Tag Archives: Yose Rizal Damuri

Seandainya perusahaan digital ini kolaps, yang seharusnya diantisipasi pemerintah dengan jaring pengaman seharusnya para mitra, bukan startupnya

Antisipasi Jika Perusahaan Digital Kolaps

Tidak berlebihan rasanya jika kita menyebut Gojek sebagai salah satu perusahaan terbesar di Indonesia. Dengan valuasi yang disebut lebih dari $10 miliar atau mendekati Rp150 triliun, startup yang khas dengan warna hijaunya itu bernilai belasan kali lipat dari kapitalisasi pasar riil maskapai milik BUMN, Garuda Indonesia, yang hanya sekitar Rp11 triliun.

Yang patut diapresiasi dari Gojek dan startup digital lain adalah kecepatan mereka tumbuh. Berdiri sejak 2010, Gojek berkembang sebagai startup yang punya pengaruh besar di perekonomian dalam negeri.

Daya tawar Gojek terhadap perekenomian negara dapat dilihat ketika Presiden Joko Widodo menegur Menteri Perhubungan (waktu itu) Ignasius Jonan pada 2015 karena pembantunya itu berupaya melarang penggunaan kendaraan roda dua sebagai angkutan publik. Kala itu Jonan beralasan keberadaan ojek online menyalahi Undang-Undang Nomor 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Setelah kejadian itu, ojek online terus beroperasi hingga sekarang dan menjadi simbol disrupsi bisnis digital di Indonesia, walaupun eksistensinya belum memiliki dasar hukum.

Kejadian itu menjadi contoh bagaimana negara membutuhkan perusahaan teknologi dalam menjalankan roda perekonomiannya.

Dalam konteks mobilitas masyarakat, kemunculan layanan transportasi online membantu banyak orang terlebih bagi negara dengan kualitas transportasi publik yang masih rendah.

Di sisi lain, layanan tranportasi online bukannya tanpa imbas negatif. Dari sejumlah aspek, transportasi online yang bermitra dengan jutaan pengemudi membawa masalah baru.

Kita bisa mengambil contoh dari situasi transportasi di Jakarta. Jumlah sepeda motor, armada terbesar dari transportasi oline, yang beredar di Jakarta mencapai 20 juta. Angka itu berbanding lurus dengan sumbangan polusi sepeda motor yang mencapai 44,53 persen.

Masalah lain yang muncul dari ojek online adalah antrean kendaraan di beberapa titik yang ramai penumpang sehingga menimbulkan kemacetan baru. Kemacetan semacam ini kerap terjadi di wilayah perkantoran dan stasiun kereta. Perkara disiplin berkendara di jalan raya seperti melawan arah, melintasi trotoar, hingga menggunakan ponsel saat berkendara juga jadi pemandangan umum yang dapat ditemui dari perilaku ojek online.

Pemerintah bukannya membiarkan semua hal itu terjadi. Untuk mencegah kemacetan di sekitar stasiun kereta misalnya, pemerintah dan pihak stasiun bekerja sama dengan aplikator untuk membangun shelter khusus untuk mengangkut penumpang seperti yang ada di Stasiun Sudirman dan Stasiun Depok Baru.

Gojek sudah jauh lebih besar dari empat tahun lalu. Ia sudah menjelma sebagai raksasa teknologi di Indonesia. Gojek saat ini sudah beroperasi di 207 kota di Indonesia, Thailand, Vietnam, Singapura, dan Filipina. Mereka punya 2 juta pengemudi, 400.000 merchant, 60.000 penyedia jasa di kelima negara tadi. Adapun aplikasi mereka sudah diunduh 155 juta kali.

Angka-angka itu tentu tak bisa dianggap remeh. Pemerintah menyebut transporasi online berkontribusi menurunkan jumlah pengangguran di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2015 mencatat pekerja di sektor transportasi bertambah 500 ribu. Sementara Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI) dalam risetnya mengatakan bisnis Gojek berkontribusi Rp44,2 triliun ke perekonomian Indonesia sepanjang tahun lalu.

Angka tersebut akan terus membesar seiring ekspansi layanan dari Gojek yang kini menyediakan banyak jenis layanan dan produk atau bisa disebut super app. Jangan lupa juga masih ada Grab sebagai kompetitor Gojek yang punya kontribusi ekonomi serupa. Terlebih Softbank, investor utama Grab, belum lama ini berkomitmen menambah investasinya di Indonesia.

Ekonomi global yang mengalami tren perlambatan menyisakan ruang yang kecil bagi pemerintah Indonesia untuk melakukan kesalahan. Itu artinya menjaga dan merawat ekonomi baru, seperti yang dimotori layanan transportasi online, menjadi “kewajiban” pemerintah.

Perlu ada langkah antisipasi dari pemerintah

Apa yang akan terjadi jika Gojek (atau Grab) tiba-tiba mengalami kegagalan? Apakah pemerintah sanggup untuk “menalanginya” seperti ketika tahun 1998 di perbankan nasional? Akan jadi pukulan yang berat bagi perekonomian negara jika jutaan pengemudi dan UMKM yang tergabung dalam ekosistem aplikasi ojek online berhenti beroperasi.

Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri menjawab tantangan tersebut memang ada. Meski kemungkinan kolaps raksasa digital macam Gojek sangat kecil, Yose memandang perlu ada langkah antisipasi dari pemerintah untuk membuat jaring pengaman bagi para mitra kerjanya.

Dengan mengambil contoh ojek online, Yose mengetengahkan fakta bahwa mitra pengemudi adalah pekerja informal. Karena sistem kemitraan tentu ada beberapa hak yang tak akan didapatkan pengemudi ojek online sebagaimana pekerja formal dapatkan seperti hak pesangon ketika diberhentikan. Itu sebabnya Yose menilai pemerintah berkewajiban melakukan antisipasi bagi pengemudi jika kondisi ekonomi perusahaan memburuk.

“Saya pikir untuk hal ini Indonesia sudah maju lebih selangkah dengan BPJS Kesehatan. BPJS Ketenagakerjaan, itu yang mesti diperkuat. Juga bagaimana memperkuat ketika masa transisi, maksudnya kalau pekerja ojek kan pasti enggak mau terus-terusan jadi mitra ojol, mereka harus mau meningkatkan keterampilan dan pemerintah perlu memfasilitasi itu,” terang Yose.

Sebagai tambahan, pemerintah dinilai berkewajiban memelihara iklim kompetisi yang sehat. Hal itu diperlukan untuk menanggulangi salah satu pelaku bisnis kolaps. Ini dapat dilihat ketika Gojek dan Grab menyerap para pengemudi ojol dari Uber ketika mereka memutuskan menutup bisnisnya di sini.

Yose menyimpulkan kebijakan pemerintah dalam mengantisipasi raksasa digital yang akan kolaps tak bisa seperti terhadap perbankan. Dalam perbankan pemerintah memang bisa mengucurkan bailout untuk menghindari kegagalan sistemik. Namun untuk skenario ini, Yose meyakini kebijakan yang sama bisa dipakai.

“Saya kira enggak perlu. Padahal yang perlu dibantu itu mitranya, seperti GoRide, GoFood, dan lainnya. Jadi fokusnya ke sana, bukan ke startupnya. Mereka [perusahaan] ini kan menghubungkan, jadi yang diberi jaring pengaman seharusnya yang di sekitarnya para mitra itu, bukan startupnya,” pungkas Yose.

Menyimak peranan platform OTT untuk UKM / Pexels

Laporan CSIS Sebut Platform OTT Mampu Tingkatkan Pertumbuhan Ekonomi

CSIS dan Asia Internet Coalition merilis hasil studi yang membahas potensi dan masa depan dari layanan Over-the-Top (OTT) di Indonesia. Studi kolaborasi yang dipaparkan Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri menyebutkan, 80% media sosial digunakan oleh pengguna usia 18-45 tahun, hampir 45% pengguna memiliki edukasi yang tinggi, sementara 30% lainnya lulusan universitas. Dalam hasil studi tersebut juga terungkap bahwa jaringan yang baik membantu meningkatkan perekonomian di pelosok daerah dan membantu UKM mempromosikan bisnisnya.

Rich Interactive Application (RIA)

Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri
Kepala Departemen Ekonomi CSIS Yose Rizal Damuri

Kehadiran layanan OTT, atau yang juga dikenal dengan nama Rich-Interactive-Application, saat ini makin beragam platformnya. Mulai dari WhatsApp, LINE, KakaoTalk, WeChat hingga Facebook, Twitter dan Viber. Di Indonesia sendiri platform OTT yang paling banyak digunakan UKM untuk melakukan interaksi langsung kepada konsumen adalah melalui WhatsApp dan LINE.

“Aplikasi tersebut memungkinkan penggunanya berinteraksi secara intensif. Selain lebih personal, OTT juga memberikan peluang untuk pengguna berjualan,” kata Damuri.

Dalam hal ini studi CSIS melihat peluang platform OTT terkait dengan impact-nya kepada UKM, lapangan pekerjaan hingga pariwisata dan bagaimana upaya pemerintah meningkatkan infrastruktur, mampu meningkatkan pertumbuhan ekonomi di daerah hingga 0,92%, jika network coverage di kawasan tersebut baik.

“Tantangan terbesar saat ini adalah industri ini terbilang masih baru, sehingga dibutuhkan waktu untuk pengembangan dan tentunya dukungan infrastruktur dari pemerintah,” kata Damuri.

Kehadiran layanan e-commerce hingga transportasi online juga telah membuka lapangan pekerjaan kepada masyarakat di kota hingga daerah. Memanfaatkan jaringan internet hingga operator telekomunikasi, semua bisa dilakukan dengan mudah. Dalam studi tersebut juga terungkap, OTT/RIA memiliki peranan penting bagi UKM untuk melakukan promosi hingga penjualan memanfaatkan media sosial.

Pada tahun 2016 UKM memberikan kontribusi sekitar 60% untuk GDP Indonesia dan 97% dari total tenaga kerja. Ditambah dengan meningkatnya penetrasi smartphone dan penggunaan internet, platform online menjadi sangat penting untuk bisnis komersial secara umum.

Dalam laporan tersebut juga disebutkan bahwa pengguna terbanyak media sosial dan OTT/RIA adalah kalangan millennial yang mencapai 54,3% setiap harinya. Sementara kalangan di luar millennial hanya sekitar 1,9% yang menggunakan media sosial setiap harinya.

Dampak OTT untuk pariwisata dan lapangan pekerjaan

Dalam survei yang dilakukan oleh idEA pada tahun 2017 lalu terungkap, kebanyakan UKM memanfaatkan Facebook dan Instagram untuk mempromosikan produk hingga berjualan. CSIS juga mencatat, sekitar 700 ribu pengguna Instagram mengikuti akun Instagram yang berisikan promosi tiket pesawat hingga promo untuk pemesanan secara online. Secara langsung OTT/RIA memainkan peranan penting terkait target pemerintah. Salah satunya adalah mendatangkan 20 juta wisatawan asing dengan target pendapatan Rp 240 miliar di tahun 2019.

Dalam hal lapangan pekerjaan, OTT/RIA juga banyak digunakan untuk mempromosikan lowongan pekerjaan melalui marketplace yang menghubungkan pegawai satu dan lainnya seperti Linkedin. Di Indonesia sendiri pengguna Linkedin sudah mencapai 8 juta pengguna yang sebagian besar adalah pengguna di Jakarta. Internet juga memungkinkan kebiasaan baru yang mulai banyak diterapkan startup hingga perusahaan yaitu bekerja secara remote atau menempatkan tim layanan pelanggan di daerah, meskipun kantor pusat ada di ibukota.

Untuk meningkatkan layanan masing-masing platform OTT/RIA yang masuk ke Indonesia, CSIS menyebutkan ada baiknya pemerintah memberikan ruang lebih, yaitu dengan tidak terlalu ketat mengeluarkan peraturan, perizinan, dan hal terkait lainnya.

CSIS memberikan rekomendasi kepada pemerintah untuk bisa mendukung keberadaan platform OTT/RIA di Indonesia. Di antaranya adalah meningkatkan literasi digital di kalangan masyarakat umum, pemahaman yang lebih baik terkait penggunaan OTT, dan meningkatkan infrastruktur di seluruh kawasan. Pemerintah juga diharapkan mempromosikan bahwa infrastruktur yang merata dan makin baik serta pemahaman yang menyeluruh di kalangan masyarakat soal penggunaan internet bisa berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi daerah.