Lebih akrab sebagai piranti pendukung game console, VR menyimpan potensi sebagai alat marketing yang ampuh.

Menyelami Potensi Virtual Reality sebagai Medium Pemasaran

Pengenalan teknologi baru tak selamanya berjalan mulus. Hal ini dirasakan betul oleh Omni VR, perusahaan layanan berbasis virtual reality (VR), setelah beberapa tahun beroperasi di Indonesia.

OmniVR sudah melewati banyak hal sebagai perusahaan yang mengusung perangkat VR sebagai ujung tombak. Teknologi tersebut memang sempat jadi buah bibir pada beberapa tahun lalu saat pertama kali diperkenalkan ke publik. Namun ekspektasi tinggi terhadap VR ternyata tak sebanding dengan penyerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Ini terbukti dalam dua tahun terakhir hanya nyaris 5 juta unit VR yang terjual, 288 di antaranya di Indonesia.

“Artinya secara distribusi perangkat VR ini sangat terbatas,” ujar Founder & CEO OmniVR Nico Alyus.

Kendati distribusinya terbatas, teknologi VR masih menyimpan segudang potensi. Dalam #SelasaStartup, Nico memperlihatkan bahwa pemanfaatan VR bisa ditarik hingga ke ranah pemasaran.

VR untuk pemasaran

Sebagai perangkat, VR mungkin lebih dikenal khalayak sebagai alat pendukung game console seperti pada PlayStation atau game PC. Nico tak membantah itu karena menurutnya game menjadi medium paling ampuh dalam memperkenalkan VR ke publik.

Setidaknya ada empat keuntungan pemasaran yang memanfaatkan VR. Pertama adalah sebagai alat berbagi pengalaman. Sederhananya seperti sekadar mendengar keindahan alam Bali tak akan sebanding dengan merasakannya sendiri.

Keuntungan kedua adalah mendapatkan 100 persen perhatian pengguna. Berbeda dengan ponsel cerdas atau medium lain, piranti VR tak memungkinkan penggunanya beralih perhatian karena sebagian besar indera mereka dipaksa bergerak dalam realita baru.

Kendati begitu, Nico meyakini VR sampai saat ini belum bisa menjangkau khalayak luas. Ini sebabnya ia menilai penggunaan VR dalam pemasaran dengan tujuan konversi penjualan tidak tepat. Namun di sisi lain, penggunaan VR dapat memudahkan pemahaman posisi dan semangat brand kepada penggunanya.

Minimnya perangkat VR yang laku di pasar menjadi hambatan tersendiri. Namun Nico menilai hal ini bisa jadi keuntungan bagi perusahaan yang ingin memakai VR sebagai alat marketing mereka.

“Karena tidak semua orang bisa mengakses VR, kita harus bisa menciptakan VR experience yang memorable,” ucap Nico.

Selain keuntungan di atas, ada juga sejumlah faktor yang harus dihindari saat menggunakan VR sebagai alat pemasaran. Di antaranya adalah membuat konten yang berisi penjelasan panjang-lebar atau konten terlalu kompleks sehingga sulit dipahami audiens.

Nico menyarankan suatu perusahaan terlebih dahulu menentukan target audiens mereka sebelum memakai VR. “Terakhir, sebaiknya jangan minta audiens untuk bayar karena dari pengalaman kami ketika orang tahu harus bayar, mereka jadi resisten. Padahal kita ingin sebanyak-banyaknya mereka mencoba.”

Bukan untuk mendongkrak penjualan

Seperti yang disampaikan sebelumnya, VR tak bisa diharapkan sebagai medium pemasaran dengan tujuan mendongkrak penjualan. Dari pengalaman OmniVR, tercatat penggunaan VR dalam marketing hanya berdampak rata-rata 18,8 persen pada penjualan.

“Sejujurnya, kalau itu ekspektasinya saya sarankan tidak menggunakan VR dulu,” Nico menambahkan.

Sebaliknya, VR menjadi sangat efektif ketika diukur dari buzz value. Nico mencatat ada kenaikan 760 persen buzz value dari pemasaran memakai VR ketimbang pemasaran secara tradisional.

“Itulah kenapa VR cocok untuk brand positioning karena ada word of mouth yang bisa dicapai dibandingkan kampanye tradisional,” pungkas Nico.