[Vintagious] Radio Transistor Sebagai Jejaring Sosial di Tahun 60-an

Catatan editorial: Artikel ini adalah artikel tamu yang ditulis oleh Pinot W. Ichwandardi. Seri tulisan ini akan diberi nama kolom Vintagious, sesuai namanya akan membahas teknologi/gadget retro alias jadul, perkembangannya dan keterikatannya dengan teknologi di masa kini. Kali ini tulisan akan membahas tentang radio transistor, yang menjadi ‘media sosial’ jaman dulu. Selamat membaca.

Bagaimana kehidupan pergaulan ABG di awal tahun 1960-an? Tentunya nongkrong di fast food restaurant, toko piringan hitam yang memutar lagu terpopuler atau klub-klub musik.

Walau zaman itu belum ada online network yang menghubungkan mereka setiap saat – seperti social media network yang kita kenal sekarang – namun ABG jaman itu sudah terhubung secara ‘online’ melalui radio transistor dengan stasiun radio sebagai perantaranya.

Radio transistor pertama kali diproduksi di Amerika tahun 1954 dan menjadi barang ‘mewah’ selama beberapa tahun. Hingga akhirnya di akhir 1950-an Jepang menyerbu pasar Amerika dengan radio-radio transistor yang lebih murah dan terjangkau berbagai kalangan. Tahun 1960, remaja Amerika dan seluruh dunia sudah bisa memiliki radio transistor sendiri dengan uang saku mereka.

Radio transistor di awal 60-an dianggap gadget gaul utama anak muda seperti Sony Walkman di 80-an, CD player di 90-an atau mengantongi iPod di awal 2000-an.

“They were the passport to the modern world and showed that you were part of the “with it” generation. People in Third World countries would save hard to get one. Quality was often low, but you could not be part of the Swinging Sixties without one.” (Sumber)

Bagi remaja saat itu, memiliki radio transistor sendiri adalah bentuk kemerdekaan baru. Mereka bisa mendengar lagu yang lagi ngetop dari DJ favorit kesayangan mereka di mana saja kapan saja. Mendengar radio tidak lagi harus di ruang keluarga bersama orang tua, tapi bisa di kamar mereka atau saat bertemu teman gaul lainnya di sekolah.

Seperti yang ditulis Jane & Michael Stern di buku Sixties People: “Listening to the radio was no longer a family affair. Teens could tune in while in their rooms supposedly doing homework or in the corridors of school. Any teen able to scrape together $16.50 for the cheapest two-by-four inch Silvertone had the power to secede from the adult world at any time.”

Seperti halnya media sosial zaman sekarang, mereka pun bisa saling berinteraksi dan update status mereka melalui DJ di stasiun TV sebagai community hub. Melalui telepon, mereka menitipkan pesan mereka pada DJ dan DJ menyebarkan pesan tersebut melalu radio. “Kepada dinda Susan, kanda Amir menitip salam untuk melihat keluar jendela dan menatap bulan. Lagu ini untuk anda ‘Blue Moon’ dari The Marcels. Selamat menikmati!”

Jaringan pergaulan lewat radio transistor ini yang juga memperbesar ledakan pemberontakan budaya pop seluruh dunia di awal tahun 60-an. Semua bersatu melalui musik dan dunia menjadi tidak lagi sempit ketika semua terhubung di ruang siaran DJ atau penyiar radio. Dan hingga kini, radio masih diakui sebagai community hub, dilengkapi dengan online social media network seperti Twitter & Facebook.

Sumber gambar 1 dan 2.

Profil penulis:

Pinot W. Ichwandardi adalah seorang Graphic Designer. Pria asal Indonesia ini sejak 2007 tinggal di Kuwait bersama keluarganya. Dikenal juga sebagai pengoleksi gadget jadul, blog pribadinya bisa ditemukan di retrogizmo.blogspot.com, sedangkan Twitter di @pinot dan About.me/pinot.

Leave a Reply

Your email address will not be published.