Kolom Vintagious hadir kembali, kali ini akan membahas secara sekilas tentang hobi fotografi dengan menggunakan film dan kamera tua/analog. Menggambarkan bahwa di jaman sekarang ini masih bisa melakukan kegiatan fotografi analog, dari ketersediaan film di pasaran dan proses cuci cetaknya. Mari kita simak.
Di jaman foto-foto digital sekarang ini, kita tidak lagi kecewa dengan hasil foto yang tidak sesuai harapan seperti saat masih menggunakan kamera film. Hasil foto selalu terlihat sesuai apa yang kita harapkan, bahkan lebih keren. Kita juga tidak perlu repot-repot mengirim roll film ke tempat cuci cetak foto, menunggu hasilnya beberapa saat kemudian (mungkin beberapa hari). Belum lagi foto yang tersimpan bisa termakan jamur atau terkena lembab. Gambar pun tidak tahan lama dan rusak jika tidak disimpan dengan baik.
Sekarang, foto tidak hanya langsung jadi, tapi bisa tersebar ke semua orang, ke semua anggota keluarga melalui berbagai layanan jejaring sosial. Tinggal jepret tidak perlu pusing-pusing mengatur ini itu, momen bersejarah bisa terekam dan dinikmati bersama-sama hingga bertahun-tahun.
Lalu apa alasan kami bereksperimen dengan fotografi film atau analog? Buat apa repot-repot mengambil gambar dengan hasil yang tidak tertebak dan membuang-buang uang untuk beli film dan ongkos cuci cetak?
Dua alasan: (1) mengapresiasi sebuah momen – tidak hanya asal jepret – dan (2) memberi edukasi pada anak-anak kami bahwa fotografi pada dasarnya adalah merekam gambar dengan cahaya dan kimia.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana kami bisa mendapatkan film dan apakah masih ada laboratorium yang melayani cuci cetak foto seperti jaman dahulu?
Film 35mm masih banyak dijual di pasaran apalagi sekarang tumbuh komunitas Lomography yang menyediakan berbagai jenis film 35mm, 120 bahkan cartridge 110. Untuk proses cuci beberapa laboratorium atau studio foto masih melayani proses cuci dan cetak.
Contoh-contoh foto dengan kamera buatan tahun 1940:
Beberapa malah memberi opsi untuk di-scan secara digital, sehingga kita bisa mendapatkan file-file digital yang bisa kita olah lagi di komputer atau unggah ke jejaring sosial. Studio foto semacam ini salah satunya bisa ditemui di Kemang, Jakarta Selatan dengan nama Emerald Photo.
Kalau tidak mau repot-repot dengan laboratorium film, bisa coba dengan film Polaroid untuk kamera-kamera Polaroid lama. Film Polaroid kini diproduksi ulang oleh Impossible Project.
Contoh-contoh foto dengan kamera Polaroid & film Impossible Project:
Harga satu paket untuk 8 gambar cukup mahal sekitar Rp 300 ribu. Karena mahalnya harga film ini, membuat kami sangat pelit dalam mengambil gambar. Kamera & filmnya bisa ditemukan di pasar loak atau dibeli secara online di tokopolaroid.com.
Tentu saja, fotografi analog sekarang hanya menjadi hobi dan bukan lagi menjadi kegiatan fotografi keseharian. Biayanya pun juga lebih mahal sekarang dibanding jaman ketika kamera digital belum populer. Namun untuk kami, berfotografi analog bukan untuk mengambil gambar sesuai aslinya, tapi demi mendapatkan pengalaman berbeda saat melukis dengan cahaya dan kimia. Dan tentu saja dengan hasil foto tidak terduga.
Profil Penulis:
Pinot W. Ichwandardi adalah seorang Graphic Designer. Pria asal Indonesia ini sejak 2007 tinggal di Kuwait bersama keluarganya. Dikenal juga sebagai pengoleksi gadget jadul, blog pribadinya bisa ditemukan di retrogizmo.blogspot.com, sedangkan Twitter di @pinot dan About.me/pinot.