Yang Terlewat: Bahasa

Menakjubkan. Sebuah video di Youtube yang sudah beredar di Facebook tahun lalu, tiba-tiba tahun ini beredar lagi dan sampai membanjiri tiga situs media sosial yang saya ikuti. Video itu tampaknya diunduh oleh seseorang atau institusi di Indonesia yang kemudian menambah subtitle bahasa Indonesia. Hasilnya? Viral.

Mengapa? Karena pemahaman. Tanpa bahasa yang sesuai, tak mungkin suatu informasi menjadi menarik. Apalagi informasi yang mengandung unsur emosi seperti video tersebut. Di sini emosi menciptakan pengalaman dalam penggunaan produk: User eXperience.

Saat ini, pengguna internet di Indonesia bukan lagi orang-orang berpendidikan tinggi saja. Akses internet yang mudah tanpa perlu kepemilikan komputer pun memungkinkan siapapun mengaksesnya. Apalagi di era Web 2.0 ini, di mana pengguna ikut menciptakan pengalaman bagi pengguna lain, situs-situs berbahasa Indonesialah yang populer. Detik contohnya, adalah situs berita pertama yang memungkinkan pembaca berkomentar di situ. Lalu Kompasiana, menyediakan wadah bagi pembaca untuk menayangkan beritanya sendiri.

Urusan bahasa jadi lebih rumit di dalam suatu produk layanan online yang penggunanya multi-bahasa, multi-negara. Apalagi kalau layanannya sangat bergantung pada unsur lokal, seperti layanan finansial (bank lokal) dan travel (tiket ditentukan oleh lokasi keberangkatan). Masalah ini cukup terlihat, sehingga urusan bahasa ini sudah menjadi topik diskusi oleh praktisi UX.

Layanan online multinasional pun ada yang masih menampilkan kesalahan klasik: pilihan bahasa di laman pertama menampilkan bahasa (moda interaksi) dan negara (lokasi) secara bersamaan, sehingga pengguna yang tidak paham bahasa negara tersebut mengalami kesulitan. Padahal pengguna tersebut sempat menikmati (UX yang positif) layanan tersebut waktu berada di negara lain. Contoh pilihan bahasa yang terpisah dari pilihan negara bisa dilihat di gambar berikut (yang diambil dari situs KLM).

Kembali ke urusan bahasa dalam negeri: mengapa QZone paling populer di negara Cina? Walaupun bisa jadi karena Facebook diblokir di sana, tetapi penggunaan media sosial lokal sangat populer. Bisa dikatakan karena bahasa. Juga karena mudahnya berpartisipasi dalam hal-hal yang konteksnya lokal sehingga pemerintah tersadar akan suara rakyat.

Kita bisa saja berpikir bahwa penduduk Indonesia sudah sangat familiar dengan isitilah-istilah dalam bahasa Inggris di komputer. Tetapi hal ini bukanlah standar pengukuran bahwa penduduk Indonesia mampu berbahasa Inggris dengan baik. Ingatkah ketika pertama kali menemukan pengaturan bahasa Indonesia di ponsel kita beberapa tahun yang lalu? Awalnya kita merasa aneh. Tetapi orang-orang yang baru pertama kali menggunakan ponsel sangat menghargai fitur ini.

Mari kita perhatikan para pengguna yang baru pertama kali menggunakan ponsel, pengguna yang baru pertama kali menggunakan internet, pengguna yang tidak familiar dengan istilah-istilah berbahasa Inggris di komputer. Mereka tidak sedikit. Sekarang puluhan juta, dan terus meningkat.

Produk-produk berbasis internet seperti Facebook, Multiply, Wikipedia, sudah memiliki versi bahasa Indonesia. Bagaimana dengan produk-produk dalam negeri? Perlu diperhatikan, selain lokalisasi dan konteks yang sesuai, bahasa merupakan moda interaksi, sehingga merupakan kunci pengalaman positif dalam menggunakan produk.

 


Artikel tentang User Experience (UX) ini ditulis oleh Qonita Shahab, peneliti UX yang pernah bekerja di bidang TI. Ketertarikannya akan musik dan fotografi membantunya dalam mendesain prototipe sistem interaktif. Sejak mulai melakukan penelitian di bidang teknologi persuasif, Qonita belajar banyak tentang psikologi sosial dan penggunaan komunal atas teknologi. Anda bisa follow akun Twitter-nya di@uxqonita.

1 thought on “Yang Terlewat: Bahasa

  1. Barangkali sekedar karena menjadi viral karena disebarkan via Twitter? Menurut saya pribadi, Twitter itu jauh lebih viral daripada Facebook.

Leave a Reply

Your email address will not be published.