Aplikasi Traveloka versi terbaru (versi 3.0) sudah resmi meluncur sejak sebulan belakangan. Banyak perubahan besar, baik dari segi UI/UX-nya dan kini menonjolkan unsur bercerita lewat berbagai konten inspirasi yang disajikan.
Senior Brand and Design Manager Traveloka Taufiq Adhie Wibowo menuturkan, dalam tampilan terbarunya ini perusahaan ingin menjembatani pengguna dengan produk Traveloka lewat inspirasi kisah seputar destinasi terkenal.
Kemudian Traveloka ingin menciptakan engagement yang lebih kuat dengan pengguna, betah berlama-lama di aplikasi, sehingga tidak hanya sekedar menarik potensi terjadinya transaksi. Hal ini berbeda dengan pendekatan versi sebelumnya, yang lebih menonjolkan produk dan promosi.
“Ternyata story adalah komponen yang penting dalam travelling. Kami mau hadir sebagai travel companion secara end-to-end buat pengguna,” terangnya kepada DailySocial, Senin (28/5).
Taufiq enggan membeberkan dampak yang dihasilkan dari peluncuran tampilan terbarunya tersebut, seperti lama durasi kunjungan, traffic, dan sebagainya. Menurutnya peluncurannya baru sekitar sebulan, sehingga belum bisa diungkapkan hasilnya secara langsung.
Perombakan UI/UX ini, sambungnya, baru dilakukan untuk di Indonesia. Di lima negara lainnya, pendekatannya berdasarkan masalah yang dihadapi masing-masing negara, misalnya lebih mengedepankan sistem pembayaran untuk Traveloka Thailand.
Produk Traveloka yang lebih beragam disediakan untuk bersaing di Indonesia. Saat ini hampir 20 produk yang tersedia. Di luar negeri, produk Traveloka yang paling diandalkan adalah pembelian tiket pesawat dan hotel.
Disebutkan proses perombakan ini memakan waktu kurang lebih enam bulan, dimulai dari pertengahan tahun lalu sampai akhir 2017.
Traveloka memproduksi konten tematik yang secara berkala terus diperbarui oleh tim in-house. Tak hanya berbentuk tulisan, tersedia juga foto-foto yang dilengkapi dengan video 360 derajat agar terlihat lebih menggugah. Cara ini juga dimanfaatkan untuk mempromosikan destinasi yang kurang begitu terkenal, namun memiliki potensi alam yang luar biasa.
Di dalam beberapa konten, tim memberikan rekomendasi destinasi yang diselipkan penjualan produk. Misalnya dalam mempromosikan destinasi di Korea, diselipkan informasi seputar atraksi yang menarik dan tiketnya bisa dibeli melalui Traveloka.
Tantangan bisnis OTA
Taufiq menuturkan, semakin besar skala bisnis perusahaan, maka semakin ketat pula persaingannya di pasar, apalagi untuk skala Asia Tenggara. Bagi bisnis OTA, keputusan seseorang untuk membeli tiket perjalanan kini sudah tidak lagi linier, malah cenderung tidak beratur.
Awalnya urutan pertama dimulai dari riset, kemudian membuat rencana, dan memesan tiket. Setelah itu seseorang akan mendapatkan pengalaman dan akhirnya berbagi pengalaman tersebut kepada orang lain.
“Kita enggak cuma sekadar beri inspirasi, tapi bagaimana konten yang kami berikan bisa jadi jembatan untuk ambil keputusan [membeli tiket].”
tim UI/UX Traveloka disebut selalu mengedepankan konsep DEDI (Data Informed, Emphatic, Deliver, Iterate). Informasi data didapat dari hasil riset para pengguna yang nantinya akan menjadi bahan hipotesis.
Dari situ, tim bisa mendapatkan terjemahan mentah apa yang bisa mereka lakukan sebelum disampaikan ke para pengguna. Proses tersebut akan terus berulang sampai akhirnya bertemu titik temu.
“Kami percaya produk yang bagus itu tidak pernah selesai. Makanya end goal kami konstan, terus menerus dilakukan. Tantangan sekarang makin berat, industri [OTA] makin mature, makanya harus beri inovasi terbaru,” pungkas Taufiq.