Startup social commerce asal Singapura resmi mengakuisisi Chilibeli dengan nilai pembelian yang dirahasiakan. Mengutip DealStreetAsia, CEO WeBuy Vincent Xue menyebutkan akuisisi ini menjadi momentum yang tepat karena sejalan dengan upaya ekspansi WeBuy ke pasar Indonesia.
“Sumber daya yang dimiliki Chilibeli saat ini, baik dari group leader, warehousing, dan para stafnya itu sinergis dengan bisnis kami. Dengan kekuatan supply chain WeBuy di global, teknologi, fitur produk, kami akan menjadi platform social e-commerce terdepan di Asia Tenggara,” ungkap Xue.
Dikonfirmasi secara terpisah, Partner di Centauri MDI-KB Kenneth Li menambahkan pihak terkait belum menentukan rencana lebih lanjut terkait langkah Chilibeli ke depan.
“Next phase belum diputuskan karena proses [akuisisi] baru selesai. Chilibeli memang diakuisisi WeBuy, tetapi tidak stop beroperasi. Nanti operasionalnya akan menjadi WeBuy Indonesia,” ungkap Kenneth kepada DailySocial.id.
Pada pemberitaan kami sebelumnya, WeBuy sempat dikabarkan menjadi kandidat kuat untuk mencaplok Chilibeli. Kabar ini berhembus kala Chilibeli diterpa masalah pada operasionalnya yang dihentikan sementara pada Februari lalu. Alasan yang disampaikan ke publik adalah pemindahan server dan deep cleaning resource. Chilibeli juga merumahkan sejumlah pegawai.
WeBuy diketahui tengah memperluas pasarnya ke Asia Tenggara, termasuk Malaysia dan Indonesia. WeBuy membidik Indonesia karena penetrasi media sosial dan pasar ekonomi digitalnya sangat besar. Adapun, WeBuy beroperasi di Indonesia sejak September 2021.
Sekadar informasi, WeBuy merupakan portofolio MDI Ventures, Wavemaker, KB Financial Group, dan Rocket Internet. Saat ini WeBuy melayani sebanyak 3000 group leader dan 100.000 konsumen dari Singapura, Malaysia, dan Indonesia.
Sementara, Chilibeli didirikan oleh Alex Feng, Damon Yue, dan Matt Li di 2019. Chilibeli mengantongi pendanaan seri A senilai $10 juta pada Maret 2020 yang dipimpin oleh Lightspeed Ventures, Golden Gate Ventures, Sequoia Surge, Kinesys Group, dan Alto Partners.
Perusahaan mengandalkan konsep bisnis C2M (customer to manufacturer) dalam menjembatani produk segar dari petani ke konsumen akhir dalam jumlah komunitas. Konsep tersebut hadir untuk mendorong efisiensi logistik dan memastikan kesegaran produk hingga di tangan konsumen.
Tantangan online grocery
Tren layanan online grocery yang memakai model social commerce maupun quick commerce tengah tumbuh di Indonesia. Hal ini sejalan dengan meningkatnya permintaan pasar di masa pandemi Covid-19.
Di tengah popularitas layanannya, online grocery masih akan menemui berbagai kerikil untuk meningkatkan penetrasinya di pasar. Salah satunya adalah tantangan untuk mengubah perilaku belanja ke online, terutama bagi kalangan ibu rumah tangga yang masih terbiasa berbelanja di pasar tradisional
Sejauh ini, model yang cukup banyak diadopsi adalah B2C dan B2B. Di segmen B2B, model ini dinilai lebih stabil karena ada kepastian demand dan supply dengan pesanan dalam jumlah besar dan permintaan secara berkala. Contohnya permintaan bahan pokok segar ke industri restoran atau perhotelan.
Sementara di B2C, Managing Partner Tunnelerate Ivan Arie Sustiawan menilai bahwa model ini akan sulit dijalankan bagi platform yang punya modal terbatas untuk subsidi di perang harga dan logistik. Kedua hal tersebut menjadi elemen penting untuk mempertahankan loyalitas pelanggan mengingat konsumen Indonesia cenderung menyukai promo/diskon.
Menurutnya, untuk memenangkan pasaronline grocery/agritech di B2C, startup perlu membangun dan menerapkan model supply chain yang paling sustainable dan efisien dari hulu ke hilir. Mereka juga perlu memikirkan profitable assortment strategy bagi bisnisnya. “Don’t sell everything to everyone for the instant or quick commerce where you do the self-fulfillment,” tuturnya kepada DailySocial.id beberapa waktu lalu.