Industri esports bisa dibilang sedang dalam masa keemasannya kini. Pemain pun menjadi pusat perhatian dari masa kejayaan tersebut. Uang hadiah berjuta-juta dollar, dikenal banyak orang, membuat beragam kesempatan terbuka lebar bagi pemain esports saat ini. Tapi jika Anda tidak cermat, semua bentuk privilege tersebut bisa hilang dalam jentikan jari saja. Karenanya, ada alasan tertentu kenapa ilmu bisnis menjadi salah satu ilmu yang perlu Anda pelajari apabila Anda adalah seorang pemain esports yang sedang sukses ataupun sebagai seseorang yang sedang merintis karir.
Lalu kenapa bisnis dan apa yang dimaksud dengan “ilmu bisnis” dalam pembahasan ini? Mari kita menyelam ke dalam pembahasan lebih lanjutnya.
Kenapa Belajar Bisnis Penting Bagi Seorang Pemain Esports
Anda mungkin masih bingung soal maksud ilmu bisnis yang saya bahas dalam pembahasan ini. Kata bisnis sendiri memang bisa diartikan menjadi luas sekali. Apakah belajar bisnis di artikel ini maksudnya adalah membuat startup? Berjualan voucher game? Investasi saham? Atau mungkin membuat tambak lele? Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha komersial dalam dunia perdagangan, bidang usaha, atau usaha dagang. Karenanya jenis-jenis kegiatan di atas juga tidak sepenuhnya salah jika disebut bisnis. Namun, bisnis yang saya maksud di sini sebenarnya lebih ke arah berbagai kemampuan yang berhubungan dengan kegiatan bisnis itu sendiri. Karenanya saya menyebutnya sebagai ilmu bisnis.
Lalu pertanyaan berikutnya yang muncul mungkin adalah, kenapa harus bisnis? Padahal seorang pemain esports yang pensiun masih bisa melakukan karir-karir lain yang bersifat depan layar, seperti menjadi shoutcaster, streamer, atau bahkan mungkin YouTuber? Kalau Anda cermat membaca artikel ini sejak awal, Anda mungkin akan sadar kalau jawaban terhadap pertanyaan tersebut sebenarnya sekilas sudah saya tulis di awal paragraf.
Karena pemain esports yang sukses memiliki dua modal yang sangat mumpuni untuk memulai bisnis, modal uang dan modal popularitas. Selain itu, bisnis juga cenderung punya tingkat keberlangsungan yang lebih panjang ketimbang kembali menjadi orang depan layar. Memang, tidak ada yang pasti di dunia ini. Namun menjadi orang depan layar cenderung terbatas usia produktifnya. Bintang esports baru terus bermunculan dari waktu ke waktu, karenanya popularitas Anda sebagai pemain esports pun bisa jadi luntur seiring waktu.
Dua faktor yang saya sebut sebenarnya sudah jadi rahasia umum, namun bisa jadi belum tersadari oleh sang pemain ataupun calon pemain sendiri. Dalam hal modal secara finansial misalnya. Pemain esports paling sukses di zaman sekarang mungkin bisa dibilang sudah punya pendapatan yang mulai menyaingi pendapatan atlet olahraga. Misalnya saja Johan “n0tail” Sundstein, juara dunia Dota 2 yang menurut catatan esportsearnings.com sudah mengumpulkan pendapatan sebanyak US$6,9 juta lebih dari uang hadiah. Pendapatan tersebut baru dari hadiah turnamen saja. Belum menghitung pendapatan lain yang juga diterima namun mungkin tidak dipublikasikan, seperti nilai kontrak endorsement, mungkin gaji, atau mungkin bagi hasil pendapatan dari tim OG yang ia bentuk sendiri.
Modal popularitas juga merupakan modal lain yang tak kalah penting dalam membangun bisnis. Membangun relasi bisa jadi hal yang mudah apabila Anda adalah seorang pemain esports yang sedang ada di puncak karir. Dengan popularitas yang dimiliki, Anda bisa mudah berkenalan dengan brand-brand besar, mudah berkenalan dengan orang-orang baru, bahkan mungkin orang-orang tersebut bisa jadi datang sendiri tanpa Anda harus melakukan banyak usaha.
Misalnya saja JessNoLimit. Karirnya sebagai pemain esports mungkin bukanlah yang paling cemerlang. Namun Anda bisa lihat sendiri bagaimana dirinya sangat memanfaatkan masa jayanya terdahulu ke dalam kehidupannya sekarang. Walau mungkin tidak bisa dijadikan contoh sebagai mantan pemain esports yang terjun ke bisnis sepenuhnya, tetapi kita bisa melihat bagaimana kelihaian JessNoLimit melihat peluang untuk menjual namanya sendiri sebagai seorang pemain esports yang sukses.
Berkat kecermatannya melihat peluang, JessNoLimit pun berhasil mencapai kesuksesan tertentu dengan menjual citra dirinya sebagai pemain esports. Beberapa di antaranya seperti mencatatkan 21 juta subscriber di YouTube, menjadi duta Piala Presiden Esports, dan bahkan berkesempatan bertemu dengan presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.
Dua faktor tersebut bisa dibilang menjadi salah satu keuntungan terbesar saat Anda sedang berposisi sebagai seorang pemain esports yang sukses. Coba bayangkan apabila Anda hanyalah seorang pegawai swasta? Mendapat modal uang (yang cukup untuk bisnis) dan mencari modal relasi juga mungkin akan butuh usaha yang amat sangat keras. Tapi saya juga tidak memungkiri menjadi sukses sebagai atlet esports juga butuh kerja keras dengan persaingan yang tak kalah berat. Karenanya tanpa maksud menyinggung pihak manapun, intinya adalah menjadi pemain esports bisa memberikan Anda banyak peluang yang bisa dimanfaatkan dengan baik.
Belajar Bisnis Sambil Meniti Karir Jadi Pemain Esports, Apa Mungkin?
Kalau ditanya bagaimana caranya, satu-satunya jawaban yang bisa saya berikan mungkin adalah belajar.
Ya, oke, saya tahu bahwa jawaban saya membosankan, terima kasih atas pujiannya. Saya sadar, bisa jadi beberapa dari Anda yang memutuskan menjadi pemain esports adalah karena ingin alternatif dari kehidupan formal, belajar, ataupun cara-cara “kuno” dalam mencapai kemapanan dalam hidup.
Namun demikian, hal yang memang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa kegiatan “kuno” tersebut tetap menawarkan solusi paling aman di dalam hidup. Bicara kasarnya, memangnya Anda mau mapan hari ini tapi hidup susah di masa senja? Mau tidak mau, Anda tetap perlu belajar walau sudah sukses jadi bintang esports. Belajar yang saya maksud di sini tentu tidak melulu harus lewat pendidikan formal. Seperti yang saya katakan sebelumnya, pembahasan ini juga sebenarnya lebih ke arah keharusan belajar soft-skill dan belajar bagaimana cara dunia bekerja, terutama dari sisi bisnis. Belajarnya pun bisa dari mana saja, dari lingkungan ataupun dari konten-konten di internet.
Membahas lebih lanjut soal belajar jadi atlet esports sambil belajar soft-skill, saya pun berbincang dengan Yohannes Siagian. Pembaca setia hybrid.co.id tentu kenal betul dengan sosok yang satu ini. Redaksi hybrid.co.id juga sudah beberapa kali membahas relasi esports dan pendidikan melalui perbincangan Chief Editor kami, Yabes Elia, dengan “Mas Joey”.
Salah satu alasan saya mengajak mas Joey untuk berbincang soal berkarir menjadi pemain esports dan belajar bisnis adalah karena program pengembangan baru yang ia lakukan melalui brand Somnium Esports. Organisasi esports tersebut baru-baru saja membuat sebuah program pengembangan pemain yang tergolong beda ketimbang program lainnya.
Program tersebut tidak sekadar mengajarkan pemain supaya jago main game saja tapi juga menawarkan pengembangan kemampuan-kemampuan di luar dari gaming. Bahkan program pengembangan pemain milik Somnium juga menawarkan pendidikan gratis bagi peserta yang masih bersekolah namun ingin tetapi ikut program.
Joey pun menjelaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari bentuk akuisisi Somnium oleh yayasan Garis Putih. Lebih lanjut Joey pun menjelaskan soal apa itu yayasan Garis Putih. “Pada dasarnya Garis Putih merupakan yayasan yang ada pada bidang youth support dan development. Alasan kami melakukan program seperti demikian adalah karena kami merasa anak muda tidak punya banyak kesempatan untuk mengembangkan minat, bakat, dan potensi mereka di masa kini.”
“Kami juga mengamati bahwa saat ini kurang banyak opsi yang dapat dipilih anak muda dalam melakuan eksplorasi diri, kepribadian, ataupun tempat untuk mencari bantuan serta dukungan apabila diperlukan. Hal yang menjadi dasar pemikiran tersebut adalah dari fenomena yang kami lihat bahwa anak muda zaman sekarang kebanyakan hidupnya hanya berkutat di 3 tempat saja, sekolah, rumah, dan tongkrongan/mall. Masa pandemi seperti sekarang semakin membuat keadaan tadi jadi lebih terasa. Fenomena tersebut pun membuat yayasan Garis Putih tergerak untuk mencoba menawarkan solusi. Esports hanya salah satu saja dari rencana besar Garis Putih yang kami lakukan lewat Somnium. Esports hanya salah satu karena Garis Putih nantinya juga punya rencana untuk melakukan kegiatan youth support di bidang lainnya seperti olahraga, kesenian, dan lain-lain.” Tutur Joey menjelaskan.
“Tapi satu hal lain yang ingin kembali saya tegaskan kembali adalah bahwa Somnium Development Program itu bukan pendidikan untuk direkrut ke dalam tim esports profesional. Seperti namanya dan sejalan dengan visi misi Garis Putih, fokus program tersebut adalah pengembangan. Harapannya program ini bisa memberi bekal kepada mereka yang ingin meniti karir menjadi pemain esports.” Joey kembali menambahkan
Walaupun program milik Somnium terlihat cukup inovatif, namun program coaching di bidang esports sebenarnya tidak sepenuhnya baru. Dalam tulisan saya yang membahas skema ekosistem esports, Anda juga bisa melihat bahwa ada dua elemen yang bersifat “lain-lain” di sana. Menariknya, dua entitas yang saya tulis pada bagian tersebut sama-sama menawarkan jasa yang sama, yaitu coaching. Dalam daftar yang saya buat, saya memasukan Aegis.gg dan RRQ Academy.
Tetapi dari apa yang saya amati, kedua coaching platform tersebut hanya menawarkan cara untuk menjadi jago saja. Padahal di dunia esports, menjadi jago hanya satu aspek profesionalitas pemain esports saja. Seiring dengan karir yang terus berkembang, pemain esports akan lebih dituntut lebih dan dituntunt dari berbagai macam aspek. Mulai dari ketangguhan mental, profesionalitas secara sikap, sampai tuntutan membangun citra diri di muka publik.
“Kalau ditanya soal apa saja yang diajari, skill main game sudah pasti diajari. Tapi selain itu saya juga menyiapkan pelatihan soft-skill yang arahnya untuk meningkatkan performa permainan, seperti kemampuan analisa game, komunikasi, decision making, dan lain-lain. Di luar dari itu, ilmu-ilmu yang dapat membantu kehidupan mereka pasca pensiun juga diajarkan, termasuk ilmu seperti bisnis ataupun literasi finansial.” Tambah Joey.
Memang menurut saya jago saja tidak cukup membawa karir Anda melejit di dunia esports. Kembali menggunakan Jess No Limit sebagai contoh, Anda pecinta esports MLBB mungkin ingat kalau dia bukan sosok yang paling jago bermain. Namun Jess No Limit punya beberapa kemampuan di luar bermain game yang membuat dirinya berhasil survive pasca pensiun dari pro player. Cerita yang serupa juga sebenarnya bisa dilihat perjalanan dari mantan rekan satu timnya, Jonathan “Emperor” Liandi.
Program player development dari Sominum mungkin bisa jadi salah satu pilhan dalam membangun soft-skill untuk mempersiapkan kehidupan pasca pensiun sebagai pemain esports. Walau memang berpikir “mau jadi apa setelah pensiun sebagai pemain” adalah kewajiban bagi pemainnya sendiri, tapi saya merasa apa yang dilakukan oleh Somnium Esports patut juga dicontoh oleh tim lain.
Mengapa? Saya merasa pemain yang tidak sekadar jago juga memberikan nilai jual lebih bagi tim terkait. Pemain yang jago mungkin bisa memberi kemenangan di lebih banyak turnamen. Tapi pemain yang punya kemampuan menyeluruh (termasuk bisnis atau menjual citra diri) mungkin bisa memberi value yang lebih banyak lagi, entah itu lewat kontrak-kontrak endorsement dan lain sebagainya. Karenanya, saya merasa apa yang dilakuan oleh Somnium Esports itu tidak hanya baru, tetapi juga bisa jadi penting demi masa depan esports yang lebih baik.
Membahas soal kepentingan kemampuan-kemampuan di luar skill bermain game dan pentingnya belajar bisnis, Joey juga menambahkan. “Ya saya setuju belajar bisnis itu penting, tapi di luar dari itu sebenarnya yang lebih penting dan mendasar adalah literasi finansial secara umum. Maksudnya literasi finansial adalah sesederhana seperti menabung, investasi, ataupun mengenali cara serta konsep untuk bisa growing money. Kenapa penting? Karena ketika pemain esports sedang dalam masa karirnya, mereka bukan hanya punya penghasilan besar tapi juga memiliki pengeluaran yang sedikit; bahkan hampir tidak ada.”
“Benar bukan? Semua biaya hidup ditanggung tim. Ada gaming house untuk tempat tinggal, kebutuhan makan kadang ditanggung oleh tim, transportasi juga kadang ditanggung oleh tim. Dengan keadaan hampir zero expenses, pemain esports sebenarnya punya kesempatan menumpuk modal untuk menghadapi kehidupan pasca pensiun sebagai pemain esports.” Joey memperjelas kembali soal pelaung yang dimiliki oleh pemain esports untuk menghadapi kehidupan masa depannya.
“Tapi memang sejauh yang saya lihat juga beberapa pemain esports jaman sekarang mulai melek finansial. Tetapi biasanya memang karena suatu kondisi tertentu lebih dahulu. Sudah pernah “kepentok” misalnya atau ketika si pemain berencana untuk menikah. Biasanya kalau sudah begitu mereka mulai berpikir untuk investasi ataupun mencoba membuat usaha.” Joey menambahkan cerita berdasarkan dari pengamatannya sejauh ini.
Di luar dari pembahasan tersebut, saya juga sadar bahwa usia pemain esports yang masih sangat muda jadi salah satu faktor lain yang membuat mereka kurang sadar akan hal-hal seperti ini. Tetapi mengingat era informasi sekarang ini, pemain esports juga punya keuntungan lain dengan mudahnya akses untuk belajar ilmu-ilmu baru. Selain diajari, Anda juga bisa saja belajar secara otodidak, bahkan mungkin belajar melalui pembahasan-pembahasan Hybrid.co.id. Misalnya apabila Anda ingin tetap berada di ranah esports namun sebagai pelaku bisnis, Anda mungkin bisa belajar dimulai dari artikel pembahasan bentuk ekosistem esports Indonesia atau pembahasan soal alasan bagaimana game kompetitif bisa sukses berkembang menjadi esports.
Belajar Dari Atlet Olahraga dan Esports Yang Mapan Hingga Kini
Ada alasan tertentu kenapa bisnis yang menjadi sorotan pembahasan saya di dalam artikel ini. Selain dari dua faktor di atas, inspirasi artikel ini juga lagi-lagi datang dari salah satu video milik Athletic Interest. Salah satu video di channel tersebut menceritakan soal kisah sukses dari seorang petenis kelas dunia, Roger Federer.
Apa yang ingin saya soroti dari sosok beliau bukan serta-merta kekayaan atau kesuksesannya saja, tetapi juga karakteristik yang membuatnya jadi salah satu atlet olahraga yang berhasil jadi miliarder. Mengutip dari Forbes, Roger Federer telah mengumpulkan sekitar US$130 juta dari kemenangan-kemenangan yang ia raih. Namun, total kekayaanya lebih dari itu dan bahkan uang hadiah turnamen jadi terlihat kecil ketimbang kontrak endorse senilai US$300 juta dengan Uniqlo.
Tetapi ada cerita tersendiri ketika Roger Federer mengambil kontrak endorsement dengan Uniqlo. Kisah tersebut menuai pertanyaan khalayak karena Roger Federer memilih meninggalkan Nike dan untuk Uniqlo. Bukan cuma gara-gara brand-nya saja, kontrak kerja sama dengan Nike juga menawarkan nilai 3 kali lipat lebih besar ketimbang kerja sama dengan Uniqlo. Salah satu jawaban yang ia berikan adalah. “Kita semua tahu bahwa saya sedang berada di masa senja karir saya, bukan di masa keemasan.” Tutur Roger Federer membuka sesi konfrensi pers membahas soal keputusannya tersebut yang saya kutip dari Forbes.
Mengutip dari SportsPro, Roger Federer juga sempat berkata. “Suatu hari saya akan pensiun dari tenis, tetapi saya tidak akan pensiun dengan kehidupan saya. Kehidupan saya akan terus berjalan (pasca pensiun dari pemain tenis). Dengan demikian, saya percaya bahwa Uniqlo dan Mr Yanai (CEO Uniqlo) akan menganggap saya sebagai sosok penting bagi brand mereka, walaupun saat saya sudah tidak menjadi atlet tenis.”
Pengambilan keputusan yang dilakukan Roger Federer bisa menjadi contoh bagaimana seorang atlet juga harus sadar dan paham cara bisnis bekerja. Nike adalah perusahaan olahraga. Sosok yang akan di-endorse oleh Nike kemungkinan besar adalah atlet-atlet terbaik di bidang olahraganya masing-masing.
Namun Uniqlo bukanlah Nike. Uniqlo adalah brand pakaian untuk sehari-hari. Nike bisa saja memutus kontrak endorse-nya dengan Roger apabila dirinya sudah mulai menurun performanya atau pensiun dari tenis. Di sisi lain, kecil kemungkinan bagi Uniqlo untuk melakukan hal tersebut. Sebagai perusahaan pembuat pakaian kasual, Uniqlo tetap butuh brand ambassador terlepas dari atlet atau bukan. Terlebih, Uniqlo juga tergolong baru mulai membuat pakaian-pakaian untuk kebutuhan olahraga yang hadir dalam branding AIRism. Kontrak kerja sama sepanjang 10 tahun yang termasuk kolaborasi merancang pakaian bersama Uniqlo tentunya akan menjadi investasi masa depan yang baik bagi seorang Roger Federer.
Tindakan yang dilakukan Roger sebenarnya mirip seperti banyak kontrak endorse yang juga dilakukan pemain-pemain esports. Namun dari pembahasan tersebut kita bisa belajar bagaimana Roger Federer tidak hanya tahu soal cara bermain tenis tetapi juga punya kesadaran serta begitu taktis dalam melakukan pergerakan bisnis demi menyambung hidupnya. Bukan hanya di olahraga, esports juga punya beberapa contoh kasus.
Taylor Blevins atau si “Ninja” Fortnite misalnya. Walaupun dirinya bukan pemain esports, namun kita juga bisa melihat bagiamana dia aktif melakukan pergerakan agar tetap relevan dan bertahan pekerjaannya sebagai streamer game. Selain menjadi avatar di Fortnite, Ninja juga melakukan kerja sama dengan beberapa brand seperti Red Bull, Adidas, bahkan dikabarkan akan muncul di film dan serial televisi. Hal-hal tersebut juga bisa dibilang sebagai beberapa bentuk pergerakan bisnis dari Ninja dalam memanfaatkan masa kejayaan yang sedang dijalaninya kini.
Dalam satu kesempatan, Ninja juga sempat membagikan pandangannya terhadap masa depannya saat ia mungkin sudah tak lagi digandrugi. “Hal yang terpenting adalah memahami segmentasi penggemar dan melakukan ekspansi dari sana. Saya sadar kebanyakan penggemar saya adalah anak muda. Saya juga sadar bahwa karir saya di dunia streaming tidaklah abadi. Makanya saya mulai mencoba voice acting untuk kartun atau animasi karena merasa hal tersebut masih dekat dengan segmentasi penggemar saya. Tapi menurut pandangan saya sendiri hal terpenting adalah melakukan sesuatu yang memang saya sukai.” Tutur Ninja kepada New York Times.
Masih ada juga beberapa contoh lain dari sosok esports internasional yang bermuara terjun ke bisnis di ketika mencapai masa senjanya. Salah satu contohnya seperti Mathew Haag “Nadeshot”, mantan pemain profesional, juara dunia Call of Duty tahun 2011, dan kini memanfaatkan masa kejayaan terdahulunya sebagai modal untuk membangun timnya 8-nya sendiri yaitu 100 Thieves.
Tidak usah jauh-jauh, Indonesia juga punya sosok sosok yang mirip seperti Nadeshot. Richard “frgd” Permana misalnya, bermula sebagai pemain esports dari TeamNXL dan kini berakhir sebagai CEO TeamNXL itu sendiri. Ada juga sosok seperti Gary Ongko, yang sebelumnya sempat bermain CS:GO secara semi-profesional dan kini menjadi sosok yang menggerakan BOOM Esports.
Penutup
Seperti saya katakan di awal artikel ini, bisnis sebenarnya cuma satu dari banyak kemungkinan lain yang bisa Anda lakukan saat tak lagi jadi pemain esports.
Tetap sukses atau malah jadi miliarder pasca pensiun sebagai atlet esports itu sangat mungkin, mengingat modal uang dan relasi yang dimiliki. Tapi tentunya Anda harus paham bagaimana cara melakukan keputusan bisnis yang tepat (seperti yang dilakukan Roger Federer contohnya), menjaga dan menjual citra diri Anda, serta paham ke mana menginvestasikan penghasilan yang dimiliki agar tidak salah langkah.
Pada intinya saya berharap para pembaca, terutama yang ingin meniti karir sebagai pemain esports, sadar bahwa menjadi pemain esports memang tidak sesederhana main game lalu dapat uang. Banyak hal yang harus dilakukan, banyak kewajiban yang harus dipenuhi, namun juga dengan banyak hal yang bisa dipelajari dari kesempatan yang ada.
Saya jadi ingin mengutip perkataan dari Roger Federer, bahwa hidup tidak berhenti setelah masa keemasan Anda selesai. Terlebih usia karir esports juga cenderung pendek, yang bisa jadi ada keuntungannya tersendiri; yaitu bisa merintis impian di bidang lain ketika usia Anda masih relatif muda. Semoga artikel ini bisa membantu membuka pandangan Anda dan memberi inspirasi bagi Anda yang sedang berada di jalan tersebut.