Meski investasi asing mulai memasuki industri e-commerce Indonesia, dapat dikatakan bahwa saat ini industri jual-beli online masih seperti balita (infant industry). Masih butuh banyak sokongan untuk dapat tumbuh kembang sesuai dengan kemampuan potensialnya. Salah satu proteksi nyata adalah dengan tidak menjadikannya sebagai subjek kepada pajak. Selain itu terkait DNI (Dana Investasi Negatif) yang melarang investor asing di layanan e-commerce Indonesia, para pemain mengusulkan kepada pemerintah agar hal tersebut dihapuskan demi pengembangan industri e-commerce lokal.
Selain pembahasan revisi DNI, saat ini pemerintah juga akan segera mengeluarkan aturan dan roadmap e-commerce. Seperti diketahui aturan yang digodok pemerintah soal e-commerce ini tak hanya jadi urusan Kementerian Kominfo. Pembahasan mengenai hal itu juga melibatkan instansi dan kementerian lainnya seperti Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, hingga Badan Ekonomi Kreatif (BEK).
Usulan revisi Dana Investasi Negatif (DNI) oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara, yang mengindikasikan kemungkinan terbukanya bisnis e-commerce untuk pemain asing, mendatangkan beberapa tanggapan dari pelaku industri.
CEO MatahariMall Hadi Wenas berkomentar, “Secara garis besar, revisi DNI adalah positif, karena kami (pelaku e-commerce) terus terang masih membutuhkan investor asing karena keterbatasan-keterbatasan dari investor lokal.”
Industri e-commerce membutuhkan modal yang besar. Di dalamnya terdapat pembangunan infrastruktur yang mendukung. Tak hanya bicara jaringan Internet, tetapi juga bisnis yang dari ujung ke ujung. Dari urusan logistik, pergudangan, pembayaran, hingga edukasi pasar.
Selama ini dana-dana besar yang mengucur ke industri e-commerce masih didominasi oleh investor asing. Kekurangan investor lokal, menurut Hadi, ada tiga poin. Poin pertama investor lokal cenderung memberikan valuasi rendah dengan alasan risiko tinggi kalau dibandingkan dengan industri lain yang sudah mapan. Poin kedua, industri yang masih “bayi” butuh waktu tumbuh. Industri ini tidak bisa mengandalkan investor yang mengharapkan retur dalam jangka pendek. Berbeda dengan investasi di bidang lain yang masih menggiurkan, seperti properti.
Terakhir, kekurangannya ada di sisi pengetahuan. Untuk menjalankan industri ini diperlukan investor yang memiliki keahlian dalam bidang ini. Bila tidak, investor tak bisa memberikan kontribusi maksimal untuk industri ini. “Belakangan ini tentang valuasi dan retur yang cepat saya melihat sudah mulai berubah. Investor lokal sudah mulai mengerti hal ini,” ujar Hadi.
CEO Bilna Ferry Tenka melihat terkait investasi dari luar bukan hal yang masalah. Ia mengatakan, “Saat ini pun sudah banyak pemain e-commerce yang mendapatkan pendanaan dari asing. Bahkan menurut saya ini dapat meningkatkan daya saing dan mempercepat pertumbuhan e-commerce di Indonesia.”
Investasi yang masuk dari pihak asing, disebutkan juga dibarengi dengan transfer ilmu untuk mendongkrak kualitas pemain di bisnis ini. Data yang dikumpulkan Veritrans memprediksikan tahun ini total transaksi online di Indonesia akan mencapai $3,56 miliar dan tahun depan meningkat menjadi $4,89 miliar, meskipun belum ada gambaran dan data berapa banyak modal baru yang dimasukkan untuk layanan e-commerce per tahunnya.
Pendiri dan CEO HijUp Diajeng Lestari juga menyinggung soal kompetisi dan ia melihat tidak perlu khawatir dengannya. Menurutnya bisnis ini pasti akan lebih kompetitif jika modal asing masuk, sehingga para pemain mau tidak mau harus lebih kreatif mencari strategi untuk bisa bertahan.
Melihat dari sisi perusahaan, Pendiri dan CEO BerryBenka Jason Lamuda mengganggap akan ada banyak kemudahan dengan penghapusan DNI, “Dampaknya pasti baik untuk startup Indonesia, karena lebih banyak e-commerce bisa menerima dana dari luar. Dan juga founder tidak sudah pusing tentang restructuring ke Singapura atau mencari cara lain,” ungkapnya.
Jason juga berharap bahwa peraturan baru nantinya akan lebih transparan dalam hal-hal terkait dengan industri e-commerce, termasuk urusan perpajakan.
Hadi dan para pelaku industri e-commerce berharap obyektivitas pemerintah dalam memandang bisnis ini. Menurut mereka, pola pikirnya harus diubah dari “keuntungan negara dalam jangka pendek” ke “keuntungan industri e-commerce dalam jangka panjang”.