Penyedia jasa infrastruktur teknologi finansial Xendit menginformasikan sejumlah pencapaian dan target yang ingin dicapai tahun ini. Kepada DailySocial, COO Tessa Wijaya mengungkapkan, “Sampai saat ini, kami bertumbuh lebih dari 1000% CAGR setiap tahunnya. Pertumbuhan ini menurut kami sangat sehat melihat perkembangan ekonomi dan industri pembayaran digital di Indonesia. Kami yakin dapat mempertahankan tren positif ini setiap tahunnya.”
Tahun ini perusahaan sudah menambah beberapa kemitraan baru, baik dengan berbagai jenis startup maupun mitra-mitra dari berbagai pihak. Xendit mengklaim solusi pembayaran yang disajikannya, setelah beberapa kali pivot, saat ini sudah sesuai dengan kebutuhan pasar dan sesuai dengan infrastruktur yang ada di Indonesia saat ini.
“Pada dasarnya setiap usaha yang memiliki potensi untuk menjual barang maupun jasa secara digital merupakan target pasar kami. Jenis-jenis usaha tersebut adalah [pemain] e-commerce seperti Tiket, Moka POS, BookMyShow, Style Theory, Lemonilo dan beragam UKM yang merupakan salah satu target pasar utama Xendit,” kata Tessa.
Perusahaan sendiri menyatakan belum akan menggalang dana baru dalam waktu dekat. Meskipun demikian, ia tidak memungkiri dana segar bisa mendukung implementasi strategi pengembangan bisnis startup. Xendit juga tidak menutup potensi berekspansi ke negara-negara tetangga.
“Kami berambisi untuk menjadi mitra bisnis solusi pembayaran digital terbaik. Tentunya hal ini akan didukung dengan pengembangan produk-produk yang dapat memenuhi product market fit yang terus berevolusi dan menjadi penyokong untuk memajukan infrastruktur sistem pembayaran di Indonesia,” kata Tessa.
Beberapa pesaing terdekat Xendit antara lain Midtrans dan Doku.
Mempermudah pembayaran digital
Ekosistem industri startup di Indonesia menurut Tessa masih dalam tahap perkembangan awal. Fokus pelaku industri startup di Indonesia saat ini masih ke pasar B2C yang sarat kompetisi. Diklaim belum banyak jenis bisnis yang menjamah ranah B2B maupun open API based seperti Xendit.
Masih rendahnya keterbukaan informasi juga menjadi perhatian perusahaan. Komunitas startup di Asia, termasuk Indonesia, cenderung lebih tertutup dalam berbagi ilmu pengetahuan, terutama mengenai ide, pengalaman dan strategi bisnis. Sedangkan di negara-negara maju, knowledge sharing dilakukan dengan sangat terbuka sehingga dapat memicu perkembangan industri secara signifikan.
“Xendit ingin menjadi pelopor keterbukaan informasi tersebut. Ini dapat dilihat dari terbukanya akses desain open API based produk Xendit untuk umum di website kami dan forum terbuka bagi pelanggan kami untuk bertukar pikiran terkait untuk pelanggan-pelanggan startup kami,” kata Tessa.
Tentang strategi burn rate yang selama ini lazim dilakukan startup untuk menguasai pasar, Tessa menyebut burn rate tidak selalu berarti hal negatif. Ia memberi contoh Xendit berinvestasi untuk pertumbuhan Indonesia antara lain dengan cara merekrut tim teknis terbaik untuk melakukan pengembangan produk dan infrastruktur pembayaran kelas dunia.
Burn rate yang dilakukan saat ini juga termasuk dari bagian riset untuk menemukan product-market fit terbaik untuk pasar Indonesia, sehingga pelanggan, termasuk calon-calon startup unicorn dapat memusatkan perhatian mereka ke pengembangan bisnis masing-masing dan dapat membebankan tanggung jawab pemrosesan transaksi dan rekonsiliasi pembayaran digital.
“Tahun ini Xendit ingin fokus kepada kenyamanan bertransaksi, keamanan bertransaksi, dan keandalan sistem infrastruktur. Kami percaya jika klien-klien kami berkembang, sistem pembayaran di Indonesia berkembang, Xendit akan bertumbuh bersama mereka,” kata Tessa.