Tepatkah Langkah Multiply Menutup Layanan Blog?

Kita semua sudah mengetahui tentang berita menghebohkan kemarin. Secara resmi Multiply mengumumkan penutupan layanan blog yang merupakan cikal bakal Multiply selama ini dan murni beralih fungsi menjadi marketplace. Keputusan yang diinformasikan langsung oleh CEO Multiply, Stefan Magdalinski, sontak menimbulkan suara kekecewaan bagi blogger-blogger yang sudah lama mendiami platform ini. Sebenarnya tepatkah langkah Multiply menutup layanan blog ini dan beralih sepenuhnya menjadi perusahaan e-commerce?

Mari ditengok dulu dengan kondisi Multiply. Multiply didirikan di bulan Desember 2003 sebagai suatu blog platform. Pendirian ini tentu saja tidak lepas dari euforia blog saat itu. Di awal 2003, Blogger diakuisisi oleh Google dan menjadikannya layanan paling hot saat itu. Pendiri Multiply, suka atau tidak, tentu menginginkan kisah sukses serupa. Tidak cuma sekedar blog, Multiply juga memiliki layanan jejaring sosial di mana seorang pengguna bisa berinteraksi dengan pengguna lain, termasuk berbagi foto atau video. Sayangnya pertumbuhan Multiply di Amerika Serikat tidak mampu mencapai hasil yang diinginkan.

Untuk membangun dan memelihara blog platform seperti ini tentu membutuhkan biaya. Multiply beberapa kali mendapatkan pendanaan dari investor (totalnya $26.6 juta menurut data Crunchbase), tapi belum juga berhasil memperoleh profit yang signifikan dari layanan blog premiumnya. Alih-alih, sejumlah blogger yang kreatif berhasil memanfaatkan Multiply sebagai tempat gratis untuk berjualan. Jumlahnya semakin banyak dan makin mendominasi Multiply dan kebanyakan tidak berdomisili di Amerika Serikat. Mereka berasal dari negara-negara Asia Tenggara, khususnya Indonesia dan Filipina.

Sejujurnya hal seperti inilah yang mengurungkan niat saya untuk mencoba Multiply sebagai tempat mengembangkan blog. Di lain pihak, justru faktor orang berjualan ini yang dilihat oleh Multiply sebagai sarana baru mencari profit. Multiply mengikuti arus dan pelan-pelan bertransformasi menjadi perusahaan e-commerce. Langkah pivot tentunya membutuhkan biaya. Di tahun 2010, Multiply setuju diakuisisi oleh Naspers supaya mereka memperoleh dana segar untuk melakukan ekspansi. Di awal tahun 2011, fitur Multiply Commerce pun hadir dengan fokus di dua negara Asia Tenggara tersebut.

Multiply sekarang adalah perusahaan e-commerce yang memberikan layanan marketplace, dengan usaha sampingan layanan blog.

Sejak awal berdirinya layanan Commerce, saya melihat ada ketidakharmonisan antara orang-orang Multiply dan blogger. Cerita pengambilalihan subdomain http://indonesia.multiply.com sebagai situs Multiply Indonesia tanpa pemberitahuan kepada pemilik sebelumnya memberikan isyarat bahwa blog tidak lagi menjadi bagian penting.

Meskipun selama dua tahun terakhir pimpinan Multiply selalu memberikan pernyataan bahwa pihaknya bakal terus memberikan dukungan terhadap layanan blog, kami sendiri berpendapat suatu saat nanti layanan blog pasti ditutup. Logikanya mudah, layanan marketplace, yang memperoleh pendapatan, harus mensubsidi layanan blog dan biaya operasionalnya telah mengurangi pendapatan perusahaan. Akhirnya bom dijatuhkan hari Senin lalu dan blogger harus angkat kaki per 1 Desember nanti.

Jadi apakah langkah yang diambil Multiply ini sudah tepat? Saya cenderung menjawab “Ya”, tapi eksekusinya menurut saya kurang tepat.

Cara-cara yang diambil oleh pimpinan Multiply untuk menutup layanan blog secara tiba-tiba tentu menimbulkan reaksi negatif di masyarakat. Beragam pendapat tersampaikan di social media, dari rasa panik sampai ungkapan-ungkapan kekecewaan. Meskipun Multiply tidak cuma ada di Indonesia, kita sudah mahfum bahwa layanan ini besar dan memperoleh pendapatan di sini. Ada cara-cara yang lebih elegan untuk menyenangkan orang Indonesia menghadapi “krisis” seperti ini. Pengumuman seperti ini layaknya keputusan PHK massal di perusahaan. Suatu hal yang lazim di negara Barat tapi tidak selalu cocok dengan norma-norma negara Timur.

Ada sejumlah langkah yang seharusnya dilakukan oleh manajemen Multiply untuk meredam kekecewaan. Pertama adalah mengadakan pertemuan dengan komunitas blogger Multiply. Perlu dijelaskan alasan logis kenapa layanan blog perlu ditutup, terutama berkaitan dengan biaya operasional. Di sini Multiply bisa mendengar feedback dari para blogger, sebagai bagian dari stakeholder Multiply, tentang solusi terbaik yang bisa dicapai. Mungkin ini tidak bakal memuaskan semua pihak, tapi setidaknya ada kesepahaman yang tercapai antara kedua belah pihak. Meskipun blogger bukan “pemilik”, tapi mereka sudah merasa “memiliki” Multiply dan menjadi bagian layanan ini selama bertahun-tahun.

Sayangnya, berkaca dari pengalaman sebelumnya, saya berkesimpulan memang sudah ada “jarak” antara manajemen Multiply dan blogger yang membuat hal ini menjadi kurang realistis untuk dilakukan.

Selain itu, di pengumuman Multiply kemarin belum disebutkan tentang cara untuk mengekspor posting, komentar, ataupun foto ke platform lain. Meskipun itu sudah dijanjikan untuk disediakan, jika persiapan sudah dilakukan dari awal seharusnya saat pengumuman ini keluar pengguna langsung dibantu untuk mengekspor “hak miliknya”. Tentu saja manajemen Multiply tidak bisa berasumsi bahwa semua pengguna blognya adalah tech savvy yang pasti mengerti soal hal teknis seperti ini. Bisa jadi pengumuman ini memang agak terburu-buru dan belum disiapkan langkah-langkah lanjutannya.

Kisah penutupan layanan blog oleh Multiply bisa menjadi pelajaran bagi kita tentang bagaimana seharusnya mengelola pengguna sebagai bagian dari stakeholder. Secara logis langkah penutupan layanan blog ini memiliki dasar yang kuat, tapi eksekusi di lapangan seharusnya bisa membuatnya menjadi lebih elegan dan lebih diterima.

[sumber gambar: Flickr/owenwbrown]

Leave a Reply

Your email address will not be published.