Tiga Masalah Kepemilikan Rumah yang Dialami Smart Community

Mencari dan membeli rumah memerlukan pertimbangan yang begitu masak. Rumah adalah entitas yang tidak akan dihuni dalam kurun bulanan atau setahun dua tahun saja. Dari sudut pandang calon pembeli, pengalaman membeli rumah saat ini sudah begitu dimudahkan, terutama ketika sistem Kredit Pemilikan Rumah (KPR) sudah mendapat dukungan dari teknologi dan digitalisasi di era dot com.

Kenyataannya, tidak banyak dari mereka yang sudah terbantu dengan digitalisasi mengakhiri proses pencariannya ke proses pembelian secara online. Data dari National Association Realtors (NAR) dan Google menunjukkan, 90% dari para calon pembeli rumah melakukan pencarian secara online, namun tidak sampai 10%-nya merasakan pengalaman digital mortgage.

Generasi milenial dan smart community mencari pemecahan dari masalah-masalah ini yang mengganggu mereka mengakses pembelian dan kepemilikan rumah.

1. User Experience yang Bertele-tele

Proses kepemilikan rumah sudah pasti melibatkan dokumen di dalamnya, dengan tumpukan file pinjaman yang bisa mencapai ratusan halaman. Bagi para calon debitur, proses yang memerlukan pengisian lusinan formulir dan dokumen-dokumen lainnya yang harus diberikan ke kreditur. Tidak heran metode seperti ini butuh harian, bahkan mingguan, untuk sampai ke tahap closing.

Selayaknya produk-produk fintech yang menjamur, mobile-first experience mungkin menjadi salah satu poin yang bisa memanjakan dan menarik perhatian pengguna, lebih spesifiknya adalah mereka yang termasuk generasi milenial dan smart community.

2. Birokrasi Rumit dan Panjang

Sedikit banyak menyambung poin sebelumnya, birokrasi ini juga erat kaitannya dengan waktu yang perlu ditempuh oleh calon debitur—dengan profil kelahiran tahun 1980-an akhir dan 1990-an—untuk sampai pengajuan pinjamannya disetujui. Ya, proses ini yang mau tidak mau harus dirasakan di tengah era digital; saat kita sudah terbiasa membeli dan menerima barang melalui e-commerce di hari yang sama.

3. Transparansi

Sulit bagi calon kreditur untuk mendapatkan akses mengenai informasi status pengajuan pinjaman dan informasi yang berkaitan dengannya. Kondisi demikian membuat peminjam bergantung pada orang-orang yang mengelola pinjaman mereka untuk mendapatkan status update dan info dokumen-dokumen yang diperlukan. Dampaknya, loan officer akan melakukan serangkaian panggilan telepon dan pengiriman email dengan tujuan untuk memberi kepastian pada calon kreditur.

Industri KPR hari ini tengah mencari inovasi teknologi sebagai solusinya. Transformasi dari proses yang sekarang sedang dialami untuk menjadi tahapan-tahapan lebih cepat dan tepat adalah yang tengah digelorakan. Bank BTN, sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang diberikan amanah oleh pemerintah untuk program 1 juta rumah, telah memulai pola pikir ini.

Saat ini, mereka butuh bantuan IT developer dan startup-startup Tanah Air untuk mengembangkan produk yang dapat membantu akses ke pembelian properti, kemudahan pembayaran, serta produk teknologi yang memberi kemudahan di sektor perumahan, pendidikan (kampus perguruan tinggi), dan tata kelola kota.

Jika kamu adalah IT developer dan startup yang dapat membantu salah satu (atau bahkan semua) pengembangan di atas, sekarang adalah waktunya kamu memberikan solusi nyata dan kontribusi luas bagi masyarakat dari product development yang kamu lakukan.

Tak hanya itu. Sekarang juga adalah waktunya kamu meraih total hadiah uang tunai hingga 100 juta rupiah, tiket ‘sekolah’ di Sillicon Valley, dan mengikuti accelerator program di Plug and Play Indonesia.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh Bank BTN.