak mengontrol pengambilan keputusan, akan berjalan dengan baik.
Budaya adalah apa yang bisa menarik dan mempertahankan pekerja dalam jangka panjang. Bukan semata-mata tentang tenis meja dan makanan, dimana kami menyediakan hal itu. Hal yang lebih penting terkait pengambilan keputusan, tim yang Anda bangun, bagaimana caranya menyingkirkan politik dalam organisasi, proses rekrutmen, pemberian kompensasi, dan sebagainya. Budaya dibangun atas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan besar ini.
Sementara pekerja menjadi aset yang paling berharga di Xendit, apakah Anda punya pendekatan khusus dalam proses rekrutmen perusahaan?
Anda familiar dengan istilah underdog yang mau bekerja keras? Banyak dari kita tidak datang dari “sesuatu”, tetapi kita memiliki sesuatu untuk dibuktikan kepada dunia dan kami senang bekerja keras. Kami sangat peduli dengan budaya dan bagaimana kami membangun dan memelihara organisasi.
Jika harus memecahnya menjadi beberapa bagian, yang pertama adalah kecocokan budaya. Di dalamnya termasuk pekerja keras, ramah, membantu, tanpa politik, atau hal-hal berbau underdog. Selanjutnya, etos kerja. Kami menyadari fakta bahwa banyak orang yang masih belum paham betul tentang pembayaran. Di Xendit, kami menyediakan segalanya untuk dipelajari. Selain itu, kami juga menerapkan “Trial Day” sebagai bagian dari proses rekrutmen. Hal ini mungkin tidak ada di sebagian besar perusahaan. Ada satu hari dimana kami meminta Anda untuk bekerja bersama menyelesaikan isu yang nyata. Alih-alih diwawancarai, kandidat punya kesempatan untuk mewawancarai tim Xendit. Dengan begitu, mereka akan tahu bagaimana rasanya bekerja di Xendit.
Tantangan seperti apa yang Anda hadapi dalam perjalanan bisnis selama ini?
Ada banyak sekali tantangan, salah satu yang tersulit adalah rekrutmen ketika perusahaan masih kecil. Jauh sebelum menjadi perusahaan besar dengan bisnis bereputasi tinggi, tidak ada yang tahu siapa Anda. Kami mengembangkan model dimana kami mempekerjakan sekelompok teman. Sepuluh karyawan pertama kami sebenarnya adalah beberapa regu yang diberi kantor untuk mengembangkan produk. Dalam perhitungan saya, mungkin satu atau dua akan tinggal, kenyataannya, seluruh tim berjumlah 12 orang mau bergabung. Selama beberapa tahun pertama, teknisi awal kami adalah teman sepermainan. Kami mwmiliki tujuan yang kuat untuk mempekerjakan sekumpulan lingkaran pertemanan di mana saja, itu menjadi awal pembentukan tim kami di beberapa negara.
Xendit mengembangkan infrastruktur pembayaran dan telah hadir di Indonesia dan Filipina. Seperti apa Anda melihat potensi pasar serta peluang ekspansi ke depannya?
Jika kita melihat sisi pembayaran atau pembayaran merchant, masih terlalu dini. Persentase pembayaran digital Indonesia masih kurang dari 10% dari total PDB dibandingkan China atau AS yang mendekati 10-15%. Saya rasa kita masih memiliki peluang besar, masih ada ruang untuk pertumbuhan besar yang tersisa di setiap sudut.
Saya melihatnya seperti ini, peluang di depan kita lebih besar daripada peluang yang ada selama ini. Tempat ini sangat menarik dan kami berada dalam posisi yang sangat baik untuk menjadi pemain pertama atau kedua teratas di Asia Tenggara.
Saya menemukan sebuah laman berisi tulisan-tulisan Anda. Apakah itu sekadar hobi atau anda memiliki kegiatan lain untuk mengisi waktu luang?
Sesungguhnya, saya menyimpan itu sebagai catatan untuk diri saya sendiri. Sebagian besar yang saya tulis adalah hal-hal yang saat itu saya yakini dan saya ingin melihat apakah hal itu terbukti beberapa tahun kemudian. Hal ini juga untuk mengukur diri dan melihat apakah saya membuat keputusan yang tepat. Alasan lainnya adalah, kebanyakan orang cenderung menanyakan pertanyaan yang sama kepada saya dan jawabannya selalu sama. Saya pikir, jika ditulis, orang bisa membaca dengan mudah dan pengetahuan itu bisa menyebar lebih cepat.
Di Xendit, kami sering berkumpul, mengadakan wisata, dan bepergian bersama. Kami sangat menikmati kebersamaan satu sama lain bahkan di luar tempat kerja. Itu juga cara kami membangun koneksi.
Ada sebuah fenomena di industri teknologi, dimana para founders mulai mengambil peran sebagai investor dalam pasar. Bagaimana pandangan Anda akan hal ini? Sebagai founder, apakah itu sebuah kewajiban atau memang naluri untuk berinvestasi?
Menurut saya, kewajibannya tidak harus dengan berinvestasi, tetapi kewajibannya adalah membantu. Sepertinya ukan hanya founders, mereka memang lebih disorot oleh meedia. Setiap karyawan di sebuah perusahaan startup, juga mereka yang telah membangun bisnis memiliki kewajiban atau setidaknya keinginan untuk meneruskannya. Adalah hal yang menyenangkan bisa membantu pengusaha baru yang mencoba mencari cara untuk mengumpulkan uang, mengurus hierarki perusahaan, atau menemukan product-market fit.
Satu hal yang saya amati ketika saya tinggal di AS adalah, Silicon Valley, salah satu hal terbaik yang pernah ada, adalah kebebasan informasi yang berkualitas tinggi di antara masyarakatnya. Sedangkan di Asia, ketika seseorang memiliki ide bagus, secara tradisional, ia akan menyimpannya sendiri didasari rasa takut akan idenya ditiru atau dicuri. Rasa keharusan untuk memiliki tinggi. Saya ingin budaya itu berubah menjadi budaya yang bisa lebih berbagi alih-alih menyimpan ide untuk diri sendiri.
Kewajiban pendiri adalah membantu pendiri lainnya. Investasi datang sebagai produk sampingan, saya mencoba melakukan investasi sesedikit mungkin karena saya mencintai pekerjaan normal saya. Saya pikir Berinvestasi bisa agak mengganggu. Saya sering melakukannya untuk Xendit atau atas nama Xendit. Ini pendekatan yang sangat berbeda dari pendiri lainnya.
Sebagai startup pertama dari Indonesia yang lulus program YCombinator, bagaimana Anda melihat peran akselerator bagi startup tahap awal?
Kami adalah perusahaan Indonesia pertama di YCombinator dan saya bangga akan hal itu. YC sangat membantu untuk perusahaan tahap awal. Saya tidak tahu semua akselerator, jadi saya tidak bisa berbicara atas setiap akselerator. Satu hal yang bisa saya sampaikan, YC adalah akselerator yang sangat efektif. Seperti halnya mengurus hal-hal yang berurusan dengan tekanan bergaul bersama perusahaan terbaik di dunia. Selain itu, YC memberikan saran-saran apik, karena dijalankan oleh orang-orang yang sudah terbukti dalam membangun bisnis sebelumnya. Lalu, YC telah membangun jaringan terbaik; perusahaan ternama akan menarik investor ternama dan sebaliknya.
Dalam hal akselerator, saya pikir yang paling penting adalah pengusaha harus bertanya pada diri sendiri, ‘apa yang benar-benar saya butuhkan?’ dan ‘apakah program ini menyediakannya?’ Tidak semua akselerator bisa piawai untuk memberi saran dan mampu memberi Anda investor bernilai miliaran dolar. Semua itu tergantung pada kebutuhan pendiri dan kualitas akselerator.
Sebagai pebisnis berpengalaman, apa yang bisa Anda bagikan tentang perjuangan dan pertarungan di arena bisnis untuk para tech enthusiasts di luar sana?
Ada tiga hal yang bisa saya sampaikan. Pertama, temukan product-market fit. Sebagian besar pengusaha sudah memikirkan produk dan berharap mereka bisa menjualnya. Namun, dalam perjalanan untuk mendapatkan kesesuaian pasar produk, lebih sering Anda jatuh cinta dengan masalah pelanggan dan Anda merasakan dorongan untuk menyelesaikannya. Itu salah satu cara terbaik untuk menemukan kecocokan pasar produk.
Selanjutnya, sepuluh orang pertama di perusahaan akan menentukan budaya untuk ribuan orang berikutnya. Saya melihat hal-hal yang terjadi sekarang di Xendit, yang tidak dapat saya kendalikan lagi. Karena kami tidak mengontrol apa yang dilakukan seseorang dalam tim kecil sekarang karena kami ratusan orang besar. Budaya menyebar dan mereplikasi dirinya sendiri. Namun, sepertinya tidak cukup banyak orang yang sadar tentang hal itu sejak dini.
Yang ketiga, dalam hal perjuangan dan pertarungan, carilah mentor Anda. Dalam kasus saya, saya memiliki mentor untuk masing-masing kategori, 2 tahun ke depan, 5 tahun ke depan, dan 10 tahun ke depan. Menurut saya ini sangat membantu dalam perjalanan bisnis. Mentor 2 tahun dapat memberi saya gambaran tentang apa yang harus saya lakukan besok, mentor sepuluh tahun dapat mempertanyakan hal-hal seperti “Pastikan Anda membuat keputusan besar yang tepat!”, “Di industri mana Anda ingin membangun startup?” . Kemudian, mentor lima tahun ke depan dapat memberi Anda celah di antara keduanya dalam hal rencana untuk lima tahun ke depan dan seterusnya. Saya selalu berusaha sebaik mungkin untuk mempertahankan tiga kategori mentor ini.
– Artikel asli dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian
This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.
It is undebatable that working culture has a powerful influence on people when it comes to a decision to take a new job at one company. This is also what Moses Lo, Xendit’s Founder and CEO, grasped as he was working for a company or starting a new one. At Xendit, he always makes sure that the organizational fundamentals are met. He focused on building the internals in order for the company to better serve the externals as customers.
It was all about passion for Lo when he started this business, to create something that can drive the market for over 20 years. He built a gateway for payment to simplify and secure business transactions. With this idea, Xendit has become the first Indonesian startup to be accepted into the Y Combinator program.
Lo has already been exposed to technology at a young age. Growing up, he became interested in finance and banking stuff, along with the tech background, which led him to fintech. He graduated as an honor student of commerce, information system management, and finance at the University of New South Wales. Continuing his business saga, he attended Berkeley for a master’s degree in business. He had his experience working with two of the best companies, teaching him all that matters to enter the tech industry.
27-year-old Lo started Xendit in 2015, the company has grown multiples since then and is listed as an Indonesian unicorn this year. Today, Xendit’s infrastructure has been widely used by companies in Indonesia, the Philippines, and Southeast Asia.
Here’s an excerpt of our discussion with Moses Lo, Xendit’s front person, about his vision and achievements in the tech industry.
When did you start pursuing a career in the tech industry?
I have wanted to be in the tech industry since I was 13 or 14 years old. It involves a lot of playing computer games and building computers. So, I always wanted to do something about technology. Growing up, I got really interested in finance and banking stuff, then, I studied Information Systems in the University, which led me to fintech today. Afterward, I worked with Boston Consulting Group (BCG) and Amazon for a while before deciding to start my own company.
What was it like, your life before Xendit?
I come from a family of entrepreneurs. The reason I went to BCG was that they were really good at teaching you similar skills in business. They taught me how to think, how to present information well, how to speak to senior people, those who were older, and much more important than me. Those are really useful kits.
Then, I went to Amazon for a short period of time. Amazon, compared to the other companies, competed really hard for every inch of territory that they got. They won e-commerce in the US, they’re winning cloud services everywhere. They’re really good at this competitive space and I wanted to learn in a company that is very good at competing. In the meantime, I also learn how to build a scalable startup culture and how to build a very efficient cohesive team in executing business.
Xendit happens to be your first venture capital-backed company. Actually, what was the idea behind Xendit’s creation?
When we were starting Xendit, I noticed some things that happened in other countries. There is this small window of history where the companies that are built will define technology and business for the next 15 to 20 years. They set the rules for how technology works. Therefore, I wanted to come home and build infrastructure and set rules in a way that would be good for Indonesia and Southeast Asia for the next 20 years.
This is really exciting. I think of it like we’re building paved roads that once were dirt roads. We’re laying down infrastructure, therefore others can build businesses on top.
You’ve spent most of your life not in Indonesia. Aside from its great potential, what drives you to build a business in this country? How can you ensure to conquer this market?
I am, myself, half Indonesian. Although I didn’t spend most of my childhood here, I spent most of my adulthood in this country. It is more like my passion to build something in Indonesia, it just makes sense. Along the journey, I also found some good friends I really wanted to build with. I didn’t think we were gonna conquer. I didn’t think we knew we were gonna win. It was just something we were so passionate about. It started out with passion above anything else.
This year, Xendit has achieved unicorn status. Have you ever thought about Xendit being a unicorn before?
I think “unicorn” or valuation is a lagging indicator of value that we can provide the world, so I never thought of us becoming a unicorn.
I thought about whether we can make something that scales to have a positive impact for millions and millions of people over the next 10 to 20 years. And if we can make it, valuation will certainly follow.
I never really cared about unicorn status, and the thought remains. What I really care about is, are we able to provide value to customers, because that’s what matters most. If we stay on that true path, everything else will follow. I do think about valuation, but not as a mark for some milestones or something to chase. It is just part of the business. I spend most of my time thinking about products, customers, and Xendit people.
What do you think is the most essential value a company should have in order to reach sustainability in this tech industry?
It’s really simple, everything (tech, product, sales) comes down to people. It’s all a reflection of our people. For me, the most important thing is to build an organization that can attract and retain the right people. Product is important, yes, but it is a function of the people who build it, it also applies to sales and customer service.
I spent a lot of my time thinking about the organization itself, the people in it, the culture we breathe, the way we make decisions. Once we get that right, everything else, even if I didn’t control the decision-making down the line, will work out.
Culture is what attracts and retains people in the long run. It’s not only about table tennis and food, which we have. It’s mainly about decision making, the sailors you build, how you get rid of politics in organization, the recruitment process, the compensation settlement and so on. Culture was built upon the answers of all these kinds of big questions.
Since Xendit’s most valuable asset is its people, do you have a certain approach while recruiting people?
Do you know underdogs that were willing to work hard? A lot of us do not come from the best “something”, but we have something to prove to the world and we’re happy to work hard. We really care about the culture and how we build and maintain the organization.
If I have to break it down into parts, the first one is culture fit. It includes hardworking, friendly, helpful, no politics, or the underdog’s stuff. Furthermore, the work ethic. We are aware of the fact that a lot of people don’t know anything about the payment. In Xendit, we have everything for you to learn. Also, we have what we call Trial Day as part of our recruitment process. I think this one is not applied in most companies. We’ll have you work with us for a whole day, with real problems. Instead of being interviewed, they will have the opportunity to interview Xendit people. This way they will know how it feels to work at Xendit.
What kind of challenges do you encounter along the journey?
Lots of challenges, one of the hardest ones is recruiting when you’re small. It’s long before you’re a big company with a highly reputable business. No one knows who you are. We developed a model where we hired a group of friends. Our first ten hires were actually a group of friends that were given an office for engineering. In my calculation, maybe one or two will stay, but instead, all 12 people joined. For the first few years, all our engineers were basically two groups of friends. We’re very purposeful for hiring pockets of friends wherever we can, that is also the very beginning of our team in some countries.
Xendit has been providing payment infrastructure and already exists in Indonesia and the Philippines. How do you see the market potential and possibility to expand?
When we look at payment or the merchant payments side, we’re still quite premature. The Indonesian digital payment percentage is still less than 10% of the total GDP compared to China or the US, which is closer to 10-15%. I think we have multiple orders of magnitude, there’s still massive growth left in every corner.
The way I look at it, the opportunity in front of us is bigger than the opportunity that we’ve seen so far. This is a pretty exciting place to be and we’re in a very good position to be the top one or two players in Southeast Asia.
I found a website containing some of your writings. Should I assume you like to write in your free time or do you have other kinds of hobbies?
The reason I did those is, I kept it more as a note for myself. Mostly, I write things that I believe at that time and I wanna see if that’s still true a few years later. It’s to measure myself and see if I make the right decision. Another reason is, a lot of people tend to ask me the same questions and I noticed that I’m answering the same question over and over again. I figured, if I just put it out there, people can simply read and that knowledge can spread faster.
At Xendit, we hung out a lot together, we did travel, trips, and everywhere. We really enjoy each other’s company even outside the workplace. That’s also how we build connections.
There’s a phenomenon in the tech industry where Founders are starting to enter the market as an investor. What do you think of this? Do you think as a Founder, you are also obliged or just naturally grow interested in investing?
I think the obligation is not necessarily to invest, but the obligation is to help. I don’t think it’s just the founders, they may have a lot of press and the credit. I think any early employee at a company, those who’ve built businesses have an obligation or at least a desire to pay it forward. Something I really love doing is helping new entrepreneurs trying to figure out how to raise money, deal stuff with the boards, or find product-market fit.
One thing I observed when I lived in the U.S. was, Silicon Valley, one of the best things has, is the freedom of high-quality information between people. Whereas in Asia, when we have a good idea, traditionally, we want to keep it to ourselves because we’re scared someone will copy us and take it away. We try to own things. I want that culture to change into a more sharing culture instead of keeping ideas for yourself.
The obligation is for founders to help other founders. Investing comes as a byproduct, I try to do as little investment as possible because I love my normal job. I think Investing can be somewhat distracting. I do it a lot for Xendit or on behalf of Xendit. It’s quite a different approach from other founders.
As one of the first Indonesian startup graduates in YCombinator, what do you think is the important role of accelerator programs to early-stage startups?
We’re the first Indonesian company in YCombinator, so I’m proud of that. YC is extremely helpful for early-stage companies. I don’t know every accelerator so I cannot say for every accelerator. But I can say that YC is an extremely effective accelerator. To begin with, in terms of dealing with the pressure cooker of hanging out with the best company on earth. Also, YC gives some of the best advice, as it is run by people who actually built a business before. Another thing is YC has built the best network effect; the best companies attract the best investors and vice versa.
In terms of accelerators, I think all entrepreneurs have to ask themselves, ‘what do I really need?’ and ‘does it provide that to me?’ Not all accelerators can be really good at pressure cookers and capable of bringing you the billion-dollar investors. It all depends on the founder’s need and the accelerator’s quality.
As an experienced entrepreneur, what can you share about the struggle and survival story for those tech enthusiasts out there wanting to build their own legacy?
I have three things to say. First, find product-market fit. Most entrepreneurs already have a product in mind and hope that they can sell it. However, on the way to get product-market fit, more often you fall in love with the customer problem and you feel the urge to solve it. That’s one of the best ways to find product-market fit.
Next, your first ten people will define the culture for the next thousands. I see things that happened now at Xendit, which I have no control over anymore. As we don’t control what someone does in a small team now that we’re hundreds of people big. The culture propagates and replicates itself. Hence, I don’t think people are conscious enough about that early on.
The third, in terms of struggle and survival, is to find yourself the mentors. In my case, I have a mentor for each category, 2 years ahead, 5 years ahead, and 10 years ahead. I think that’s really helpful in my journey. The 2-year mentor can give me a sense of what I need to do tomorrow, the ten-year mentor can say “Make sure you make the right big decision!”, “Which industries do you want to build the startup in?”. Then, the five-year-ahead mentor can give you a little in between of both in terms of my plan for the next five years and so on. I always try my best to maintain these three buckets of mentors.