Geliat perusahaan fintech yang agresif, rupanya diakui oleh pihak perbankan sebagai suatu hal yang tidak bisa dibendung atau dihalang-halangi. Inovasi fintech yang dilakukan perbankan pun terbilang cukup terlambat dengan apa yang perusahaan operator telekomunikasi.
Hal ini terlihat dari perbandingan nomor ponsel yang beredar di Indonesia jumlahnya hampir 3x lipat dari rekening bank. Bisa dibilang, kini bank berada di posisi yang “memaksa” mereka untuk melakukan kolaborasi sebagai satu-satunya jalan untuk terus berkembang.
Bank termasuk industri yang sudah well regulated dan kondisi ini dapat menjadi hal yang bisa dijual ke layanan fintech. Pasalnya, bank memiliki lisensi dan jaminan yang penuh dalam proses pengambilan dana dari masyarakat untuk dikelola.
Beda halnya dengan perusahaan fintech. Mereka tidak, atau belum, memiliki lisensi tersebut, khususnya terkait dengan perlindungan konsumen. Inilah yang bisa menjadi hubungan simbiosis mutualisme antara perbankan dengan startup fintech.
“Bank tidak mampu menanggulangi geliat fintech karena ini tumbuh secara natural dan berkekuatan besar sehingga ini jadi tidak bisa dihindari. Namun, kami yakin pada akhirnya mereka akan masuk ke bank karena ke depannya akan muncul issue, sebab belum well regulated. Fintech punya akses, sementara bank punya lisensi. Ini bisa jadi kolaborasi yang baik,” ujar Haru Koesmahargyo, Direktur Keuangan BRI, dalam diskusi Seminar Nasional Infobank Outlook 2017, Kamis (27/10).
Di sisi lain, komitmen BRI untuk perkembangan digital banking cukup serius. Hal ini diwujudkan dengan peluncuran satelit BRIsat pada pertengahan tahun lalu. Kehadiran satelit memungkinkan BRI memberikan layanan perbankan digital yang lebih canggih, cepat, dan efisien, tak hanya untuk nasabah yang ada di perkotaan saja tetapi juga di wilayah suburban.
BRI juga akan membentuk divisi khusus modal ventura di bawah anak usahanya, BRI Finance, untuk mendorong anak muda berinovasi di bidang fintech. Nantinya inovasi yang diciptakan oleh anak muda dapat diintegrasikan dengan teknologi BRI.
Tantangan perbankan di era fintech
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat beberapa tantangan bagi perbankan di era fintech di antaranya adalah fintech berpotensi mengurangi pendapatan bank yang berasal dari margin suku bunga (NIM) dan pendapatan non bunga (fee based income).
Ini terlihat dari mekanisme fintech yang menggunakan pola peer-to-peer lending (P2P). Skema ini dapat memitigasi risiko maturity mismatch sekaligus menghindari lembaga tersebut dari praktik bank gagal atau bank run yang dapat berakhir pada risiko sistemik.
Kemudian konsep e-wallet yang ditawarkan perusahaan fintech membuat payment ecosystem tidak lagi sepenuhnya dikuasai oleh perbankan. Kedua, fintech memungkinkan seseorang tidak lagi memiliki akun rekening bank untuk transfer uang secara online.
Kehadiran fintech seperti Kesles, Doku, dan Ripple memungkinkan pengguna dapat melakukan transfer uang kepada sesama pemakai aplikasi. Aplikasi berbasis e-wallet juga berpotensi mengurangi kebutuhan konsumen dalam bertransaksi melalui perbankan.
Konsumen dapat mendepositkan sejumlah uang di dalam akun aplikasi dan melakukan berbagai transaksi. Mulai dari transaksi di merchant, isi pulsa, bayar listrik, bayar transportasi publik, internet, dan lainnya.
Di sisi lain fintech juga masih memiliki beberapa isu. Dari aspek legal, seperti registrasi dan persyaratan, tanda tangan basah, persyaratan consumer due diligence (CDD) dan enhanced due diligence (EDD). Lalu, masih ada fintech yang belum diawasi oleh OJK.
Isu di sisi teknologi mencakup pengaturan dan standarisasi sistem kliring, settlement dan pembayaran, pengaturan dan standarisasi untuk sistem keamanan, back up, dan stabilitas jaringan.
Pemerintah perlu segera membuat regulasi untuk fintech
Aviliani, Ketua Bidang Pengkajian dan Pengembangan Perbankan PERBANAS, menerangkan pemerintah perlu segera membuat regulasi untuk fintech selagi usianya yang masih sangat dini demi menciptakan ekosistem lebih baik lagi ke depannya. Apalagi ini menyangkut perlindungan konsumen.
Startup fintech yang bermain di peer to peer lending (P2P), sambungnya, belum memiliki perlindungan untuk peminjam dana. Sehingga, bila terjadi gagal bayar yang akan menjadi penanggung risikonya adalah peminjam dana itu sendiri.
“Mumpung pemain startup belum terlalu banyak, pemerintah harus segera perbaiki regulasinya,” pungkasnya.