Tantangan Layanan Ride Sharing Uber di Indonesia

Layanan ride sharing Uber bakal segera hadir di Indonesia menyusul pembukaan lowongan pekerjaan sejumlah posisi strategis yang berbasis di Jakarta. Setelah lebih dahulu hadir di sejumlah negara Asia Tenggara, adalah wajar jika akhirnya Uber ke negara berpopulasi terbesar di kawasan ini. Pertanyaannya tentu saja apakah layanan seperti Uber bisa sukses di Indonesia?

Pertama kita tilik dulu layanan seperti apa yang bakal dihadirkan di Indonesia. Di negara-negara Asia Tenggara, Uber hanya menghadirkan UberBlack yang menyasar segmen premium, bahkan hingga UberLux yang menghadirkan mobile super mewah seperti Jaguar, Hummer, Mercedes S-class dan BMW Seri 7. Hanya di Singapura Uber berani memberikan layanan UberX yang lebih terjangkau. Prediksi saya di Indonesia, setidaknya di awal peluncuran, mereka akan menghadirkan UberBlack di Jakarta.

Apa itu UberBlack? UberBlack adalah mobil sedan atau crossover SUV yang bisa memuat 4 penumpang atau full-size SUV yang bisa memuat 6 penumpang. Di Malaysia, yang termasuk kualifikasi mobil UberBlack adalah Toyota Camry seri terbaru. Apakah spesifikasinya rings the bell? UberBlack melihat segmennya akan berupaya merebut kue pasar yang selama ini dikuasai oleh Silver Bird dan Tiara Express.

UberBlack dipesan melalui smartphone (iOS atau Android). Kita dijemput dan diantar oleh pengemudi yang menjadi partner ke tempat tujuan, tanpa pusing harus memberitahu lokasi tujuan (termasuk cara mencapainya) dan memikirkan uang kembalian saat membayar, meskipun di Malaysia ternyata tetap diperlukan uang tunai untuk membayar biaya tol. Saat mencapai tempat tujuan, biaya akan dikalkulasi dan langsung ditagihkan ke kartu kredit yang sudah kita daftarkan tanpa perlu memberi tip.

Ingat Uber tidak memiliki armada sendiri layaknya layanan taksi. Mereka tidak perlu modal besar untuk mendirikan usaha di suatu tempat. Uber bekerja sama dengan pemilik mobil dengan skema bagi hasil. Di konsep ini, Uber hanya mengurusi manajemen pemesanan dan pembayaran.

Menurut saya tantangan Uber di Indonesia bukan soal persaingan dengan sesama layanan pesan antar premium. Persaingan itu biasa dan semakin banyak pemain malah berarti segmen ini semakin menarik. Tantangan utama justru kesesuaiannya dengan peraturan yang berlaku.

Di Indonesia layanan seperti Uber bisa saja dicap “taksi gelap”. Meskipun menggunakan perhitungan “argometer”, setiap mobil partner Uber seharusnya adalah mobil biasa yang tidak memiliki lisensi komersial — di Indonesia ditandai dengan plat nomor kuning. Dilema Uber seharusnya adalah compliance terhadap regulasi sebagaimana yang biasa dialami olehnya di mana pun, termasuk di Amerika Serikat sendiri.

Bagaimana tanggung jawab Uber jika ternyata terjadi kejahatan pada pelanggan saat menumpang mobil partner? Apakah Uber bakal disalahkan oleh regulator karena tidak memiliki izin usaha komersial seperti layaknya taksi? Meskipun fenomena taksi gelap sangat tampak di depan mata dan nyatanya regulator juga tutup mata, startup dengan nama besar internasional seperti Uber diharapkan lebih cerdas dalam meng-handle situasi ini.

Pertanyaan-pertanyaan di atas seharusnya bisa dijawab dan dicari jalan keluarnya sebelum Uber benar-benar membuka layanannya di sini. Di Amerika Serikat sendiri Uber sampai berusaha melobi pihak pemerintah setempat untuk mengakomodasi layanan ride sharing seperti ini. Tricky di awal lebih baik ketimbang harus berurusan dengan pihak berwenang di kemudian hari.

Leave a Reply

Your email address will not be published.