Beberapa waktu lalu, raksasa aplikasi transportasi Uber membuat berita yang cukup membuat banyak pelaku industri memicingkan mata dengan meluncurkan UberAuto yang mirip seperti bajaj di Jakarta. UberAuto ini diluncurkan di New Delhi, India, namun yang membuat bingung banyak pihak adalah ini pertama kalinya Uber meluncurkan layanan yang sifatnya cash-only.
Sama seperti Indonesia, India juga mengalami kesulitan menumbuhkan tingkat penggunaan kartu kredit di negaranya, yang secara otomatis membuat layanan seperti Uber sulit untuk bertumbuh pesat. Fitur cash-only ini diluncurkan Uber karena memang persaingan di India makin ketat, apalagi dengan adanya pesaing lokal seperti Ola dan TaxiForSure yang didukung pendanaan yang tidak kalah besar.
Di Indonesia, Gojek dan HandyMantis mungkin bisa dibilang sebagai dua startup yang memiliki kesempatan untuk mengambil tempat Uber yang masih terlihat setengah hati terjun ke Indonesia. Salah satu strategi yang sepertinya sedang dilakukan Uber adalah pelokalan layanan, terlihat dengan peluncuran UberAuto di Indonesia. Strategi yang sama seharusnya juga masuk akal dilaksanakan oleh Uber di Indonesia, dengan situasi dimana mobil sebagai salah satu penyebab masalah kemacetan dan minimnya adaptasi kartu kredit di Indonesia.
Strategi Uber mengakuisisi Gojek merupakan bukanlah hal yang tidak masuk akal, bahkan cenderung strategi yang brilian. Gojek sendiri sebelumnya pernah menerima penawaran akuisisi namun untuk alasan tertentu, hal tersebut tidak terjadi. Setidaknya cukup untuk memperlihatkan bahwa akuisisi bukanlah sesuatu yang tidak mungkin untuk Gojek.
Sayangnya, sampai sekarang Uber selalu menggunakan strategi organik untuk ekspansi internasionalnya, dan meskipun telah cukup berhasil di beberapa negara, Uber juga menghadapi beberapa tantangan di beberapa negara kunci seperti India, Tiongkok dan beberapa negara di Eropa. Kompetitor terbesar Uber, Lyft, setelah mendapatkan pendanaan dari raksasa asal Jepang, Rakuten, menyatakan akan menggunakan strategi yang berbeda untuk ekspansi secara internasional. Sudah saatnya Uber berekspansi lebih agresif lagi, memanfaatkan keuntungan strategis bahwa mereka sudah ada di banyak negara lebih dulu ketimbang Lyft.
Meskipun sudah diberikan valuasi mencapai $40 milyar, Uber sejauh ini baru melakukan satu akuisisi, itupun ke startup peta deCarta dan bukan ke bisnis yang serupa dengan Uber. Salah satu contoh yang bisa dibilang cukup berhasil untuk ekspansi pasar secara global adalah Groupon dan LivingSocial, yang mencaplok ratusan situs serupa yang sudah memiliki pasar cukup besar di lokasi asalnya. Sama seperti Groupon, bisnis seperti Uber merupakan bisnis yang sangat lokal, strategi untuk mengakuisisi pemain-pemain lokal yang sudah memiliki kekuatan tentunya masuk akal.
Dengan valuasi dan pertumbuhan metrik yang begitu cepat, saya yakin Uber tidak akan kesulitan untuk mendapatkan pendanaan guna mengakuisisi pemain-pemain lokal seperti Kuaidi Dache dan Didi Dache (Tiongkok), Ola di India, LeCab di Perancis, Hailo di Inggris dan Gojek di Indonesia.