Tag Archives: Yohannes Siagian

Pentingnya Kesadaran Literasi Bisnis dan Finansial Buat Para Bintang Esports

Industri esports bisa dibilang sedang dalam masa keemasannya kini. Pemain pun menjadi pusat perhatian dari masa kejayaan tersebut. Uang hadiah berjuta-juta dollar, dikenal banyak orang, membuat beragam kesempatan terbuka lebar bagi pemain esports saat ini. Tapi jika Anda tidak cermat, semua bentuk privilege tersebut bisa hilang dalam jentikan jari saja. Karenanya, ada alasan tertentu kenapa ilmu bisnis menjadi salah satu ilmu yang perlu Anda pelajari apabila Anda adalah seorang pemain esports yang sedang sukses ataupun sebagai seseorang yang sedang merintis karir.

Lalu kenapa bisnis dan apa yang dimaksud dengan “ilmu bisnis” dalam pembahasan ini? Mari kita menyelam ke dalam pembahasan lebih lanjutnya.

 

Kenapa Belajar Bisnis Penting Bagi Seorang Pemain Esports

Anda mungkin masih bingung soal maksud ilmu bisnis yang saya bahas dalam pembahasan ini. Kata bisnis sendiri memang bisa diartikan menjadi luas sekali. Apakah belajar bisnis di artikel ini maksudnya adalah membuat startup? Berjualan voucher game? Investasi saham? Atau mungkin membuat  tambak lele? Pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, bisnis diartikan sebagai usaha komersial dalam dunia perdagangan, bidang usaha, atau usaha dagang. Karenanya jenis-jenis kegiatan di atas juga tidak sepenuhnya salah jika disebut bisnis. Namun, bisnis yang saya maksud di sini sebenarnya lebih ke arah berbagai kemampuan yang berhubungan dengan kegiatan bisnis itu sendiri. Karenanya saya menyebutnya sebagai ilmu bisnis.

Lalu pertanyaan berikutnya yang muncul mungkin adalah, kenapa harus bisnis? Padahal seorang pemain esports yang pensiun masih bisa melakukan karir-karir lain yang bersifat depan layar, seperti menjadi shoutcaster, streamer, atau bahkan mungkin YouTuber? Kalau Anda cermat membaca artikel ini sejak awal, Anda mungkin akan sadar kalau jawaban terhadap pertanyaan tersebut sebenarnya sekilas sudah saya tulis di awal paragraf.

Karena pemain esports yang sukses memiliki dua modal yang sangat mumpuni  untuk memulai bisnis, modal uang dan modal popularitas. Selain itu, bisnis juga cenderung punya tingkat keberlangsungan yang lebih panjang ketimbang kembali menjadi orang depan layar. Memang, tidak ada yang pasti di dunia ini. Namun menjadi orang depan layar cenderung terbatas usia produktifnya. Bintang esports baru terus bermunculan dari waktu ke waktu, karenanya popularitas Anda sebagai pemain esports pun bisa jadi luntur seiring waktu.

Dua faktor yang saya sebut sebenarnya sudah jadi rahasia umum, namun bisa jadi belum tersadari oleh sang pemain ataupun calon pemain sendiri. Dalam hal modal secara finansial misalnya. Pemain esports paling sukses di zaman sekarang mungkin bisa dibilang sudah punya pendapatan yang mulai menyaingi pendapatan atlet olahraga. Misalnya saja Johan “n0tail” Sundstein, juara dunia Dota 2 yang menurut catatan esportsearnings.com sudah mengumpulkan pendapatan sebanyak US$6,9 juta lebih dari uang hadiah. Pendapatan tersebut baru dari hadiah turnamen saja. Belum menghitung pendapatan lain yang juga diterima namun mungkin tidak dipublikasikan, seperti nilai kontrak endorsement, mungkin gaji, atau mungkin bagi hasil pendapatan dari tim OG yang ia bentuk sendiri.

Dota2_NotailGamerzClass
N0tail juga bisa jadi contoh lain sebagai sosok yang bukan cuma sukses sebagai pemain saja.

Modal popularitas juga merupakan modal lain yang tak kalah penting dalam membangun bisnis. Membangun relasi bisa jadi hal yang mudah apabila Anda adalah seorang pemain esports yang sedang ada di puncak karir. Dengan popularitas yang dimiliki, Anda bisa mudah berkenalan dengan brand-brand besar, mudah berkenalan dengan orang-orang baru, bahkan mungkin orang-orang tersebut bisa jadi datang sendiri tanpa Anda harus melakukan banyak usaha.

Misalnya saja JessNoLimit. Karirnya sebagai pemain esports mungkin bukanlah yang paling cemerlang. Namun Anda bisa lihat sendiri bagaimana dirinya sangat memanfaatkan masa jayanya terdahulu ke dalam kehidupannya sekarang. Walau mungkin tidak bisa dijadikan contoh sebagai mantan pemain esports yang terjun ke bisnis sepenuhnya, tetapi kita bisa melihat bagaimana kelihaian JessNoLimit melihat peluang untuk menjual namanya sendiri sebagai seorang pemain esports yang sukses.

Berkat kecermatannya melihat peluang, JessNoLimit pun berhasil mencapai kesuksesan tertentu dengan menjual citra dirinya sebagai pemain esports. Beberapa di antaranya seperti mencatatkan 21 juta subscriber di YouTube, menjadi duta Piala Presiden Esports, dan bahkan berkesempatan bertemu dengan presiden Republik Indonesia, Joko Widodo.

Dua faktor tersebut bisa dibilang menjadi salah satu keuntungan terbesar saat Anda sedang berposisi sebagai seorang pemain esports yang sukses. Coba bayangkan apabila Anda hanyalah seorang pegawai swasta? Mendapat modal uang (yang cukup untuk bisnis) dan mencari modal relasi juga mungkin akan butuh usaha yang amat sangat keras. Tapi saya juga tidak memungkiri menjadi sukses sebagai atlet esports juga butuh kerja keras dengan persaingan yang tak kalah berat. Karenanya tanpa maksud menyinggung pihak manapun, intinya adalah menjadi pemain esports bisa memberikan Anda banyak peluang yang bisa dimanfaatkan dengan baik.

 

Belajar Bisnis Sambil Meniti Karir Jadi Pemain Esports, Apa Mungkin?

Kalau ditanya bagaimana caranya, satu-satunya jawaban yang bisa saya berikan mungkin adalah belajar.

Ya, oke, saya tahu bahwa jawaban saya membosankan, terima kasih atas pujiannya. Saya sadar, bisa jadi beberapa dari Anda yang memutuskan menjadi pemain esports adalah karena ingin alternatif dari kehidupan formal, belajar, ataupun cara-cara “kuno” dalam mencapai kemapanan dalam hidup.

Namun demikian, hal yang memang tidak bisa dipungkiri adalah bahwa kegiatan “kuno” tersebut tetap menawarkan solusi paling aman di dalam hidup. Bicara kasarnya, memangnya Anda mau mapan hari ini tapi hidup susah di masa senja? Mau tidak mau, Anda tetap perlu belajar walau sudah sukses jadi bintang esports. Belajar yang saya maksud di sini tentu tidak melulu harus lewat pendidikan formal. Seperti yang saya katakan sebelumnya, pembahasan ini juga sebenarnya lebih ke arah keharusan belajar soft-skill dan belajar bagaimana cara dunia bekerja, terutama dari sisi bisnis. Belajarnya pun bisa dari mana saja, dari lingkungan ataupun dari konten-konten di internet.

Membahas lebih lanjut soal belajar jadi atlet esports sambil belajar soft-skill, saya pun berbincang dengan Yohannes Siagian. Pembaca setia hybrid.co.id tentu kenal betul dengan sosok yang satu ini. Redaksi hybrid.co.id juga sudah beberapa kali membahas relasi esports dan pendidikan melalui perbincangan Chief Editor kami, Yabes Elia, dengan “Mas Joey”.

Salah satu alasan saya mengajak mas Joey untuk berbincang soal berkarir menjadi pemain esports dan belajar bisnis adalah karena program pengembangan baru yang ia lakukan melalui brand Somnium Esports. Organisasi esports tersebut baru-baru saja membuat sebuah program pengembangan pemain yang tergolong beda ketimbang program lainnya.

Program tersebut tidak sekadar mengajarkan pemain supaya jago main game saja tapi juga menawarkan pengembangan kemampuan-kemampuan di luar dari gaming. Bahkan program pengembangan pemain milik Somnium juga menawarkan pendidikan gratis bagi peserta yang masih bersekolah namun ingin tetapi ikut program.

Joey pun menjelaskan bahwa kegiatan tersebut merupakan bagian dari bentuk akuisisi Somnium oleh yayasan Garis Putih. Lebih lanjut Joey pun menjelaskan soal apa itu yayasan Garis Putih. “Pada dasarnya Garis Putih merupakan yayasan yang ada pada bidang youth support dan development. Alasan kami melakukan program seperti demikian adalah karena kami merasa anak muda tidak punya banyak kesempatan untuk mengembangkan minat, bakat, dan potensi mereka di masa kini.”

“Kami juga mengamati bahwa saat ini kurang banyak opsi yang dapat dipilih anak muda dalam melakuan eksplorasi diri, kepribadian, ataupun tempat untuk mencari bantuan serta dukungan apabila diperlukan. Hal yang menjadi dasar pemikiran tersebut adalah dari fenomena yang kami lihat bahwa anak muda zaman sekarang kebanyakan hidupnya hanya berkutat di 3 tempat saja, sekolah, rumah, dan tongkrongan/mall. Masa pandemi seperti sekarang semakin membuat keadaan tadi jadi lebih terasa. Fenomena tersebut pun membuat yayasan Garis Putih tergerak untuk mencoba menawarkan solusi. Esports hanya salah satu saja dari rencana besar Garis Putih yang kami lakukan lewat Somnium. Esports hanya salah satu karena Garis Putih nantinya juga punya rencana untuk melakukan kegiatan youth support di bidang lainnya seperti olahraga, kesenian, dan lain-lain.” Tutur Joey menjelaskan.

“Tapi satu hal lain yang ingin kembali saya tegaskan kembali adalah bahwa Somnium Development Program itu bukan pendidikan untuk direkrut ke dalam tim esports profesional. Seperti namanya dan sejalan dengan visi misi Garis Putih, fokus program tersebut adalah pengembangan. Harapannya program ini bisa memberi bekal kepada mereka yang ingin meniti karir menjadi pemain esports.” Joey kembali menambahkan

Walaupun program milik Somnium terlihat cukup inovatif, namun program coaching di bidang esports sebenarnya tidak sepenuhnya baru. Dalam tulisan saya yang membahas skema ekosistem esports, Anda juga bisa melihat bahwa ada dua elemen yang bersifat “lain-lain” di sana. Menariknya, dua entitas yang saya tulis pada bagian tersebut sama-sama menawarkan jasa yang sama, yaitu coaching. Dalam daftar yang saya buat, saya memasukan Aegis.gg dan RRQ Academy.

Tetapi dari apa yang saya amati, kedua coaching platform tersebut hanya menawarkan cara untuk menjadi jago saja. Padahal di dunia esports, menjadi jago hanya satu aspek profesionalitas pemain esports saja. Seiring dengan karir yang terus berkembang, pemain esports akan lebih dituntut lebih dan dituntunt dari berbagai macam aspek. Mulai dari ketangguhan mental, profesionalitas secara sikap, sampai tuntutan membangun citra diri di muka publik.

Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com
Yohannes Siagian. Sumber: Bolasport.com

“Kalau ditanya soal apa saja yang diajari, skill main game sudah pasti diajari. Tapi selain itu saya juga menyiapkan pelatihan soft-skill yang arahnya untuk meningkatkan performa permainan, seperti kemampuan analisa game, komunikasi, decision making, dan lain-lain. Di luar dari itu, ilmu-ilmu yang dapat membantu kehidupan mereka pasca pensiun juga diajarkan, termasuk ilmu seperti bisnis ataupun literasi finansial.” Tambah Joey.

Memang menurut saya jago saja tidak cukup membawa karir Anda melejit di dunia esports. Kembali menggunakan Jess No Limit sebagai contoh, Anda pecinta esports MLBB mungkin ingat kalau dia bukan sosok yang paling jago bermain. Namun Jess No Limit punya beberapa kemampuan di luar bermain game yang membuat dirinya berhasil survive pasca pensiun dari pro player. Cerita yang serupa juga sebenarnya bisa dilihat perjalanan dari mantan rekan satu timnya, Jonathan “Emperor” Liandi.

Program player development dari Sominum mungkin bisa jadi salah satu pilhan dalam membangun soft-skill untuk mempersiapkan kehidupan pasca pensiun sebagai pemain esports. Walau memang berpikir “mau jadi apa setelah pensiun sebagai pemain” adalah kewajiban bagi pemainnya sendiri, tapi saya merasa apa yang dilakukan oleh Somnium Esports patut juga dicontoh oleh tim lain.

Mengapa? Saya merasa pemain yang tidak sekadar jago juga memberikan nilai jual lebih bagi tim terkait. Pemain yang jago mungkin bisa memberi kemenangan di lebih banyak turnamen. Tapi pemain yang punya kemampuan menyeluruh (termasuk bisnis atau menjual citra diri) mungkin bisa memberi value yang lebih banyak lagi, entah itu lewat kontrak-kontrak endorsement dan lain sebagainya. Karenanya, saya merasa apa yang dilakuan oleh Somnium Esports itu tidak hanya baru, tetapi juga bisa jadi penting demi masa depan esports yang lebih baik.

Sumber: Overwatch League Official
Setelah juara dunia, lalu apa? Sumber: Overwatch League Official

Membahas soal kepentingan kemampuan-kemampuan di luar skill bermain game dan pentingnya belajar bisnis, Joey juga menambahkan. “Ya saya setuju belajar bisnis itu penting, tapi di luar dari itu sebenarnya yang lebih penting dan mendasar adalah literasi finansial secara umum. Maksudnya literasi finansial adalah sesederhana seperti menabung, investasi, ataupun mengenali cara serta konsep untuk bisa growing money. Kenapa penting? Karena ketika pemain esports sedang dalam masa karirnya, mereka bukan hanya punya penghasilan besar tapi juga memiliki pengeluaran yang sedikit; bahkan hampir tidak ada.”

“Benar bukan? Semua biaya hidup ditanggung tim. Ada gaming house untuk tempat tinggal, kebutuhan makan kadang ditanggung oleh tim, transportasi juga kadang ditanggung oleh tim. Dengan keadaan hampir zero expenses, pemain esports sebenarnya punya kesempatan menumpuk modal untuk menghadapi kehidupan pasca pensiun sebagai pemain esports.” Joey memperjelas kembali soal pelaung yang dimiliki oleh pemain esports untuk menghadapi kehidupan masa depannya.

“Tapi memang sejauh yang saya lihat juga beberapa pemain esports jaman sekarang mulai melek finansial. Tetapi biasanya memang karena suatu kondisi tertentu lebih dahulu. Sudah pernah “kepentok” misalnya atau ketika si pemain berencana untuk menikah. Biasanya kalau sudah begitu mereka mulai berpikir untuk investasi ataupun mencoba membuat usaha.” Joey menambahkan cerita berdasarkan dari pengamatannya sejauh ini.

Di luar dari pembahasan tersebut, saya juga sadar bahwa usia pemain esports yang masih sangat muda jadi salah satu faktor lain yang membuat mereka kurang sadar akan hal-hal seperti ini. Tetapi mengingat era informasi sekarang ini, pemain esports juga punya keuntungan lain dengan mudahnya akses untuk belajar ilmu-ilmu baru. Selain diajari, Anda juga bisa saja belajar secara otodidak, bahkan mungkin belajar melalui pembahasan-pembahasan Hybrid.co.id. Misalnya apabila Anda ingin tetap berada di ranah esports namun sebagai pelaku bisnis, Anda mungkin bisa belajar dimulai dari artikel pembahasan bentuk ekosistem esports Indonesia atau pembahasan soal alasan bagaimana game kompetitif bisa sukses berkembang menjadi esports.

 

Belajar Dari Atlet Olahraga dan Esports Yang Mapan Hingga Kini

Ada alasan tertentu kenapa bisnis yang menjadi sorotan pembahasan saya di dalam artikel ini. Selain dari dua faktor di atas, inspirasi artikel ini juga lagi-lagi datang dari salah satu video milik Athletic Interest. Salah satu video di channel tersebut menceritakan soal kisah sukses dari seorang petenis kelas dunia, Roger Federer.

Apa yang ingin saya soroti dari sosok beliau bukan serta-merta kekayaan atau kesuksesannya saja, tetapi juga karakteristik yang membuatnya jadi salah satu atlet olahraga yang berhasil jadi miliarder. Mengutip dari Forbes, Roger Federer telah mengumpulkan sekitar US$130 juta dari kemenangan-kemenangan yang ia raih. Namun, total kekayaanya lebih dari itu dan bahkan uang hadiah turnamen jadi terlihat kecil ketimbang kontrak endorse senilai US$300 juta dengan Uniqlo.

Tetapi ada cerita tersendiri ketika Roger Federer mengambil kontrak endorsement dengan Uniqlo. Kisah tersebut menuai pertanyaan khalayak karena Roger Federer memilih meninggalkan Nike dan untuk Uniqlo. Bukan cuma gara-gara brand-nya saja, kontrak kerja sama dengan Nike juga menawarkan nilai 3 kali lipat lebih besar ketimbang kerja sama dengan Uniqlo. Salah satu jawaban yang ia berikan adalah. “Kita semua tahu bahwa saya sedang berada di masa senja karir saya, bukan di masa keemasan.” Tutur Roger Federer membuka sesi konfrensi pers membahas soal keputusannya tersebut yang saya kutip dari Forbes.

Mengutip dari SportsPro, Roger Federer juga sempat berkata. “Suatu hari saya akan pensiun dari tenis, tetapi saya tidak akan pensiun dengan kehidupan saya. Kehidupan saya akan terus berjalan (pasca pensiun dari pemain tenis). Dengan demikian, saya percaya bahwa Uniqlo dan Mr Yanai (CEO Uniqlo) akan menganggap saya sebagai sosok penting bagi brand mereka, walaupun saat saya sudah tidak menjadi atlet tenis.”

Pengambilan keputusan yang dilakukan Roger Federer bisa menjadi contoh bagaimana seorang atlet juga harus sadar dan paham cara bisnis bekerja. Nike adalah perusahaan olahraga. Sosok yang akan di-endorse oleh Nike kemungkinan besar adalah atlet-atlet terbaik di bidang olahraganya masing-masing.

Namun Uniqlo bukanlah Nike. Uniqlo adalah brand pakaian untuk sehari-hari. Nike bisa saja memutus kontrak endorse-nya dengan Roger apabila dirinya sudah mulai menurun performanya atau pensiun dari tenis. Di sisi lain, kecil kemungkinan bagi Uniqlo untuk melakukan hal tersebut. Sebagai perusahaan pembuat pakaian kasual, Uniqlo tetap butuh brand ambassador terlepas dari atlet atau bukan. Terlebih, Uniqlo juga tergolong baru mulai membuat pakaian-pakaian untuk kebutuhan olahraga yang hadir dalam branding AIRism. Kontrak kerja sama sepanjang 10 tahun yang termasuk kolaborasi merancang pakaian bersama Uniqlo tentunya akan menjadi investasi masa depan yang baik bagi seorang Roger Federer.

Tindakan yang dilakukan Roger sebenarnya mirip seperti banyak kontrak endorse yang juga dilakukan pemain-pemain esports. Namun dari pembahasan tersebut kita bisa belajar bagaimana Roger Federer tidak hanya tahu soal cara bermain tenis tetapi juga punya kesadaran serta begitu taktis dalam melakukan pergerakan bisnis demi menyambung hidupnya. Bukan hanya di olahraga, esports juga punya beberapa contoh kasus.

Ninja
Salah satu fotonya saat pengumuman kerja sama Ninja sebagai salah satu atlet Red Bull.

Taylor Blevins atau si “Ninja” Fortnite misalnya. Walaupun dirinya bukan pemain esports, namun kita juga bisa melihat bagiamana dia aktif melakukan pergerakan agar tetap relevan dan bertahan pekerjaannya sebagai streamer game. Selain menjadi avatar di Fortnite, Ninja juga melakukan kerja sama dengan beberapa brand seperti Red Bull, Adidas, bahkan dikabarkan akan muncul di film dan serial televisi. Hal-hal tersebut juga bisa dibilang sebagai beberapa bentuk pergerakan bisnis dari Ninja dalam memanfaatkan masa kejayaan yang sedang dijalaninya kini.

Dalam satu kesempatan, Ninja juga sempat membagikan pandangannya terhadap masa depannya saat ia mungkin sudah tak lagi digandrugi. “Hal yang terpenting adalah memahami segmentasi penggemar dan melakukan ekspansi dari sana. Saya sadar kebanyakan penggemar saya adalah anak muda. Saya juga sadar bahwa karir saya di dunia streaming tidaklah abadi. Makanya saya mulai mencoba voice acting untuk kartun atau animasi karena merasa hal tersebut masih dekat dengan segmentasi penggemar saya. Tapi menurut pandangan saya sendiri hal terpenting adalah melakukan sesuatu yang memang saya sukai.” Tutur Ninja kepada New York Times.

Sumber: NXL
Richard “frgd” Permana, setelah sukses menjadi pemain kini fokusnya adalah mengembangkan TeamNXL sebagai bisnis. Sumber: NXL

Masih ada juga beberapa contoh lain dari sosok esports internasional yang bermuara terjun ke bisnis di ketika mencapai masa senjanya. Salah satu contohnya seperti Mathew Haag “Nadeshot”, mantan pemain profesional, juara dunia Call of Duty tahun 2011, dan kini memanfaatkan masa kejayaan terdahulunya sebagai modal untuk membangun timnya 8-nya sendiri yaitu 100 Thieves.

Tidak usah jauh-jauh, Indonesia juga punya sosok sosok yang mirip seperti Nadeshot. Richard “frgd” Permana misalnya, bermula sebagai pemain esports dari TeamNXL dan kini berakhir sebagai CEO TeamNXL itu sendiri. Ada juga sosok seperti Gary Ongko, yang sebelumnya sempat bermain CS:GO secara semi-profesional dan kini menjadi sosok yang menggerakan BOOM Esports.

 

Penutup

Seperti saya katakan di awal artikel ini, bisnis sebenarnya cuma satu dari banyak kemungkinan lain yang bisa Anda lakukan saat tak lagi jadi pemain esports.

Tetap sukses atau malah jadi miliarder pasca pensiun sebagai atlet esports itu sangat mungkin, mengingat modal uang dan relasi yang dimiliki. Tapi tentunya Anda harus paham bagaimana cara melakukan keputusan bisnis yang tepat (seperti yang dilakukan Roger Federer contohnya), menjaga dan menjual citra diri Anda, serta paham ke mana menginvestasikan penghasilan yang dimiliki agar tidak salah langkah.

Pada intinya saya berharap para pembaca, terutama yang ingin meniti karir sebagai pemain esports, sadar bahwa menjadi pemain esports memang tidak sesederhana main game lalu dapat uang. Banyak hal yang harus dilakukan, banyak kewajiban yang harus dipenuhi, namun juga dengan banyak hal yang bisa dipelajari dari kesempatan yang ada.

Saya jadi ingin mengutip perkataan dari Roger Federer, bahwa hidup tidak berhenti setelah masa keemasan Anda selesai. Terlebih usia karir esports juga cenderung pendek, yang bisa jadi ada keuntungannya tersendiri; yaitu bisa merintis impian di bidang lain ketika usia Anda masih relatif muda. Semoga artikel ini bisa membantu membuka pandangan Anda dan memberi inspirasi bagi Anda yang sedang berada di jalan tersebut.

Apa Itu Momen Clutch di Esports dan Bagaimana Bisa Terjadi

Anda yang hobi mengkonsumsi konten gaming mungkin sudah sering mendengar atau melihat istilah “Clutch Moment“. Kalau diartikan secara kasar, momen clutch adalah kejadian luar biasa yang tidak disangka bisa terjadi di dalam permainan. Dalam game FPS misalnya, momen 1vs5 yang malah dimenangkan oleh dia yang seorang diri. Atau kalau dalam game MOBA, mencuri monster objektif besar seperti Lord, Roshan/Aegis, atau Baron seorang diri, bisa disebut sebagai momen clutch.

Bagaimana hal tersebut bisa terjadi? Ada yang bilang, momen clutch hanya “hoki” atau beruntung belaka. Pendapat itu mungkin tidak salah, tapi juga tidak berarti sepenuhnya benar. Walau istilah momen clutch sering beredar dalam komunitas gaming, namun fenomena dan istilah ini sebenarnya dimulai dari kompetisi olahraga. Karena konsep clutch sudah beredar cukup lama, jadi banyak peneliti yang berusaha menjelaskan, mengapa seorang atlet kadang bisa melakukan gerakan atau reaksi melebihi manusia normal, dalam keadaan terjepit.

Jadi mari kita bahas lebih dalam soal momen clutch, mulai dari arti kata, bagaimana fenomena ini terjadi di olahraga dan esports, sampai perdebatan dalam menentukan momen clutch.

 

Apa Itu Momen Clutch

Dari segi bahasa, kamus Merriam-Webster mengartikan kata “clutch” dalam beberapa makna. Arti paling utama adalah memegang sesuatu dengan tangan, atau dengan menjepit secara kuat, rapat, atau tiba-tiba. Tapi tentu bukan itu yang kita cari. Kamus Merriam-Webster juga mendefinisikan clutch sebagai berhasil melakukan sesuatu dalam situasi krusial.

Dalam olahraga, istilah ini kadang disebut sebagai clutch play. Dalam esports istilah ini kadang disebut Shoutcaster lewat ungkapan “what a clutch!” Dalam esports, satu momen paling familiar bagi penonton esports Indonesia mungkin adalah momen-momen gemilang di Dota 2. Apa Anda ingat asal muasal ucapan patience from Zhou”? Momen ini memang cukup lawas karena terjadi pada Dota 2 The International 2012, dalam pertandingan Navi melawan IG.

Apakah lemparan 3-poin yang masuk di akhir quarter 4 selalu bisa dikatakan sebagai Clutch? Sumber: Twitter NBA
Apakah lemparan 3-poin yang masuk di akhir quarter 4 selalu bisa dikatakan sebagai clutch? Sumber: Twitter @NBAcom

Pada menit 17, IG mencoba melakukan smoke gank ke arah Dendi dan kawan-kawan yang sedang beramai-ramai di Lane Bawah. Zhou, pemain IG, berhasil menangkap lima pemain Navi. Mereka dibuat tidak berkutik, semua Hero tim Navi tidak bisa gerak, tertidur karena terkena Song of the Siren. Normalnya, pertarungan ini harusnya dimenangkan oleh IG bukan? Mereka tinggal mempersiapkan posisi dan menggunakan semua Skill untuk menumpas Hero dari tim Navi.

Sayangnya tidak. Dalam keadaan penuh kemelut, Faith terlalu terburu-buru melepas Ravage. Dendi dan LightofHeaven tanggap situasi. Dendi dengan Rubick kabur menggunakan Force Staff, LightofHeaven dengan Enigma menggunakan BKB dan mengeluarkan Black Hole untuk menangkap 3 orang pemain IG. Dendi yang lepas dari kemelut mencuri Ravage dan menggunakannya untuk menumpas hero tim IG. Alhasil, kawan-kawan Navi selamat, sementara IG rata dengan tanah.

Apakah fenomena tadi adalah momen clutch? Atau keberuntungan belaka? Satu yang pasti, jangan samakan panggung The International dengan pengalaman Anda main MMR. Dalam situasi tersebut tekanan datang dari berbagai sisi, entah itu rasa takut akan kekalahan, rasa gugup bertanding di panggung megah, suara riuh penonton, dan berbagai faktor lainnya terjadi, mempengaruhi pikiran sang pemain.

Walaupun, kalau dipikir dengan logika, apa yang dilakukan Dendi dan LightofHeaven sebenarnya mudah saja. Cukup tekan BKB cepat-cepat, lalu tekan Dark Hole. Dendi juga sudah menghadap ke luar saat kemelut terjadi. Jadi dia cukup buru-buru tekan Force Staff, gunakan Spell Steal ke arah Tidehunter, lalu Ravage.

https://www.youtube.com/watch?v=Yot0UNsQh3I

Tapi dalam keadaan penuh tekanan seperti itu, logika seakan jadi tidak berlaku, membuat tugas mudah seperti apa yang saya jelaskan jadi tidak terpikirkan. Tidak percaya? Lihat saja tim IG. Sebagai pemain profesional, seharusnya mereka tanggap akan informasi sekecil apapun itu. Tapi nyatanya IG bisa-bisanya lupa bahwa ada BKB, Force Staff, serta posisi mereka terlalu rapat yang membuatnya jadi sasaran empuk Dark Hole.

Beralih ke skena fighting games, satu momen clutch paling ikonik sepanjang masa adalah Evo Moment #37, yang juga disebut momen Daigo parry. Momen itu terjadi pada babak Semi-Final turnamen Street Fighter III: 3rd Strike di EVO 2004. Pertandingan mempertemukan Daigo Umehara dengan Justin Wong, dua pemain yang kerap dianggap rival oleh komunitas, karena punya sudut pandang berbeda dalam memahami Street Fighter.

Di saat momen penentu kemenangan, Daigo sedang sangat terdesak. Jumlah HP karakter Ken yang ia mainkan hanya sebesar pixel saja. Sementara di lain sisi Justin Wong masih punya banyak HP, dan Gauge Meter yang penuh. Kehabisan akal, Chun Li dari Justin lalu mengeluarkan “Super Art” untuk menghabisi Ken dari Daigo. Seharusnya, Ken dari Daigo kalah dong? HP Daigo sisa satu pixel, kalaupun menangkis, damage serangan Chun-Li tetap tembus, dan Daigo jadi kalah.

Tetapi tidak, Daigo yang masih berusia 23 tahun melakukan tindakan melebihi manusia normal. Daigo menahan serangan dengan Parry, yang yang membuat damage serangan musuh jadi tidak masuk.

Melakukan satu kali Parry di dalam Street Fighter itu susah, karena Parry bukan sekadar menahan arah belakang seperti menangkis. Tapi, dalam keadaan yang sangat terdesak, Daigo melakukan LIMA BELAS KALI Parry terhadap gerakan Justin Wong dengan sempurna, membuat seluruh damage kombinasi serangan Super Art milik Justin Wong jadi tidak masuk.

Tak hanya itu, setelah Parry, Daigo membalas serangan dengan kombinasi gerakan yang juga sempurna. Chun-Li dari Justin Wong pun akhirnya berhasil dibuat K.O. Berkat momen tersebut, Daigo Umehara lolos ke babak Final EVO 2004 cabang Street Fighter III: 3rd Strike.

Kalau dari sisi olahraga, berhubung saya tidak terlalu mengikuti sepak bola, jadi satu-satunya clutch play yang paling saya ingat datang dari olahraga American Football. Momen ini terjadi pada musim pertandingan tahun 2014. Seorang pemain rookie bernama Odell Beckham Jr. (OBJ) dari tim New York Giants, berhasil mengejutkan penonton berkat tangkapan dengan satu tangan yang ia lakukan. Padahal keadaannya ia sedang dijaga ketat, bahkan bajunya ditarik, yang merupakan salah satu bentuk pelanggaran bagi pemain bertahan di dalam olahraga American Football.

Sumber: Al Bello - Getty Images
Sumber: Al Bello – Getty Images

Jadi apakah itu sebuah momen clutch? Agak keterlaluan jika Anda masih meragukan momen tangkapan satu tangan tersebut. Kenapa? Pertama, menangkap bola Football sambil berdiri diam itu sudah cukup sulit, terutama jika lemparannya keras.

Kedua, menangkap bola sambil berlari tanpa dijaga juga susah. Nah, Anda tinggal membayangkan, bagaimana sulitnya menangkap menangkap bola dengan dua tangan, dalam penjagaan yang sangat ketat seperti momen itu. Tapi menariknya, dalam keadaan tertekan, OBJ melakukan tindakan di luar nalar manusia biasa, menjangkau bola dengan satu tangan, berhasil menangkapnya, dan menghasilkan skor Touchdown. Tapi cukup disayangkan, dalam pertandingan tersebut tim New York Giants malah kalah di akhir pertandingan.

Bagaimana Momen Clutch di Esports Bisa Terjadi

Sebelum kita perdebatkan dari faktor eksternal (entah itu lawan lengah karena kena santet, atau lengah gara-gara bad mood karena putus cinta), kita harus melihat bagaimana sebuah momen clutch bisa terjadi berdasarkan dari faktor internal sang atlet.

Membahas ini saya juga berdiskusi dengan Yohannes Paraloan Siagian, sosok yang dulu sempat mengisi posisi Kepala Sekolah SMA 1 PSKD, dan juga sempat mengisi posisi sebagai Vice President EVOS Esports.

Sebelum artikel ini, saya juga sudah pernah berbincang dengan “Mas Joey” saat membahas perjuangan atlet dari sudut pandang psikologi esports. Ketika membahas soal clutch play, Joey mengatakan bahwa memang ada banyak faktor untuk menentukan sebuah momen itu clutch atau bukan. Namun, kebanyakan faktor lain-lain tersebut datang dari eksternal, yang akan kita bahas pada sub-bagian terakhir.

Namun satu yang pasti, setidaknya ada tiga faktor internal dari seorang atlet/pemain yang memungkinkan hal ini terjadi. Tiga faktor tersebut adalah, kepercayaan diri dan ketangguhan mental, skill si pemain, dan pengalaman si pemain.

Pengalaman dan skill, bisa dibilang berasal dari kemampuan kognitif (membaca situasi, nalar, logika, dan memproses informasi) dan motorik (menggerakan otot tangan, kaki, jari, ataupun tubuh secara keseluruhan) seorang pemain. Sementara faktor ketangguhan mental datang dari kemampuan psikologis seorang pemain.

“Walaupun suatu momen clutch bisa diperdebatkan dari sisi eksternal, namun komponen utama dari Clutch menurut saya adalah confidence dan knowledge of self. Jadi yang pertama dia percaya diri bahwa dia bisa menang dalam situasi tertekan. Kedua, rasa percaya diri itu datang dari pengetahuan akan level kemampuan dia, dan kesadaran atas apa saja yang dapat ia lakukan dalam situasi tersebut. Jadi dalam konsep clutch, seringkali yang bisa menunjukan performance clutch adalah yang merasa bahwa dia sedang memegang kendali pada suatu keadaan di dalam pertandingan.” Joey menjelaskan soal konsep clutch.

Dari sisi skill, satu teori yang bisa menjelaskan fenomena clutch mungkin adalah konsep Muscle Memory. Konsep ini sempat saya jelaskan saat membahas tips aiming pada game FPS, yang intinya adalah semakin lama dan sering Anda melakukan repetisi atas suatu kegiatan, maka akan semakin luwes pula motorik atau gerak tubuh Anda terhadap kegiatan tersebut.

Ada satu fenomena menarik yang sempat dijelaskan oleh seorang neuroscientist dari Universitas Oxford bernama Ainslie Johnstone pada sebuah artikel yang dipublikasikan lewat Medium.

Ia menceritakan soal fenomena seorang pasien bernama H.M, yang menderita amnesia, dan kehilangan kemampuan untuk belajar, serta menciptakan memori baru. Menariknya, H.M ternyata masih memiliki kemampuan dan mahir menggambar, walaupun ia memiliki kondisi tersebut. Namun karena kondisinya, H.M tidak bisa ingat bahwa ia pernah berlatih menggambar, bahkan tidak bisa ingat perlengkapan apa saja yang diperlukan untuk menggambar. Tetapi ketika ia diminta untuk menggambar dengan alat gambar yang sudah dipegang di tangannya, ia dapat menggambar hampir secara tanpa sadar dan otomatis.

Dari penjelasan Joey dan fenomena Muscle Memory, jadi semakin jelas bagaimana momen Clutch bisa terjadi. Saat mengatakan soal skill serta pengalaman, Joey juga menegaskan bahwa dua hal itu tercipta berkat repetisi atau pengulangan terhadap satu kegiatan secara terus menerus.

Hal ini jadi alasan kenapa latihan seorang atlet atau pemain esports berbentuk pengulangan. Seorang pemain esports bisa bermain selama 8 jam dalam sehari, hanya untuk mengulang-ulang hal yang sama. Pemain Dota 2 mungkin sudah menghabiskan ratusan, ribuan, mungkin ratusan ribu jam hanya untuk bermain pada map yang sama, dan menghadapi berbagai macam ragam kombinasi hero. Begitu juga dengan pemain CS:GO, yang mungkin sudah ratusan ribu kali menghadapi lorong panjang yang sama di De_Dust2. Begitu juga dengan pemain Street Fighter seperti Daigo Umehara, yang sudah ratusan ribu kali mengeluarkan command hadouken.

Repetisi ini membuat momen clutch kadang tidak terjelaskan oleh si pemain itu sendiri. Kolega saya sesama jurnalis esports mungkin yang paling paham dengan kondisi pemain esports seperti di atas. Biasanya ketika kami melontarkan pertanyaan soal apa yang ada di pikiran pemain saat momen clutch, para pemain esports kadang cuma bisa menjawab dengan satu kata… Reflek.

Jika kita mendasarkan pada konsep Muscle Memory, jawaban tersebut tidak kita bilang salah. Setelah ratusan, ribuan, bahkan jutaan repetisi, momen clutch yang kita kita anggap rumit, jadi dapat dilakukan hampir secara otomatis oleh sang pemain, bahkan terasa seperti reflek saja.

Kembali ke soal Olahraga, ini juga jadi menjelaskan kenapa OBJ si pemain rookie tim New York Giants, dapat menangkap dengan satu tangan dalam keadaan terdesak.

Ia sempat bercerita, bahwa dirinya ternyata memang dengan sengaja menyertakan tangkapan satu tangan ke dalam latihan, serta pemanasan yang ia lakukan. Padahal, tangkapan satu tangan diperdebatkan oleh para pelatih tim American Football, karena dianggap terlalu pamer dan tidak berguna. Jadi, OBJ bisa melakukan Clutch tangkapan satu tangan karena ia berlatih. Jika OBJ tidak pernah satu kali pun berlatih menangkap bola dengan satu tangan, niscaya momen Catch of the Year tersebut tidak akan pernah terjadi.

Oke, itu tadi soal Muscle Memory, skill, dan pengalaman yang dimiliki oleh seorang pemain atau atlet. Faktor kedua datang dari faktor psikologis, yaitu ketangguhan mental sang pemain. Perkara mental memang dalam kompetisi memang penting, termasuk esports. Ellavie Ichlasa Amalia, Senior Writer Hybrid sempat membahas soal beban mental seorang atlet esports, dan berbagai cara untuk menanggulanginya. Dengan mengutip pernyataan dari Mia Stellberg, psikolog tim Australis dan OG, artikel tersebut menjelaskan bagaimana stres bisa berdampak negatif kepada performa pemain esports.

Menariknya, pada sisi lain stres ternyata bisa memberi dampak positif kepada performa pemain. Mengaitkan antara stres, ketahanan mental, serta fenomena Clutch, ada satu teori yang sudah cukup tua untuk menjelaskan hal tersebut. Teori tersebut bernama Yerkes-Dodson Law yang dicetuskan dua orang psikologis, Robert Yerkes dan John Dillingham Dodson, lewat sebuah penelitian yang ia lakukan pada tahun 1908.

Dalam teori tersebut ia menguji bagaimana dampak tekanan terhadap kemampuan tikus menciptakan sebuah habit atau kebiasaan. Mereka mengobservasi 40 tikus percobaan yang diperintahkan untuk memilih antara box hitam atau putih. Tikus yang memilih box hitam akan disetrum, sementara yang memilih box putih akan baik-baik saja. Tikus percobaan akan dianggap berhasil melalui tes apabila ia berhasil memilih box putih secara berturut-turut sebanyak 10 kali tes selama 3 hari.

Dari percobaan tersebut ditemukan, jika level setrum box hitam dinaikan sampai level tertentu, maka akan semakin banyak tikus yang jadi lebih mahir memilih box putih. Namun, jika level setrum terlalu tinggi atau terlalu rendah, jumlah tikus yang memilih box putih jadi semakin sedikit.

Penelitian tersebut kerap kali menjadi dasar penjelasan bahwa performa kerja seseorang bisa meningkat jika sedang mengalami tekanan mental pada tingkat tertentu. Maka, dengan menggunakan dasar teori tersebut, sedikit banyak terjelaskan kenapa dalam keadaan tertekan, seorang atlet atau pemain esports kadang tampil lebih cemerlang.

Pada skena esports, sosok terbaik untuk jadi contoh atas teori tersebut mungkin adalah Andreas Hojsleth, pemain tim CS:GO Astralis yang lebih dikenal dengan nickname Xyp9x. Pemain ini mungkin bukan tipe pemain bintang layaknya Coldzera, namun beberapa tahun ke belakangan ia jadi dijuluki sebagai Clutch Minister oleh komunitas. Julukan ini diberikan karena performa Xyp9x yang secara konsisten meningkat saat keadaannya sedang terdesak.

Andres Bulme salah satu Shoutcaster ternama di skena CS:GO sempat memberikan komentarnya terhadap Xyp9x. “Kami kadang memanggil dia dengan sebutan robot. Ini karena dia seperti selalu bisa memberikan solusi dalam keadaan penuh tekanan, ketika waktu tersisa sangat sedikit, namun banyak pilihan tersedia yang dapat dilakukan.” Ucap Andres.

Fenomena Xyp9x sedikit banyak menjelaskan bagaimana Yerkes-Dodson Law bekerja. Menjelaskan bahwa ternyata memang ada beberapa pemain esports yang justru jadi cemerlang, saat sedang berada dalam tekanan.

Saya juga berdiskusi dengan Joey terkait soal Yerkes-Dodson Law ini.

Joey lalu menjelaskan. “Benar adanya konsep YD (Yerkes-Dodson) menjelaskan semakin naik tekanan, semakin naik performa seseorang. Namun bisa dibilang itu adalah hal yang normal, karena hukum YD berlaku untuk semua orang. Jujur saja, mayoritas orang baru perform atau kerja, ketika ada pressure. Dikejar deadline misalnya, atau seperti kamu yang lagi ditagih artikel oleh Mas Yabes… Haha.” Ucapnya seraya berkelakar.

“Tapi kalau dalam melatih atlet, aku percaya bahwa YD ada benarnya, tetapi ada tambahan. Semakin kita kembangkan kemampuan atlet mengatasi mengatasi tekanan (mental), maka semakin besar tekanan eksternal yang bisa dia terima. Semakin tahan mental, semakin ia bisa perform di atas optimal saat tertekan, sehingga dia akan bisa lebih sering Clutch.” Perjelas Joey, yang punya pengalaman 20 tahun menjadi praktisi pelatihan olahraga dengan latar belakang psikologi, serta pengalaman dalam membina dan melatih atlet remaja sampai menjadi wakil Indonesia di tingkat tim nasional.

Perdebatan soal Momen Clutch

Seperti sempat saya senggol sebelumnya, bahwa momen clutch memang kerap kali diperdebatkan, terutama oleh para analis olahraga. Rob Goldberg, jurnalis olahraga BleacherReport, yang merupakan salah satu media olahraga ternama di Amerika Serikat, memberikan pernyataan berani bahwa clutch sebenarnya adalah produk memori jangka pendek otak manusia di antara para fans dan analis.

Kenapa demikian? Rob Goldberg memang mempertanyakan clutch dari sudut pandang analis olahraga, dan berusaha menggali lebih dalam bagaimana dampak dari satu momen, terhadap hasil yang diperoleh tim secara keseluruhan.

“Misalnya kita bicara momen 1vs5 di game VALORANT. Kalau terjadi di ronde 1 saat skor masih 0-0, apakah itu clutch? Kalau terjadi saat skor 12-12, apakah itu clutch? Kalau skor tim yang tinggal satu orang adalah 0, lalu tim musuh yang masih sisa 5 skornya 8, apakah itu sebuah clutch? Banyak situasi, kondisi, dan timing juga.” Joey menjelaskan dari sudut pandangnya soal melihat apa itu momen clutch dari sudut pandang yang lebih luas.

Sumber: Riot Games
Jika pemain ini bisa menghabisi dua lawannya, apakah itu Clutch, atau hanya beruntung belaka? Sumber: Riot Games

Mungkin ada benarnya juga. Kalau kita bicara game FPS, pemain yang tinggal sendiri akan sangat kesulitan jika menghadapi situasi 1vs5 dengan keadaan musuh datang dari sudut berlawanan secara berbarengan. Pemain yang tinggal sendiri dengan senjata AR juga bisa menang 1vs5 dengan mudah jika musuhnya sedang eco, dan hanya memiliki pistol saja. Pemain dengan Rank Global Elite, juga bisa menang situasi 1vs5 dengan mudah kalau lawannya hanya Rank Silver saja.

Tapi bukan berarti kita harus secara serta merta melupakan faktor internal si pemain itu sendiri. Penonton mungkin bisa merasa suatu momen clutch game FPS 1vs5 itu terjadi karena hoki, gara-gara pemain yang sendirian menghadapi musuhnya secara satu per satu dari sudut yang dapat ia menangkan.

Padahal, bisa jadi pemain yang sendirian itu, jadi menghadapi musuh secara satu per satu karena ia paham betul map yang dimainkan. Dengan pengalaman dan repetisi terhadap suatu map selama bertahun-tahun, ia jadi tahu, dalam suatu momen, sudut mana saja yang memungkinkan dirinya lebih unggul terhadap satu musuh.

Belum lagi soal ketahanan mental dan kemampuan membidik. Jika tidak kuat mental, tangan pemain mungkin sudah gemetar atau lemas, membuat bidikannya jadi tidak stabil. Belum lagi soal komitmen latihan membidik yang ia lakukan selama bertahun-tahun, sehingga membidik area kepala musuh jadi semudah seperti bersiul atau mengendarai sepeda.

Saya sendiri berpendapat bahwa memang kita bisa melihat momen clutch dalam dua sudut pandang. Sudut pandang pertama adalah sudut pandang mikro yang lebih sempit.

Hoki bisa jadi sebenarnya datang dari level kemampuan, serta pengalaman sang atlet esports menghadapi suatu skenario pertandingan. Sumber: Liquidpedia CS:GO. Sumber: Liquidpedia CS:GO
Hoki bisa jadi sebenarnya datang dari level kemampuan, serta pengalaman sang atlet esports menghadapi suatu skenario pertandingan. Sumber: Liquidpedia CS:GO. Sumber: Liquidpedia CS:GO

Dalam sudut pandang mikro, kita mengerucutkan momen clutch pada satu pertandingan saat itu saja, dan pada momen itu saja. Terlepas dari bagaimana dampak momen tersebut terhadap tim, dalam sudut pandang mikro, saya tetap merasa momen cemerlang seorang atlet esports tetap bisa disebut clutch. Mengapa? Karena momen tersebut menunjukkan kualitas faktor internal dari seorang atlet. Momen cemerlang tersebut jadi bukti latihan, repetisi, dan ketahanan mental sang atlet esports terhadap tekanan, sehingga ia bisa tampil luar biasa saat berada di bawah tekanan.

Sudut pandang kedua adalah dari sudut pandang makro. Dalam sudut pandang ini, baru kita mempertanyakan momen clutch dari aspek-aspek eksternal. Seperti yang dibahas oleh Joey, kalau ternyata Anda bisa menang 1vs5 tapi tim Anda kalah, momen itu mungkin belum bisa disebut clutch karena kurang memberi dampak terhadap tim secara keseluruhan

Pada akhirnya faktor keberuntungan sebenarnya juga punya peranaan di dalam sebuah pertandingan. Namun jika sudah beruntung, faktor internal si pemain esports tetap menjadi kunci untuk membuka gerbang momen clutch. Bagaimanapun momen clutch tidak akan terjadi, jika sang pemain tidak siap.

Pada saat berdiskusi, Joey menutup obrolan dengan satu kutipan dari aktor Samuel Goldywyn yang mengatakan “The harder i work, the luckier i get.”

Suguhan Beasiswa dan Program Esports dari Sekolah PSKD

Sebenarnya, SMA 1 PSKD memang sudah membuat gempar industri gaming Indonesia saat mereka mengenalkan program esports mereka di 2016. SMA ini menjadi institusi pendidikan formal pertama yang justru merangkul esports sebagai bagian dari proses pembelajaran.

Di tahun 2019 ini, mereka semakin memantapkan langkah mereka sebagai institusi pendidikan yang merangkul komunitas gaming; yang biasanya dijauhi oleh kebanyakan institusi pendidikan formal.

Program esports SMA 1 PSKD yang sekarang merupakan lanjutan yang lebih komprehensif dari program sebelumnya. “Kalau dulu, game mobile belum masuk secara full. Tahun ini sudah. Sebelumnya belum ada dukungan juga dari publisher gamenya. Sekarang kita sudah mendapatkan dukungan dari Garena dan Tencent.” Ujar Yohannes Siagian, Kepala Program Pembinaan Esports SMA 1 PSKD.

Kerennya lagi, murid-murid peserta program esports di sekolah ini juga akan mulai ikut turnamen kelas umum (yang bukan khusus untuk pelajar).

Apakah hal ini berarti murid-murid PSKD akan ikut turnamen sekelas PINC, misalnya? Tanya saya ke Joey, sapaan akrab Yohannes; yang sekarang juga menjabat sebagai Vice President EVOS Esports.

“Kalau level anak-anak bisa mencapai tingkat itu, kita akan daftarkan. Realistisnya akan perlu 1-2 tahun minimal sebelum bisa ikut selevel PINC tapi goal-nya mulai ke arah sana. Kemungkinan juga akan pakai nama ‘PSKD Esports’ or yang serupa.” Jelas Yohannes.

Hal tersebut sangat layak diacungi beribu-ribu jempol (andai saya punya tangan sebanyak itu). Pasalnya, memberikan lebih banyak pengalaman esports kepada kaum muda adalah salah satu solusi masalah regenerasi yang sudah mulai terasa imbasnya di ekosistem esports Indonesia.

Buat yang belum tahu banyak soal program esports dari PSKD, Anda bisa membaca sendiri informasi lengkapnya di PSKDEsports.com. Namun, singkatnya, izinkan saya menceritakan sedikit tentang program tersebut.

Program pembinaan esports SMA 1 PSKD adalah program pembinaan intensif yang diintegrasikan dengan program pendidikan formal di tingkatan SMP dan SMA. Saat ini, program pembinaan esports PSKD sudah bisa didapat di 2 sekolah berikut ini:

  1. SMA 1 PSKD. Jl. Diponegoro No.80 Senen, Jakarta Pusat.
  2. SMP 1 PSKD. Jl. Kwini 1 No. 1. Senen, Jakarta Pusat.

Rencananya, akan ada 2 lokasi tentatif untuk tahun ajaran 2019/2020 juga, yaitu:

  1. SMA 4 PSKD. Jl. Panglima Polim II No.51A. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
  2. SMP 4 PSKD. Jl. Panglima Polim II No.51A. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Sedangkan untuk program pembinaan esports-nya sendiri, ada 5 game yang sudah tersedia di sini. Kelima game tersebut adalah:

  1. PUBG Mobile
  2. Arena of Valor
  3. Free Fire
  4. Dota 2
  5. Mobile Legends

Selain pembinaan kompetitif yang spesifik untuk game-nya, mereka juga menggelar ‘jurusan’ untuk:

  1. Content Creation and Management
  2. Social Media Management
  3. Game Casting and Broadcasting
  4. General Esports

Sayangnya, sampai artikel ini ditulis, program esports dari PSKD ini hanya tersedia untuk murid-murid sekolah itu. Jadi, Anda harus memindahkan sekolah anak, adik, ataupun keponakan Anda jika ingin mendapatkannya. Namun demikian, Yohannes mengatakan bahwa mereka juga sedang mempersiapkan program pembinaan usia muda yang ditujukan untuk umum.

Beasiswa Esports PSKD

Lalu bagaimana soal beasiswanya? Seperti apakah bentuknya? Dan bagaimana proses seleksinya?

“Beasiswa esportsbasically, kita akan subsidi biaya pendidikan anak yang memang punya talenta dan potensi di esports; selama dia berkomitmen untuk belajar benar, kerja keras, mengikuti program, disiplin, dan mengikuti peraturan. Sedangkan prestasi dan juara tidak masuk pertimbangan untuk mempertahankan beasiswa.”

Di sekolah ini, ternyata juga ada dua macam beasiswa, yaitu beasiswa ekonomi dan prestasi. Beasiswa prestasi bisa diberikan untuk siswa yang mampu ataupun tidak mampu. Namun, jika sudah mendapatkan beasiswa prestasi namun masih kesulitan biaya, sekolah akan menambahkan dengan beasiswa ekonomi.

Lalu bagaimana cara mereka menentukan murid yang layak mendapatkan beasiswa?

Joey pun bercerita ada beberapa hal yang dipertimbangkan sebelum memberikan beasiswa. Sifat-sifat siswa dan nilai akademis mereka akan berpengaruh terhadap keputusan ini.

“Mau bekerja keras, humble, bersedia mengorbankan waktu dan tenaga untuk mencapai cita-citanya dan disiplin.” Jawab Yohannes saat saya tanyakan sifat-sifat yang dicari dari murid penerima beasiswa.

Namun demikian, menurut saya, hal tersebut mungkin masih sedikit ambigu atau mungkin terlalu subjektif karena semua orang bisa mengklaim sifat-sifat itu semua.

Karena itu, Yohannes pun meyakinkan saya bahwa proses wawancara saat seleksinya yang menjadi sangat penting. “Staff penerimaan murid kita pengalamannya sudah banyak. Jadi memang skilled dalam proses seleksi dan wawancara.” Ujarnya.

Maybe yang paling penting bagi saya itu potensi dididik dan berkembang. Nggak apa-apa saat ini nilai jelek atau pengetahuan kurang, asal potensi dikembangkan ada.” Tambah Yohannes.

Hybrid Day saat di SMA 1 PSKD. Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Hybrid Day saat di SMA 1 PSKD. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Bagaimana soal nilai akademis calon penerima beasiswa?

“Nilai (akademis) pengaruh tapi kita lihat per kasus. Misalnya, anak dari Siantar dan anak dari Yogyakarta tidak bisa menggunakan standar yang sama.”

Akhirnya, Yohannes yang juga mantan Kepala Sekolah untuk SMA 1 PSKD ini memberikan penutupnya sebelum mengakhiri perbincangan kami.

“Kalau ada anak usia SMP/SMA yang serius ingin memajukan kemampuan dirinya di bidang esports (sebagai pemain atau peran lain di industri esports) dan siap kerja keras untuk menggapai mimpi itu, jangan ragu untuk daftar. Skill saat ini tidak jadi masalah. Yang paling penting adalah punya passion dan mau kerja keras. Tujuan sekolah itu membuat yang tidak bisa jadi bisa.

Kita memang tidak menjamin bahwa semua peserta program kita menjadi pemain pro. Namun, yang pasti, mereka akan mendapatkan pengalaman penting yang menjadi modal mereka untuk membangun masa depan yang lebih baik.”