Verikool Marketplace Influencer

Mengenal Verikool, Startup yang Lebih dari Sekadar “Marketplace Influencer”

Suka tidak suka keberadaan influencer media sosial sudah mengubah cukup banyak industri periklanan. Kendati begitu, masih banyak kendala yang perlu diatasi dari alternatif baru tersebut, semisal kemudahan mencari influencer, isu follower palsu, hingga efektivitas jasa influencer terhadap penjualan produk.

Masalah-masalah tersebut menjadi alasan kemunculan startup bernama Verikool. Founder & CEO Verikool Daniel Dewa menjelaskan bahwa startup yang ia dirikan itu bukan hanya sekadar marketplace influencer, tapi lebih sebagai perusahaan analitik.

“[Marketplace] sudah banyak banget. Kita tahu yang bikin seseorang memilih influencer bukan dari marketplace, mereka pakai influencer karena mereka terkenal. Jadi percuma kalau kita mengarah ke marketplace, nanti yang cari akan klien-klien kecil saja,” ujar Daniel kepada DailySocial.

Seperti yang Daniel katakan, marketplace untuk influencer memang sudah ada beberapa di Indonesia. Mereka di antaranya adalah SociaBuzz, IconReel, dan Allstars. Verikool ingin lebih dari sekadar marketplace yakni dengan menjadi perusahaan analitik yang memudahkan korporasi dan UKM beriklan melalui influencer.

Cara kerja Verikool cukup sederhana. Pada dasarnya mereka punya dua platform, endorse influencer dan analitik. Perusahaan atau UKM dapat memilih influencer yang relevan dengan kebutuhannya, melakukan pembayaran, hingga melakukan revisi.

Verikool juga dapat memberikan insight seperti follower asli dan palsu, tingkat engagement sebuah posting, berapa banyak klik ke situs perusahaan, email, chat, pola caption, dan banyak lagi. Bahkan algoritma Verikool memungkinkan melihat pose serta bahasa selebgram yang paling banyak menarik perhatian audiens. Biaya yang dikenakan bersifat flat untuk setiap transaksi sebesar Rp20.000.

Bedanya, UKM yang ingin melakukan endorse di Verikool harus bayar di muka, sementara korporasi dapat bayar setelah pemakaian jasa. Pihak influencer pun baru akan mendapatkan uangnya ketika mereka menyelesaikan tugas dari klien.

“Biasanya kalau ke agency kita bayar 5-20 persen dari harga influencer. Di kita mau harga influencer Rp1 miliar tetap aja Rp20.000,” ucap Daniel.

Sementara monetisasi dilakukan Verikool dengan cara menarik ongkos Rp100.000 per akun dari korporasi yang sudah jadi klien mereka. Dari ini saja Daniel mengaku pihaknya mendapat puluhan juta tiap bulan sehingga saat ini perusahaan sudah profit.

Sedangkan untuk pendanaan, Verikool berada di tahap pre-seed dengan total uang yang sudah dikantongi sebesar US$750.000, salah satunya dari Alpha JWC Ventures. Namun Daniel mengaku pengumpulan dana mereka hanya akan di fase seed dengan alasan sudah nyaman dengan kondisi saat ini.

“Segede-gedenya yang kita terima paling dari Alpha, kita enggak mau dari yang lain. Kita sudah fine kaya gini, sudah bagus bisa sales. Jangan sampai ada investor masuk jadi rusak,” ujar Daniel.

Saat ini sudah ada 1.700 lebih influencer di Indonesia yang sudah bergabung dengan mereka, termasuk beberapa di antaranya dari Taiwan. Sementara klien mereka sudah terdiri dari 20 korporasi dan 214 UKM.

Pada November nanti mereka berencana memperluas jangkauan layanan mereka hingga ke Thailand, Singapura, Malaysia, dan Taiwan. Alhasil nanti perusahaan di keempat negara itu dapat memakai jasa influencer lokal saat ingin mempromosikan produknya di Indonesia. Dan sebaliknya, pengiklan dari Indonesia dapat memakai jasa influencer keempat negara tadi untuk beriklan di sana.

Di samping itu meskipun saat ini hanya mengandalkan influencer di Instagram, tak lama lagi Verikool menyediakan jasa influencer di Youtube dan Twitter.