Studi Kasus tentang Umur Pro Player: Adakah Tempat Bagi Gamer Tua di Industri Esports?

Performa atlet olahraga biasanya sangat dipengaruhi oleh kebugaran fisiknya. Seiring dengan bertambah umur, kebugaran fisik biasanya akan mengalami penurunan. Namun, itu bukan berarti seorang atlet tak lagi dapat meraih gelar juara. Serena Williams misalnya. Petenis perempuan asal Amerika Serikat itu masih bisa memenangkan Wimbledon ketika dia berusia 35 tahun. Seorang atlet biasanya mengompensasi penurunan performa akibat umur dengan bermain dengan lebih cerdas, berdasarkan pengalaman mereka.

Memang, meski kebugaran fisik seorang atlet menurun seiring dengan bertambahnya umur, pengalaman justru hanya terus bertambah. Namun, jika dibandingkan dengan atlet olahraga tradisional, umur pensiun atlet esports lebih singkat. Dari kebanyakan contoh yang kami temukan, umur pro player paling ideal ada di 20an. Padahal, jika kita melihat sejarah atlet sepak bola, Pele masih mampu membawa Brazil jadi juara dunia di usia 30 tahun (Piala Dunia tahun 1970). Buffon masih bermain untuk tim kasta tertinggi, PSG, saat sudah berusia 41 tahun. Sebaliknya, sekilas pemain esports “hanya” harus duduk di depan layar dan bermain game. Meski memang anggapan itu salah. Anda bisa membaca tentang pengorbanan yang harus dilakukan atlet esports di sini.

Kebugaran fisik juga penting bagi atlet esports. Hendry ‘Jothree’ Handisurya yang mewakilkan Indonesia di cabang Hearthstone dalam SEA Games 2019, pernah menjelaskan betapa pentingnya kesehatan fisik bagi seorang atlet esports. Hal lain yang penting bagi seorang pemain esports adalah reaction time, yaitu waktu yang diperlukan seseorang untuk bereaksi ketika mereka mendapatkan stimulus. Semakin baik reaction time seorang gamer, biasanya performanya juga semakin baik. Masalahnya, sama seperti kebugaran fisik, reaction time akan mengalami penurunan seiring dengan bertambahnya umur.

Pada 2014, Joe Thompson — yang ketika itu masih menjadi murid Ph.D psikologi di Saint Francis University — membuat studi pada lebih dari 3.000 pemain StarCraft II pada rentang umur 16 tahun sampai 44 tahun. Dari studi itu, dia menemukan bahwa reaction time menurun seiring dengan bertambahnya umur pemain. Temuan ini tidak mengejutkan sebenarnya karena Anda juga pasti menyadari bahwa seseorang jadi lebih lambat bereaksi saat mereka bertambah tua. Satu hal yang menarik dari studi Thompson adalah reaction time mulai mengalami penurunan ketika seseorang masih sangat muda, yaitu 24 tahun. Seolah itu tidak cukup buruk, berdasarkan studi Thompson, seorang pemain tidak bisa memulihkan reaction time mereka setelah mengalami penurunan. Pertanyaannya: apakah pengalaman seorang atlet esports cukup untuk mengompensasi penurunan performa akibat turunnya reaction time?

Sumber: Vox
Sumber: Vox

Sama seperti atlet olahraga tradisional, seorang atlet esports juga semakin berpengalaman seiring dengan bertambahnya umur. Semakin tua seorang pemain, seharusnya mereka bisa menggunakan taktik yang lebih cerdas. Namun, tak begitu faktanya, menurut studi yang dilakukan pada 2017. Studi ini dibagi ke dalam dua bagian. Bagian pertama bertujuan untuk memahami kaitan antara tingkat kecerdasan seseorang dengan performa mereka saat bermain game MOBA seperti League of Legends dan Dota 2.

Di bagian ini, para peneliti menguji tingkat kecerdasan para pemain LoL lokal dengan meminta mereka untuk membuat strategi secara mendadak. Para peneliti kemudian membandingkan tingkat kecerdasan pemain dengan matchmaking ranking (MMR) mereka. Sesuai dugaan, semakin cerdas seseorang, semakin tinggi pula ranking-nya. Pada bagian kedua, para peneliti membandingkan ranking pemain di empat game (Destiny 2, League of Legends, Battflefield 3, dan Dota 2) dengan umur pemain. Athanasios Kokkinakis, penulis utama studi ini, menemukan, ranking tertinggi dipegang oleh pemain yang memiliki umur pada awal sampai pertengahan 20 tahun. Itu artinya, umur yang lebih tua tak menjamin strategi yang lebih baik.

Sementara itu, studi tentang dampak umur pada perilaku pemain Battlefield yang dilakukan Shoshanna Tekofsky pada 2016 menunjukkan bahwa grafik yang membandingkan umur pemain dan performa mereka biasanya memiliki bentuk U terbalik. Jadi, performa pemain remaja cukup baik, performa di awal 20-an tahun adalah yang terbaik, dan pada akhir umur 20-an, performa atlet esports akan mengalami penurunan. Untuk membuat studi ini, Tekofsky menggunakan data dari lebih dari 10 ribu pemain Battlefield.

Dia mengaitkan umur pengguna dengan berbagai achievement dalam game , seperti score, penggunaan class ability, dan apakah pemain sukses mencapai objektif dalam game. Dari studi ini, Tekofsky menemukan, rasio kill dan death tertinggi ada pada pemain pada akhir masa remaja dan pemain yang ada di awal umur 20-an. Rasio kill dan death ini mengalami penurunan pada pemain di pertengahan dan akhir 20 tahunan. “Secara umum, puncak performa terjadi ketika seseorang berumur 20-an,” kata Tekofsky, seperti dikutip dari VICE.com.

Apa itu artinya tak ada tempat untuk pemain yang berumur tua? 

Ialah Stan Horaczek, seorang pria berumur 36 tahun yang ingin bermain Overwatch bersama anaknya yang berumur 9 tahun. Ketika dia masih kuliah, dia ikut serta dalam kompetisi LAN Unreal Tournament. Meskipun begitu, dia tetap kesulitan untuk bisa mengimbangi permainan sang anak. “Pada satu titik, terlihat jelas bahwa dia bermain dengan jauh lebih baik dari saya,” katanya pada VICE. “Saya senang bermain dengan anak saya, tapi saya merasa saya mengecewakannya ketika kami bermain bersama.” Karena itu, dia lalu mengambil waktu ekstra untuk berlatih dan belajar strategi dalam bermain Overwatch. Setelah sang anak tidur, dia menghabiskan waktu ekstra untuk bermain Overwatch. Tak hanya itu, dia juga membaca strategi tentang cara memainkan karakter main-nya, Moira. Pada akhirnya, Horaczek merasa dia bisa menyeimbangi permainan sang anak. Sayangnya, ini hanya berlaku ketika mereka bermain Overwatch. Saat mereka bermain game lain, seperti Fortnite, Horaczek kembali mengalami masalah. “Anak saya bisa mencoba game baru dan belajar sambil memainkannya,” kata Horaczek. “Otak tua saya tidak bisa belajar dengan kecepatan yang sama.”

Padahal, generasi milenial tumbuh besar di tengah-tengah sejumlah teknologi baru, termasuk game. Menurut Nielsen, 40 persen audiens game adalah generasi milenial. Selain itu, generasi milenial juga memainkan game online lebih sering daripada Gen X dan mereka juga menonton siaran Twitch sesering Gen Z. Generasi milenial merupakan juga generasi yang paling banyak menghabiskan uang di game jika dibandingkan dengan generasi lain. Sayangnya, ini tidak diikuti dengan performa permainan yang baik.

Memang mudah untuk menyalahkan umur atas penurunan performa seseorang dalam bermain game, baik gamer amatir ataupun profesional. Namun, keberadaan video game sendiri masih cukup muda. Studi yang dilakukan terkait performa bermain game dan umur masih belum konklusif. Masih ada banyak faktor lain yang harus dipertimbangkan tentang mengapa keahlian seseorang dalam bermain game mengalami penurunan. Salah satu faktor yang harus diperhitungkan adalah pengalaman hidup. Karena, seseorang yang tumbuh besar dengan ikut serta dalam turnamen LAN akan memiliki pengalaman berbeda dengan remaja yang tumbuh besar menonton pemain profesional bermain game esports.

Kenaikan IQ masyarakat di berbagai benua | Sumber: World in Data
Kenaikan IQ masyarakat di berbagai benua | Sumber: Our World in Data

Kokkinakis mengaitkan tentang performa generasi muda yang lebih baik dengan Flynn Effect. “Pada dasarnya, dalam satu abad terakhir, generasi muda memang mendapatkan nilai yang lebih baik dalam tes IQ jika dibandingkan dengan generasi tua,” kata Kokkinakis. “Sebagian orang percaya, ini karena nutrisi yang lebih baik. Sementara sebagian yang lain percaya, generasi muda lebih baik dalam mengerjakan tes.” Dia menganggap, inilah yang terjadi di dunia game dan esports. Generasi milenial memang generasi pertama yang terjun dalam competitive gaming, tapi generasi muda justru mendapatkan untung lebih besar karena mereka bisa mengakses pengetahuan yang dikumpulkan oleh generasi yang lebih tua berdasarkan pengalaman mereka. Gamer muda tak lagi perlu bereksperimen untuk menemukan strategi terbaik dalam sebuah game, mereka bisa menemukan strategi itu di internet dan menerapkannya langsung dalam game. Kokkinakis memberikan contoh, 10 tahun lalu, tips untuk bisa bermain CS:GO lebih baik mungkin hanyalah untuk menembak musuh tepat di kepala. Tapi sekarang, seorang pemain bahkan bisa melatih dirinya untuk terbiasa dengan efek recoil dari senjata.

Omongan Kokkinakis disetujui oleh Eric “adreN” Hoag, pemain CS:GO berumur 29 tahun yang kini menjadi pelatih dari Team Liquid dan pernah menjadi pemain esports selama hampir sepuluh tahun. Menurutnya, ada dua alasan mengapa pemain esports kini menjadi semakin muda. Pertama, pemain muda memiliki waktu yang lebih banyak untuk berlatih. Kedua, mereka mewarisi pengetahuan, tips, dan trik dan generasi yang lebih tua. Inilah yang menyebabkan munculnya banyak talenta muda sekarang.

“Ada begitu banyak detail di Counter-Strike, jika Anda tidak bermain terus-terusan, perlahan, performa Anda akan turun,” kata Hago. “Saat Anda masih muda, Anda bisa menemukan hal-hal kecil baru dalam game itu. Muncul banyak pemain baru, mereka hanya tahu CS:GO terbaru yang dimainkan saat ini, jadi mereka tidak punya kebiasaan buruk dari ketika mereka bermain Counter-Strike: Source, atau Counter-Strike 1.6 (yang merupakan salah satu versi tertua dari CS). Mereka lahir ketika game yang kini dipertandingkan telah ada, dan telah diketahui cara untuk mengeksploitasi game dan menguasai mekanik game. Saya rasa, bagi pemain yang lebih tua, sulit untuk menyesuaikan diri.”

Bagaimana dengan pemain profesional di Indonesia?

Farand “Koala” Kowara, yang masih aktif bermain sebagai anggota Alter Ego walau kini dia telah berumur 31 tahun, berbagi sedikit pengalamannya sebagai pemain esports. Dia bercerita, dia menjadi pemain Dota 2 profesional ketika dia masih berumur 17 tahun. Ketika itu, dia menjadi pro karena bermain memang hobinya. Dia mengakui, seiring dengan bertambahnya umur, dia merasa bahwa reaction time-nya mulai mengalami penurunan. Menurut perkiraannya, waktu reaksinya mulai mengalami penurunan pada umur 28 tahun. “Tapi, primanya sih pas umur 17 tahun,” katanya saat dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat.

Farand "Koala" Kowara | Sumber: ggScore
Farand “Koala” Kowara | Sumber: ggScore

Sementara ketika ditanya tentang cara yang dia lakukan untuk mengatasi masalah akibat menurunnya reaction time, dia menjawab bahwa dia menjadi lebih sering bermain. “Intinya, reaction time segala macam turun belum tentu benar. Bisa jadi itu apa yang ada di kepala kita sendiri, lebih ke masalah mental saja,” ungkapnya. Sekarang, dia memang masih aktif sebagai pemain Dota 2 profesional. Namun, dia mengaku bahwa dia telah mempertimbangkan untuk pensiun beberapa kali. “Tapi ujung-ujungnya rindu adrenalin saat bertanding,” ujarnya, menjelaskan alasannya untuk kembali ke competitive gaming scene. Ke depan, dia bercerita, rencananya setelah pensiun adalah untuk menjadi shoutcaster.

Kesimpulan

Studi yang dilakukan tentang performa seorang gamer dan umur memang mengesankan bahwa tak ada lagi tempat bagi pemain esports yang sudah “berumur” — yang mungkin sebenarnya masih dianggap muda di luar scene esports. Namun, sebenarnya, tak ada yang menghentikan seseorang untuk bermain, sebagai hobi atau sebagai profesional, ketika dia telah mencapai umur tertentu. Isaak Hayik mencetak rekor sebagai pemain sepak bola profesional tertua dengan umur 73 tahun. Dan dia tetap ingin bermain. Sementara pada 2017, sebuah tim CS:GO bernama Silver Snipers menarik perhatian banyak orang karena anggotanya berada di rentang umu 62 tahun sampai 81 tahun. Ketika itu, mereka masih berlatih secara rutin dan ingin bisa bertanding di turnamen Dreamhack. Tentu saja, ketika sudah mulai menua, pencapaian seorang atlet mungkin tak lagi sehebat ketika dia masih di umur prima.

Dan jika seorang atlet esports memutuskan untuk pensiun, bukan berarti mereka tak lagi bisa berkontribusi di dunia esports. Setelah selesai berkarir sebagai pemain, seseorang bisa menjadi pelatih. Dan pelatih memiliki peran penting dalam pengembangan talenta di masa depan, walau mungkin, pelatih tak lagi jadi sorotan masyarakat. Pelatih tak hanya dicari oleh tim profesional, tapi juga sekolah yang ingin menyediakan program esports. Mantan pemain profesional juga bisa menjadi pelatih dari pemain amatir. Walau ini belum menjadi tren di Indonesia, tapi di Amerika Serikat, semakin banyak pemain amatir yang mencari pelatih untuk bisa bermain lebih baik walau mereka tak memiliki aspirasi untuk menjadi pemain profesional.

Opsi lain yang bisa dipertimbangkan mantan pemain profesional adalah dengan menjadi bagian dari manajemen tim esports. Lagi-lagi, ini adalah pekerjaan di belakang layar. Meskipun begitu, peran manajemen tim juga penting dalam keberlangsungan esports sebagai ekosistem. Jadi, bagi pemain esports yang memang merasa sudah waktunya pensiun tapi masih ingin berkecimpung di dunia esports, tak usah berkecil hati, masih ada pekerjaan lain yang bisa Anda lakukan selain menjadi pemain.

Sumber header: Lenovo via The Verge