Pada sesi BUMN Startup Day 2022 Senin (26/9) kemarin, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca membagikan banyak pandangan dengan gaya khasnya, yakni melalui analogi-analogi unik.
Pandangan-pandangan ini masih berkaitan dengan potensi ekonomi digital di Indonesia dan perubahan industri startup Indonesia di era pra dan pasca-pandemi Covid-19.
Tren yang muncul dari pandemi
Willson menilai terjadinya inflection point cukup berdampak terhadap perkembangan industri startup di Indonesia. Jika dulu startup bisa membutuhkan waktu hingga enam bulan untuk mendapat sekitar 30.000 unduhan aplikasi, kini startup bisa mencapai satu juta unduhan hanya dalam satu bulan.
Implikasi lainnya, pandemi Covid-19 mengubah perilaku pengguna dan mempercepat bagaimana proses edukasi pasar. Alhasil, adopsi digital tak hanya terjadi pada early adopter saja, tetapi justru lebih dari itu. Kalangan orang tua yang cenderung bukan digital native, bahkan bisa menggunakan aplikasi Zoom.
Kemudian, ia juga mengidentifikasi dua jenis model bisnis startup selama masa pandemi ini. Pertama, startup yang dapat solving problem pada pra dan pasca-pandemi. Kedua, startup yang seolah-olah model bisnisnya hanya cocok di masa lockdown pandemi saja.
Kendati demikian, ia menekankan ada atau tidaknya pandemi Covid-19, ekonomi digital Indonesia akan tetap bertumbuh. Era pra dan pasca-pandemi justru akan menentukan bagaimana suatu startup dapat bertahan dan tetap relevan. Maka itu, penting untuk melihat apakah problem statement yang dikembangkan oleh dapat bertahan selama pandemi atau pasca-pandemi.
Membangun bisnis teregulasi dan beretika
Di masa awal fenomena investasi startup, Willson menyebut VC memulai dengan blank paper mengingat bisnisnya masih tergolong baru. VC terbilang tidak didukung dengan data, hanya sebatas ide. Lalu, sebagai venture capitalist, bagaimana Willson menuntut pertumbuhan dari portofolio startup yang bisnisnya belum teregulasi? Bagaimana membuat keputusan bahwa mungkin sebuah startup dapat mencapai kesuksesan suatu hari?
Ia menilai, setiap pelaku startup tetap harus mengejar pertumbuhan, tetapi dalam lingkungan yang teregulasi. Bagaimana pun juga VC mengacu pada metrik pertumbuhan tinggi. Maka itu, untuk mencapai hal tersebut, VC perlu membuat semacam playbook sendiri dengan menggunakan sejumlah komponen, seperti Environmental, Social, dan Corporate Governance (ESG).
Komponen tersebut dapat menjadi lensa pengambilan keputusan sehingga investor tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Menurutnya, VC perlu meregulasi diri di internal sehingga dapat mendorong startup yang inklusif, win-win solution, dan mampu men-encourage hal-hal positif.
Di samping itu, pelaku startup juga perlu mengambil risiko, tetapi tetap membangun bisnis beretika. Penting untuk digarisbawahi, bagi Willson startup harus bisa menguasai bisnisnya sendiri sebelum mendisrupsi.
“Mantra startup ‘lebih baik minta maaf, daripada minta izin’ masih berlaku. Analoginya begini, apa perbedaan U-turn di Singapura dan Indonesia? Di Singapura, orang melihat tanda dulu, baru belok. Artinya, mereka berinovasi dalam kerangka tertentu. Di Indonesia, mereka mencari yang tidak ada tanda, lalu belok. Mereka berinovasi dulu dan tidak dalam suatu kerangka karena kerangkanya belum tentu ada–tetapi tetap sesuai etika,” paparnya.
Learn how to learn
Willson mengungkap bahwa Indonesia sedang menuju masa keemasan digital dengan potensi sangat besar. Ia membandingkan PDB per kapita di India hanya sekitar $1.000, padahal populasinya menembus 1,4 miliar jiwa. Namun, PDB per kapita Indonesia justru mencapai $4.000 dengan populasi 250 juta. Artinya, spending di Indonesia lebih banyak sehingga potensi startup untuk menjadi profitable juga lebih besar.
“Kita tidak boleh low self-esteem dari negara lain. Investor di India dan Korea Selatan berbondong-bondong ke Indonesia karena kita ekosistem terbesar di Asia Tenggara. Nilai ekonomi digital di Asia Tenggara sekitar Rp2 triliun, Indonesia sumbang Rp1 triliun. Startup di Asia Tenggara tidak akan bisa jadi unicorn tanpa Indonesia. Setidaknya harus punya sedikit [kontribusi pasar] dari Indonesia. Kita harus percaya diri,” ujarnya.
Pertumbuhan ekonomi digital tersebut bukan terjadi dalam semalam saja. Menurutnya, tanpa sadar Indonesia telah membangun infrastruktur digital selama satu dekade, mulai dari e-commerce, payment gateway, warehouse, hingga last mile delivery.
Dengan perkembangan infrastruktur yang semakin matang, startup justru lebih mudah memonetisasi bisnisnya karena memanfaatkan berbagai API yang sudah ada. Willson juga menekankan agar founder tidak terlena dan tetap terus belajar seiring berkembangnya bisnis mereka.
“Dalam skala 0 sampai 1.000, 1.000 sampai 10.000, hal yang terpenting buat founder adalah kemampuan belajar. Ketika founder membuat produk, mereka harus belajar leadership, governance, atau management. Ketika startup mencapai skala 1.000, founder harus belajar corporate structure sampai people culture. Ketika mencapai skala 10.000, founder tidak lagi terlibat di operasional, mereka harus menjadi visioner,” tuturnya.