WLabku mendaur ulang limbah tebu menjadi pakan ternak / Gayo Capital

Mengulik Dapur WLabku, Daur Ulang Ampas Tebu demi Akselerasi “Zero Carbon Emission” di Indonesia

“Many business leaders are seeing the relationship between long term success and sustainability, and that’s very heartening.” — Jacqueline Novogratz, entrepreneur

Ada berbagai persepsi yang menyebutkan bahwa tak mudah untuk berkecimpung pada bisnis di environmental impact. Anggapan pertama, sulit bagi pelaku startup untuk menghasilkan uang–apalagi keuntungan–dan realisasinya pun memakan waktu panjang. Kedua, anggapan ini membuat minat investor semakin terbatas. Namun, bukan berarti tidak ada.

Banyak startup di dunia yang membawa misi untuk menyelamatkan bumi alih-alih mengedepankan keuntungan. Di Indonesia, jumlahnya mungkin masih terhitung jari. Ada startup energi terbarukan Xurya dan startup pengumpulan sampah Duitin. Semua ini ingin membuat bumi menjadi lebih hijau dan ramah bagi manusia.

WLabku, sebuah startup waste management yang mendapatkan pendanaan dari impact investor Gayo Capital, memiliki misi yang sama, yaitu mendaur ulang ampas tebu menjadi produk bernilai demi mewujudkan akselerasi zero carbon emission di Indonesia.

DailySocial berkesempatan berbincang dengan dua sosok penting di Gayo Capital, yakni Jefri R Sirait selaku Co-Founder & Managing Partner dan Eldo Wana Kusuma sebagai Investment Principal tentang pengembangan daur ulang, metrik bisnis, hingga dampak lingkungan di segmen bisnis ini.

Mengenai WLabku

Berdiri sejak 2019, WLabku merupakan startup di bidang waste management solution yang mendaur ulang limbah tebu sebagai pakan ternak (bagasse). Tak hanya itu, hasil daur ulang ini dapat digunakan sebagai biofuel (bahan bakar dari materi tumbuhan dan hewan) untuk memproduksi panas, energi, listrik, serta manufaktur pulp dan bahan bangunan. Kuantitas yang diperoleh berkisar 22%-36%, tergantung porsi serat dan kebersihan dari pasokan tebu.

Mengapa tebu? Mengutip informasi di situs resmi Gayo, ampas tebu adalah residu berserat yang tersisa setelah penggilingan, mengandung kadar air sebesar 45%-50% dengan campuran serat fibre dan jaringan parenkim yang lembut dan halus dengan sifat higroskopis tinggi. Ampas tebu juga mengandung selulosa, hemi selulosa, pentosan, lignin, gula, lilin, dan mineral.

Di Indonesia, tebu telah ditanam dengan luas mencapai 450.000 hektar. Rata-rata hasil produksinya di community plantation (sekitar 266.000 hektar) tak sampai 80 ton per hektar dengan yield level di bawah 8%. Potensi kapitalisasi pasar daur ulang tebu berkisar 5% dari ampas tebu tua, yakni sebesar Rp2,2 triliun.

Pada 2020, WLabku memperoleh investasi dari Gayo Capital lewat dua putaran pendanaan. Berdasarkan data Crunchbase, WLabku mendapat pendanaan tahap awal (seed) pada Januari 2020 sebesar $1 juta, dan putaran kedua pada Juli 2020 melalui convertible note sebesar $90.000.

Co-Founder & Managing Partner Jefri R Sirait mengungkap, WLabku merupakan salah satu portofolio investasi Gayo Capital yang menawarkan value added sebagai biomass waster. Menurutnya, banyak sekali material tak terpakai (unused) yang sebetulnya dapat dimanfaatkan kembali (circular economic) di sektor pertanian, peternakan, bahkan masyarakat Indonesia.

Ia menilai daur ulang material terpakai ini menjadi salah satu kunci penting untuk memperkuat ketahanan pangan dan energi di Indonesia, serta dapat memproduksi carbon farming.

“Sejak awal, saya dan Edward [Ismawan Chamdani] sebagai Founder Gayo Capital, melihat Sustainable Development Goals (SDG) serta petani, peternak, nelayan, dan UMKM harus menjadi epicentrum di Indonesia. Ini menjadi dasar kuat bagaimana pedesaan dapat memperkuat perkotaan. Hal ini juga menjadi fundamental dalam investasi kami dan we bring the tech ke mereka. WLabku akan melengkapi ekosistem portofolio kami di bidang waste management dan agriculture,” ujar Jefri.

Agenda WLabku

Ada dua agenda besar yang akan dilakukan WLabku. Pertama, mengekspor sampah ampas tebu yang sudah didaur ulang menjadi produk bernilai. Misalnya, daur ulang menjadi bahan baku (feedstock). WLabku mengambil peran untuk mendaur ulang dan mengolahnya menjadi makanan sapi, lalu mengekspornya ke beberapa negara, seperti Jepang dan kemungkinan Selandia Baru.

Investment Principal Eldo Wana Kusuma mengungkap, salah satu klien supplier-nya kebingungan untuk mengolah limbah ampas tebu yang telah menumpuk bertahun-tahun. Apabila limbah ini dibakar, prosesnya menghasilkan lebih banyak emisi karbon yang justru menimbulkan polusi terhadap lingkungan. Artinya, metode pembakaran bukan lah solusi tepat untuk mengolah sampah organik.

Selain itu, prosesnya juga memakan waktu lama sehingga hasil produksi tidak seimbang dengan proses pemusnahan sampahnya. Ini belum lagi bicara potensi pengeluaran biaya baru untuk menampung sampah.

Tanpa pabrik pengolahan, ampas tebu akan terbuang sia-sia karena hanya akan berakhir di pembakaran dan kehilangan nilainya. Ini akan berdampak buruk terhadap lingkungan karena memicu produksi karbon. WLabku memainkan peran untuk menyelesaikan masalah-masalah di atas dengan mengubah sampah atau limbah menjadi produk bernilai. 

Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah timbulan sampah nasional mencapai 175.000 ton per hari atau setara 64 juta ton per tahun (asumsi sampah dihasilkan setiap orang per hari sebesar 0,7 kg)

Dirinci dari komposisinya, mayoritas sampah sebesar 50% berasal dari organik (sisa makanan dan tumbuhan), plastik (15%), dan kertas (10%). Sisanya berasal dari logam, karet, kain, kaca, dan lain-lain. Dari kategori sumber, rumah tangga paling banyak menghasilkan sampah (48%), diikuti pasar tradisional (24%), kawasan komersial (9%), dan sisanya dari fasilitas publik, sekolah, kantor, dan jalan.

Kedua, mengakselerasi program zero emission. “Sisa penyaringan ampas tebu tidak 100% bisa dijadikan feedstock. Sisa residu dapat dipadatkan dan dimanfaatkan untuk bahan bakar co-firing dalam bentuk pellet untuk mengurangi emisi karbon dari hasil pembakaran fossil. Ini yang saya maksud sebagai akselerasi program zero emission,” tuturnya.

Pada 2030, Jepang mengeluarkan kebijakan yang melarang seluruh pabrik menggunakan bahan bakar fossil. Ampas tebu dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar dalam bentuk pellet atau bahan pakan yang dipadatkan sedemikian rupa dari bahan konsentrat atau hijauan untuk mengurangi sifat keambaan pakan. Adapun, pellet yang dihasilkan WLabku dapat mencapai 4.300 kalori.

Akselerasi bisnis

Dengan berbagai rencana di atas, bagaimana upaya Gayo Capital untuk mengakselerasi bisnis WLabku?

Gayo Capital turut berperan sebagai venture builder. Mereka ikut memberikan pendampingan dan menghubungkan jaringan bisnis kepada founder WLabku. Gayo tak hanya terlibat dari aspek permodalan saja. Apalagi, ungkapnya, tiga partner di Gayo Capital memiliki latar belakang kuat di bidang keuangan, operasional, jaringan, dan kemitraan bisnis. Ini menjadi nilai tambah yang ingin diberikan kepada WLabku.

Lebih lanjut, Eldo berujar skalabilitas bisnis WLabku dapat ditingkatkan selama memiliki model bisnis yang matang. Menurutnya, skalabilitas bisnis impact sulit dicapai apabila founder hanya memikirkan aspek ‘for the sake of humanity and mother earth‘.

Salah satu tantangannya adalah berinvestasi di sektor lingkungan membutuhkan lebih dari satu sumber permodalan, yakni menggabungkan private capital dan development funding. Penggunaannya pun harus tepat sasaran. Ambil contoh, dana hibah dari yayasan atau program CSR dapat digunakan untuk kebutuhan riset, sedangkan investasi dari Venture Capital (VC) dipakai untuk biaya operasional (opex) dan modal kerja.

Pendekatan investasi untuk membangun sustainable ecosystem / Sumber: Gayo Capital

Dalam kasus WLabku, perusahaan telah melakukan riset sendiri, sedangkan sumber pendanaan masih dipimpin oleh Gayo Capital. “Selagi penggunaannya tepat sasaran, saya rasa semua bisa berjalan lancar. Kebanyakan para founder yang bermain di ranah impact, terlalu mementingkan riset dan mengesampingkan bisnis. Jadi ini tantangan yang lumayan sulit,” ucapnya.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, Eldo mengincar kolaborasi strategis antara WLabku dan ekosistem portofolio di Gayo Capital. Terutama kolaborasi lintas produk/layanan yang masih dalam koridor sustainability. Misalnya, waste-to-energy atau clean energy. Artinya, scale up bisnis tak cuma terbatas pada pemilik model bisnis serupa dengan WLabku.

“Kami tidak bisa bergantung hanya dari fossil fuel dan ini sebetulnya agenda kami sejak lama. Kami berharap ada kolaborasi antara portofolio dengan pendekatan penta-helix di Gayo Capital, dan seharusnya hal ini bisa diakselerasi lebih cepat lagi.”

Impact vs profit

Mana yang perlu didahulukan, dampak atau keuntungan? Sebuat pertanyaan sulit menyikapi tantangan berbagai investor ketika melakukan impact investing di sektor environmental atau sustainability.

Eldo mengungkap, saat ini pihaknya tengah mencoba membuktikan model bisnis WLabku dapat diterima di pasar, yakni mengubah sampah menjadi valuable product untuk menyelesaikan masalah pada penumpukan limbah pabrik. Apabila berhasil, Gayo baru akan bicara soal financial return.

Adapun, ia menyebut rerata investasi VC secara umum berkisar 3-5 kali dalam 5-10 tahun fund lifetime (berkisar 27%-30% return per tahun).

Profit belum menjadi fokus utama meski pada akhirnya investor pasti mengharapkan return. Untuk tahap awal, kami berharap pada impact. Sebetulnya, berkat bantuan stakeholder, kami sudah [mulai] mengarah ke dua-duanya, baik impact maupun financial return,” ujarnya.

WLabku menggunakan sejumlah metrik untuk mengukur pertumbuhan bisnis maupun dampak terhadap lingkungan. Dari pertumbuhan bisnis, Gayo memakai metrik, seperti jumlah supplier dan buyer.

Secara paralel, ia menilai semakin banyak yang suplai, semakin berkurang juga sampah limbah pabrik. Semakin banyak yang membeli, semakin cepat pula akselerasi untuk mewujudkan program zero carbon emission.

Sementara itu, WLabku mengukur lewat jumlah ampas tebu yang didaur ulang dan dampak terhadap lingkungan dari solusi yang mereka tawarkan. Dampak ini dapat diukur dari tingkat pengurangan polusi bau atau pencemaran lingkungan. “Untuk [mengukur] dampak itu, kami pakai tools dengan ESG Report,” tambahnya.

Sedikit informasi, ESG (Environmental, Social, Governance) Reports merupakan acuan atau formula untuk mengukur dampak pencemaran lingkungan. ESG melaporkan data operasional berbagai perusahaan yang berfokus pada tiga area, yaitu lingkungan, sosial, dan corporate governance.

Di Indonesia, penerapan ESG mulai diberlakukan di Bursa Efek Indonesia (BEI). Pada Maret 2021, BEI meluncurkan indeks baru IDX ESG untuk mendorong praktik lingkungan, sosial, dan tata kelola emiten (perusahaan tercatat di pasar modal). Dalam jangka panjang, penerapan ESG diharapkan dapat menggerakan lebih banyak aliran modal ke Indonesia.

Metrik satu-untuk-semua

DailySocial berbincang singkat dengan Partner di Patamar Capital Dondi Hananto, bicara tentang metrik dan skalabilitas impact investing di Indonesia secara umum. Mengambil contoh pada social impact, menurutnya saat ini belum ada metrik satu-untuk-semua (one for all) yang dapat digunakan untuk mengukur pertumbuhan bisnis, baik yang bersifat equity maupun non-equity. Semua bergantung dari model bisnis dan dampak yang dikejar oleh startup.

Sementara di segmen environmental impact, Dondi menilai pengembangan bisnisnya belum dapat mengandalkan commercial financing sepenuhnya mengingat pasarnya di kawasan Asia Tenggara belum matang. Maka itu perlu dorongan dari sumber pendanaan lain (blended finance), seperti yayasan, CSR, atau dana sosial.

Ini menjadi salah satu faktor mengapa skalabilitas bisnis pada startup di environmental impact sulit diakselerasi. Belum lagi bicara soal benturan dalam mengejar ‘impact versus profit‘ mengingat keduanya sulit untuk dicapai secara bersamaan. Dondi menilai sulit untuk menahan dampak dalam jangka panjang apabila sejak awal bisnisnya sudah profit-oriented.

“Secara business model, saya belum melihat [environmental startup] yang bisa cepat scalable. But, the trend is going there,” ungkap Dondi.