Startup healthcare Zi.Care mengumumkan telah merampungkan putaran seri A dengan total raihan dana sebesar $3 juta (sekitar Rp46,1 miliar). Putaran ini dipimpin oleh Greenwillow Capital Management, dengan dukungan Adaptive Capital Partners dan Iterative Capital.
Adaptive merupakan investor asal Singapura yang berfokus pada pendanaan tahap awal untuk startup yang bergerak di sektor healthtech dan medtech. Sementara itu, Iterative adalah investor asal Singapura yang menjalankan program akselerator seperti Y Combinator.
Putaran seri A sudah berjalan sejak tahun ini dan sedari awal menargetkan dapat meraup dana sebesar $3 juta. Mengutip dari VentureCap, tidak hanya ketiga investor di atas, terdapat nama-nama lain yang turut serta, di antaranya PT Madina Mentari Utama, Medical Informatics co Ltd, dan Telkomsel Mitra Inovasi (TMI).
Dalam keterangan resmi yang disampaikan perusahaan, dana segar tersebut akan digunakan untuk memperluas jangkauan bisnis Zi.Care di berbagai wilayah di Indonesia. Perusahaan akan mendirikan bisnis komersial dengan 1.750 rumah sakit baru, membangun 100 kemitraan yang sudah terwujud di seluruh negeri.
Solusi Zi.Care
Zi.Care menyediakan solusi digitalisasi untuk rumah sakit dengan penekanan utama pada Rekam Medis Elektronik (EMR/Electronic Medical Record), mencakup diagnosis, hasil tes Kesehatan, obat-obatan, dan pengobatan.
Fokus tersebut sejalan dengan mandat dari Kementerian Kesehatan —melalui Peraturan Menteri Kesehatan No. 24 Tahun 2022— yang ingin mendorong kemajuan digitalisasi dalam domain kesehatan dengan fokus khusus pada implementasi rekam medis elektronik di seluruh Indonesia. Dampak dari PerMen tersebut adalah meningkatnya standarisasi rekam medis elektronik mencapai level 7 sesuai standar yang ketat dari HIMSS.
“Dengan diterbitkannya dan disetujuinya Omnibus Law Kesehatan Indonesia oleh DPR pada tahun ini, menambah keyakinan akan potensi pertumbuhan bisnis teknologi dalam mendukung transformasi sektor Kesehatan Indonesia,” tulis manajemen Zi.Care.
Menurut statistik pemerintah, hampir 2 juta warga Indonesia mencari perawatan medis di luar negeri setiap tahun. Tren ini menyebabkan kerugian devisa yang signifikan, mencapai Rp165 triliun, mengalir ke berbagai negara tujuan.
Dalam konteks ini, pemerintah menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia. Salah satu inisiatifnya adalah melibatkan peningkatan standarisasi rekam medis elektronik, yang bertujuan tidak hanya untuk menjaga pengeluaran kesehatan di dalam negeri, tetapi juga untuk meningkatkan lanskap kesehatan keseluruhan bagi warga.
Di dalam batas-batas Indonesia, terdapat ekosistem kesehatan, terdiri dari lebih dari 3.300 rumah sakit, 10.000 klinik, dan populasi hingga 270 juta pasien.
Adaptive Capital Partners dan Iterative Capital menilai potensi pertumbuhan sektor kesehatan di Indonesia sangat besar dan sangat menjanjikan. Optimisme ini didukung oleh beberapa indikator kunci, termasuk peningkatan signifikan investasi sektor kesehatan di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain.
Diperkuat juga oleh komitmen pemerintah, terlihat dari alokasi dana anggaran negara untuk sektor kesehatan, yang telah meningkat secara stabil dalam beberapa tahun terakhir. Pada tahun lalu alokasinya mencapai rekor tertinggi sebesar Rp179 triliun.
Startup healthtech Zi.Care dikabarkan mendapat tambahan putaran pendanaan seri A dengan tambahan investasi sebesar $1,34 juta (sekitar Rp20,5 miliar). Berdasarkan data yang dilaporkan kepada regulator, seperti dikutip dalam VentureCap Insight, pendanaan ini diikuti oleh PT Madina Mentari Utama, Medical Informatics co Ltd, Iterative, hingga Telkomsel Mitra Inovasi (TMI).
Sebagai informasi, Zi.Care sebelumnya telah memperoleh $2 juta (sekitar Rp44,1 miliar) dari target penggalangan dana seri A sebesar $3 juta. Pendanaan yang diperoleh pada April 2023 tersebut dipimpin oleh Greenwillow Capital Management melalui dana kelolaan Oriza Greenwillow Technology Fund.
Dengan tambahan pendanaan tersebut, total investasi yang telah dikumpulkan oleh Zi.Care adalah sebesar $3,34 juta.
DailySocial.id telah menghubungi Co-Founder & CEO Zi.Care Jessy Abdurrahman untuk mengonfirmasi kabar di atas, tetapi belum ada respons hingga berita ini diturunkan.
Zi.Care merupakan startup pengembang solusi untuk digitalisasi rumah sakit, dengan fokus utama pada rekam medis elektronik (RME) yang mencakup diagnosis, hasil tes kesehatan, obat-obatan, hingga perawatan. Zi.Care menyebut bahwa perusahaan telah mengantongi pendapatan sebesar $1,3 juta di semester II 2022, serta mencapai EBITDA positif pada kuartal IV 2022.
Mengutip informasi dari situs resminya, solusi Hospital Information System (HIS) Zi.Care kini telah diimplementasikan sebanyak 81 rumah sakit, serta dimanfaatkan untuk perawatan 200 ribu pasien dan administrasi 2.178 tenaga kesehatan.
Diketahui, sektor teknologi kesehatan atau healthtech Indonesia terus mengalami perkembangan. Utamanya didorong oleh situasi pandemi Covid-19 serta kebijakan pemerintah dengan menerbitkan Peta Jalan Transformasi Digital Kesehatan Indonesia.
Berdasarkan riset kolaborasi East Ventures, PwC Indonesia, dan Katadata Insight Center (KIC), nilai transaksi dari layanan healthtech Indonesia diproyeksi tumbuh 20% secara tahunan (YoY), lebih tinggi dibandingkan layanan kesehatan konvensional yang sekitar 7% (YoY) pada periode 2022-2027.
Nilai transaksi healthtech pada 2017 ditaksir mencapai Rp6 triliun, lalu meningkat menjadi Rp13 triliun pada 2022. Adapun, nilai transaksi ini diproyeksi meroket ke angkat Rp34 triliun pada 2027 mendatang.
Ekosistem pemain healthtech di Indonesia saat ini masih didominasi oleh platform telekonsultasi. Namun, inovasinya terus berkembang ke segmen lain, seperti digitalisasi fasilitas kesehatan (faskes), wellness, hingga eksplorasi di bidang biotech.
Startup healthtech Zi.Care mengantongi $2 juta (sekitar 29,3 miliar Rupiah) dari Greenwillow Capital Management dalam putaran pendanaan seri A yang ditargetkan sebesar $3 juta (sekitar 44,1 miliar Rupiah). Pendanaan tersebut disuntik melalui dana kelolaan Oriza Greenwillow Technology Fund.
Saat ini, Zi.Care mengembangkan solusi untuk digitalisasi rumah sakit, dengan fokus utama pada rekam medis elektronik (RME) yang mencakup diagnosis, hasil tes kesehatan, obat-obatan, hingga perawatan.
Zi.Care akan menggunakan pendanaan tersebut untuk memperluas jangkauan bisnisnya ke berbagai area di Indonesia. Pihaknya menargetkan kemitraan dengan 150 rumah sakit dari 100 kemitraan yang telah terealisasi di seluruh Indonesia.
Sebelumnya, pada 2021 Zi.Care tercatat memperoleh pendanaan sebesar $500 ribu (lebih dari Rp7,2 miliar) dari Southeast Asia Venture Capital, Iterative VC, Telkomsel Mitra Inovasi, dan Choco-Up.
“Kami membidik pertumbuhan pendapatan hingga 100% setiap tahun, juga mendorong pangsa pasar [digitalisasi] rekam medis elektronik di Indonesia. Hal ini untuk mendukung target Kementerian Kesehatan dalam mendigitalisasi industri kesehatan,” tutur Co-Founder dan Managing Director Zi.Care Jodi Pujiyono Susanto dilansir DealStreetAsia.
Zi.Care mengklaim telah meraup pendapatan sebesar $1,3 juta di semester II 2022, serta mencapai EBITDA positif pada kuartal IV 2022. “Kami akan terus mendorongnya dengan menambah cakupan pasar dan jumlah customer untuk mencapai profitabilitas secara penuh di tahun 2023,” tambahnya.
Sementara, Managing Partner of Oriza Greenwillow Technology Fund Loh Wai Keong menambahkan, pihaknya meyakini solusi RME milik Zi.Care memiliki potensi besar di Tanah Air, dan krusial dalam mendukung transformasi digital industri kesehatan, baik bagi tenaga profesional maupun pasien.
Saat ini, startup kesehatan di Indonesia mayoritas bermain di layanan telemedis dan pemesanan produk kesehatan online, seperti Halodoc, Alodokter, dan KlikDokter. Diketahui, Alodokter menjadi platform telemedis pertama yang telah mengimplementasikan rekam medis elektronik (RME).
Sementara itu, belum banyak pelaku healthtech yang fokus pada digitalisasi fasyankes. Klinik Pintar misalnya, fokus pada segmen akar rumput dengan mendigitalisasi rantai pasok klinik. Ada juga pemain yang masuk ke layanan kesehatan korporasi berbasis platform, yakni Prixa.
Transformasi kesehatan Indonesia
Upaya pelaku healthtech untuk mentransformasi industri kesehatan Indonesia kini mendapat dukungan penuh pemerintah. Salah satunya melalui kebijakan implementasi Rekam Medis Elektronik (RME) yang termuat dalam PMK No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis, yang merupakan perubahan dan pemutakhiran dari peraturan sebelumnya PMK No. 269 Tahun 2008.
Selama ini, pelaku healthtech kesulitan untuk mendigitalisasi sektor kesehatan karena terbentur peraturan yang ketat. Di samping itu, masih banyak fasilitas layanan kesehatan yang menggunakan sistem secara manual. Melalui peraturan baru ini, fasilitas layanan kesehatan diwajibkan untuk menyelenggarakan RME. Pemerintah memberikan masa transisi kepada fasilitas layanan kesehatan hingga akhir 2023.
Berdasarkan survei Kemenkes, anggaran digitalisasi RS rata-rata tak sampai 3% dari total anggaran mereka. Faktor ini membuat transformasi digital belum menjadi prioritas. Sekitar 22% dari 2.595 RS di Indonesia belum memiliki Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS).
Dari 2.291 RS yang memiliki SIMRS, implementasi RME di front office baru 24% dan 64% untuk back office. Sementara, dari 737 RS, sebanyak 359 belum menerapkan RME, 175 RS baru sebagian, dan 203 RS sudah.
Pandemi Covid-19 menjadi katalisator penting bagi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mentransformasi industri kesehatan Indonesia. Bak kereta super cepat, Kemenkes merealisasikan sejumlah langkah yang sangat progresif di sepanjang satu tahun terakhir ini untuk mengawali transformasinya.
Sejak akhir 2021 hingga sekarang, agenda besar Kemenkes tercermin dari realisasi peluncuran (1) peta jalan transformasi digital, (2) regulatory sandbox, (3) platform Indonesia Healthcare System bernama “Satu Sehat”, dan—salah satu yang signifikan—(4) peraturan baru tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME).
Poin nomor empat menjadi elemen krusial dalam memuluskan agenda transformasi industri kesehatan. Namun, secara keseluruhan, Kemenkes punya visi-misi jangka panjang yang dalam pelaksanaannya harus merangkul banyak pemangku kepentingan (stakeholder).
DailySocial telah mewawancarai sejumlah stakeholder untuk bicara sudut pandang mereka dari aspek industri, regulasi, dan teknologi sebagai enabler dalam menjawab berbagai persoalan di industri kesehatan yang selama ini identik sebagai high-regulated sector karena berkaitan dengan nyawa manusia dan punya kontrol besar terhadap data informasi kesehatan.
Lanskap dan tantangan
Mengutip sebuah studi, industri kesehatan di Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan utama, seperti tuntutan untuk memperbaiki layanan medis, penyediaan akses informasi tepat waktu, dan tingginya biaya operasional.
Tenaga kesehatan (nakes) tak hanya dihadapkan pada tuntutan untuk memberikan kualitas layanan kepada pasien, tetapi juga beban administratif. Salah satunya adalah proses input data pasien masih dilakukan secara manual.
Di satu sisi, masyarakat khususnya kaum menengah ke bawah menganggap biaya berobat ke rumah sakit masih sangat mahal. Akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah masih minim apabila memperhitungkan faktor geografis di Indonesia.
Data BPS menyebut rata-rata biaya pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia meningkat 8,9% menjadi Rp34.364 pada 2021. Secara proporsi, pengeluaran ini naik menjadi 2,72% dari tahun sebelumnya 2,57%. Sementara, Kemenkes mencatat pada 2020 rasio dokter hanya berkisar 0,38 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur di rumah sakit 1,2 per 1.000 populasi.
Maka itu, pandemi Covid-19 dinilai telah membuka mata para pemangku kepentingan untuk membenahi industri kesehatan. Pandemi memberi dorongan bahwa teknologi dapat menjadi enabler untuk mengatasi krisis dan mendemokratisasi layanan kesehatan dalam jangka panjang.
Sebetulnya, layanan kesehatan berbasis teknologi atau healthtech di Indonesia sudah ada sebelum pandemi. Kita mengenal Alodokter, Halodoc, Klikdokter, dan Klinik Pintar. Layanan yang ditawarkan mulai dari telekonsultasi, marketplace produk kesehatan, hingga digitalisasi ekosistem kesehatan.
Telekonsultasi menjadi salah satu layanan healthtech yang popularitasnya meroket kala pemerintah mengizinkan penggunaannya untuk urgensi penanganan Covid-19. Halodoc dan Alodokter bahkan sempat mencatatkan lonjakan trafik tinggi di awal pandemi.
Terlepas dari itu, masih banyak inovasi di bidang healthtech yang dapat dieksplorasi sehingga tak terbatas pada layanan telekonsultasi saja. Survei Statista memproyeksi nilai pasar digital health di Indonesia mencapai $1,98 miliar di 2022. Segmen terbesar diproyeksi berasal dari digital fitness dan well-being dengan total proyeksi pendapatan sebesar $1,14 miliar di 2022.
Standardisasi dan keterhubungan data
Peta jalan transformasi industri kesehatan memuat tiga agenda utama, yaitu integrasi dan pengembangan pada sistem data, aplikasi pelayanan, dan ekosistem di bidang teknologi kesehatan (healthtech). Sasarannya mencakup layanan kesehatan primer dan sekunder, ketahanan sistem kesehatan, sistem pembiayaan, hingga SDM.
Dalam pelaksanaannya, Kemenkes membentuk divisi Digital Transformation Office (DTO), dipimpin oleh Setiaji yang telah memiliki pengalaman karir kuat di bidang IT dan birokrasi pemerintah. Setiaji akan menuntun penyelenggaraan transformasi digital di industri kesehatan selama empat tahun ke depan.
Pertanyaan selanjutnya, transformasi ini dimulai dari mana dulu?
Menurut Chief of DTO Setiaji, standardisasi dan keterhubungan data (interoperability) akan menjadi tulang punggung dalam mengintegrasikan seluruh layanan dan pemangku kepentingan di industri ini. Ini menjadi alasan utama DTO menempatkan standardisasi sebagai pondasi dasar transformasi. Tanpa standardisasi, keterhubungan data tidak akan tercapai.
“Maka itu, kami mendahulukan [transformasi] pada Rekam Medis Elektronik sebagai backbone. Salah satu tantangan besar selama ini adalah setiap rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain punya format data sendiri. Transformasi tidak bisa dilakukan jika standardisasi data tidak sama,” ujar Setiaji dalam wawancara dengan DailySocial.id beberapa waktu lalu.
Yang selama ini terjadi, setiap fasyankes beroperasi dengan format dan sistem yang dibangun sendiri-sendiri. Setidaknya, saat ini ada 400 aplikasi di bidang kesehatan, 70 aplikasi puskesmas, dan 50 aplikasi rumah sakit. Karena format dan sistemnya berbeda, sulit untuk mengawinkan dan mengolah data informasi kesehatan.
Standardisasi menyeragamkan seluruh aspek data di industri kesehatan untuk menuju satu data Indonesia sehingga seluruh penyedia dan pengguna layanan kesehatan, baik pasien, fasilitas kesehatan, dan pemerintah dapat saling terhubung dan melakukan pertukaran data. Adapun, standardisasi ini dapat dimanfaatkan seluruh stakeholder terkait pada platform Indonesia Healthcare System (IHS).
Asosiasi Healthtech Indonesia (AHI) menanggapi keputusan yang diambil DTO sudah tepat untuk memprioritaskan standardisasi dan keterhubungan data sebagai langkah awal transformasi. Menurut Wakil Ketua AHI sekaligus Co-founder Zi.Care Jessy Abdurrahman, peta jalan transformasi tersebut juga telah mencerminkan concern dari para pelaku healthtech di Indonesia.
Menurutnya, industri kesehatan selama ini sangat eksklusif jika menyangkut informasi informasi data kesehatan. Maksudnya, fasyankes seolah memiliki kendali besar terhadap informasi data kesehatan. Padahal, Permenkes 269 Tahun 2008 jelas menyebutkan bahwa kepemilikan data ada pada pasien. Karena situasi ini, para pelaku startup sulit untuk melakukan disrupsi di sektor kesehatan.
“Saat itu, kami melihat tidak ada standardisasi pada rekam medis elektronik (RME) sehingga data tidak bisa ‘dikawinkan’ dan diolah menjadi apapun. Hal ini menjadi isu besar ketika Covid-19 terjadi, formatnya berbeda-beda, data tidak akurat, dan proses sampai ke RS menjadi lama karena birokrasi panjang. Peta jalan transformasi ini seharusnya menjadi titik terang bagi industri kesehatan,” ujar Jessy.
Tantangan, implementasi, dan regulasi
Untuk merealisasikan standardisasi ini, Kemenkes meluncurkan platform IHS yang akan dikenal sebagai “Satu Sehat” pada Juli 2022. Satu Sehat adalah Platform-as-a-Service (PaaS) yang akan menghubungkan antar-platform atau aplikasi milik seluruh pelaku industri kesehatan, baik RS vertikal, RS pemerintah, RS swasta, Puskesmas, Posyandu, laboratorium, klinik, hingga apotek. Satu Sehat juga akan terintegrasi pada aplikasi PeduliLindungi.
Kemudian, Kemenkes menerbitkan regulasi baru tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME) pada fasyankes; tertuang dalam PMK No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis yang merupakan perubahan dan pemutakhiran dari peraturan sebelumnya PMK No. 269 Tahun 2008.
Kedua agenda di atas krusial dalam menciptakan satu data kesehatan nasional dan terpusat dalam satu platform. Beberapa contoh output-nya adalah menekan potensi duplikasi input data, menyelenggarakan RME, dan memudahkan proses rujukan. Satu Sehat telah diuji coba di 41 RS, 9 RS vertikal, dan 32 RSUD di DKI Jakarta, serta uji coba beta di 31 institusi kesehatan dan lab kesehatan.
Pada pemberitaan sebelumnya, peraturan penyelenggaraan RME memuat pasal-pasal terkait kepemilikan dan isi rekam medis pasien, keamanan dan perlindungan data pribadi, hingga pelepasan. Adapun, Kemenkes diberi kewenangan untuk mengolah data kesehatan milik pasien.
Dalam pasal 3, fasyankes wajib mengimplementasi RME, termasuk pada layanan telekonsultasi oleh fasyankes, dan wajib diintegrasikan ke platform Satu Sehat. Pemerintah memberikan masa transisi bagi seluruh fasyankes hingga akhir 2023.
Dalam pelaksanaannya, Setiaji menilai akan ada beberapa tantangan yang dihadapi mengingat masa transisi yang diberikan hanya satu tahun. Tantangan terbesar adalah mengimplementasi penyelenggaraan RME, terutama bagi fasyankes di daerah. Ia menyebut fasyankes di daerah belum melakukan digitalisasi karena tak punya anggaran.
Survei Kemenkes mencatat anggaran digitalisasi RS rata-rata tak sampai 3% dari total anggaran mereka. Faktor ini membuat transformasi digital belum menjadi prioritas. Selain itu, RS juga harus memiliki sistem informasi manajemen yang terintegrasi agar dapat berbagi informasi secara real-time.
Sebagai gambaran, setidaknya ada 22% dari 2.595 RS yang belum punya Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS). Kemudian, dari 2.291 RS yang memiliki SIMRS, implementasi RME di front office baru 24% dan 64% untuk back office. Dari 737 RS, sebanyak 359 belum menerapkan RME, 175 RS baru sebagian, dan 203 RS sudah. Saat ini, terdapat 10.260 Puskesmas, 11.347 klinik (pratama dan utama), 2.985 RS, 5.862 praktik mandiri, dan 1.400 laboratorium.
“Kami harus melakukan integrasi 8.000 aplikasi/platform/sistem dengan harapan digitalisasi tidak hanya terjadi pada sistem, tetapi juga tenaga kesehatan. Dokter juga ikut menginput. Dari 10 ribuan Puskesmas, baru 3.000 yang memiliki sistem. Nanti [fasyankes daerah] seperti Puskesmas akan mendapat anggaran khusus [untuk transformasi digital],” ujar Setiaji.
Untuk memudahkan transisi, penyelenggaraan RME pada fasyankes di daerah juga akan dilakukan secara bertahap mengingat kesiapan SDM, infrastruktur, dan budaya kerja berbeda dengan di perkotaan. DTO mengambil peran lebih dalam dengan melakukan edukasi digital dan uji coba integrasi platform Satu Sehat di fasyankes di berbagai kota.
Setidaknya sampai akhir tahun 2022 ini, Kemenkes menargetkan sekitar 12.000 fasyankes akan terintegrasi dengan platform Satu Sehat.
Mengawal transformasi
Lebih lanjut, Ketua Pengurus AHI dr. Gregorius Bimantoro menambahkan bahwa perlu ada kolaborasi pada lima pemangku kepentingan agar dapat merealisasikan peta jalan tersebut. Di antaranya dari (1) pemerintah, baik pusat dan daerah harus onboard, (2) pimpinan faskes primer dan sekunder, (3) mitra rekam medis dan IT rumah sakit, (4) startup dan developer, dan (5) nakes. Pihaknya berupaya menggandeng kampus/universitas untuk ikut dalam mendorong ekosistem healthtech.
“Kami belum pernah melihat roadmap yang salah satunya memprioritaskan ekosistem healthtech, jadi kami sangat senang dilibatkan dalam kolaborasi ini. Ini berarti pemerintah terbuka dengan [enabling] teknologi dalam mencapai ketahanan di bidang kesehatan. AHI berperan untuk membantu pengembangan ekosistem [healthtech] dengan DTO,” papar dr. Gregorius.
Sementara itu, Co-founder dan CEO Klinik Pintar Harya Bimo mengaku antusias dengan langkah pemerintah. Menurutnya, ini pertama kalinya Kemenkes dan pelaku healthtech memiliki cara berpikir yang sejalan. Ketika penggunaan layanan telekonsultasi diizinkan pada masa pandemi, banyak pihak menyadari perlunya RME untuk memperkaya historical data dari pasien. Sayangnya, saat itu peraturan tentang RME belum ada.
“Struktur roadmap ini bagus karena fokus utamanya dimulai dari keterhubungan data. Namun, roadmap ini harus dikawal bersama untuk memastikan standardisasi tersebut berjalan. Kita bertanggung jawab bagaimana pertukaran data kesehatan terjadi. Bagaimana dari sisi komersial, kami cari use case. Do and don’ts harus dijembatani,” jelas Bimo.
Diakuinya, apa yang dilakukan pemerintah sejauh ini juga sejalan dengan upaya Klinik Pintar untuk mencapai interoperabilitas. Standardisasi dan keterhubungan data memang seharusnya menjadi agenda utama sebelum bicara lebih jauh tentang demokratisasi layanan kesehatan, terutama pada grass root.
Jika melihat riwayat ke belakang, ia menilai tidak mudah bagi pengembang layanan digital untuk beroperasi tanpa produk hukum. Sebetulnya, bisa saja kedua hal tersebut berjalan paralel bagi keduanya. Namun, push back biasanya terjadi ketika ada disrupsi.
Ambil contoh, penggunaan layanan telekonsultasi diperbolehkan ketika pandemi. Pemerintah menerbitkan Surat Edaran (SE) untuk melegitimasi penggunaan layanan tersebut. Namun, SE kurang memiliki kekuatan untuk jangka panjang karena begitu pandemi selesai, telekonsultasi tak diperbolehkan lagi.
“Jadi DTO ibarat sebuah startup yang sedang membangun Minimum Viable Product. Ketika kita ingin menuju goal keterhubungan data, kita perlu membantu meski belum ada produk hukum.”
Startup healthtech penyedia digitalisasi rumah sakit Zi.Care mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal sebesar $500 ribu (lebih dari 7,2 miliar Rupiah) dari sejumlah investor. Mereka adalah Southeast Asia Venture Capital, Iterative VC, TMI melalui Telkomsel Corporate Accelerator Program (TINC), dan Choco-Up.
Dana segar ini akan dimanfaatkan perusahaan untuk ekspansi bisnis, menambah jumlah konsumen untuk fasilitas kesehatan rumah sakit dan klinik, meningkatkan pendalaman dari Electronic Medical Record (EMR). Kemudian, upgrade teknologi untuk meningkatkan bisnis, efisiensi fasilitas kesehatan, dan menambah kerja sama dengan mitra korporat, seperti Bank BNI, Bank Syariah Indonesia, Bank Mandiri, Bank OCBC, dan Telkomsel.
Dalam keterangan resmi yang disampaikan perusahaan pada hari ini (25/8), perusahaan sekaligus mengangkat sejumlah profesional bergabung sebagai dewan penasihat. Di antaranya, JS Chong (Chairman & CEO Stratez Ventures), Wiji Rahayu (mantan bankir dan pendiri PE Sentra Investa Prima), dan Budi Wiweko (Wakil Ketua Indonesia Medical Education and Research Institute/IMERI).
Co-Founder & CEO Zi.Care Jessy Abdurrahman menjelaskan, sejak perusahaannya didirikan pada empat tahun lalu, mereka berambisi untuk membantu masalah mendasar pada sistem fasilitas kesehatan Indonesia melalui digitalisasi. Mengingat saat ini sumber daya medis di Indonesia mendapat tekanan yang cukup besar, yang secara tidak langsung menimbulkan masalah pada seluruh ekosistem pelayanan kesehatan.
Ambil contoh, saat ini waktu yang dibutuhkan oleh pasien untuk mendapatkan pelayanan di rumah sakit, rata-rata menghabiskan waktu selama minimal 2 jam. Dari sisi efisiensi dan kemudahan, isu tersebut penting untuk diperbaiki dari sistem kesehatan di Indonesia.
“Selain itu, beberapa persoalan terkait, waktu tunggu yang lama, proses administrasi yang rumit hingga rendahnya tingkat akurasi dalam rekam medis, mencerminkan bahwa adanya permasalahan terhadap akses kesehatan di dalam negeri,” terangnya.
Maka dari itu, Zi.Care menawarkan solusi melalui Electronic Medical Record (EMR) dan Electronic Health Record (EHR) berbasis komputasi awan untuk mendigitalisasi semua sistem informasi kesehatan, meliputi administratif rumah sakit, pendukung klinis, dan manajemen klaim.
“Juga saat ini Zi.Care secara bertahap sedang melakukan pengembangan aplikasi catatan kesehatan pribadi pasien (Patient Personal Health Record) dan paspor kesehatan (Health Passport).”
Dia melanjutkan, dua produk yang sedang dikembangkan ini nantinya dapat memfasilitasi proses pengembangan kesehatan yang berfokus kepada pasien. Juga, meningkatkan sistem administrasi di rumah sakit, meningkatkan penggunaan, dan pengalaman klaim asuransi secara digital.
Chief Strategy Officer Zi.Care Jodi P. Susanto menambahkan, pandemi Covid-19 telah memberikan pembelajaran bahwa diperlukan peningkatan kebutuhan untuk digitalisasi fasilitas kesehatan dalam proses sistem informasi kesehatan.
Pihaknya berpartisipasi aktif menggaet praktisi swasta, telemedis, rumah sakit, dan klinik untuk mendapatkan manfaat teknologi yang lebih baik dan terdepan melalui Zi.Care, untuk mengambil data medis ke tingkat berikutnya, dan memfasilitasi akses melalui pertukaran informasi kesehatan dengan berbagai pemangku kepentingan.
“Kami berkomitmen untuk mendukung adaptasi EMR dan digitalisasi fasilitas Kesehatan di Indonesia, sehingga pasien dapat memperoleh layanan yang lebih baik dan lebih cepat melalui platform kami. Kami akan selalu mendukung pemerintah agar tenaga medis dapat menjangkau lebih banyak pasien melalui aplikasi Sehatpedia kami, yang telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan,” kata Susanto.
Zi Care menerapkan dua model bisnis, yaitu B2B dan B2B2C untuk mendukung semua segmen terlepas dari tingkatannya. Sebagai contoh, fleksibilitas penawaran yang lebih tinggi dalam opsi penetapan harga, yang selaras dengan tujuan akhir Zi.Care, yakni membuat layanan yang dapat di akses oleh masyarakat luas.
Dalam wawancara bersama DailySocial.id sebelumnya, dalam ranah B2B, Zi.Care menerapkan bisnis model berlangganan untuk platform SaaS Zi.Care dengan waktu minimum 3 tahun pemakaian. Dalam paket ini, perusahaan akan menangani secara keseluruhan Sistem Informasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan di rumah sakit, serta pemeliharaan sistemnya.
Diklaim, perusahaan telah melayani 76 rumah sakit, terdiri dari 70 RS nasional yang menangani Covid-19 serta 6 kontrak komersial.
Adopsi healthtech global
Semenjak pandemi, rumah sakit masih dalam mode tanggap krisis. Skala dan penularan Covid-19 membuat sistem rumah sakit global lengah, dan APAC tidak terkecuali. Tanggap darurat dan likuiditas diprioritaskan daripada strategi pembangunan jangka panjang, dan tetap menjadi agenda utama – terlepas dari penahanan yang efektif di pasar-pasar utama APAC.
Dalam laporan yang dipublikasikan L.E.K Consulting and GRG Health 2021, menyampaikan dengan pembatasan mobilitas pasien dan penghindaran risiko yang menyertai rumah sakit, telah meningkatkan penerimaan kesehatan digital bagi semua pemangku kepentingan.
“Hal ini menyebabkan percepatan adopsi solusi seperti teleconsultation, analisis gambar dengan bantuan kecerdasan buatan (AI), dan pemantauan pasien jarak jauh. Pasien lebih menerima alternatif digital, dan pemerintah melihat manfaat dari adopsi yang lebih besar. Semakin banyak, peraturan sedang dilonggarkan dan penggantian sedang diformalkan untuk solusi kesehatan digital,” jelas partner L.E.K. Consulting Singapura Fabio La Mola.
Akibatnya, sebagian besar rumah sakit di seluruh APAC sedang menjajaki dan menguji coba solusi kesehatan digital – jika belum menggunakannya. Di Singapura, angka ini mencapai 94%, sementara Australia dan China masing-masing memiliki tingkat adopsi 84% dan 89%. Jepang tertinggal dengan lebih dari 60%.
Sebagian besar adopsi teknologi adalah sarana untuk mempertahankan kualitas diagnosis dan perawatan – bahkan pada jarak dan di bawah tekanan dari volume tinggi. Ada banyak contoh yang bisa diambil, di Tiongkok misalnya, perusahaan pencitraan medis Infervision menggunakan pencitraan AI untuk mengidentifikasi pasien potensial Covid-19.
Rumah sakit di Indonesia dan India menggunakan asisten robot untuk mengantarkan makanan dan obat-obatan – meminimalkan risiko bagi petugas kesehatan, sementara alat pemantauan pasien jarak jauh dari perusahaan perawatan prediktif global Bifourmis memungkinkan praktisi untuk melacak tanda vital di antara orang-orang yang menunggu hasil tes.
Di luar perawatan pasien, rumah sakit menggunakan teknologi untuk meminimalkan kesalahan, dan menemukan aliran pendapatan baru untuk mengatasi kerugian dari pengurangan operasi elektif dan konsultasi. Banyak juga yang menggunakan saluran digital untuk terlibat dengan pemasok – saling menguntungkan di mana rumah sakit dapat memesan obat dan peralatan dengan mudah sementara perusahaan farmasi dapat memperluas distribusinya.
Pandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor kuat yang mendorong banyak sektor bergerak ke arah digital, termasuk di dunia kesehatan. Dengan latar belakang lebih dari sepuluh tahun di beberapa rumah sakit ternama, Founder dan CEO Zi.Care Indonesia Jessy Abdurrahman melihat sebuah fenomena, dengan kemampuan dokter yang mumpuni serta teknologi yang tak kalah canggih, mengapa masih banyak masyarakat Indonesia yang lebih memilih akses kesehatan di luar negeri?
Hal ini mendorong ia untuk menemukan pain points dalam sistem operasional rumah sakit di Indonesia lalu mengembangkan solusi digital untuk mengatasi masalah tersebut.
Dibangun pada tahun 2017 bersama rekannya Sanjaya I Mayluddin, Zi.Care menawarkan solusi end-to-end untuk digitalisasi rumah sakit. Sebuah platform Sistem Informasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan yang sepenuhnya secara komprehensif menangani seluruh siklus dalam proses dari manajemen sumber daya hingga klaim asuransi.
Solusi yang ditawarkan
Saat ini, Zi.Care membagi bisnisnya dalam tiga macam konsep, yaitu B2B untuk menyediakan dan mengembangkan platform SaaS untuk fasilitas kesehatan; B2C untuk merevolusi utilitas aplikasi seluler perawatan kesehatan dan memasukkan rekam medis elektronik pribadi; serta B2Guntuk menyelaraskan dan mendukung regulator dalam menetapkan standar ekosistem perawatan kesehatan digital.
Jodi Susanto, Co-Founder dan Executive Director Zi.Care Indonesia menyampaikan, “Solusi digital yang ingin kami tawarkan adalah end-to-end business process meliputi dokter, pasien, manajemen rumah sakit, perawat, back and front office, hingga purchasing dan procurement. Namun saat ini, kami fokus mengedepankan solusi EMR (Electronic Medical Record).”
Dalam ranah B2B, Zi.Care menerapkan bisnis model berlangganan untuk platform SaaS mereka dengan waktu minimum 3 tahun pemakaian. Dalam paket ini, pihaknya akan menangani secara keseluruhan Sistem Informasi dan Manajemen Pelayanan Kesehatan pada rumah sakit berikut pemeliharaannya. Saat ini, perusahaan mengaku telah melayani 76 Rumah Sakit, terdiri dari 70 RS nasional yang menangani Covid-19 serta 6 kontrak komersial.
Tekait layanan SaaS yang ditawarkan, Jodi turut menambahkan, “Zi.Care dibangun dengan kompleksitas yang lengkap, namun dalam penerapannya, sifatnya initialization, berdasarkan permintaan.”
Selain fokus pada beberapa fitur unggulan di atas, Zi.Care juga tengah mengembangkan solusi B2C yang disebut health passport, yaitu catatan medis elektronik untuk individual berbasis cloud yang terintegrasi sepenuhnya dengan stakeholder yang berkepentingan. Namun, perusahaan mengaku masih dalam perbincangan dengan beberapa stakeholder mengenai regulasi.
“Kita sudah berkomunikasi intensif dengan tim dari otoritas, seperti KemKes, Mendagri, dan lainnya. Karena dalam penggunaannya sendiri, terdapat juga integrasi antar kementrian dan butuh NIK. Namun, secara produk sudah jadi dan siap di-launching bersamaan dengan distribusi vaksin,” tambah Jodi.
Selain menawarkan solusi dalam hal sistem, Zi.Care juga memiliki modul yang memudahkan pasien BPJS untuk berobat di rumah sakit melalui fitur dana talangan BPJS. Saat ini telah bermintra dengan bank BNI, Mandiri, dan Mandiri Syariah, untuk rumah sakit yang belum bankable, kita juga sudah kerja sama dengan alami dalam mengakomodasi kebutuhan tersebut.
“Kami menyebut ekosistem ini cloud hospital, di mana setiap layanan kesehatan bisa terjadi di bawah payung rumah sakit. Dengan konsep ini, setiap rumah sakit bisa menjangkau pasien di mana saja. Hal ini otomatis akan meningkatkan daya saing rumah sakit dengan solusi healthtech lainnya,” ujar Jodi.
Dalam perjalanan bisnisnya, Zi.Care telah bekerja sama dengan beberapa pihak terkait inklusi kesehatan. Pada tahun 2019, Zi.Care bersama lima startup kesehatan dan Kemenkes telah meneken MoU yang menyebut bahwa perusahaan akan mendukung aspek pengembangan teknologi dari platform SehatPedia. Aplikasi ini memfasilitasi masyarakat untuk berkonsultasi dengan dokter-dokter beragam spesialisasi dari 33 rumah sakit vertikal Kemenkes.
Potensi pasar dan target
Bulan Juni 2020, Zi.Care akhirnya meluncurkan versi beta platformnya. Dalam aplikasi ini, ada beberapa fitur utama seperti Reservasi Online, Telekonsultasi, serta EMR. Perusahaan mengklaim telah mendapatkan 500 pengguna hingga saat ini.
Terkait pendanaan, Zi.Care berhasil meraih seed round dari Lima Ventura, sebuah venture capital milik Garuda Food senilai $600 ribu di tahun 2019. Perusahaan mengklaim valuasi saat itu berada di angka $2,5 juta. Saat ini, perusahaan tengah dalam proses penyelesaian putaran pendanaan seri A senilai $1,5 juta dari venture capital asal Singapura yang fokus pada healthech. Perusahaan juga mengungkap adanya beberapa potensi partisipasi dari grup farmasi lokal. Harapannya adalah untuk bisa close di akhir tahun 2020 ini.
Pada dasarnya, semua healthtech menikmati upside effect dari pandemi, namun ada yang ternyata nasibnya tidak begitu baik, yaitu rumah sakit dan klinik. Ketika pandemi, orang-orang sebisa mungkin untuk menghindari datang langsung ke rumah sakit, di sini Zi.Care ingin lebih dulu membantu pihak rumah sakit dalam melancarkan program internal sebelum akhirnya melakukan kesepakatan eksternal.
“Dalam artian, Rumah Sakit harus lebih dulu menerapkan digitalisasi sebelum bisa mencanangkan konektivitas dan integrasi dengan aplikasi,” tutup Jodi.